Anjir Serapat
Anjir Serapat adalah salah satu kanal buatan atau terusan yang menghubungkan Sungai Barito di sisi timur dan Sungai Kapuas Murung di sisi barat. Anjir Serapat terletak di 3 kecamatan di 2 provinsi yaitu Kecamatan Anjir Muara dan Kecamatan Anjir Pasar, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan dan juga Kecamatan Kapuas Timur, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Indonesia.
Anjir Serapat | |
---|---|
Lokasi | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Kalimantan Selatan |
Kabupaten/Kota | Barito Kuala |
Ciri-ciri fisik | |
Muara sungai | |
- lokasi | Anjir Serapat Muara |
- koordinat | 3°21′03″S 114°31′21″E / 3.350855288659934°S 114.5224673629309°E |
Panjang | 28,5 km (17,7 mi) |
Lebar | |
- minimum | 34 m (0,021 mi) |
- maksimum | 45 m (0,028 mi) |
Informasi lokal | |
Zona waktu | WITA (UTC) |
Anjir Serapat adalah kanal tertua di Kalimantan yang memiliki panjang 28 km, dengan terbagi rata masing-masing 14 km di kedua provinsi. Adapun perhitungan jarak kanal Anjir Serapat dihitung dari Kalimantan Tengah untuk kilometer pertama hingga ke kilometer 28 di Kalimantan Selatan.[1]
Pada bagian kiri dan kanan aliran Anjir Serapat terdapat handil yang jika dilihat dari atas akan menyerupai sirip ikan. Masing-masing handil berjarak antara 200-500 m dan panjangnya hingga 5 km menjorok ke dalam. Anjir Serapat difungsikan sebagai saluran air untuk pertanian dan jalur pelayaran kapal barang dan kapal penumpang.[2]
Sejarah
suntingAnjir Serapat dibangun sejak tahun 1886 dengan cara digali secara manual menggunakan tangan dan bantuan alat berupa linggis dari lempengan baja. Pembangunan Anjir Serapat digagas oleh J.J Meijer pada tahun 1880 yang kemudian pembangunannya dipimpin oleh W. Broers. Anjir Serapat selesai dibangun pada 1890 dengan lebar 30 meter, panjang 28 kilometer, dan kedalaman tiga meter.
Anjir Serapat difungsikan untuk mengaliri 65.000 ha lahan sawah sejak tahun 1920 sampai tahun 1962.[2] Kanal ini dibangun dengan tujuan untuk memperpendek jarak tempuh dari kota Banjarmasin ke kota Kuala Kapuas. Sekaligus sebagai sarana lalu lintas menuju daerah Waringin yang masih daerah kekuasaan Pemerintah Belanda untuk mengawasinya.[1]
Pada tahun 1854-1905, pengawasan Anjir Serapat dikelola oleh Dienst Van Sheepvart atau setara Direktorat Jenderal di bawah Departemen Angkutan Laut untuk memelihara aliran air pedalaman. Hingga pada tahun 1935, Anjir Serapat yang memang tidak diperbolehkan adanya bangunan di sepanjang kanal, pemerintah Belanda akhirnya memerintahkan penanaman karet. Hasil karet ini kemudian akan dijual kembali ke Pemerintah Belanda. Namun, akibat seringnya terjadi kebakaran lahan pada kebun karet, masyarakat akhirnya mengganti karet menjadi pohon buah-buahan dan padi.
Pada tahun 1970an, desa-desa yang berada di sepanjang aliran Anjir Serapat terhubung oleh jembatan kayu yang dibangun oleh pemerintah. Tercatat, ada sembilan jembatan yang dibangun dan terletak di kilometer 14,16,17, 18, 20, 21, 22, 24, dan 27.
