Antagonis reseptor

Antagonis reseptor adalah istilah dalam bidang ilmu farmakologi,[1] terutama berhubungan dengan farmakodinamik yaitu ilmu yang mempelajari efek-efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerja obat dalam tubuh. Antagonisme reseptor berkaitan dengan suatu keadaan ketika efek dari suatu obat menjadi berkurang atau hilang sama sekali yang disebabkan oleh keberadaan satu obat lainnya.[2] Prosesnya berikatan dengan reseptor namun tidak menyebabkan aktivasi, menurunkan kemungkinan agonis akan berikatan pada reseptor, sehingga menghalangi kerjanya dengan secara efektif dengan cara melemahkan atau melepaskan dari sistem reseptor. Antagonis dibagi menjadi dua kelas bergantung pada apakah secara langsung bersaing dengan agonis untuk berikatan dengan reseptor atau tidak. Jika konsentrasi agonis tetap maka peningkatan konsentrasi antagonis akan kompetitif dan secara progresif menghambat respon agonis sehingga menyebabkan konsentrasi antagonis yang tinggi untuk mencegah respon secara total, proses ini berlangsung secara reversible (reaksi yang dapat dibalikkan). Reaksi sebaliknya terjadi, ketika konsentrasi agonis yang tinggi dapat menghambat efek konsentrasi tertentu antagonis, ini terjadi ketika reaksi berlangsung secara irreversible dan antagonis berikatan secara non kompetitif pada reseptor.

Antagonis akan mengeblok pengikatan agonis pada molekul reseptor, menghambat sinyal yang dihasilkan oleh kopling reseptor-agonis.

Tidak semua mekanisme antagonisme melibatkan interaksi obat dengan satu jenis reseptor, dan sebagian dari antagonisme sama sekali tidak melibatkan reseptor. Antagonisme kimiawi terjadi ketika dua obat bergabung membentuk suatu larutan sehingga efek obat yang aktif menjadi hilang, misalnya karena inaktivasi logam-logam berat seperti timah dan kadmium dengan pemberian chelating agent seperti dimercaprol yang akan mengikat erat ion-ion logam tersebut sehingga membentuk senyawa tidak aktif. Jenis lain antagonisme adalah antagonisme fisiologik yang digunakan untuk menjelaskan interaksi dari dua obat yang mempunyai efek yang berlawanan di dalam tubuh dan cenderung untuk meniadakan satu sama lainnya. Misalnya, adrenalin meningkatkan tekanan arteri dengan bekerja pada jantung dan pembuluh perifer, sedangkan histamin menurunkan tekanan arteri dengan cara vasodilatasi sehingga kedua obat saling bersaing satu sama lain[3].

Asal-usul kata sunting

Kata antagonis dalam istilah farmasi berasal dari bahasa Yunaniantagonists, "lawan, pesaing, penjahat, musuh, saingan", yang berasal dari anti- ("melawan") dan agonizesthai ("bersaing untuk hadiah"). Antagonis ditemukan pada abad ke-20 oleh ahli biologi Amerika Bailey Edgren.[4][5]

Reseptor sunting

Reseptor adalah molekul protein besar yang dapat diaktifkan oleh pengikatan ligan seperti hormon atau obat.[6] Reseptor dapat terikat membran, sebagai reseptor permukaan sel, atau di dalam sel sebagai reseptor intraseluler, misalnya reseptor estrogen. Pengikatan terjadi sebagai akibat interaksi non-kovalen antara reseptor dan ligannya, di lokasi yang disebut situs pengikatan pada reseptor. Sebuah reseptor mungkin mengandung satu atau lebih situs pengikatan untuk ligan yang berbeda. Pengikatan ke situs aktif pada reseptor mengatur aktivasi reseptor secara langsung.[6] Aktivitas reseptor juga dapat diatur oleh pengikatan ligan ke situs lain pada reseptor, yaitu situs pengikatan alosterik. Antagonis memperantarai efeknya melalui interaksi reseptor dengan mencegah respons yang diinduksi agonis. Hal ini dapat dicapai dengan penempelan antagonis ke situs aktif atau situs alosterik.[7] Selain itu, antagonis dapat berinteraksi di situs pengikatan unik yang biasanya tidak terlibat dalam regulasi biologis aktivitas reseptor untuk mengerahkan efeknya.[7][8]

