Syekh Haji Abdul Muhyi (Arab: الشيخ الحاج عبد المحيئ) Lahir di Mataram tahun 1650. (Mataram di sini ada yang menyebut di Lombok, tetapi ada juga yang menyebut Kerajaan Mataram Islam.) Ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah, bangsawan Sunda. lbunya bernama Raden Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan Mataram yang berjalur sampai ke Syaikh Ainui Yaqin (Sunan Giri l). Syekh Abdul Muhyi diyakini sebagai waliyullah dan dihormati masyarakat pesantren. la merupakan mata rantai dan pembawa Tarekat Syathariyah yang pertama ke pulau Jawa. Lebih dikenal dengari nama Haji Karang, karena pernah uzIah dan khalwat di Gua Karang. Di pintu gerbang makamnya yang terletak di Pamijahan Tasikmalaya, tertera tulisan Sayyiduna Syaikh al-Hajj Waliyullah Radhiyullahu.[1]

Abdul Muhyi
NamaAbdul Muhyi
Nasab(catatan) silsilah dari garis ayah maupun ibu dari Syekh Abdul Muhyi ini masih simpang siur, tidak diketahui pasti siapa kedua orang tua dari Syekh Abdul Muhyi, yang jelas disebutkan bahwa orang tua beliau berasal dari Gresik, tokoh yang disebutkan disini mungkin saja adalah salah seorang muridnya ataupun mertua dari Syekh Abdul Muhyi ketika menyebarkan Islam di tanah Pasundan
Kebangsaan Indonesia

Ketika usianya menginjak 19 tahun, Syekh Abdul Muhyi memutuskan merantau ke Aceh dan berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkil bin Abdul Jabar, seorang ulama Sufi dan guru Tarekat Syattariah. Selama enam tahun lamanya ia mempelajari pendidikan, khususnya agama Islam.[2]

Usai menimba ilmu di Aceh, Syekh Abdul Muhyi bersama teman-teman seperguruannya dibawa oleh seorang guru ke Bagdad, Irak, untuk memperdalam ilmu agama dan berziarah ke makam Syekh Abdul Qadir Jailani.

Perjalanan beliau mendalami agama Islam tidak berhenti sampai di situ. Syekh Abdul Muhyi pun menyambangi Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus mempelajari lagi ilmu agama Islam.

Saat berada di Makkah, Syekh Abdul Muhyi mendapat ilham lewat mimpi yang tentang kewalian dan keistimewaan yang akan diterimanya. Dalam mimpi tersebut, beliau diperintahkan pulang ke tanah Jawa dan pergi ke sebuah gua. Setelah ibadah haji diselesaikan, Syekh Abdul Muhyi kembali ke Jawa dan menikah.

Suatu ketika ia teringat lagi dengan mimpinya yang diminta untuk mencari gua. Syekh Abdul Muhyi lantas berangkat ke arah barat bersama sang istri. Sampailah mereka di daerah bernama Darma Kuningan dan memilih tinggal selama beberapa tahun.

Mendengar Syekh Abdul Muhyi kini menetap di Darma Kuningan, orangtuanya kemudian memutuskan ikut tinggal di sana.

Perjalan Mencari Goa Pamijahan sunting

Disamping untuk membina penduduk, dia juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan dia sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang di berikan oleh syeikh Abdurrauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua.[3]

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pameungpeuk (Garut Selatan). Di sini dia bermukim selama 1 tahun (1685-1686 M), untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda (Sembah LebeWarta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan.[4]

Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, dia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M). Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang di cari, dia tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas gunung kampung Cilumbu. Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi.[5]

Bila senja tiba, dia kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, sekitar 6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama Gunung Mujarod yang berarti gunung untuk menenangkan hati.

Pada suatu hari, Syeikh Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdo'a kepada Allah, semoga goa yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Disanalah dia yakin bahwa di dalam gunung itu adanya goa.

