Aksara Makassar Kuno

jenis aksara untuk menuliskan sebuah bahasa

Aksara Makassar (alias Ukiri' Jangang-jangang dalam bahasa Makassar) adalah salah satu aksara historis Indonesia yang pernah digunakan di Sulawesi Selatan untuk penulisan bahasa Makassar antar abad 17 M hingga abad 19 M ketika fungsinya tergantikan oleh aksara Lontara Bugis.[1][2]

Jangang-jangang
𑻪𑻢𑻪𑻢
Jenis aksara
BahasaBahasa Makassar
Periode
abad 17 hingga abad 19
Arah penulisanKiri ke kanan
Aksara terkait
Silsilah
Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
Aksara kerabat
Bali
Batak
Baybayin
Bugis
Incung
Jawa
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924Maka, 366 Sunting ini di Wikidata, ​Makasar
Pengkodean Unicode
U+11EE0–U+11EFF
 Artikel ini mengandung transkripsi fonetik dalam Alfabet Fonetik Internasional (IPA). Untuk bantuan dalam membaca simbol IPA, lihat Bantuan:IPA. Untuk penjelasan perbedaan [ ], / / dan  , Lihat IPA § Tanda kurung dan delimitasi transkripsi.

Aksara Makassar adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 18 aksara dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan tanda baca yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Makassar, sehingga teks Makassar secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.

Sejarah

sunting

Para ahli umumnya meyakini bahwa aksara Makassar telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh Islam yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahwa aksara Makassar menggunakan dasar sistem abugida Indik ketimbang huruf Arab yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.[3] Aksara ini berakar pada aksara Brahmi dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.[4][5][6] Kesamaan grafis aksara-aksara Sumatera Selatan seperti aksara Rejang dengan aksara Makassar membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua aksara tersebut.[7] Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahwa aksara Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang secara pararel dari purwarupa aksara Gujarat, India.[8]

Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Makassar, Lontara, Arab, dan Latin. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Makassar yang sering ditemukan bercampur dengan Arab Melayu.[9] Aksara Makassar pada awalnya diduga sebagai nenek moyang aksara aksara Lontara, namun keduanya kini dianggap sebagai cabang terpisah dari suatu purwarupa kuno yang tidak lagi tersisa.[10]

Beberapa penulis kadang menyebut Daeng Pamatte', syahbandar Kerajaan Gowa di awal abad 16 M, sebagai pencipta aksara Makassar berdasarkan kutipan dalam naskah Sejarah Gowa yang berbunyi Daeng Pamatte' ampareki lontara' Mangkasaraka, diterjemahkan sebagai "Daeng Pamatte' inilah yang menciptakan lontara Makassar" dalam terjemahan G.J. Wolhoff dan Abdurrahim yang terbit pada tahun 1959. Namun pendapat ini ditolak oleh sebagian besar sejarawan dan ahli bahasa kini, yang mengemukakan bahwa istilah ampareki dalam konteks tersebut lebih tepat diterjemahkan sebagai "menyusun" dalam artian penyusunan perpustakaan atau penyempurnaan pencatatan sejarah dan sistem menulis alih-alih penciptaan aksara dari nihil.[11][12][13][14]

Tulisan beraksara Makassar tertua yang masih bertahan hingga saat ini adalah tanda tangan para delegasi Kerajaan Gowa dalam Perjanjian Bungaya dari tahun 1667 yang kini disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Sementara itu, salah satu naskah beraksara Makassar paling awal dengan panjang signifikan yang masih bertahan adalah kronik Gowa-Tallo dari pertengahan abad 18 M yang disimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT), Amsterdam (no. koleksi KIT 668/216).[15]

Dalam perkembangannya, penggunaan aksara Makassar berangsur-angsur tergantikan dengan aksara Lontara Bugis yang bagi penulis Makassar kadang dirujuk sebagai "lontara baru". Pergantian ini kemungkinan dipengaruhi oleh surutnya prestise Kerajaan Gowa bersamaan dengan meningkatnya kekuatan Bugis. Seiring menurunnya pengaruh Gowa, para juru tulis Makassar tidak lagi menggunakan aksara Makassar dalam pencatatan sejarah resmi atau dokumen sehari-hari, meski kadang masih digunakan untuk konteks-konteks tertentu sebagai upaya untuk membedakan identitas budaya Makassar dari pengaruh Bugis. Naskah beraksara Makassar paling baru yang sejauh ini diketahui adalah catatan harian seorang tumailalang (perdana menteri) Gowa dari abad 19 M yang bentuk aksaranya telah menerima pengaruh signifikan dari aksara Lontara Bugis.[16] Hingga penghujung abad 19 M, penggunaan aksara Makassar telah tergantikan sepenuhnya dengan Lontara Bugis dan kini tidak ada lagi pembaca asli aksara Makassar.[1]