Istilah antagonis awalnya diciptakan untuk menggambarkan profil yang berbeda dari efek obat.[9] Definisi biokimia dari antagonis reseptor diperkenalkan oleh Ariens[10] dan Stephenson [11] pada 1950-an. Definisi antagonis reseptor yang diterima saat ini didasarkan pada model hunian reseptor. Ini mempersempit definisi antagonisme untuk mempertimbangkan hanya senyawa-senyawa dengan aktivitas yang berlawanan pada reseptor tunggal. Agonis dianggap "menghidupkan" respons seluler tunggal dengan mengikat reseptor, sehingga memulai mekanisme biokimia untuk perubahan di dalam sel. Sedangkan antagonis dianggap "mematikan" respons itu dengan 'mengeblok' reseptor dari agonis. Definisi ini juga tetap digunakan untuk antagonis fisiologis, zat yang memiliki aksi fisiologis berlawanan, tetapi bekerja pada reseptor yang berbeda. Misalnya, histamin menurunkan tekanan arteri melalui vasodilatasi pada reseptor histamin H1, sementara adrenalin meningkatkan tekanan arteri melalui vasokonstriksi yang diperantarai oleh aktivasi reseptor alfa-adrenergik.

Pemahaman kita tentang mekanisme aktivasi reseptor yang diinduksi obat, teori reseptor, dan definisi biokimia antagonis reseptor terus berkembang. Model dua bentuk (two-state) dari aktivasi reseptor telah menstimulasi munculnya model multi-state dengan adanya konformasi antara pada saat peralihan bentuk.[12] Penemuan selektivitas fungsional dan bahwa konformasi reseptor spesifik ligan terjadi dan dapat mempengaruhi interaksi reseptor dengan sistem pembawa pesan kedua yang berbeda mengindikasikan bahwa obat dapat dirancang untuk mengaktifkan beberapa fungsi hilir reseptor tertentu secara spesifik. Ini berarti kemanjuran sebenarnya dapat bergantung pada tempat reseptor itu diekspresikan, mengubah pandangan bahwa kemanjuran pada reseptor adalah sifat obat yang tidak bergantung pada reseptor.[13][14]

Farmakodinamik sunting

Efikasi dan potensi sunting

Menurut definisi, antagonis tidak menunjukkan efikasi (kemanjuran)[11] untuk mengaktifkan reseptor yang diikat. Antagonis tidak mempertahankan kemampuan untuk mengaktifkan reseptor. Namun, begitu antagonis berikatan dengan reseptor, antagonis menghambat fungsi agonis, agonis terbalik, dan agonis parsial. Dalam uji antagonis fungsional, kurva dosis-respon mengukur efek kemampuan berbagai konsentrasi antagonis untuk membalikkan aktivitas agonis.[6] Potensi antagonis biasanya ditentukan oleh konsentrasi penghambatan setengah maksimalnya (nilai IC50). Ini dapat dihitung untuk antagonis tertentu dengan menentukan konsentrasi antagonis yang diperlukan untuk memperoleh setengah penghambatan respons biologis maksimum dari agonis. Menentukan nilai IC50 berguna untuk membandingkan potensi obat dengan khasiat yang sama, serta kurva dosis-respon yang dihasilkan oleh kedua obat antagonis harus serupa.[15] Semakin rendah IC50 maka semakin besar potensi antagonis artinya semakin rendah konsentrasi obat yang diperlukan untuk menghambat respons biologis maksimum. Konsentrasi obat yang lebih rendah dapat dikaitkan dengan efek samping yang lebih sedikit.[16]