Sewaktu Syeikh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicaun burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syeikh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi. Goa yang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod. Sejak goa ditemukan Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, dia juga menempuh jalan tharekat.

Menurut pendapat yang masyhur sampainya Syeikh Abdul Muhyi ke derajat kewalian melalui Thoriqoh Mu’tabaroh Satariyah, yang silsilah keguruan atau kemursyidannya sampai kepada Rasulullah Saw. Berikut silsilahnya: Rasululah Saw, Ali Bin Abi Tholib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Zainal Abidin, Imam Muhammad Bakir, Imam Ja’far Shodiq, Sultan Arifin, Yazidiz Sulthon, Syeikh Muhammad Maghribi, Syeikh Arabi Yazidil Asyiq, Sayyid Muhammmad Arif, Syeikh Abdulah Satari, Syeikh Hidayatullah Syarmad, Syeikh Haji Hudori, Sayyid Muhammmad Ghoizi, Sayyid Wajhudin, Sayyid Sifatullah, Sayyidina Abdi Muwhib Abdulah Ahmad, Syeikh Ahmad Bin Muhammmad (Ahmad Qosos), Syeikh Abdul Rouf, Syeikh Haji Abdul Muhyi.

Sekian lama mendidik santrinya di dalam goa, maka tibalah saatnya untuk menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Di antaraputra dia adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim.

Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syeikh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah Safarwadi. Di sini dia membangun Masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya. Sedang para santri menyebar dengan tugasnya masing-masing yaitu menyebarkan agama Islam, seperti Sembah Khotib Muwahid yang makamnya di Panyalahan, Eyang Abdul Qohar bermukim di Pandawa sedang Sembah Dalem Sacaparana (Mertua Syeikh Abdul Muhyi) tetap di Bojong sampai akhir hayatnya yang kini makamnya terkenal dengan nama Bengkok.

Makam Syekh Abdul Muhyi; di sebelah utara Makam Kidul terdapat kompleks makam Syekh Abdul Muhyi. Kompleks ini merupakan objek ziarah utama di seluruh situs Pamijahan. Terletak ditebing sebelah utara Cipamijahan, makam ini seolah berada di atas bukit yang dikelilingi hamparan sawah yang subur. Di sekitar kompleks makam tumbuh pepohonan besar yang memberi kesan rindang dan teduh; suatu kondisi alamiah yang sangat mendukung fungsi kekeramatannya. Berbeda dengan kompleks makam lain, makam Syekh Abdul Muhyi mendapat perlakuan sangat khusus. Di samping bangunannya sangat megah dari konstruksi beton permanen juga tersedia berbagai fasilitas yang menunjang aktivitas ziarah seperti masjid, kolam dan sarana air bersih serta balai-balai yang dapat digunakan para peziarah melakukan zikir. Selain Syekh Abdul Muhyi, pada kompleks ini terdapat makam lain, yaitu Raden Subamanggala Wiradadaha IV, yang dikenal sebagai Dalem Pamijahan, yang ditempatkan di sebelah timur makam Syekh Abdul Muhyi ditandai oleh sebuah payung. Ia adalah anak sulung Raden Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III, salah seorang Bupati Sukapura selain itu juga terdapat Makam Sembah Khotib Muwahid, Sembah Kudrot, Sembah Dalem Yudanegara, dan Sembah Dalem Sacaparana.

Makam ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin. Masih banyak lagi santrinya yang tersebar hingga pelosok- pelosok kampung di sekitar Jawa Barat untuk menyebarkan agama Islam. Dalam menyebarkan agama Islam Syeikh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu dia melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya. Syeikh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdo'a, "Bismillaah hirroh maa nir roohiim, Asyhadu Allaa ilaaha illallaah, Wa asy hadu anna Muhammaddur Rasulullah."

Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan bertanya, "Apa do’a yang dibaca untuk memancing? Dia menjawab, "Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan do’a itu dan masuk Islam.