Penggunaan

sunting
Penggunaan Aksara Makassar

Sebagaimana aksara Lontara yang juga digunakan di lingkup budaya Sulawesi Selatan yang sama, aksara Makassar digunakan dalam sejumlah tradisi teks berkaitan yang sebagian besarnya ditulis dalam manuskrip atau naskah kertas. Istilah lontara (kadang dieja lontaraq atau lontara' untuk menandakan bunyi hentian glotal di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Genre ini bisa dibagi ke dalam beberapa sub-jenis: silsilah (lontara' pangngoriseng), catatan harian (lontara' bilang), dan catatan sejarah atau kronik (patturioloang). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.[17] Dibandingkan dengan catatan-catatan "sejarah" dari bagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastra Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara elemen legendaris relatif sedikit muncul atau disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan realistis.[18][19] Meskipun begitu, catatan sejarah seperti patturiolong Makassar tidak terlepas dari fungsi politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu.[20] Salah satu patturiolong beraksara Makassar yang telah diteliti oleh para ahli ialah Kronik Gowa yang menguraikan riwayat raja-raja Gowa sejak berdirinya Kerajaan Gowa hingga masa pemerintahan Sultan Hasanuddin pada abad 17 M.

Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastra Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Indonesia lainnya.[21] Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (arung), atau perdana menteri (tumailalang). Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, namun apabila satu hari memiliki banyak catatan maka seringkali baris aksara berbelok dan berputar-putar untuk menempati segala ruang kosong yang masih tersisa dalam halaman karena satu tanggal hanya diperbolehkan untuk memuat satu baris tak terputus.[21]

Kerancuan

sunting

Aksara Makassar tidak memiliki diakritik untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata mati meskipun bahasa Makassar memiliki banyak kata dengan suku kata mati. Tulisan baba 𑻤𑻤 dalam aksara Makassar dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: baba, baba', ba'ba, ba'ba', bamba, dan bambang.[22] Mengingat bahwa penulisan aksara Makassar juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang konsisten, naskah beraksara Makassar kerap memiliki banyak kerancuan kata yang seringkali hanya dapat dibedakan melalui konteks. Pembaca teks Makassar memerlukan pemahaman awal yang memadai mengenai bahasa dan isi naskah yang bersangkutan untuk dapat membaca teksnya dengan lancar.[23][24] Kerancuan ini dapat dianalogikan dengan penggunaan huruf Arab gundul; pembaca yang bahasa ibunya memakai huruf Arab secara intuitif paham akan vokal mana yang pantas digunakan dalam konteks kalimat yang bersangkutan, sehingga penanda vokal tidak diperlukan dalam teks standar sehari-hari.

Namun begitu, kadang konteks sekalipun tidak memadai untuk mengungkap cara baca kalimat yang rujukannya tidak diketahui oleh pembaca. Sebagai ilustrasi, Cummings dan Jukes memberikan contoh berikut untuk mengilustrasikan bagaimana penulisan aksara Makassar dapat menghasilkan arti yang berbeda tergantung dari cara pembaca memenggal dan mengisi bagian yang rancu:

Aksara Makassar Kemungkinan Cara Baca
Latin Arti
𑻱𑻤𑻵𑻦𑻱𑻳[25] a'bétai ia menang (intransitif)
ambétai ia mengalahkan ... (transitif)
𑻨𑻠𑻭𑻵𑻱𑻳𑻣𑻵𑻣𑻵𑻤𑻮𑻧𑻦𑻶𑻠[26] nakanréi pépé' balla' datoka api melahap sebuah klenteng
nakanréi pépé' balanda tokka' api melahap sang Belanda botak

Tanpa mengetahui maksud atau kejadian nyata yang mungkin dirujuk oleh penulis, maka pembacaan yang "benar" dari kalimat di atas tidak mungkin ditentukan sendiri oleh pembaca umum. Pembaca paling mahir sekalipun kerap perlu berhenti sejenak untuk mengintepretasikan apa yang ia baca.[22]