Afinitas sunting

Afinitas antagonis terhadap situs pengikatannya (Ki), yaitu kemampuan antagonis untuk berikatan dengan reseptor, akan menentukan durasi penghambatan aktivitas agonis. Afinitas antagonis dapat ditentukan secara eksperimental menggunakan regresi Schild atau untuk antagonis kompetitif dalam studi pengikatan radioligand menggunakan persamaan Cheng-Prusoff. Regresi Schild dapat digunakan untuk menentukan sifat antagonisme sebagai awalan apakah kompetitif atau non-kompetitif, dan penentuan K i tidak tergantung pada afinitas, efikasi, atau konsentrasi agonis yang digunakan. Namun, penting bahwa keseimbangan telah tercapai. Efek desensitisasi reseptor dalam mencapai keseimbangan juga harus diperhitungkan. Konstanta afinitas antagonis yang menunjukkan dua atau lebih efek, seperti pada agen penghambat neuromuskular kompetitif yang juga mengeblok kanal ion serta pengikatan agonis antagonis, tidak dapat dianalisis menggunakan regresi Schild.[17][18] Regresi Schild melibatkan perbandingan perubahan rasio dosis, rasio EC50 dari agonis saja dibandingkan dengan EC50 dengan adanya antagonis kompetitif seperti yang ditentukan pada kurva respons dosis. Mengubah jumlah antagonis yang digunakan dalam pengujian dapat mengubah rasio dosis. Dalam regresi Schild, plot dibuat dari log (rasio dosis-1) versus konsentrasi log antagonis untuk kisaran konsentrasi antagonis.[19] Afinitas atau Ki ditentukan dari dimana garis memotong sumbu x pada plot regresi. Sedangkan, dengan regresi Schild, konsentrasi antagonis bervariasi dalam percobaan yang digunakan untuk menurunkan nilai Ki dari persamaan Cheng-Prusoff, pada konsentrasi agonis yang bervariasi. Afinitas untuk agonis dan antagonis kompetitif terkait dengan faktor Cheng-Prusoff digunakan untuk menghitung Ki (konstanta afinitas untuk antagonis) dari pergeseran IC50 yang terjadi selama penghambatan kompetitif.[20] Faktor Cheng-Prusoff memperhitungkan efek dari perubahan konsentrasi agonis dan afinitas agonis untuk reseptor pada penghambatan yang dihasilkan oleh antagonis kompetitif.[21][22]

Jenis sunting

Antagonis kompetitif sunting

 
Plot antagonis kompetitif reversibel.

Antagonis kompetitif berikatan pada reseptor pada situs situs aktif yang sama dengan ligan atau agonis endogen, tetapi tanpa mengaktifkan reseptor. Agonis dan antagonis "bersaing" untuk tempat pengikatan pada reseptor. Setelah berikatan, antagonis akan mengeblok pengikatan agonis. Konsentrasi antagonis yang cukup akan menggantikan agonis dari situs pengikatan, menghasilkan frekuensi aktivasi reseptor yang lebih rendah. Tingkat aktivitas reseptor akan ditentukan oleh afinitas relatif setiap molekul untuk situs dan konsentrasi relatifnya. Konsentrasi agonis kompetitif yang tinggi akan meningkatkan proporsi reseptor yang ditempati agonis, konsentrasi antagonis yang lebih tinggi akan diperlukan untuk mendapatkan tingkat hunian situs pengikatan yang sama.[23] Dalam uji fungsional menggunakan antagonis kompetitif, akan diamati pergeseran paralel kurva dosis-respons agonis tanpa perubahan respons maksimal.[24][25]

Antagonis kompetitif digunakan untuk mencegah aktivitas obat, dan untuk membalikkan efek obat yang telah digunakan. Nalokson digunakan untuk membalikkan overdosis opioid yang disebabkan oleh obat-obatan seperti heroin atau morfin. Demikian pula, Ro15-4513 adalah penawar keracunan alkohol, dan flumazenil adalah penawar keracunan benzodiazepin.

