Purgatorium

(Dialihkan dari Api penyucian)

Purgatorium atau api penyucian (Latin: purgatorium; Inggris: purgatory)[1] adalah istilah dalam teologi Kristen, dan khususnya dalam teologi Katolik, untuk suatu keadaan antara atau peralihan setelah kematian jasmani yang melaluinya mereka yang ditentukan ke Surga "menjalani pemurnian, sehingga mencapai kekudusan yang diperlukan untuk memasuki kegembiraan surga".[2] Hanya mereka yang meninggal dunia dalam keadaan rahmat, namun belum menjalani hukuman sementara akibat dosa-dosa mereka, yang dapat berada dalam Purgatorium, dan dengan demikian tidak ada seorang pun dalam Purgatorium yang akan berada selamanya dalam keadaan tersebut ataupun pergi ke neraka. Asal mula konsep ini memiliki akar-akar sejak dahulu.

Penggambaran purgatorium yang bernyala-nyala api oleh Annibale Carracci.

Gagasan mengenai Purgatorium terutama dikaitkan dengan Gereja Katolik Ritus Latin (dalam Gereja Katolik Timur, gagasan ini merupakan suatu doktrin, kendati biasanya tidak disebut "Purgatorium", tetapi disebut "pemurnian akhir" atau "theosis akhir"); kalangan Anglikan dengan tradisi Anglo-Katolik pada umumnya juga memegang keyakinan ini. Gereja Ortodoks Timur meyakini kemungkinan adanya suatu perubahan situasi bagi jiwa-jiwa dari mereka yang telah meninggal dunia melalui doa-doa yang didaraskan oleh mereka yang masih hidup di dunia ini dan kurban persembahan dalam Liturgi Ilahi, selain itu, banyak kalangan Ortodoks, khususnya kalangan asketik, berharap dan berdoa demi suatu apokatastasis umum.[3] Yudaisme juga percaya pada kemungkinan adanya pemurnian setelah kematian dan bahkan mungkin saja menggunakan kata "purgatorium" untuk merepresentasikan pemahaman mereka atas makna Gehenna.[4] Bagaimanapun, konsep tentang "pemurnian" jiwa kemungkinan ditolak secara eksplisit dalam tradisi-tradisi keimanan lainnya itu.

Kata Purgatorium juga digunakan untuk mengacu pada berbagai konsepsi historis dan modern tentang penderitaan pasca kematian fisik menjelang hukuman kekal,[5] dan digunakan, dalam pengertian non-spesifik, dengan arti setiap tempat ataupun kondisi dalam penderitaan atau siksaan, terutama yang bersifat sementara.[6]

Sejarah sunting

 
Penggambaran purgatorium yang tidak bernyala-nyala api (Gustave Doré: ilustrasi untuk Purgatorio rekaan Dante, Canto 24).
 
Bunda Maria dari Gunung Karmel dengan para malaikat dan jiwa dalam Purgatorium. Patung Barok dari Beniaján, Spanyol.
 
Lukisan di belakang altar mengenai jiwa-jiwa dalam purgatorium, Gereja Yang Dikandung Tanpa Noda (Santa Cruz de Tenerife, Spanyol).
 
Penggambaran purgatorium yang bernyala-nyala api dalam Très Riches Heures du Duc de Berry.

Penggunaan kata "Purgatorium" (sebagaimana kata ini disebut dalam bahasa Latin) sebagai kata benda mungkin baru terlihat antara tahun 1160 dan 1180, yang menimbulkan gagasan bahwa purgatorium adalah suatu tempat[7] (yang Jacques Le Goff sebut "kelahiran" purgatorium).[8] Tradisi Purgatorium dalam Katolik Roma sebagai suatu kondisi transisi memiliki sejarah yang bersumber, bahkan sebelum Yesus Kristus, pada praktik di seluruh dunia dalam hal mengurus orang-orang yang telah wafat dan berdoa bagi mereka, serta pada keyakinan, yang juga ditemukan dalam Yudaisme,[9] yang dipandang sebagai cikal bakal Kekristenan, bahwa berdoa bagi orang yang telah meninggal dunia bermanfaat untuk pemurniannya dalam kehidupan setelah kematian. Praktik serupa tampak dalam tradisi-tradisi lainnya, misalnya praktik Buddhis Tiongkok abad pertengahan dalam hal mempersembahkan kurban demi kepentingan arwah, yang dikatakan menderita berbagai cobaan.[5] Keyakinan Katolik Roma akan pemurnian dalam kehidupan setelah kematian dari dunia ini didasarkan pada praktik berdoa untuk arwah, yang disebutkan dalam apa yang dinyatakan Gereja Katolik Roma sebagai bagian dari Kitab Suci,[10][11] dan diterapkan oleh umat Kristen sejak awal,[12] suatu praktik yang mengandaikan bahwa arwah karenanya dibantu dalam fase antara kematian jasmani dan masuknya mereka ke dalam kediaman akhir mereka.[5]

Keyakinan akan adanya hukuman sementara yang sepadan dalam kehidupan setelah kematian, atas semua sikap dan perilaku masing-masing orang selama hidupnya di dunia ini, diungkapkan dalam karya tulis Kristen awal berbahasa Yunani yang dikenal sebagai Diskursus Yosefus untuk Orang Yunani mengenai Hades, yang pernah diatribusikan pada Yosefus (37 – c. 100) namun sekarang diyakini sebagai karya Hippolitus dari Roma (170–235).[13]