Bentuk

sunting

Aksara dasar

sunting

Aksara dasar (𑻱𑻭𑻶𑻮𑻶𑻦𑻭 anrong lontara’ ) dalam aksara Makassar merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 18 aksara dasar dalam aksara Makassar, sebagaimana berikut:[2]

Anrong Lontara’
ka ga nga pa ba ma ta da na
                 
𑻠 𑻡 𑻢 𑻣 𑻤 𑻥 𑻦 𑻧 𑻨
ca ja nya ya ra la wa sa a
                 
𑻩 𑻪 𑻫 𑻬 𑻭 𑻮 𑻯 𑻰 𑻱

Perlu diperhatikan bahwa aksara Makassar tidak pernah mengalami proses standardisasi sebagaimana aksara Lontara Bugis di kemudian harinya, sehingga terdapat banyak variasi penulisan yang dapat ditemukan dalam naskah-naskah Makassar.[27] Bentuk pada tabel di atas disadur dari aksara yang digunakan dalam buku harian Pangeran Gowa koleksi Tropenmuseum, no koleksi KIT 668-216.

Diakritik

sunting

Diakritik (𑻱𑻨𑻮𑻶𑻦𑻭 ana’ lontara’) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan. Terdapat 4 diakritik dalam aksara Makassar, sebagaimana berikut:[2]

Ana’ Lontara’
-i -u -e[1] -o
       
Nama ana' i rate ana' i rawa ana' ri olo ana' ri boko
na ni nu ne no
         
𑻨 𑻨𑻳 𑻨𑻴 𑻨𑻵 𑻨𑻶
Catatan

1. ^/e/ sebagaimana e dalam kata "enak"

Tanda baca

sunting

Teks historis Makassar ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan tidak banyak menggunakan tanda baca. Aksara Makassar diketahui hanya memiliki dua tanda baca asli: passimbang dan tanda pengakhir bagian. Passimbang berfungsi seperti titik atau koma dalam huruf Latin dengan membagi teks ke dalam penggalan yang mirip (namun tidak sama) dengan bait atau kalimat, sementara tanda pengakhir bagian digunakan untuk membelah teks ke dalam satuan yang menyerupai bab.[2]

Tanda Baca
passimbang akhir bagian
   
𑻷 𑻸

Pada naskah tertentu, tanda pengakhir bagian digantikan dengan tanda baca yang menyerupai pohon palem (🌴), dan untuk akhir bagian yang lebih besar umum digunakan stilisasi kata tammat yang menggunakan huruf Arab (تمت).[2]

Pengulangan suku kata

sunting

Suku kata berunut dengan konsonan awal yang sama seringkali ditulis dalam bentuk singkatan menggunakan diakritik ganda atau tanda pengulang angka yang kemudian dapat dilekatkan lagi dengan diakritik. Penggunaannya dapat dilihat sebagaimana berikut:[2]

Diakritik ganda
dudu
tanpa diakritik ganda  
𑻧𑻴𑻧𑻴
dengan diakritik ganda  
𑻧𑻴𑻴
Tanda Angka
dada dadu duda
tanpa tanda angka      
𑻧𑻧 𑻧𑻧𑻴 𑻧𑻴𑻧
dengan tanda angka      
𑻧𑻲 𑻧𑻲𑻴 𑻧𑻴𑻲

Contoh teks

sunting

Berikut ini adalah kutipan dari Sejarah Gowa yang mengisahkan jalannya sebuah pertempuran antara Gowa dan Tallo yang berujung pada persekutuan keduanya semasa pemerintahan Karaeng Gowa Tumapa'risi' Kallonna dan Karaeng Tallo Tunipasuru'.[a][14]