 
Nalokson mengeblok reseptor opioid untuk menangkal keracunan buprenorfin

Antagonis kompetitif diklasifikasikan sebagai antagonis kompetitif reversibel (dapat diatasi) atau ireversibel (tidak dapat diatasi), tergantung pada bagaimana antagonis berinteraksi dengan target protein reseptornya.[26] Antagonis reversibel, yang berikatan melalui gaya antarmolekul nonkovalen, pada akhirnya akan berdisosiasi dari reseptor, membebaskan reseptor untuk terikat lagi.[27] Antagonis ireversibel berikatan melalui gaya antarmolekul kovalen. Karena tidak ada cukup energi bebas untuk memutuskan ikatan kovalen di lingkungan lokal, ikatan pada dasarnya "permanen", yang berarti kompleks reseptor-antagonis tidak akan pernah terdisosiasi. Dengan demikian, reseptor akan tetap diikat secara permanen sampai di-ubikitinasi dan dihancurkan.

Antagonis non-kompetitif sunting

Antagonis non-kompetitif adalah jenis antagonis yang tidak dapat diatasi yang dapat beraksi dalam salah satu dari dua cara: dengan berikatan ke situs alosterik reseptor,[26] atau dengan berikatan secara ireversibel ke situs aktif reseptor. Definisi sebelumnya telah dibakukan oleh IUPHAR, dan setara dengan antagonis yang disebut antagonis alosterik.[26] Sementara mekanisme antagonisme berbeda dalam kedua fenomena ini, keduanya disebut "non-kompetitif" karena hasil akhir dari masing-masing secara fungsional sangat mirip. Pada antagonis kompetitif, antagonis mempengaruhi jumlah agonis yang diperlukan untuk mencapai respons maksimal tetapi tidak mempengaruhi besarnya respons maksimal. Sedangkan pada antagonis non-kompetitif, antagonis mengurangi besarnya respons maksimum yang dapat dicapai oleh sejumlah agonis. Sifat ini menjadi dasar dinamakan antagonis "non-kompetitif" karena efeknya tidak dapat ditiadakan, tidak peduli berapa banyak agonis yang ada. Dalam uji fungsional antagonis non-kompetitif, penekanan respons maksimal kurva dosis-respons agonis, dan dalam beberapa kasus didapat pergeseran ke kanan.[28] Pergeseran ke kanan akan terjadi sebagai akibat dari reseptor cadangan,[29] dan penghambatan respons agonis hanya akan terjadi ketika cadangan ini habis.

Antagonis un-kompetitif sunting

Antagonis un-kompetitif berbeda dari antagonis non-kompetitif dalam hal mereka memerlukan aktivasi reseptor oleh agonis sebelum mereka dapat berikatan ke situs pengikatan alosterik yang terpisah. Jenis antagonisme ini menghasilkan profil kinetik di mana "jumlah antagonis yang sama mengeblok konsentrasi agonis yang lebih tinggi lebih baik daripada konsentrasi agonis yang lebih rendah".[30] Memantin, digunakan dalam pengobatan penyakit Alzheimer, merupakan antagonis reseptor NMDA un-kompetitif.[31]

Keterbalikkan sunting

Banyak antagonis merupakan antagonis reversibel yang seperti kebanyakan agonis, akan mengikat dan melepaskan reseptor pada kecepatan yang ditentukan oleh kinetika reseptor-ligan.