Sesaat sebelum ia berpindah keyakinan menjadi Katolik Roma,[14] akademisi Inggris John Henry Newman berpendapat bahwa esensi doktrin ini terletak dalam tradisi kuno, dan bahwa konsistensi inti keyakinan-keyakinan semacam ini merupakan bukti kalau Kekristenan "pada dasarnya diberikan kepada kita dari surga".[15] Umat Katolik Roma tidak menganggap ajaran tentang Purgatorium sebagai penambahan-penambahan imajinatif, memandangnya sebagai bagian dari iman yang berasal dari penyataan Yesus Kristus yang diwartakan oleh Para Rasul. Dari antara para Bapa Gereja awal, Origenes mengatakan bahwa "ia yang diselamatkan, karena itu diselamatkan melalui api" yang membakar dosa-dosa dan keduniawian sama seperti proses pemurnian emas dalam api dari logam-logam lain seperti timah hitam.[16] St. Ambrosius dari Milan berbicara mengenai semacam "baptisan api" yang terletak di pintu masuk menuju Surga, dan semua orang musti melewatinya, pada akhir dunia ini.[17] St. Gregorius Agung mengatakan bahwa keyakinan akan Purgatorium adalah "jelas" (constat), dan "diyakini" (credendum), serta menegaskan bahwa 'api' Purgatorial hanya dapat memurnikan pelanggaran-pelanggaran kecil, bukan "besi, perunggu, atau timah hitam," ataupun dosa-dosa "keras" (duriora) lainnya.[18] Dengan ini ia menyampaikan bahwa keterikatan pada dosa, kebiasaan berdosa, dan bahkan dosa-dosa ringan dapat dilepaskan dalam Purgatorium, tetapi tidak dosa berat, yang menurut doktrin Katolik mengakibatkan hukuman kekal. Selama berabad-abad, para teolog dan kalangan Kristen lainnya mengembangkan doktrin mengenai Purgatorium, yang kemudian menyebabkan penetapan doktrin secara resmi (berbeda dari deskripsi-deskripsi legendaris yang ditemukan dalam literatur puitis) pada Konsili Lyon I (1245), Konsili Lyon II (1274), Konsili Florence (1438–1445), dan Konsili Trente (1545–63).[5][19]

Kekristenan sunting

Sejumlah gereja, khususnya Katolik Roma, mengakui doktrin Purgatorium. Banyak gereja Protestan dan Ortodoks Timur tidak menggunakan terminologi yang sama, yang pertama disebutkan mendasari pada doktrin sola scriptura mereka, dikombinasikan dengan pengecualian mereka atas Kitab 2 Makabe dari Alkitab; sementara Gereja Ortodoks menganggap Purgatorium sebagai suatu doktrin yang non-esensial.

Gereja Katolik Roma sunting

Gereja Katolik memberi nama Purgatorium atas pemurnian akhir semua orang yang wafat dalam rahmat dan persahabatan dengan Allah, tetapi masih belum dimurnikan secara sempurna.[20] Purgatorium lebih sering digambarkan sebagai suatu tempat daripada suatu proses pemurnian, namun gagasan purgatorium sebagai suatu tempat secara fisik bukan merupakan bagian dari doktrin Gereja.[21]

Surga dan Neraka sunting

 
Penggambaran purgatorium oleh pelukis Venezuela Cristóbal Rojas (1890) merepresentasikan batas antara surga (atas) dan neraka (bawah).

Menurut keyakinan Katolik, seketika setelah kematian jasmaninya, seseorang menjalani penghakiman khusus yang menentukan nasib jiwanya dalam kekekalan.[22] Beberapa jiwa dapat langsung bersatu dengan Allah dalam Surga, dibayangkan sebagai suatu firdaus sukacita abadi, Theosis terselesaikan dan jiwa mengalami visiun beatifis Allah. Sebaliknya, sebagian jiwa lainnya (mereka yang mati dalam kebencian kepada Allah dan Kristus) mencapai suatu keadaan yang disebut Neraka, yaitu keterpisahan selamanya dari Allah yang sering dibayangkan sebagi suatu kediaman yang tanpa akhir dalam siksaan nyala api, suatu api yang terkadang dianggap metaforis.[23]

Peranan terkait dosa sunting

Selain menerima keadaan surga dan neraka, Katolisisme juga memandang adanya keadaan ketiga bagi jiwa sebelum diterima dalam surga. Menurut doktrin Katolik, sebagian jiwa belum bebas sepenuhnya dari efek temporal dosa dan konsekuensinya untuk dapat langsung memasuki keadaan surga, sementara sebagian lainnya sedemikian berdosa dan penuh kebencian kepada Kristus sehingga langsung memasuki keadaan neraka.[24] Jiwa-jiwa tersebut, yang ditentukan berakhir dalam persatuan dengan Allah dalam surga, pertama-tama perlu dibersihkan terlebih dahulu melalui purgatorium – suatu keadaan pemurnian atau penyucian.[24] Melalui purgatorium, jiwa-jiwa "meraih kekudusan yang diperlukan untuk memasuki kegembiraan surga".[25] Dosa berat mengakibatkan hukuman sementara sekaligus hukuman kekal, sementara dosa ringan hanya mengakibatkan hukuman sementara. Gereja Katolik membuat perbedaan antara kedua jenis dosa tersebut.[26] Dosa berat adalah "dosa yang objeknya adalah hal berat serta yang juga dilakukan dengan pengetahuan penuh dan persetujuan yang telah dipertimbangkan",[27] sehingga "kalau tidak ditebus melalui penyesalan dan pengampunan Allah mengakibatkan pengecualian dari kerajaan Kristus dan kematian abadi dalam neraka, sebab kebebasan kita mempunyai kuasa untuk membuat pilihan untuk selama-lamanya tanpa dapat ditarik kembali".[28]

Sebaliknya, dosa ringan "tidak menjadikan kita bertentangan secara langsung terhadap kehendak dan persahabatan Allah"[29] dan, kendati masih "merupakan suatu gangguan moral",[30] tidak melepaskan persahabatan dengan Allah dalam diri orang yang berdosa, dan konsekuensinya kebahagiaan kekal dalam surga.[29] Namun, karena dosa ringan memperlemah kasih, memanifestasikan afeksi yang tidak semestinya pada barang-barang ciptaan, dan menghambat kemajuan jiwa dalam melakukan kebajikan-kebajikan serta kebaikan moral, maka dosa ringan mengakibatkan hukuman sementara (temporal).[29]

Menurut Katolisisme, pemurnian dari kecenderungan berdosa dapat terjadi selama hidup di dunia ini. Situasi tersebut dapat dibandingkan dengan seseorang yang perlu dilepaskan dari kecanduan apapun. Sebagaimana rehabilitasi dari suatu kecanduan, rehabilitasi dari "afeksi yang tidak teratur pada barang-barang ciptaan" merupakan suatu proses bertahap dan mungkin menyakitkan. Kemajuan proses itu selama hidup di dunia ini dapat dilakukan melalui penitensi dan penyangkalan diri secara sukarela serta melalui tindakan-tindakan atas dasar kemurahan hati yang memperlihatkan kasih akan Allah, bukan kasih akan makhluk-makhluk ciptaan. Setelah kematian jasmaniah, suatu proses pembersihan dapat dipandang sebagai suatu persiapan yang masih diperlukan untuk memasuki hadirat ilahi.[31]