𑻱𑻳𑻬𑻦𑻶𑻥𑻳𑻱𑻨𑻵𑻷𑻥𑻡𑻱𑻴𑻷𑻨𑻨𑻳𑻮𑻳𑻣𑻴𑻢𑻳𑻷𑻨𑻳𑻤𑻴𑻧𑻴𑻷𑻭𑻳𑻦𑻴𑻦𑻮𑻶𑻠𑻷𑻭𑻳𑻦𑻴𑻥𑻭𑻴𑻰𑻴𑻠𑻷𑻭𑻳𑻦𑻴𑻣𑻶𑻮𑻶𑻤𑻠𑻵𑻢𑻷
ia–tommi anne. ma'gau'. na nilipungi. nibundu'. ri tu Talloka. ri tu Marusuka. ri tu Polombangkenga.
Pada masa pemerintahannya [Tumapa'risi' Kallonna] ia juga dikepung dan diserang oleh orang-orang Tallo, oleh orang-orang Maros, [dan] oleh orang-orang Polombangkeng.
𑻠𑻭𑻱𑻵𑻢𑻷𑻭𑻳𑻦𑻮𑻶𑻷𑻨𑻱𑻡𑻱𑻢𑻷𑻰𑻳𑻯𑻵𑻷𑻦𑻴𑻨𑻳𑻣𑻱𑻰𑻴𑻭𑻴𑻷
Karaenga. ri Tallo'. naagaanga. siewa. Tunipasuru'.
Karaeng Tallo yang berlawanan dengannya ialah Tunipasuru'.
𑻱𑻭𑻵𑻠𑻮𑻵𑻨𑻷𑻱𑻳𑻬𑻠𑻴𑻥𑻤𑻰𑻴𑻷𑻨𑻳𑻠𑻨𑻷𑻱𑻳𑻥𑻢𑻬𑻶𑻯𑻤𑻵𑻭𑻷
areng kalenna. iang kumabassung. nikana. I Mangayoaberang.
Nama pribadinya, semoga saya tidak kualat [karena lancang menyebutkannya], adalah I Mangayoaberang.
𑻥𑻡𑻯𑻴𑻠𑻷𑻭𑻳𑻥𑻭𑻴𑻰𑻴𑻷𑻨𑻳𑻠𑻨𑻷𑻣𑻦𑻨𑻮𑻠𑻨
ma'gauka. ri Marusu'. nikana. Patanna Langkana.
[Sementara, penguasa] yang memerintah di Maros [kala itu] disebut Patanna Langkana.
𑻱𑻭𑻵𑻥𑻦𑻵𑻨𑻷𑻨𑻳𑻠𑻨𑻷𑻦𑻴𑻥𑻥𑻵𑻨𑻭𑻳𑻤𑻴𑻮𑻴𑻧𑻴𑻯𑻬𑻷
areng matena. nikana. Tumamenang ri Bulu'duaya.
Gelar anumertanya adalah Tumamenang ri Bulu'duaya.
𑻱𑻭𑻵𑻠𑻮𑻵𑻨𑻱𑻳𑻬𑻠𑻴𑻥𑻤𑻰𑻴𑻷𑻱𑻳𑻥𑻣𑻰𑻶𑻤𑻷
areng kalenna iang kumabassung. I Mappasomba.
Nama pribadinya, semoga saya tidak kualat, adalah I Mappasomba.
𑻱𑻭𑻵𑻣𑻥𑻨𑻨𑻷𑻨𑻳𑻠𑻨𑻷𑻱𑻳𑻧𑻱𑻵𑻢𑻴𑻭𑻡𑻷
areng pamana'na. nikana. I Daeng Nguraga.
Nama halusnya, adalah I Daeng Nguraga.
𑻦𑻴𑻥𑻡𑻱𑻴𑻠𑻷𑻭𑻳𑻤𑻪𑻵𑻷𑻱𑻨𑻨𑻷𑻠𑻭𑻱𑻵𑻮𑻶𑻯𑻵𑻷𑻨𑻳𑻠𑻨𑻬𑻧𑻱𑻵𑻨𑻱𑻳𑻣𑻰𑻱𑻳𑻭𑻳𑻷𑻠𑻠𑻨𑻱𑻳𑻧𑻱𑻵𑻥𑻰𑻭𑻶𑻷
Tuma'gauka. ri Bajeng. ana'na. Karaeng Loe. nikanaya Daenna I Pasairi. kakanna I Daeng Masarro.