Antagonis ireversibel berikatan dengan reseptor melalui ikatan kovalen, dan secara umum tidak dapat dihilangkan. Sehingga durasi efek antagonis dalam menonaktifkan reseptor ditentukan oleh tingkat pergantian reseptor atau tingkat sintesis reseptor baru. Fenoksibenzamin merupakan contoh dari pengeblok reseptor adrenergik alfa ireversibel yang secara permanen mengikat reseptor adrenergik, mencegah adrenalin dan noradrenalin berikatan pada reseptor.[32] Inaktivasi reseptor biasanya menekan dari respon maksimal kurva dosis-respons agonis, dan pergeseran ke kanan pada kurva terjadi jika ada cadangan reseptor serupa dengan antagonis non-kompetitif. Langkah pembersihan dalam pengujian biasanya akan membedakan antara obat antagonis non-kompetitif dan ireversibel, karena efek antagonis non-kompetitif bersifat reversibel dan aktivitas agonis akan dipulihkan.[33]

Antagonis kompetitif ireversibel juga melibatkan persaingan antara agonis dan antagonis reseptor, tetapi berbeda pada tingkat ikatan kovalen dan tergantung pada afinitas dan reaktivitas antagonis. Untuk beberapa antagonis, mungkin ada perbedaan periode di mana mereka berperilaku kompetitif dan bebas bergabung dan memisahkan dari reseptor, yang ditentukan oleh kinetika reseptor-ligan. Namun, jika sudah terjadi ikatan ireversibel, reseptor dinonaktifkan dan terdegradasi. Adapun antagonis non-kompetitif dan antagonis ireversibel dalam uji fungsional dengan obat antagonis kompetitif ireversibel, mungkin ada pergeseran kurva konsentrasi-efek log ke kanan, tetapi secara umum akan didapat penurunan kemiringan dan efek maksimum.[34]