Santa Katarina dari Genoa menuliskan: "Adapun surga, Allah tidak menempatkan pintu di sana. Siapapun yang ingin masuk, [dapat] melakukannya. Allah yang penuh belas kasih berdiri di sana dengan tangan-Nya terbuka, menanti untuk menerima kita ke dalam kemuliaan-Nya. Tetapi, saya juga melihat bahwa hadirat ilahi begitu murni dan penuh cahaya – jauh melebihi yang dapat kita bayangkan – bahwa jiwa yang pantas namun memiliki sedikit ketidaksempurnaan lebih memilih melemparkan dirinya ke dalam seribu neraka daripada tampil di hadapan hadirat ilahi. Lidah tidak dapat mengungkapkan dan hati juga tidak memahami sepenuhnya arti purgatorium, yang rela diterima jiwa sebagai suatu belas kasih atas kesadaran bahwa penderitaan itu tidak penting dibandingkan dengan pelepasan hambatan dosa."[32]

Rasa sakit dan api sunting

Purgatorium umumnya dipandang sebagai suatu penyucian dengan cara hukuman sementara yang menyakitkan, yang—sama seperti hukuman kekal neraka—dihubungkan dengan gagasan mengenai api.[33] Kendati "rasa sakit indra-indra" (berbeda dengan "rasa sakit kerinduan" akan Visiun Beatifis) secara doktrinal tidak didefinisikan sebagai bagian dari Purgatorium, para teolog memiliki konsensus yang sangat kuat bahwa kesakitan indrawi juga termasuk. Beberapa Bapa Gereja memandang 1 Korintus 3:10–15 sebagai bukti adanya suatu keadaan peralihan yang membakar habis sisa-sisa pelanggaran ringan, dan jiwa yang telah dimurnikan akan diselamatkan.[33] Api merupakan penggambaran yang diilhami Alkitab ("Kami telah menempuh api dan air")[34] yang digunakan umat Kristen untuk konsep pemurnian dalam kehidupan setelah kematian.[35] St. Agustinus mendeskripsikan api-api dalam penyucian sebagai sesuatu yang lebih menyakitkan dari apa pun yang dapat diderita seseorang dalam kehidupan ini,[33] dan Paus Gregorius I menuliskan bahwa harus ada suatu api penyucian untuk beberapa kesalahan kecil yang mungkin masih perlu disingkirkan.[36] Origenes menuliskan tentang api yang diperlukan untuk memurnikan jiwa,[37] dan St. Gregorius dari Nyssa juga menulis tentang api pembersihan.[38]

 
Penggambaran jiwa-jiwa yang dimurnikan oleh nyala api dalam purgatorium.

Kebanyakan teolog dari masa lampau menyatakan bahwa api tersebut dalam arti tertentu adalah suatu api materiil, meski sifatnya berbeda dari api biasa, namun pendapat teolog-teolog lainnya yang menafsirkan istilah biblis "api" secara metaforis tidak dikecam oleh Gereja[39] dan mungkin sekarang menjadi pandangan yang lebih umum di antara para teolog. Katekismus Gereja Katolik (KGK) berbicara tentang suatu "api penyucian"[40] dan mengutip ungkapan "purgatorius ignis" (api pemurnian) yang digunakan Paus Gregorius Agung. KGK berbicara tentang hukuman sementara karena dosa, bahkan dalam kehidupan ini, sebagai salah satu dari "segala macam penderitaan dan cobaan".[41] KGK mendeskripsikan purgatorium sebagai pemurnian yang diperlukan karena "suatu keterikatan yang tidak sehat dengan makhluk-makhluk", suatu pemurnian yang "membebaskan seseorang dari apa yang dinamakan 'siksa dosa sementara'", suatu hukuman yang "tidak boleh dipandang sebagai semacam balas dendam yang ditimpakan Allah dari luar, tetapi sebagai sesuatu yang timbul dari hakikat dosa itu sendiri."[42]

Doa untuk arwah dan indulgensi sunting

 
Inskripsi dalam Katakomba Roma memuat doa-doa bagi arwah.[43]

Gereja Katolik mengajarkan bahwa nasib mereka yang berada dalam purgatorium dapat dipengaruhi oleh tindakan mereka yang masih hidup di dunia ini. Ajaran itu juga didasarkan pada praktik berdoa bagi arwah sejak zaman dahulu sebagaimana disebutkan pada 2 Makabe 12:42–46, yang dipandang oleh umat Katolik dan Ortodoks sebagai bagian dari Kitab Suci.[44]

 
Patung Bunda Maria dari Gunung Karmel bersama jiwa-jiwa dalam purgatorium yang memohon perantaraan Maria.

Dalam konteks yang sama ada disebutkan praktik indulgensi. Suatu indulgensi merupakan remisi di hadapan Allah, melalui perantaraan Gereja, atas hukuman sementara akibat dosa-dosa yang telah mendapat pengampunan.[45] Indulgensi dapat diperoleh bagi diri sendiri, ataupun dipersembahkan bagi orang yang telah meninggal dunia.[46] Terlepas dari persepsi populer di kalangan non-Katolik, Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa indulgensi memiliki kuasa pengampunan dosa karena hal itu dipandang sebagai yurisdiksi Allah saja. Siapa pun yang mengajarkan bahwa dengan melakukan tindakan-tindakan kasih seperti indulgensi saja dapat mengampuni dosa telah dikecam sebagai bidah (sesat) oleh Gereja Katolik. Mengatakan bahwa indulgensi dapat berlaku tanpa peduli seberapa besar kadar keimanan seseorang, tanpa memenuhi persyaratan yang ditetapkan, juga dipandang sesat. Suatu indulgensi bergantung (atau tindakan kasih apa pun untuk hal itu) pada kadar keimanan seorang individu Kristen pada saat tersebut (lihat kasus Johann Tetzel).