Ia yang memerintah di Bajeng [Polombangkeng] merupakan anaknya Karaeng Loe yang disebut Daenna I Pasairi, kakaknya I Daeng Masarro.
𑻱𑻳𑻬𑻥𑻳𑻨𑻵𑻷𑻰𑻭𑻳𑻤𑻱𑻦𑻷𑻦𑻴𑻥𑻡𑻱𑻴𑻠𑻷𑻭𑻳𑻰𑻭𑻤𑻶𑻨𑻵𑻷𑻭𑻳𑻮𑻵𑻠𑻵𑻰𑻵𑻷𑻭𑻳𑻠𑻦𑻳𑻢𑻷𑻭𑻳𑻪𑻥𑻭𑻷𑻭𑻳𑻪𑻳𑻣𑻷𑻭𑻳𑻥𑻧𑻮𑻵𑻷
iaminne. sari'battang. Tuma'gauka. ri Sanrabone. ri Lengkese'. ri Katingang. ri Jamarang. ri Jipang. ri Mandalle'.
[I Pasairi] ini bersaudara dengan mereka yang berkuasa di Sanrabone, di Lengkese', di Katingang, di Jamarang, di Jipang, [dan] di Mandalle'.[b]
𑻦𑻴𑻪𑻴𑻱𑻳𑻰𑻳𑻰𑻭𑻳𑻤𑻦𑻷𑻥𑻮𑻮𑻰𑻳𑻣𑻴𑻯𑻵𑻢𑻱𑻰𑻵𑻷𑻷
tujui sisari'battang. ma'la'lang sipue–ngaseng.
Bertujuh mereka kakak-beradik, seluruhnya berpayung setengah [=memerintah].[c]
𑻱𑻳𑻬𑻥𑻳𑻨𑻵𑻠𑻭𑻱𑻵𑻷𑻨𑻳𑻮𑻳𑻣𑻴𑻢𑻳𑻷𑻭𑻳𑻡𑻱𑻴𑻠𑻦𑻮𑻴𑻯𑻷
iaminne Karaeng. nilipungi. ri Gaukang Tallua.
Karaeng ini [Tumapa'risi' Kallonna] disokong oleh Tiga Gaukang.[d]
𑻠𑻭𑻱𑻵𑻢𑻭𑻳𑻮𑻠𑻳𑻬𑻴𑻷𑻱𑻢𑻡𑻢𑻳𑻷𑻡𑻴𑻭𑻴𑻧𑻬𑻷𑻦𑻴𑻥𑻢𑻰𑻬𑻷𑻦𑻴𑻦𑻶𑻤𑻶𑻮𑻶𑻠𑻷𑻦𑻴𑻰𑻱𑻶𑻥𑻦𑻬𑻷
Karaenga ri Lakiung. angngagangi. Gurudaya. tu Mangngasaya. tu Tomboloka. tu Saomataya.
Kareng Lakiung menyertai Gurudaya, [bersama dengan] orang-orang Mangngasa, Tombolo' dan Saomata,
𑻱𑻪𑻶𑻭𑻵𑻢𑻳𑻷𑻠𑻮𑻵𑻨𑻷𑻱𑻳𑻥𑻥𑻠𑻰𑻳𑻷𑻤𑻭𑻶𑻤𑻶𑻰𑻶𑻷𑻨𑻣𑻥𑻵𑻦𑻵𑻢𑻳𑻷
anjorengi. kalenna. imamakasi. Baro'boso'. napammenténgi.
di sana mereka berkubu, di Baro'boso', bersiap siaga,
𑻱𑻳𑻬𑻥𑻳𑻨𑻱𑻡𑻱𑻷𑻰𑻳𑻦𑻴𑻪𑻴𑻷𑻦𑻶𑻣𑻶𑻮𑻶𑻤𑻱𑻠𑻵𑻢𑻷
iami naagaang. situju. tu Polombangkenga.
mereka telah bersatu [untuk] menghadapi orang-orang Polombangkeng.

