Abubakar Lambogo
Kapten Andi Abubakar Lambogo (1913-13 Maret 1947) adalah seorang bangsawan Enrekang dan tokoh militer yang tewas ditembak dan kemudian dipenggal kepalanya oleh Belanda. Ia mendapatkan julukan Puang Bakkarang.[1]
Andi Abubakar Lambogo | |
---|---|
Lahir | 1913 |
Meninggal | 13 Maret 1947 Enrekang, Sulawesi, Indonesia | (umur 33–34)
Pengabdian | Indonesia |
Dinas/cabang | Tentara Republik Indonesia |
Lama dinas | 1945-1947 |
Pangkat | Kapten |
Kehidupan awal dan pendidikan
suntingAbubakar lahir pada tahun 1913 dengan nama asli Lambogo. Ia adalah keturunan bangsawan Massenrempulu. Ayahnya, Haji Lambogo Pettana Bali, adalah seorang pabbicara (juru bicara) di Massenrempulu dan ibunya bernama I Nambe.[1]
Abubakar bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1923. Selama bersekolah ia merasakan adanya ketidakadilan di mana terdapat pengelompokan kelas berdasarkan status dan keturunan orang tuanya. Melihat kondisi seperti itu, Abubakar berkeinginan untuk mengubahnya.[1]
Karier
suntingMasa Belanda dan Jepang
suntingPada masa pemerintahan kolonial Belanda, Abubakar bekerja sebagai guru di sekolah rakyat. Kemudian, ia berprofesi sebagai mantri polisi di Distrik Ranga pada masa pendudukan Jepang.[2]
Revolusi Nasional
suntingSeusai berita proklamasi kemerdekaan terdengar, Abubakar bergabung dengan sebuah laskar bersenjata bernama Pemuda Nasional Indonesia pada bulan September 1945 dan ia menjabat sebagai wakil ketua.[3] Selanjutnya, Abubakar menghadiri rapat pendirian laskar yang bernama Badan Pembentukan Rakyat Indonesia pada tanggal 27 September 1945 dan ia diangkat sebagai ketua laskar.[4]
Serangan masif Belanda dan sekutu di Enrekang membuat Abubakar mengadakan rapat di Kampung Garege yang bertujuan untuk memperkuat kekuatan perlawanan para pemuda. Dari hasil rapat ini, hadirin setuju untuk membentuk sebuah komando gabungan yang diketuai oleh Abubakar. Pada bulan Juni 1946, Abubakar ditunjuk menjadi komandan Badan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) di wilayah Enrekang karena latar belakang darah birunya dan sosoknya sebagai orang terpelajar.[4]
Pada tanggal 28 Januari 1947, Kepala staf Divisi TRI Hasanuddin Kolonel Saleh Lahade mengangkat Abubakar sebagai Komandan Batalyon 1 TRI di Enrekang dengan pangkat kapten.[5]
Kematian
suntingPada bulan Maret 1947, Abubakar mengawal M. Saleh Lahade dan Andi Odang menuju ke Palopo untuk meresmikan Resimen III Divisi Hasanuddin. Pada tanggal 12 Maret, rombongan Lahade bertemu dengan rombongan Andi Selle Mattola di Maiwa dan Selle mengajak Lahade ke Suppa yang merupakan markasnya Selle. Lahade menyetujui ajakan tersebut. Akan tetapi, Abubakar menolak ajakan Salle karena lagi sakit.[6]
Setelah menolak ajakan Selle, Abubakar beserta dengan pasukannya memutuskan untuk bermalam di Salu Wajo. Keesokan harinya, pada tanggal 13 Maret, pasukan KNIL melancarkan serangan mendadak ke Abubakar dan anak buahnya ketika sedang mandi. Sebelumnya, pasukan KNIL telah mengikuti pergerakan pasukan Abubakar. Pasukan Abubakar mengalami kekalahan dan banyak dari mereka ditawan. Abubakar sendiri tertembak di bagian paha.[6]
Seusai tertembak di paha, Abubakar dibawa ke markas KNIL di Enrekang dalam keadaan luka. Ia kemudian disiksa dan dibunuh dengan cara dipenggal.[7] Keesokan harinya, KNIL menjanjikan para pasukan Abubakar yang tertawan untuk mempertemukan mereka dengan sang komandan. Setibanya di Enrekang, para tawanan pasukan Batalyon I terkejut melihat kepala Abubakar yang telah terpenggal dan dipajang di atas sebilah bayonet. Kemudian, tawanan Batalyon I dipaksa untuk mencium kepala Abubakar yang telah terpenggal.[6] Kepala Abubakar dipancang di pasar selama dua hari satu malam untuk menyebarkan rasa takut kepada penduduk setempat.[8]
Abubakar dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Enrekang dengan tanggal di batu nisan yang tertulis tanggal 26 Juni 1947.[9]
Pada tanggal 30 Oktober 2020, pemerintah Belanda membayar ganti rugi atas kejahatan perang yang dilakukan oleh KNIL kepada Abubakar sebesar Rp15.000.000 kepada anaknya, Malik Abubakar.[2]
Kehidupan pribadi
suntingAbubakar menikah dan memiliki empat orang anak. Sepeninggalnya, tentara KNIL membakar rumah Abubakar . Hal ini membuat istrinya protes ke markas KNIL setempat mengenai kekejaman KNIL yang membuatnya ditahan di penjara selama beberapa hari.[8]
Penghargaan
suntingPada tahun 1958, Soekarno memberikan gelar pahlawan anumerta kepada Abubakar.[8] Nama Abubakar dijadikan nama jalan di Makassar dan nama alun-alun di Enrekang.[10][11]
Referensi
sunting- ^ a b c Jupri 2019, hlm. 9.
- ^ a b CNN Indonesia, CNN Indonesia. "Sosok Abubakar Lambogo, Pejuang Sulsel yang Dipenggal Belanda". cnnindonesia.com. CNN Indonesia. Diakses tanggal 3 Agustus 2024.
- ^ Jupri 2019, hlm. 10.
- ^ a b Jupri 2019, hlm. 11.
- ^ Jupri 2019, hlm. 12.
- ^ a b c Jo, Hendi. "Aksi Brutal KNIL di Enrekang". historia.id. Historia. Diakses tanggal 3 Agustus 2024.
- ^ Jupri 2019, hlm. 13.
- ^ a b c van Pagee, Marjolein. "Malik Menuntut Permohonan – NRC". historibersama.com. Histori Bersama. Diakses tanggal 3 Agustus 2024.
- ^ Jupri 2019, hlm. 24.
- ^ Jupri 2019, hlm. 3.
- ^ Jupri 2019, hlm. 4.
Bibliografi
sunting- Bulan, Cahaya Daeng (2022). Lintasan Sejarah Indonesia di Enrekang. @cahayabulancreative.
- Jupri, Jupri (2019). ABU BAKAR LAMBOGO DALAM GERAKAN PERJUANGAN RAKYAT ENREKANG (1945-1947) (Tesis). Universitas Indonesia.