Indulgensi dan doa untuk arwah telah secara umum dibayangkan sebagai pengurang "durasi" waktu yang dihabiskan oleh arwah dalam purgatorium. Gagasan itu terkait dengan kenyataan bahwa, pada masa lampau, indulgensi diterapkan dalam ukuran jumlah hari, periode 40 hari sebagaimana masa Prapaskah, ataupun tahun, yang sesungguhnya berarti bahwa bukan purgatorium yang dipersingkat dengan jumlah waktu tetapi indulgensi dilakukan sepanjang penitensi kanonik pada sisi orang Kristen yang masih hidup di dunia ini.[47] Ketika pemberlakuan penitensi kanonik tersebut dalam suatu durasi tertentu keluar dari kebiasaan, ungkapan-ungkapan sedemikian terkadang disalahartikan sebagai pengurangan jumlah waktu yang dihabiskan jiwa dalam purgatorium.[47] Suatu naskah doa yang pernah dimiliki Henry VIII[48] mengklaim bahwa "berkas duka ini dengan setia mengatakan 5 Pater Noster, 5 Ave Maria dan 1 Kredo..." memberi suatu ampunan dan pengurangan waktu dalam purgatorium selama "52.712 tahun dan 40 hari ampunan".[49] Dalam revisi aturan tentang indulgensi oleh Paus Paulus VI, ungkapan-ungkapan semacam itu dihapuskan, dan digantikan dengan ungkapan "indulgensi sebagian", yang mengindikasikan bahwa orang yang memperoleh indulgensi tersebut karena suatu tindakan kesalehan dianugerahkan, "di samping penghapusan siksa dosa (hukuman) sementara yang diperoleh dari tindakan itu sendiri, suatu penghapusan siksa dosa yang sebanding melalui campur tangan Gereja".[50]

Secara historis, praktik pemberian indulgensi, dan pelanggaran-pelanggaran terkait yang menyebar luas,[51] menyebabkan indulgensi dianggap semakin terkait erat dengan uang, dengan adanya kritik-kritik yang ditujukan terhadap "penjualan" indulgensi, salah satu sumber kontroversi yang merupakan penyebab langsung Reformasi Protestan di Jerman dan Swiss.[52]

Sebagai tempat fisik sunting

 
Dante menatap purgatorium (diperlihatkan sebagai sebuah gunung) dalam lukisan abad ke-16.

Anggapan bahwa Surga, Neraka, dan Purgatorium sebagai tempat-tempat dalam alam semesta fisik bukan merupakan doktrin Gereja. Bagaimanapun, pada zaman antikuitas dan abad pertengahan, Surga dan Neraka secara luas dianggap sebagai tempat-tempat yang berada di dalam alam semesta fisik: Surga "di atas", di langit; Neraka "di bawah", di dalam atau di bawah permukaan bumi. Demikian pula, Purgatorium pada zaman tersebut dianggap sebagai suatu lokasi fisik.

Pada tahun 1206, seorang petani bernama Thurkhill di Inggris mengklaim bahwa Santo Yulianus membawanya berkeliling Purgatorium. Ia memberikan detail terperinci, termasuk deskripsi-deskripsi dari apa yang ia sebut "kamar-kamar penyiksaan" Purgatorium, dan diyakini secara luas, termasuk oleh sejarawan Gereja Roger dari Wendover.[53]

Dalam karya Dante pada abad ke-14 yang berjudul Divina Commedia (Komedi Ilahi), Purgatorium digambarkan sebagai sebuah gunung di belahan bumi bagian selatan dan tampaknya merupakan satu-satunya daratan di sana. Jiwa-jiwa yang mengasihi Allah dan manusia yang setengah hati mendapati diri mereka berada di Gunung Purgatorium, yang memiliki dua tingkatan, kemudian Tujuh Tingkat yang merepresentasikan Tujuh dosa pokok dengan hukuman-hukuman yang ironis. Sebagai contoh, pada tingkat pertama untuk Kesombongan, para penghuninya dibebani batuan-batuan besar yang memaksa mereka untuk melihat contoh Kesombongan seperti pada patung Arakhne di perjalanan mereka mendaki. Saat mencapai puncak gunung, mereka mendapati diri mereka berada di antipode Yerusalem, yaitu Taman Eden. Setelah dibersihkan dari segala dosa dan dijadikan sempurna, mereka menanti dalam firdaus Duniawi sebelum naik ke Surga.

Pada tahun 1999, Paus Yohanes Paulus II menyebut Purgatorium sebagai "suatu kondisi keberadaan",[21] menyiratkan bahwa Purgatorium kemungkinan besar bukan suatu tempat atau lokasi fisik yang sebenarnya, tetapi suatu keadaan yang di dalamnya "mereka yang, setelah wafat, berada dalam suatu keadaan pemurnian, telah berada dalam kasih Kristus yang menghapus sisa-sisa ketidaksempurnaan dari diri mereka."

Pada tahun 2011, Paus Benediktus XVI, berbicara tentang Santa Katarina dari Genoa (1447–1510), mengatakan bahwa pada zamannya pemurnian jiwa-jiwa (Purgatorium) digambarkan sebagai suatu lokasi dalam ruang fisik, namun santa tersebut memandang Purgatorium sebagai suatu api batin yang memurnikan, sebagaimana yang ia alami dalam kesedihan mendalam akibat dosa-dosa yang dilakukan bila dibandingkan dengan kasih Allah yang tanpa batas. St Katarina mengatakan bahwa masih adanya keterikatan pada keinginan dan penderitaan akibat dosa yang diperbuat menjadikan jiwa tidak mungkin dapat menikmati visiun beatifis ("pandangan yang membahagiakan") Allah. Sang Paus berkomentar: "Kita juga merasakan betapa jauhnya kita, betapa kita dipenuhi sedemikian banyak hal sehingga kita tidak dapat melihat Allah. Jiwa menyadari akan dalamnya kasih serta keadilan sempurna Allah, dan konsekuensinya mengalami penderitaan karena gagal menanggapi kasih itu dengan cara yang benar dan sempurna; dan kasih akan Allah itu sendiri menjadi suatu nyala api, kasih itu sendiri membersihkannya dari residu dosa."[54]

Pernyataan Katolik sunting

Kompendium Katekismus Gereja Katolik, pertama kali diterbitkan pada tahun 2005, memuat ringkasan Katekismus Gereja Katolik (KGK) dalam bentuk dialog. Kompendium KGK membahas tentang purgatorium[a] dalam rupa tanya jawab berikut:[56]

210. Apa itu purgatorium?

Purgatorium ialah keadaan mereka yang wafat dalam persahabatan dengan Allah, ada kepastian akan keselamatan kekal mereka, tetapi masih membutuhkan pemurnian untuk masuk ke dalam kebahagiaan surga.

211. Bagaimana kita bisa membantu jiwa-jiwa yang sedang dimurnikan di purgatorium?

Karena persekutuan para kudus, umat beriman yang masih berjuang di dunia ini dapat membantu jiwa-jiwa di purgatorium dengan mempersembahkan doa-doa untuk mereka, khususnya kurban Ekaristi. Umat beriman juga dapat membantu mereka dengan beramal, indulgensi, dan karya penitensi.