Perbandingan dengan aksara Lontara

sunting

Dalam perkembangannya, penggunaan aksara Makassar berangsur-angsur tergantikan dengan aksara Lontara Bugis yang bagi penulis Makassar kadang dirujuk sebagai "lontara baru". Kedua aksara yang berkerabat dekat ini memiliki aturan tulis yang hampir identik, meski secara rupa terlihat cukup berbeda. Perbandingan kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:[28]

Aksara Dasar
ka ga nga ngka pa ba ma mpa ta da na nra
Makassar                  
𑻠 𑻡 𑻢 𑻣 𑻤 𑻥 𑻦 𑻧 𑻨
Bugis                        
ca ja nya nca ya ra la wa sa a ha
Makassar                  
𑻩 𑻪 𑻫 𑻬 𑻭 𑻮 𑻯 𑻰 𑻱
Bugis                      
Diakritik
-a -i -u [1] -o -e[2]
         
na ni nu no ne
Makassar          
𑻨 𑻨𑻳 𑻨𑻴 𑻨𑻵 𑻨𑻶
Bugis            
ᨊᨗ ᨊᨘ ᨊᨙ ᨊᨚ ᨊᨛ
Catatan

1. ^/e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
2. ^/ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"

Tanda Baca
Makassar passimbang akhir bagian
   
𑻷 𑻸
Bugis pallawa akhir bagian
   

Unicode

sunting

Aksara Makassar telah ditambahkan ke dalam Unicode Standard pada bulan Juni 2018 dengan versi rilis 11.0.[29]

Blok Unicode untuk aksara Makassar adalah U+11EE0–U+11EFF dan mengandung 25 karakter:

Makasar[1][2]
Official Unicode Consortium code chart (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+11EEx 𑻠 𑻡 𑻢 𑻣 𑻤 𑻥 𑻦 𑻧 𑻨 𑻩 𑻪 𑻫 𑻬 𑻭 𑻮 𑻯
U+11EFx 𑻰 𑻱 𑻲 𑻳 𑻴 𑻵 𑻶 𑻷 𑻸
Catatan
1.^Per Unicode versi 13.0
2.^Abu-abu berarti titik kode kosong

Catatan

sunting
  1. ^ Ejaan aksara Makassar dari sumber dipertahankan di sini, walaupun warna tulisan telah disamakan menjadi hitam semua. Alih aksara dan terjemahan bebas diadaptasi dari Jukes (2019), dengan beberapa tambahan keterangan dari terjemahan versi sejarawan William Cummings (2007).
  2. ^ Negeri-negeri yang disebut di baris ini, beserta Bajeng yang disebutkan sebelumnya, merupakan ketujuh negeri yang membentuk konfederasi Polombangkeng.[13]
  3. ^ La'lang sipue atau "payung setengah" merupakan semacam payung berbahan dedaunan lontar yang digunakan saat pelantikan penguasa.[14]
  4. ^ "Tiga Gaukang" merujuk pada panji-panji kebesaran Gowa yang disebut Gurudaya, Sulengkaya, dan Cakkuridia.[14]

Rujukan

sunting
  1. ^ a b Jukes 2019, hlm. 49.
  2. ^ a b c d e f Pandey, Anshuman (02-11-2015). "Proposal for encoding the Makassar script in Unicode" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (L2/15-233). 
  3. ^ Macknight 2016, hlm. 55.
  4. ^ Macknight 2016, hlm. 57.
  5. ^ Tol 1996, hlm. 214.
  6. ^ Jukes 2014, hlm. 2.
  7. ^ Noorduyn 1993, hlm. 567–568.
  8. ^ Miller, Christopher (2010). "A Gujarati origin for scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines". Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society. 36 (1). 
  9. ^ Tol 1996, hlm. 213–214.
  10. ^ Jukes 2019, hlm. 46.
  11. ^ Jukes 2019, hlm. 47.
  12. ^ Ahmad M. Sewang (2005). Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 37-38. ISBN 9789794615300. 
  13. ^ a b Cummings, William P. (2002). Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar. 2840 Kolowalu St, Honolulu, HI 96822, USA: University of Hawaii Press. ISBN 978-0824825133. 
  14. ^ a b c d Cummings, William P. (2007). A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq. KITLV Press. ISBN 978-9067182874. [pranala nonaktif permanen]
  15. ^ Jukes 2014, hlm. 3-4.
  16. ^ Jukes 2019, hlm. 47-49.
  17. ^ Tol 1996, hlm. 223–226.
  18. ^ Cummings 2007, hlm. 8.
  19. ^ Macknight, Charles Campbell; Paeni, Mukhlis; Hadrawi, Muhlis, ed. (2020). The Bugis Chronicle of Bone (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Campbell Macknight; Mukhlis Paeni; Muhlis Hadrawi. Canberra: Australian National University Press. hlm. xi-xii. ISBN 9781760463588. 
  20. ^ Cummings 2007, hlm. 11.
  21. ^ a b Tol 1996, hlm. 226–228.
  22. ^ a b Jukes 2014, hlm. 6.
  23. ^ Tol 1996, hlm. 216–217.
  24. ^ Jukes 2014, hlm. 8.
  25. ^ Jukes 2014, hlm. 9.
  26. ^ Cummings, William (2002). Making Blood White: historical transformations in early modern Makassar. Honolulu: University of Hawai'i Press. ISBN 9780824825133. 
  27. ^ Jukes 2014, hlm. 1.
  28. ^ Jukes 2014, hlm. 2, Tabel 1.
  29. ^ "Unicode 11.0.0". Unicode Consortium. June 5, 2018. Diakses tanggal June 5, 2018. 

Daftar Pustaka

sunting

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting

Naskah digital

sunting

Lainnya

sunting