Disamping ahli dalam llmu agama Syeikh Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni baca AI Qur’an. Maka pada saat itu banyak para wali yang datang ke Pamijaian untuk berdialog masalah agama seperti waliyullah dari Banten Syeikh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Ageng Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunungjati juga Syeikh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan- Garut.[6]

Keterkaitan dengan Kerajaan Talaga Manggung sunting

Kerajaan Talaga Manggung yang dipimpin oleh Prabu Pucuk Umum atau Raden Rangga Mantri yang merupakan cicit Raja Pajajaran Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja.[7]

Sunan Wanaperih atau Arya Kikis menurutnya merupakan putra sulung dari Prabu Pucuk Umum dari Ratu Sunyalarang dan menjadi Raja di Kerajaan Talaga Manggung pada tahun 1553-1556 Masehi dan mendirikan pesantren tertua di Majalengka serta memindahkan Ibu kota Kerajaan Talaga, dari Sangiang ke Wanaperih yang termasuk wilayah Desa Kagok saat ini.

Setelah Ratu Sunyalarang meninggal dunia, Arya Kikis atau Sunan Wanaperih mendirikan pesantren dan mendatangkan guru mengaji Syekh Sayyid Faqih Ibrahim yang merupakan putra Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya yang makamnya berjarak 1 kilometer dari sini atau dikenal dengan Sunan Cipager.

Masa-masa pemerintahan Sunan Wanaperih diwarnai dengan perkembangan Islam yang pesat. Pada masa kepemimpinannya seluruh rakyat di Talaga Manggung telah menganut agama Islam dan agama Islam semakin berkembang karena Sunan Wanaperih berputra 6 orang yaitu Dalem Cageur, Dalem Kulanata, Apun Surawijaya, Ratu Radeya, Ratu Putri dan Dalem Wangsa Goparana, keturunannya turut menyebarkan Islam bahkan sampai ke luar wilayah Majalengka.

Ratu Radeya menikah dengan Arya Saringsingan, sedangkan Ratu Putri menikah dengan anak Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasik yaitu Syekh Sayyid Faqqih Ibrahim dan mereka menjadi penyebar Islam disamping putranya Dalem Wangsa Goparana yang pindah ke Sagala Herang dan keturunannya menjadi trah Bupati Cianjur seperti Bupati Wiratanudatar I (Dalem Cikundul) dan seterusnya.

Referensi sunting

  1. ^ "Riwayat Singkat Syekh Abdul Muhyi Pamijahan". Jabar.nu.or.id. Diakses tanggal 5 September 2022. 
  2. ^ "Kisah Waliyullah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Bermukim di Gua dan Mengislamkan Penduduk Desa". Muslim.okezone.com. Diakses tanggal 5 September 2022. 
  3. ^ "Biografi Syeikh Abdul Muhyi, Sejarah Goa Pamijahan Dan Larangannya". Mak-alitqon.sch.id. Diakses tanggal 5 September 2022. 
  4. ^ "Menelisik Pencarian Gua Pamijahan oleh Syeikh Abdul Muhyi di Tasikmalaya". Ayobandung.com. Diakses tanggal 5 September 2022. 
  5. ^ "Kisah Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan". Daerah.sindonews.com. Diakses tanggal 5 September 2022. 
  6. ^ "Cahaya di Masjidil Haram, Kisah Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan". Laduni.id. Diakses tanggal 5 September 2022. 
  7. ^ "Syekh Faqih Ibrahim, Wali Pendiri Pesantren Tertua di Majalengka". Timesindonesia.co.id. Diakses tanggal 5 September 2022. 

Bacaan lanjutan sunting

  • Muhammad Wildan Yahya (2007). Menyingkap tabir rahasia spiritual Syekh Abdul Muhyi (Wali Pamijahan): menapaki jejak para tokoh sufi Nusantara abad XVII-XVIII. Bandung: Refika Aditama. ISBN 9791073414.