Kedua tanya jawab di atas merangkum penjelasan yang terdapat dalam KGK 1020–1032[57] dan 1054,[58] yang dipublikasikan pada tahun 1992, yang juga berbicara tentang purgatorium pada bagian 1472 dan 1473.[59]

Pernyataan-pernyataan otoritatif lainnya ditemukan dalam dokumen-dokumen Konsili Trente tahun 1563[60] dan Konsili Florence tahun 1439.[61]

Katolisisme Timur sunting

Gereja Katolik Timur mencakup gereja-gereja Katolik sui iuris dengan tradisi Timur, dalam persekutuan penuh dengan Sri Paus. Terdapat beberapa perbedaan antara teologi Gereja Latin dan sejumlah Gereja Katolik Timur dalam hal purgatorium, kebanyakan berhubungan dengan terminologi dan spekulasi. Gereja Katolik Timur dengan tradisi Yunani umumnya tidak menggunakan kata "purgatorium", tetapi sependapat bahwa terdapat suatu "pemurnian akhir" bagi jiwa-jiwa yang ditentukan memasuki surga, dan bahwa doa-doa dapat membantu arwah yang berada dalam keadaan "pemurnian akhir". Secara umum, baik jemaat Gereja Latin maupun jemaat Gereja Katolik Timur menganggap perbedaan-perbedaan tersebut sebagai poin-poin perbantahan, tetapi melihatnya sebagai perbedaan-perbedaan kecil dan perbedaan tradisi masing-masing. Sebuah traktat yang mengesahkan penerimaan Gereja Katolik Yunani Ukraina ke dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik Roma menyatakan: "Kita tidak seharusnya berdebat tentang purgatorium, tetapi kita mempercayakan diri kita pada ajaran Gereja Kudus",[62] mengimplikasikan bahwa, menurut pendapat seorang teolog Gereja tersebut, kedua belah pihak dapat saja bersepakat untuk tidak sepakat pada opini-opini dan spekulasi-spekulasi teologis mengenai apa yang disebut Purgatorium, namun terdapat kesepakatan penuh pada dogma esensial.[63] Antara Gereja Latin dan sejumlah Gereja Katolik Timur lainnya, seperti Gereja Katolik Siro-Malabar, tidak terdapat perbedaan seputar opini-opini teologis tentang Purgatorium.[64][65]

Gereja Katolik Timur yang tergabung dalam Tradisi Siria (seperti Katolik Kaldea, Maronit, dan Siria), pada dasarnya percaya pada konsep Purgatorium namun menggunakan istilah yang berbeda, misalnya 'Sheol'. Mereka menyatakan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan doktrin Katolik-Latin.[66]

Gereja Ortodoks Timur sunting

 
Tertidurnya Theotokos (sebuah ikon abad ke-13).

Gereja Ortodoks Timur menolak istilah "purgatorium", namun mengakui adanya suatu keadaan peralihan setelah kematian jasmani. Mereka meyakini adanya penentuan Surga dan Neraka seperti yang dinyatakan dalam Alkitab, dan bahwa doa bagi orang yang telah meninggal dunia adalah perlu. Menurut Keuskupan Agung Ortodoks Yunani Amerika:

Perkembangan moral jiwa, baik untuk yang lebih baik ataupun lebih buruk, berakhir pada saat pemisahan tubuh dan jiwa; pada saat itu juga nasib definitif jiwa dalam kehidupan kekal ditentukan. ... Tidak ada jalan pertobatan, tidak ada jalan keluar, tidak ada reinkarnasi dan tidak ada bantuan dari dunia luar. Tempatnya diputuskan selamanya oleh hakim dan Penciptanya. Gereja Ortodoks tidak percaya akan purgatorium (suatu tempat pembersihan), yaitu, keadaan peralihan setelah kematian yang di dalamnya jiwa-jiwa yang diselamatkan (mereka yang belum menerima hukuman sementara akibat dosa-dosa mereka) dimurnikan dari semua noda sebagai persiapan untuk masuk ke dalam Surga, di mana setiap jiwa adalah sempurna dan layak untuk melihat Allah. Selain itu, Gereja Ortodoks tidak percaya pada indulgensi sebagai remisi dari hukuman purgatoral. Purgatorium dan indulgensi merupakan teori-teori yang saling terkait, tidak terdapat dalam Alkitab ataupun dalam Gereja Purba, dan ketika diberlakukan dan diterapkan membawa praktik jahat dengan mengorbankan Kebenaran Gereja yang berlaku. Seandainya Allah Yang Mahakuasa dalam cinta kasih-Nya yang penuh belas kasihan mengubah situasi yang mengerikan pada pendosa, hal itu tidak diketahui Gereja Kristus. Gereja hidup selama seribu lima ratus tahun tanpa teori semacam itu.[67]

Ajaran Ortodoks Timur adalah bahwa, sementara semua orang menjalani Penghakiman Khusus seketika setelah meninggal dunia, baik orang yang dibenarkan maupun orang fasik tidak mencapai keadaan akhir kebahagiaan ataupun hukuman sebelum hari terakhir,[68] dengan beberapa pengecualian bagi jiwa-jiwa yang dibenarkan seperti Theotokos (Santa Perawan Maria), "yang diusung oleh para malaikat langsung menuju surga".[69]

Gereja Ortodoks Timur berpegang pada keyakinan bahwa diperlukan adanya suatu keadaan peralihan setelah kematian yang di dalamnya orang percaya disempurnakan dan dibawa menuju pengilahian sepenuhnya, suatu proses pertumbuhan dan bukan hukuman, yang disebut purgatorium oleh sejumlah kalangan Ortodoks.[70] Teologi Ortodoks Timur umumnya tidak mendeskripsikan keadaan arwah sebagai situasi yang melibatkan penderitaan ataupun api, kendati mendeskripsikannya sebagai suatu "kondisi yang mengerikan".[71] Jiwa-jiwa dari arwah yang dibenarkan berada dalam keadaan terang dan istirahat, dengan suatu rasa pendahuluan kebahagiaan kekal; tetapi jiwa-jiwa dari orang fasik berada dalam suatu keadaan yang sebaliknya. Sementara jiwa-jiwa yang berpulang dengan iman, tetapi "tanpa sempat menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan..., dapat dibantu menuju tercapainya suatu kebangkitan yang diberkahi [pada akhir zaman] melalui doa-doa yang dipersembahkan demi kepentingan mereka, khususnya yang dipersembahkan dalam persatuan dengan persembahan kurban tak berdarah dari Tubuh dan Darah Kristus, serta melalui karya-karya belas kasih yang dilakukan dengan iman demi kenangan akan mereka."[72]

Keadaan yang dialami jiwa-jiwa seperti demikian sering kali disebut sebagai "Hades".[73]

