Apotek
Konten dan perspektif penulisan artikel ini hanya berpusat pada sudut pandang dari negara Indonesia dan tidak menggambarkan wawasan global pada subjeknya. |
Apotek (berasal dari bahasa Belanda: Apotheek)[a] adalah tempat menjual dan kadang membuat atau meramu obat. Apotek juga merupakan tempat apoteker melakukan praktik profesi farmasi sekaligus menjadi peritel. Kata ini berasal dari kata bahasa Yunani apotheca yang secara harfiah berarti "penyimpanan".
Sejarah
suntingIstilah Apoteke atau Apotek mulai diperkenalkan oleh seorang dokter atau tabib Romawi bernama Galen (131-201 CE), yang menamakan tempatnya memeriksa pasien sebagai "latron" dan tempatnya menyimpan obat disebut "apotheca", yang secara harfiah berarti gudang. Nama Galen saat ini diabadikan sebagai sebutan ilmu meracik obat secara mekanis (dgn mortar misalnya), yaitu Galenicals.
Meskipun apotek sebagai nama gudang obat sudah sejak abad ke-2, namun apotek sebagai tempat pembuatan dan penyaluran obat baru ada pada tahun 750 CE, 500 tahun setelah zaman Galen, dan tempatnya di Baghdad, bukan di Romawi. Citra dan status apotek di Baghdad ketika itu amat tinggi dan terkenal, sehingga tidak sedikit orang yang melengkapi namanya dengan atribut "Ibn-al-attar" yang artinya "anak apoteker". Salah satu tokoh farmasi ternama adalah Avicenna alias Ibnu Sina, seorang dokter-farmasi dari Persia yg hidup pada tahun 930-1037 CE.
Hingga awal abad ke-13, belum dikenal istilah APOTEKER atau PHARMACIST, dokter dan apoteker masih menjadi satu profesi yg disebut antara lain: medicineman, healer, shaman, tabib, sinshe, dukun dan lain-lain. Pada tahun 1240, kerajaan Sisilia mengeluarkan undang-undang yg memisahkan antara profesi dokter dan apoteker. Dokter hanya boleh memeriksa pasien, menuliskan resep obat. Kemudian resep dibuatkan obat oleh apoteker, yg dibawa kembali kepada dokter untuk diminumkan kepada pasien. Kemudian pada tahun 1407, terbitlah Pharmacist's Code of Genoa yg melarang seorang apoteker bekerja sama dengan seorang dokter.
Zaman Kolonial Hindia Belanda
suntingApoteker sebagai profesi di Indonesia sebenarnya relatif masih muda dan baru dapat berkembang secara berarti setelah masa kemerdekaan. Pada zaman penjajahan, baik pada masa kolonial Hindia Belanda maupun masa pendudukan Jepang, kefarmasian di Indonesia pertumbuhannya sangat lambat, dan profesi ini belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia, para tenaga farmasi yang ada di Indonesia pada umumnya, masih terdiri dari asisten dari apoteker dengan jumlah yang sangat sedikit dan umumnya berasal dari Denmark, Austria, Jerman dan Belanda.
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada dasarnya diawali dengan pendidikan asisten apoteker pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pendidikan asisten apoteker dilakukan dengan sistem "magang" di tempat kerjanya, yaitu di apotek oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah apotek. Setelah calon asisten apoteker telah bekerja dalam jangka waktu tertentu di apotek dan dianggap memenuhi syarat, maka diadakan ujian pengakuan yang diselenggarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Menurut catatan yang ada, asisten apoteker warga Belanda lulusan Hindia Belanda yang pertama adalah pada tahun 1906 yang diuji di Surabaya. Inlander (pribumi Hindia Belanda) yg tercatat sebagai lulusan pertama pada tahun 1908 yang diuji di Surabaya dan lulusan kedua terjadi pada tahun 1919 yang diuji di Semarang.
Dari buku Verzameling Voorschriften tahun 1936 yang dikelurkan oleh DVG dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan dengan Surat Keputusan Pemerintah tanggal 7 Oktober 1918 nomor 38, yang kemudian diubah dengan urat keputusan tanggal 28 Januari 1923 nomor 15 (Staatblad. no. 50) dan 28 Juni 1934 nomor 45 (Staatblad 392) dengan nama “Leergang voor de opleiding van apotheker-bedienden onder den naam van apothekers-assistenschool“.
