Aksi Polisionil

dua serangan militer besar yang dilakukan oleh Belanda di Jawa dan Sumatra
(Dialihkan dari Agresi Militer Belanda)

Aksi Polisionil (bahasa Belanda: Politionele acties, juga politiële acties)[1] adalah dua serangan militer besar yang dilakukan Belanda di Jawa dan Sumatra terhadap Republik Indonesia selama perjuangan kemerdekaannya dalam Revolusi Nasional Indonesia.[2][3] Di Indonesia, kedua peristiwa ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda, meskipun terjemahan yang lebih umum adalah Aksi Polisionil.

Dalam historiografi dan wacana Belanda, seluruh Perang Kemerdekaan Indonesia untuk waktu yang lama secara halus disebut sebagai 'aksi-aksi polisionil', seperti yang diciptakan oleh pemerintah pada waktu itu. Di Belanda, kesan yang berkembang adalah bahwa hanya ada dua aksi polisionil yang terpisah dan berlangsung singkat, yang dimaksudkan untuk memulihkan kekuasaan Belanda atas wilayah jajahan yang memberontak. Perspektif ini mengabaikan fakta bahwa antara kedatangan pasukan Belanda pada bulan Maret 1946 dan penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1949, telah terjadi pendudukan militer berskala besar dan pemberontakan yang melibatkan 120.000 wajib militer.[4]

Latar belakang

sunting

Setelah Perang Dunia II berakhir pemerintah Belanda berselisih pendapat dengan pemerintah Indonesia yang waktu itu akan dibentuk setelah Jepang menyerah dan menduduki seluruh pulau Indonesia kecuali Jawa dan Sumatra. Di pulau-pulau tersebut saling terjadi pertempuran antara pasukan-pasukan Belanda dan Republik dan juga di pulau-pulau lain. Selain dari itu Belanda menuduh Indonesia kurang melindungi orang Indo-Eropa karena ribuan di antaranya dibunuh, sebagian dengan cara digorok. Dari mereka yang terbunuh, 5.000 orang dapat diindentifikasi dan lebih dari 20.000 orang sandera hilang.

(Sesudah pejabat-pejabat wibawa Belanda berangsur-angsur kembali ketegangan antara orang pribumi dan nonpribumi bertambah. Penduduk keturunan Tionghoa juga menjadi korban. Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengakhiri kurun waktu ini, yang berlangsung dari Oktober 1945 sampai Maret 1946. Topik ini, di Belanda disebut Periode Bersiap, masih saja pantang baik di Belanda maupun di Indonesia.)

Akhirnya ada gencatan senjata dan rundingan untuk akur politik, disebut Perundingan Linggajati.

Agresi Militer Belanda I (Operasi Produk)

sunting

Operasi Produk berlangsung antara 21 Juli dan 5 Agustus 1947.[5] Belanda sangat mengurangi dan memecah-belah wilayah yang dikuasai Indonesia, dengan fokus utama pada ladang minyak dan perkebunan karet di Sumatra, serta perkebunan gula dan infrastruktur ekonomi di Jawa.[6] Serangan ini tidak termasuk serangan terhadap Kota Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik Indonesia di masa perang, karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk pertempuran kota.

Aksi-aksi Mariniersbrigade di Jawa dibagi lagi menjadi pendaratan amfibi di Pasir Putih, Jawa Timur (Produk Utara), operasi amfibi di Teluk Meneng (Produk Timur), dan serangan ke arah selatan yang dilancarkan dari Porong (Produk Selatan).[7]

Agresi Militer Belanda II (Operasi Gagak)

sunting
artikel utama: Agresi Militer Belanda II

Operasi Kraai (Operasi Gagak) berlangsung antara 19 Desember 1948 dan 5 Januari 1949.[8] Operasi ini mengakibatkan Belanda berhasil merebut Yogyakarta, menangkap sebagian besar pemimpin Indonesia, dan mengasingkan sisa-sisa pemerintahan Republik ke Sumatra.[9]