Pengakuan Iman Ortodoks Peter Mogila (1596–1646), yang diadopsi, dalam sebuah terjemahan Yunani oleh Meletius Syrigos, melalui Konsili Jassy tahun 1642, di Rumania, mengakukan bahwa "banyak yang dibebaskan dari penjara neraka ... melalui karya-karya baik dari mereka yang masih hidup di dunia ini dan doa-doa Gereja bagi mereka, hampir semuanya melalui kurban tak berdarah, yang dipersembahkan pada hari-hari tertentu bagi semua yang masih hidup di bumi dan yang telah meninggal dunia" (pertanyaan 64); dan (di bawah judul "Bagaimana orang harus memandang api purgatorial?") "Gereja dengan tepat melakukan doa-doa dan kurban tak berdarah bagi mereka, namun mereka tidak membersihkan diri mereka sendiri dengan menderita sesuatu. Tetapi, Gereja tidak pernah berpegang pada hal-hal yang berkenaan dengan kisah-kisah fantastis dari beberapa kalangan mengenai jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia, yang tidak melakukan silih dan dihukum, seakan-akan, dalam aliran sungai, mata air, dan rawa-rawa" (pertanyaan 66)."[74]

Sinode Yerusalem (1672) Ortodoks Timur menyatakan bahwa "jiwa-jiwa dari mereka yang telah tertidur tidak berada dalam istirahat ataupun dalam siksaan, menurut apa yang telah diperbuat masing-masing" (suatu kenikmatan ataupun hukuman yang hanya akan dituntaskan setelah kebangkitan orang mati); tetapi sebagian jiwa "pergi ke dalam Hades, dan di sana menanggung hukuman akibat dosa-dosa yang mereka lakukan. Tetapi mereka sadar akan pembebasan mereka dari sana pada masa mendatang, dan diberikan oleh Kebaikan Tertinggi, melalui doa-doa para Imam, dan karya-karya baik yang dilakukan bagi Yang Berpulang oleh kerabat mereka masing-masing; secara khusus Kurban tak berdarah memberikan manfaat yang paling besar; yang dipersembahkan masing-masing terutama bagi kerabatnya yang telah tertidur, dan yang dipersembahkan setiap hari oleh Gereja Katolik dan Apostolik bagi semua yang serupa keadaannya. Tentu saja dipahami bahwa kita tidak mengetahui waktu pembebasan mereka. Kita tahu dan percaya bahwa ada pembebasan sedemikian dari kondisi mengerikan mereka, serta sebelum penghakiman dan kebangkitan umum, tetapi kita tidak mengetahuinya kapan."[71]

Beberapa kalangan Ortodoks percaya pada suatu ajaran tentang adanya "rumah tol aerial" bagi jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia. Menurut teori tersebut, yang ditolak oleh kalangan Ortodoks lainnya tetapi terdapat dalam himnologi Gereja Ortodoks,[75] "setelah kematian seseorang jiwanya meninggalkan tubuhnya dan dihantar kepada Allah oleh malaikat-malaikat. Selama perjalanan ini, jiwa melintasi suatu dunia aerial ("udara") yang dikuasai oleh roh-roh jahat. Jiwa menjumpai roh-roh jahat itu di berbagai titik yang disebut sebagai 'rumah-rumah tol' tempat roh-roh jahat kemudian berusaha untuk menuduhnya karena dosa dan, bila memungkinkan, menarik jiwa ke dalam neraka."[76]

Yudaisme sunting

Dalam Yudaisme, Gehenna merupakan suatu tempat pemurnian yang, menurut sejumlah tradisi, kebanyakan orang berdosa menghabiskan waktu hingga satu tahun sebelum dibebaskan.

Pandangan Yahudi tentang purgatorium dapat ditemukan dalam ajaran golongan Shamai: "Pada hari penghakiman terakhir akan ada tiga golongan jiwa: yang dibenarkan akan segera dituliskan untuk kehidupan abadi; yang fasik, untuk Gehenna; tetapi mereka yang kebajikan dan dosanya mengimbangi satu sama lain akan turun ke Gehenna serta melayang ke atas dan ke bawah sampai mereka naik dalam kemurnian; karena atas mereka dikatakan: 'Aku akan menaruh yang sepertiga itu dalam api dan akan memurnikan mereka seperti orang memurnikan perak. Aku akan menguji mereka, seperti orang menguji emas' [Zakaria 8:9]; juga, 'Ia [TUHAN] menurunkan ke dalam [Sheol] dan mengangkat dari sana'" (1 Samuel 2:6). Golongan Hilel tampaknya tidak memiliki purgatorium; karena mereka mengatakan: "Ia yang berlimpah kasih setia menghendaki keseimbangan ke arah belas kasih, dan konsekuensinya yang dalam peralihan tidak turun ke dalam Gehenna" (Tosef., Sanh. xiii. 3; R. H. 16b; Bacher, "Ag. Tan." i. 18). Mereka masih berbicara tentang suatu keadaan peralihan.

Mengenai waktu berlangsungnya purgatorium, pendapat yang diterima dari Rabi Akiba adalah 12 bulan; menurut Rabi Yohanan bin Nuri hanya 49 hari. Kedua pendapat itu didasarkan pada Yesaya 66:23–24: "Bulan berganti bulan, dan Sabat berganti Sabat, maka seluruh umat manusia akan datang untuk sujud menyembah di hadapan-Ku, firman TUHAN. Mereka akan keluar dan akan memandangi bangkai orang-orang yang telah memberontak kepada-Ku. Di situ ulat-ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam"; Rabi Akiba menafsirkan kata-kata "bulan berganti bulan" untuk menandakan semua bulan dalam setahun; Rabi Yohanan menafsirkan kata-kata "Sabat berganti Sabat" sesuai dengan Imamat 23:15–16, untuk menandakan tujuh minggu. Selama dua belas bulan tersebut, dimaklumkan baraita (Tosef., Sanh. xiii. 4–5; R. H. 16b), jiwa-jiwa dari orang fasik dihakimi, dan setelah dua belas bulan berakhir mereka dibinasakan dan diubah menjadi abu di bawah kaki-kaki orang yang dibenarkan (menurut Maleakhi 4:3), sedangkan para penghujat dan penggoda ulung menjalani siksaan kekal di Gehenna tanpa akhir (menurut Yesaya 66:24).