Referensi sunting

  1. ^ Katzung, Bertram G. (1989). Farmakologi dasar dan klinik = basic and clinical pharmacology. EGC. ISBN 979-448-088-6. OCLC 850127940. 
  2. ^ Battista, Elisabetta (2015). Crash Course Farmakologi. Singapura: Elsevier. hlm. 10–14. ISBN 978-981-4570-74-9. 
  3. ^ Stringer, Janet L. (2011). Basic concepts in pharmacology : what you need to know for each drug class (edisi ke-4th ed). New York: McGraw-Hill. ISBN 978-0-07-176942-6. OCLC 715319038. 
  4. ^ "antagonist | Search Online Etymology Dictionary". www.etymonline.com. Diakses tanggal 2022-02-24. 
  5. ^ Dictionaries, Oxford Learner's. "Antagonist". Oxford Learner's Dictionaries. Diakses tanggal 2022-03-04. 
  6. ^ a b c "Drug–Receptor Interactions - Clinical Pharmacology". MSD Manual Professional Edition (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-03-04. 
  7. ^ a b Christopoulos, Arthur (2002-03). "Allosteric binding sites on cell-surface receptors: novel targets for drug discovery". Nature Reviews Drug Discovery (dalam bahasa Inggris). 1 (3): 198–210.p1. doi:10.1038/nrd746. ISSN 1474-1776. 
  8. ^ Reyes-Alcaraz, Arfaxad; Y. Lucero Garcia-Rojas, Emilio; A. Bond, Richard; K. McConnell, Bradley (2020-12-16). Catala, Angel; Ahmad, Usama, ed. Allosteric Modulators for GPCRs as a Therapeutic Alternative with High Potential in Drug Discovery (dalam bahasa Inggris). IntechOpen. doi:10.5772/intechopen.91838. ISBN 978-1-83962-931-0. 
  9. ^ Negus SS (Juni 2006). "Some implications of receptor theory for in vivo assessment of agonists, antagonists and inverse agonists". Biochemical Pharmacology. 71 (12): 1663–70. doi:10.1016/j.bcp.2005.12.038. PMC 1866283 . PMID 16460689. 
  10. ^ Ariëns, E J; Simonis, A M (2011-04-12). "A molecular basis for drug action.: The interaction of one or more drugs with different receptors". Journal of Pharmacy and Pharmacology (dalam bahasa Inggris). 16 (5): 289–312. doi:10.1111/j.2042-7158.1964.tb07461.x. ISSN 2042-7158. 
  11. ^ a b Stephenson RP (February 1997). "A modification of receptor theory. 1956". British Journal of Pharmacology. 120 (4 Suppl): 106–20; discussion 103–5. doi:10.1111/j.1476-5381.1997.tb06784.x. PMC 3224279 . PMID 9142399.  of the original article.
  12. ^ Vauquelin, G.; Van Liefde, I. (2005-02). "G protein-coupled receptors: a count of 1001 conformations". Fundamental & Clinical Pharmacology. 19 (1): 45–56. doi:10.1111/j.1472-8206.2005.00319.x. ISSN 0767-3981. PMID 15660959. 
  13. ^ Chang, Steven D; Bruchas, Michael R (2014-01). "Functional Selectivity at GPCRs: New Opportunities in Psychiatric Drug Discovery". Neuropsychopharmacology (dalam bahasa Inggris). 39 (1): 248–249. doi:10.1038/npp.2013.205. ISSN 0893-133X. PMC 3857652 . PMID 24317323. 
  14. ^ Berg, Kelly A; Clarke, William P (2018-10-01). "Making Sense of Pharmacology: Inverse Agonism and Functional Selectivity". International Journal of Neuropsychopharmacology (dalam bahasa Inggris). 21 (10): 962–977. doi:10.1093/ijnp/pyy071. ISSN 1461-1457. PMC 6165953 . PMID 30085126. 
  15. ^ Ratain, Mark J.; William K. Plunkett, Jr (2003). "Principles of Pharmacodynamics". Holland-Frei Cancer Medicine. 6th edition (dalam bahasa Inggris). 
  16. ^ Magoma, Gabriel (2013-01-23). El-Shemy, Hany, ed. Introduction to Biochemical Pharmacology and Drug Discovery (dalam bahasa Inggris). InTech. doi:10.5772/52014. ISBN 978-953-51-0906-8. 
  17. ^ Wyllie DJ, Chen PE (March 2007). "Taking the time to study competitive antagonism". British Journal of Pharmacology. 150 (5): 541–51. doi:10.1038/sj.bjp.0706997. PMC 2189774 . PMID 17245371. 
  18. ^ Colquhoun, David (2007-12). "Why the Schild method is better than Schild realised". Trends in Pharmacological Sciences (dalam bahasa Inggris). 28 (12): 608–614. doi:10.1016/j.tips.2007.09.011. 
  19. ^ Schild HO (February 1975). "An ambiguity in receptor theory". British Journal of Pharmacology. 53 (2): 311. doi:10.1111/j.1476-5381.1975.tb07365.x. PMC 1666289 . PMID 1148491. 