Aksi-aksi Mariniersbrigade di Jawa Timur selama serangan ini disebut sebagai Operasi Zeemeeuw (Operasi Camar).[10]

Operasi lainnya

sunting

Yang kalah besar dibandingkan dengan skala dan ketenaran Produk dan Kraai, operasi ofensif Belanda lainnya dalam Revolusi Indonesia meliputi:[11][12]

Peristiwa-Peristiwa

sunting

Zuid-Celebes-Affaire (Peristiwa Sulawesi)

sunting

Peristiwa Westerling yang terjadi sebelum aksi polisionil pertama. Di Sulawesi perlawanan terhadap Belanda keras sekali. Kapten Raymond Westerling (1919-1987), kepala DST (Depot Speciale Troepen), bertindak kejam. DST (Korps Pasukan Khusus) adalah pasukan yang berwenang beroperasi tanpa menunggu perintah KNIL. Menurut noodrecht (hak darurat) di beberapa desa banyak orang pribumi sipil dihukum mati. Juga orang-orang yang tertangkap dihukum mati tanpa proses hukum. Kadang-kadang ada penganiayaan.

Sewaktu kejadian ini terkenal, hak kewenangan khusus pasukan itu diambil. Pada April 1947 komisi Enthoven menyelidiki hal ini. Laporan ini dikirim parlemen Belanda akhir 1948, bersifat pribadi. Awal 1949 surat-surat dari tentara-tentara Belanda dibacakan di parlemen, yang juga dicatat koran-koran Belanda. Penulisnya, sekalipun demikian sering tidak melawan kehadiran militer di Indonesia, tetap melaporkan kejahatan-kejahatan perang. Pemerintah mempertimbangkan mengutus Pangeran Bernhard (suami Ratu Juliana), Pemeriksa Angkatan Darat, ke Indonesia, akan tetapi ini dianggap tidak baik untuk proses perdamaian.

Peristiwa ini sempat menimbulkan ketegangan lagi di Belanda, sewaktu ahli jiwa dr. J.E. Hueting, bekas veteran Hindia, pada 1969 menceritakan tindakan Belanda melalui TV. Penyelidikan berikut, dikepalai Cees Fasseur, menghasilkan Excessennota nota yang melaporkan 3144 korban dibunuh oleh tentara, 136 oleh polisi dan 576 oleh polisi kampung.

Jumlah ini diragukan. Indonesia melaporkan 40.000 korban. Masih saja ada jalan-jalan di Sulawesi disebut "Jalan 40.000". Memang, 42 tentara Belanda dihukum karena ini, akan tetapi tidak pernah perwira-perwira.

Nanti, DST dikerahkan upaya mendirikan RMS (Republik Maluku Selatan).

Bondowoso Dan Pakisadji

sunting

Peristiwa Bondowoso, pada tahun 1947, adalah peristiwa dimana kereta api yang mengangkut 47 tawanan orang Indonesia meninggal dunia karena kelaparan, tanpa makanan dan minuman. Beberapa tentara Belanda dihukum dua sampai delapan bulan penjara.

Kira-kira pada waktu yang sama, tentara Belanda membakar kampung Pakisadji karena pejuang-pejuang kemerdekaan menaruh ranjau-ranjau di sekitarnya. Tiga tentara Belanda menolak karena alasan etik dan dihukum dua tahun sampai dua tahun enam bulan penjara.

Pers melaporkan hal ini yang menimbulkan kemarahan masyarakat Belanda karena tentara-tentara yang berkelakuan baik dihukum lebih keras.