Namun, mereka yang dibenarkan dan—menurut beberapa kalangan—juga para pendosa di antara orang-orang Israel untuk siapa Abraham bersyafaat, karena mereka menyandang tanda perjanjian Abraham, tidak dirugikan oleh api Gehenna bahkan ketika mereka diharuskan melewati keadaan peralihan purgatorium ('Er. 19b; Ḥag. 27a).[77]

Lihat pula sunting

Catatan sunting

  1. ^ Dalam Kompendium KGK edisi Indonesia digunakan frasa "api penyucian" untuk menyebut purgatorium.[55]

Referensi sunting

  1. ^ (Inggris) "Purgatory," Oxford English Dictionary
  2. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, 1030
  3. ^ (Prancis) Olivier Clément, L'Église orthodoxe. Presses Universitaires de France, 2006, Section 3, IV
  4. ^ (Inggris) Gehinnom
  5. ^ a b c d (Inggris) Purgatory in Encyclopædia Britannica
  6. ^ (Inggris) Collins English Dictionary
  7. ^ (Inggris) Megan McLaughlin, Consorting with Saints: Prayer for the Dead in Early Medieval France (Cornell University Press 1994 ISBN 978-0-8014-2648-3), p. 18
  8. ^ (Inggris) LeGoff, Jacques. The Birth of Purgatory. Trans. Arthur Goldhammer. Chicago: U of Chicago P, 1986, Pg 362–66
  9. ^ Lih. 2 Makabe:12:42–44
  10. ^ (Inggris) Waterworth (editor), J. "The Council of Trent, Decree concerning the Canonical Scriptures". Hanover Historical Texts Project. Diakses tanggal 18 February 2015. 
  11. ^ (Inggris) Council of Trent. "Decree concerning the Canonical Scriptures". EWTN. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-03-23. Diakses tanggal 18 February 2015. 
  12. ^ (Inggris) "1032". Catechism of the Catholic Church. Diakses tanggal 18 February 2015. 
  13. ^ (Inggris) Discourse to the Greeks concerning Hades, paragraph 1
  14. ^ (Inggris) Newman was working on An Essay on the Development of Christian Doctrine since 1842 (Encyclopædia Britannica 1911 Diarsipkan 2014-10-24 di Wayback Machine., i.e. Encyclopaedia Britannica Eleventh Edition, and sent it to the printer in September 1845 (Ian Turnbull Kern, Newman the Theologian - University of Notre Dame Press 1990 ISBN 978-0-268-01469-8, p. 149). He was received into the Catholic Church on 9 October of the same year.
  15. ^ (Inggris) John Henry Newman, An Essay on the Development of Christian Doctrine, chapter 2, section 3, paragraph 2.
  16. ^ Homilies on Exodus 6:4. See (Inggris) Testify: Origen, Martyria and the Christian Life Diarsipkan 2016-10-29 di Wayback Machine., (Latin) Patrologiae cursus completus
  17. ^ Sermons on Ps. 117(116), Sermon 3, 14-15. See (Latin) http://www.documentacatholicaomnia.eu/02m/0339-0397,_Ambrosius,_In_Psalmum_David_CXVIII_Expositio,_MLT.pdf#page=16
  18. ^ Dialogues, Book 4, Ch. 39. See (Latin) http://www.documentacatholicaomnia.eu/01p/0590-0604,_SS_Gregorius_I_Magnus,_Dialogorum_Libri_IV-De_Vita_et_Miraculis_...,_LT.pdf#page=159
  19. ^ Denzinger, The Sources of Catholic Dogma (Enchiridion Symbolorum), 456, 464, 693, 840, 983, 998.
  20. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, 1030–1031
  21. ^ a b (Inggris) Audience of 4 August 1999
  22. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, 1021–1022
  23. ^ (Inggris) David L. Schindler, Love Alone Is Credible (Eerdmans 2008 ISBN 978-0-8028-6247-1), p. 222
  24. ^ a b (Inggris) CCC 1030–1032
  25. ^ (Inggris) Purgatory is only for those destined towards heaven, and is viewed as a preparation for the Beautific Vision. CCC 1054
  26. ^ (Inggris) CCC 1854
  27. ^ (Inggris) CCC 1857
  28. ^ (Inggris) CCC 1861
  29. ^ a b c (Inggris) __P6C.HTM CCC 1863
  30. ^ (Inggris) CCC 1875
  31. ^ (Inggris) Jack Mulder, Kierkegaard and the Catholic Tradition: Conflict and Dialogue (Indiana University Press 2010 ISBN 978-0-253-35536-2), pp. 182–183
  32. ^ (Inggris) Benedict J. Groeschel, A Still, Small Voice (Ignatius Press 1993 ISBN 978-0-89870-436-5)
  33. ^ a b c (Inggris) Catholic Encyclopedia on Purgatory
  34. ^ Mazmur 66:12
  35. ^ (Inggris) Jean-Yves Lacoste, Encyclopedia of Christian Theology (Taylor and Francis, 2004 ISBN 978-1-57958-250-0), p. 1322
  36. ^ (Inggris) "Each one will be presented to the Judge exactly as he was when he departed this life. Yet, there must be a cleansing fire before judgment, because of some minor faults that may remain to be purged away. Does not Christ, the Truth, say that if anyone blasphemes against the Holy Spirit he shall not be forgiven 'either in this world or in the world to come'(Mt. 12:32)? From this statement we learn that some sins can be forgiven in this world and some in the world to come. For, if forgiveness is refused for a particular sin, we conclude logically that it is granted for others. This must apply, as I said, to slight transgressions." Gregory the Great [regn. A.D. 590–604], Dialogues, 4:39 (A.D. 594).
  37. ^ (Inggris) "For if on the foundation of Christ you have built not only gold and silver and precious stones (1 Cor.,3); but also wood and hay and stubble, what do you expect when the soul shall be separated from the body? Would you enter into heaven with your wood and hay and stubble and thus defile the kingdom of God; or on account of these hindrances would you remain without and receive no reward for your gold and silver and precious stones; neither is this just. It remains then that you be committed to the fire which will burn the light materials; for our God to those who can comprehend heavenly things is called a cleansing fire. But this fire consumes not the creature, but what the creature has himself built, wood, and hay and stubble. It is manifest that the fire destroys the wood of our transgressions and then returns to us the reward of our great works." Origen, Homilies on Jeremias, PG 13:445, 448 ( A.D. 244).
  38. ^ (Inggris) "When he has quitted his body and the difference between virtue and vice is known he cannot approach God till the purging fire shall have cleansed the stains with which his soul was infested. That same fire in others will cancel the corruption of matter, and the propensity to evil." Gregory of Nyssa, Sermon on the Dead, PG 13:445,448 (ante A.D. 394).