Selama dekade 1980-an, Anjir Serapat menjadi sebuah titik kumpul masyarakat yang membawa barang dan hasil panen mereka untuk kemudian dipertukarkan dan diperdagangkan. Barang dagangan ini kemudian terdistribusi ke pasar-pasar harian dan mingguan di sepanjang jalur Anjir Serapat. Hingga kini, keberadaan pasar telah menjadi kecamatan sendiri yaitu kecamatan Anjir Pasar.
Hidrologi
suntingAnjir Serapat dapat dilewati pada saat air pasang, hal ini dikarenakan kedalaman kanal pada titik tengah hanya kurang lebih 50 cm. Lebar sungai adalah 34 m pada saat kondisi surut dan 45 m pada saat air pasang.
Di pinggiran anjir telah dipasang siring dari kayu yang bertujuan untuk menahan erosi.
Lalu lintas
suntingPada akhir tahun 1990an, Anjir Serapat adalah jalur penting sebagai penghubung antara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Masyarakat di Kecamatan Anjir Pasar selalu menggunakan jukung dan angkutan sungai lainnya untuk bepergian ke Banjarmasin atau daerah lain.
Pada tahun 1970-an ke atas, penggunaan jukung sudah semakin kurang diminati masyarakat dan semakin ditinggalkan. Hal ini dikarenakan semakin ramai perahu bermesin seperti kelotok yang melewati anjir sehingga jukung pun kalah bersaing. Selain itu, gelombang akibat perahu bermesin dan kelotok yang melintas akan menghantam jukung yang ditambat di pinggiran anjir sehingga banyak menyebabkan kerusakan.
Pada tahun 1980-an, lalu lintas di Anjir Serapat diramaikan oleh kehadiran Speed boat, Long boat,kelotok dan Motor getek atau Tangkalasa untuk mengangkut penumpang. Selain menjadi angkutan umum, kehadiran perahu bermesin ini juga menyebabkan pelebaran dan pendangkalan aliran Anjir Serapat akibat gelombang-gelombang yang mengikis tebing anjir.
Pada tahun 1990-1998, jumlah angkutan sungai yang beroperasi sudah semakin berkurang karena masyarakat beralih ke transportasi darat. Seperti pada jumlah motor getek (klotok) pada tahun 1990 milik pribadi berjumlah 865 unit dan pada tahun 1998 tersisa 109 unit. Selanjutnya pada tahun 2000an angkutan sungai sudah sangat berkurang karena jalan darat sudah nyaman untuk dilalui.
Daftar handil
suntingPada tahun 1940-1950-an, masyarakat yang telah bermukim dan pendatang membuat saluran air baru di sepanjang aliran Anjir Serapat. Handil-handil ini bertujuan sebagai saluran pengairan untuk sawah mereka dan pengangkutan hasil panen. Antar masing-masing handil berjarak kurang lebih 1 km dan diketuai oleh seorang Kepala Handil.
Adapun daftar handil yang berada di sepanjang aliran Anjir Serapat adalah sebagai berikut:
- Handil Nangka
- Handil Ulis
- Handil Barunai
- Handil Tura
- Handil Airmas
- Handil Saluang
- Handil Penghulu
- Handil Kaderi
- Handil Hampalam
- Handil Kapuk
- Handil Satengah
- Handil Aman
- Handil Jabul
- Handil Marusin
- Handil Manting
- Handil Gembira
- Handil Gardu
Lihat juga
suntingReferensi
sunting- ^ a b Susanto, Heri; Subiyakto, Bambang; Khairullah, Muhammad (2021). "ANJIR SERAPAT SEBAGAI JALUR EKONOMI MASYARAKAT KAWASAN ALIRAN SUNGAI SEJAK ERA KOLONIAL". Sejarah dan Budaya. 15 (2): 321–330. doi:10.17977 Periksa nilai
|doi=
(bantuan). - ^ a b Sulaiman, Andi; et al. (et al) (2018). Membangkitkan Lahan Rawa, Membangun Lumbung Pangan Indonesia (PDF). Jakarta: IAARD PRESS. hlm. 53. ISBN 978-602-344-217-1.