Sepertiga tentara Belanda wajib militer menolak berjuang menaklukkan Indonesia. Separohnya yang menolak dipaksa ke Indonesia. Bagian lain dihukum atau melarikan diri. Jumlah tentara yang membelot ke pihak pejuang-pejuang kemerdekaan 23. Mereka dibunuh atau dihukum keras oleh Belanda. Satu-satunya yang baru sempat lolos adalah Poncke Princen, akan tetapi istrinya (pribumi) dibunuh oleh tentara Belanda sewaktu aksi itu. Poncke Princen meninggal dunia tahun 2002 sebagai WNI.

Segera sesudah pernyataan kemedekaan Indonesia semboyan pemerintah Belanda Indië verloren, rampspoed geboren artinya kehilangan Hindia kelahiran malapetaka. Kebalikan benar, sesudah pengakuan kemerdekaan Indonesia pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda mengarah ke industri Eropa. Akibat, minoritas yang kaya karena Hindia kurang kaya, mayoritas rakyat Belanda berangsur-angsur mengalami kemakmuran sejak waktu itu. Sebelumnya keadaan sebagian besar rakyat Belanda buruk sampai buruk sekali, sudah sebelum perang dunia kedua.

Akhirnya lebih dari 400.000 orang Indo-Eropa (warga campuran Eropa dan Indonesia serta keturunan mereka) dan 10.000 orang Maluku tunawarga (bekas tentara KNIL dan keluarganya) pindah atau diungsikan ke Belanda.

Sebagian besar penduduk Belanda mengakui kesalahan Belanda[butuh rujukan], terutama yang lahir sesudah kemerdekaan Indonesia. Untunglah pemerintah Belanda secara resmi menyesali kejadian-kejadian sewaktu aksi-aksi polisionil dan akhirnya (2005) mengakui 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia, akan tetapi belum minta maaf (2006). Alasan, pemerintah Belanda dengan memperhatikan hati sanubari veteran Belanda dan masyarakat Maluku di Belanda.

Hingga kini pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia masih mencari jalan keluar atas aksi polisionil atau dikenal sebagai agresi militer ini

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "CD-ROM version". Encarta Encyclopedie Winkler Prins (dalam bahasa Belanda). Microsoft Corporation/Het Spectrum. 1993–2002. 
  2. ^ Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 99. ISBN 0521542626. 
  3. ^ Ricklefs, Merle Calvin (1991). A history of modern Indonesia since c. 1300 (edisi ke-2). Basingstoke; Stanford, California: Palgrave; Stanford University Press. hlm. 225. ISBN 033357690X. 
  4. ^ Vanheste, Tomas (15 July 2021). "Hoe David Van Reybrouck een poffertje proeft en het Nederlandse zelfbeeld corrigeert". de-lage-landen.com (dalam bahasa Belanda). De lage landen. Diakses tanggal 13 June 2023. 
  5. ^ Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 99. ISBN 0521542626. 
  6. ^ Kahin, George McTurnan; Kahin, Audrey (2003). Southeast Asia: A Testament. London: Routledge Curzon. ISBN 0415299756. 
  7. ^ Hornman, W.J.M. (1995). De Mariniersbrigade: De Geschiedenis (dalam bahasa Belanda). Hoevelaken: Verba. ISBN 9055131687. 
  8. ^ "Operatie Kraai" (dalam bahasa Belanda). Network of War Collections. Diakses tanggal 3 June 2022. 
  9. ^ Kahin, George McTurnan; Kahin, Audrey (2003). Southeast Asia: A Testament. London: Routledge Curzon. ISBN 0415299756. 
  10. ^ Hornman, W.J.M. (1995). De Mariniersbrigade: De Geschiedenis (dalam bahasa Belanda). Hoevelaken: Verba. ISBN 9055131687. 
  11. ^ Hornman, W.J.M. (1995). De Mariniersbrigade: De Geschiedenis (dalam bahasa Belanda). Hoevelaken: Verba. ISBN 9055131687. 
  12. ^ "Strijd in Nederlands-Indie (1945 tot 1950, algemeen)". nederlandsekrijgsmacht.nl (dalam bahasa Belanda). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-01. Diakses tanggal 3 June 2022.