  39. ^ (Inggris) Catholic Encyclopedia on "poena sensus"
  40. ^ (Inggris) CCC 1031
  41. ^ (Inggris) CCC 1473. In his 2007 encyclical Spe salvi, Pope Benedict XVI applies to the purgation of souls after death the words of Paul the Apostle in 1 Corinthians:3:12–15-NKJV about some being "saved, but only as through fire"; in the encounter with Christ after death, Christ's "gaze, the touch of his heart heals us through an undeniably painful transformation 'as through fire'. But it is a blessed pain, in which the holy power of his love sears through us like a flame, enabling us to become totally ourselves and thus totally of God" (Spe salvi, 46–47).
  42. ^ (Inggris) CCC 1472
  43. ^ (Latin) Cabrol and Leclercq, Monumenta Ecclesiæ Liturgica. Volume I: Reliquiæ Liturgicæ Vetustissimæ (Paris, 1900–2) pp. ci–cvi, cxxxix.
  44. ^ (Inggris) CCC 1032
  45. ^ (Inggris) __P4G.HTM CCC 1471
  46. ^ (Inggris) CCC 1479
  47. ^ a b (Inggris) Indulgences in the Church | Catholic-Pages.com Diarsipkan 2016-10-31 di Wayback Machine.
  48. ^ http://pressandpolicy.bl.uk/Press-Releases/British-Library-unrolls-Henry-VIII-s-pious-past-25d.aspx
  49. ^ (Inggris) Starkey, D. 2009. Henry Virtuous Prince p.202 Harper Perennial. ISBN 978-0-00-724772-1
  50. ^ (Inggris) Pope Paul VI, Apostolic Constitution on Indulgences Diarsipkan 2018-10-04 di Wayback Machine., norm 5
  51. ^ (Inggris) Section "Abuses" in Catholic Encyclopedia: Purgatory
  52. ^ (Inggris) Catholic Encyclopedia: Reformation
  53. ^ (Inggris) King John by Warren. Published by the University of California Press in 1961. p. 11
  54. ^ (Inggris) General Audience Talk, 12 January 2011
  55. ^ Lih. Kompendium Katekismus Gereja Katolik (PDF), Diterjemahkan dari Catechismo della Chiesa Cattolica oleh Harry Susanto, SJ., versi daring diambil dari Situs Vatikan (edisi ke-2013, VIII), KWI dan Penerbit Kanisius, hlm. 75–76, ISBN 978-979-21-2184-1 
  56. ^ (Inggris) Compendium of the Catechism of the Catholic Church, 210–211
  57. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, sections 1020–1032
  58. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, section 1054
  59. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, sections 1472–1473
  60. ^ (Inggris) Decree concerning Purgatory Diarsipkan 2019-04-08 di Wayback Machine.
  61. ^ (Inggris) Denzinger 1304 – old numbering 693
  62. ^ (Inggris) Treaty of Brest, Article 5
  63. ^ Doctrine
  64. ^ (Inggris) Saint Alphonsa Syro-Malabar Catholic Church
  65. ^ (Inggris) Answers from the Bishop Diarsipkan 2019-09-22 di Wayback Machine.
  66. ^ (Inggris) All Souls Day and Purgatory in the Syriac Tradition
  67. ^ (Inggris) Death, The Threshold to Eternal Life
  68. ^ (Inggris) John Meyondorff, Byzantine Theology (London: Mowbrays, 1974) pp. 220–221. "At death man's body goes to the earth from which it was taken, and the soul, being immortal, goes to God, who gave it. The souls of men, being conscious and exercising all their faculties immediately after death, are judged by God. This judgment following man's death we call the Particular Judgment. The final reward of men, however, we believe will take place at the time of the General Judgment. During the time between the Particular and the General Judgment, which is called the Intermediate State, the souls of men have foretaste of their blessing or punishment" (The Orthodox Faith Diarsipkan 2007-12-18 di Wayback Machine.).
  69. ^ (Inggris) Michael Azkoul, What Are the Differences Between Orthodoxy and Roman Catholicism? Diarsipkan 2004-06-03 di Wayback Machine.
  70. ^ (Inggris) Ted A. Campbell, Christian Confessions: a Historical Introduction (Westminster John Knox Press 1996 ISBN 0-664-25650-3), p. 54
  71. ^ a b (Inggris) Confession of Dositheus Diarsipkan 2009-02-21 di Wayback Machine., Decree 18
  72. ^ (Inggris) Catechism of St. Philaret of Moscow, 372 and 376; Constas H. Demetry, Catechism of the Eastern Orthodox Church p. 37; John Meyondorff, Byzantine Theology (London: Mowbrays, 1974) p. 96; cf. "The Orthodox party ... remarked that the words quoted from the book of Maccabees, and our Saviour's words, can only prove that some sins will be forgiven after death" (OrthodoxInfo.com, The Orthodox Response to the Latin Doctrine of Purgatory)
  73. ^ (Inggris) What Are the Differences Between Orthodoxy and Roman Catholicism? Diarsipkan 2004-06-03 di Wayback Machine.; Constas H. Demetry, Catechism of the Eastern Orthodox Church p. 37
  74. ^ (Inggris) Orthodox Confession of Faith Diarsipkan 1999-04-21 di Wayback Machine., questions 64–66.
  75. ^ (Inggris) In both the Greek and Slavonic Euchologion, in the canon for the departure of the soul by St. Andrew, we find in Ode 7: "All holy angels of the Almighty God, have mercy upon me and save me from all the evil toll-houses" (Evidence for the Tradition of the Toll Houses found in the Universally Received Tradition of the Church). Diarsipkan 2010-11-26 di Wayback Machine. "When my soul is about to be forcibly parted from my body's limbs, then stand by my side and scatter the counsels of my bodiless foes and smash the teeth of those who implacably seek to swallow me down, so that I may pass unhindered through the rulers of darkness who wait in the air, O Bride of God" (Octoechos, Tone Two, Friday Vespers). Diarsipkan 2014-04-22 di Wayback Machine. "Pilot my wretched soul, pure Virgin, and have compassion on it, as it slides under a multitude of offences into the deep of destruction; and at the fearful hour of death snatch me from the accusing demons and from every punishment" (Ode 6, Tone 1 Midnight Office for Sunday). Diarsipkan 2014-04-22 di Wayback Machine.
  76. ^ (Inggris) Death and the Toll House Controversy Diarsipkan 2016-11-06 di Wayback Machine.
  77. ^ (Inggris) "There are three categories of men; the wholly pious and the arch-sinners are not purified, but only those between these two classes" (Jewish Encyclopedia: Gehenna)

Pranala luar sunting