  20. ^ Buker, Shane M.; Boriack-Sjodin, P. Ann; Copeland, Robert A. (2019-06). "Enzyme–Inhibitor Interactions and a Simple, Rapid Method for Determining Inhibition Modality". SLAS DISCOVERY: Advancing the Science of Drug Discovery (dalam bahasa Inggris). 24 (5): 515–522. doi:10.1177/2472555219829898. ISSN 2472-5552. 
  21. ^ Wyllie, D. J. A.; Chen, P. E. (2007-03). "Taking the time to study competitive antagonism". British Journal of Pharmacology. 150 (5): 541–551. doi:10.1038/sj.bjp.0706997. ISSN 0007-1188. PMC 2189774 . PMID 17245371. 
  22. ^ Salahudeen, Mohammed Saji; Nishtala, Prasad S. (2017-02). "An overview of pharmacodynamic modelling, ligand-binding approach and its application in clinical practice". Saudi pharmaceutical journal: SPJ: the official publication of the Saudi Pharmaceutical Society. 25 (2): 165–175. doi:10.1016/j.jsps.2016.07.002. ISSN 1319-0164. PMC 5355565 . PMID 28344466. 
  23. ^ Lambert, Dg (2004-12). "Drugs and receptors". Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain (dalam bahasa Inggris). 4 (6): 181–184. doi:10.1093/bjaceaccp/mkh049. 
  24. ^ Vanderheyden, P. M.; Fierens, F. L.; De Backer, J. P.; Fraeyman, N.; Vauquelin, G. (1999-02). "Distinction between surmountable and insurmountable selective AT1 receptor antagonists by use of CHO-K1 cells expressing human angiotensin II AT1 receptors". British Journal of Pharmacology. 126 (4): 1057–1065. doi:10.1038/sj.bjp.0702398. ISSN 0007-1188. PMC 1571230 . PMID 10193788. 
  25. ^ Sica, D. A. (2001-01). "Clinical pharmacology of the angiotensin receptor antagonists". Journal of Clinical Hypertension (Greenwich, Conn.). 3 (1): 45–49. doi:10.1111/j.1524-6175.2001.00832.x. ISSN 1524-6175. 
  26. ^ a b c Neubig RR, Spedding M, Kenakin T, Christopoulos A (December 2003). "International Union of Pharmacology Committee on Receptor Nomenclature and Drug Classification. XXXVIII. Update on terms and symbols in quantitative pharmacology" (PDF). Pharmacological Reviews. 55 (4): 597–606. doi:10.1124/pr.55.4.4. PMID 14657418. 
  27. ^ "Drug–Receptor Interactions - Clinical Pharmacology". Merck Manuals Professional Edition (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-24. 
  28. ^ Vauquelin, G.; Van Liefde, I.; Birzbier, B. B.; Vanderheyden, P. M. L. (2002-08). "New insights in insurmountable antagonism". Fundamental & Clinical Pharmacology. 16 (4): 263–272. doi:10.1046/j.1472-8206.2002.00095.x. ISSN 0767-3981. PMID 12570014. 
  29. ^ Stephenson RP (February 1997). "A modification of receptor theory. 1956". British Journal of Pharmacology. 120 (4 Suppl): 106–20; discussion 103–5. doi:10.1111/j.1476-5381.1997.tb06784.x. PMC 3224279 . PMID 9142399.  of the original article.
  30. ^ Lipton SA (January 2004). "Failures and successes of NMDA receptor antagonists: molecular basis for the use of open-channel blockers like memantine in the treatment of acute and chronic neurologic insults". NeuroRx. 1 (1): 101–10. doi:10.1602/neurorx.1.1.101. PMC 534915 . PMID 15717010. 
  31. ^ Parsons, Chris G.; Stöffler, Albrecht; Danysz, Wojciech (2007-11). "Memantine: a NMDA receptor antagonist that improves memory by restoration of homeostasis in the glutamatergic system - too little activation is bad, too much is even worse". Neuropharmacology (dalam bahasa Inggris). 53 (6): 699–723. doi:10.1016/j.neuropharm.2007.07.013. 
  32. ^ Frang H, Cockcroft V, Karskela T, Scheinin M, Marjamäki A (August 2001). "Phenoxybenzamine binding reveals the helical orientation of the third transmembrane domain of adrenergic receptors". The Journal of Biological Chemistry. 276 (33): 31279–84. doi:10.1074/jbc.M104167200. PMID 11395517. 
  33. ^ Vauquelin, Georges; Charlton, Steven J. (2010-10). "Long-lasting target binding and rebinding as mechanisms to prolong in vivo drug action". British Journal of Pharmacology. 161 (3): 488–508. doi:10.1111/j.1476-5381.2010.00936.x. ISSN 1476-5381. PMC 2990149 . PMID 20880390. 
  34. ^ "Competitive and non-competitive antagonists | Deranged Physiology". derangedphysiology.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-25.