Peraturan ujian asisten apoteker dan persyaratan izin kerja diatur dalam surat keputusan Kepala DVG tanggal 16 Maret 1933 nomor 8512/F yang kemudian diubah lagi dengan surat keputusan tanggal 8 September 1936 nomor 27817/F dan tanggal 6 April 1939 nomor 11161/F. Dalam peraturan tersebut antara lain dinyatakan bahwa persyaratan untuk menempuh ujian asisten apoteker ialah harus berijazah MULO Bagian B, surat keterangan bahwa calon telah melakukan pekerjaan kefarmasian secara terus menerus selama 20 bulan di bawah pengawasan seorang apoteker di Belanda atau di Hindia Belanda yang memimpin sebuah apotek atau telah mengikuti pendidikan asisten apoteker di Batavia.
Dengan adanya peraturan itu pula, maka ujian hanya diselenggarakan di Batavia, tidak lagi di Surabaya dan Semarang. Setelah didirikan Sekolah Asisten Apoteker tersebut, lulusan asisten apoteker sedikit meningkat rata-rata 15 orang setahun, bahkan pada tahun 1941 tercatat lulusan asisten apoteker sebanyak 23 orang. Sebelum dibentuk sekolah tersebut setahun rata-rata hanya 5 orang, yang kesemuanya berasal dari pendidikan praktik di apotek.
Masa Pendudukan Jepang
suntingPada masa pendudukan Jepang dirintis pendidikan tinggi farmasi pada tanggal 1 April 1943 dengan nama Yakugaku, sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku. Selanjutnya pada tahun 1944, pemerintah pendudukan Jepang membuka pendidikan asisten apoteker dengan masa pendidikan selama 8 bulan dan siswa berasal dari lulusan SMP. Sampai Agustus 1945, telah dihasilkan dua angkatan dengan jumlah yang sangat sedikit. Setelah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, pendidikan tinggi farmasi ini lantas bubar dan segenap siswanya ikut berjuang.
Masa Kemerdekaan
suntingPada masa perang kemerdekaan, kefarmasian di Indonesia mencatat 2 peristiwa bersejarah yang sangat berarti, yakni:
- 27 September 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten, Jawa Tengah, yang kemudian menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
- 1 Agustus 1947 di Bandung diresmikan jurusan Farmasi dari Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universiteit van Indonesia (UvI) yang kemudian menjadi Departemen Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang ini.
Untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan akan tenaga madya di bidang farmasi, pada tahun 1950 di Jakarta dibuka sekolah asisten apoteker negeri yang pertama, dengan jangka waktu pendidikan selama dua tahun. Lulusan angkatan pertama sekolah asisten apoteker ini tercatat sekitar 30 orang. Pada tanggal 5 September 1953 Bagian Farmasi Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Farmasi UGM untuk pertama kali menghasilkan 2 orang apoteker. Sekitar satu setengah tahun kemudian Bagian Farmasi Institut Teknologi Bandung menghasilkan apoteker pertama pada tanggal 2 April 1955.
Dikarenakan masih kekurangan tenaga apoteker, pada tahun 1953 dikeluarkan Undang Undang nomor 3 tentang Pembukaan Apotek. Sebelum dikeluarkannya UU tersebut untuk membuka apotek boleh dilakukan di mana saja dan tidak diperlukan izin dari Pemerintah. Dengan adanya UU tersebut maka Pemerintah dapat menutup kota kota tertentu untuk mendirikan apotek baru karena jumlahnya sudah dianggap cukup memadai. Izin pembukaan apotek hanya diberikan untuk daerah-daerah yang belum ada atau belum memadai jumlah apoteknya.
UU nomor 3 tersebut kemudian diikuti keluarnya UU nomor 4 tahun 1953 tentang Apotek Darurat yang membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek. UU Apotek Darurat ini sebenarnya harus berakhir pada tahun 1958 karena ada klausul yang termaktub dalam UU tersebut yang menyebutkan bahwa UU tersebut tidak berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasilkan oleh Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia. Tetapi karena lulusan apoteker ternyata sangat sedikit, UU Apotek Darurat tersebut diperpanjang sampai tahun 1963 dan perpanjangan tersebut berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan tanggal 29 Oktober 1963 nomor 770/Ph/63/b.
Sampai tahun 1963, apotek-apotek di Indonesia masih ada yg bercampur dengan praktik dokter, atau disebut "apotek-dokter", selain ada yg namanya "apotek darurat" atau apotek yg dipimpin seorang asisten apoteker. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek, maka berakhir pula izin-izin apotek dokter dan apotek darurat.
Sebelumnya SK Menteri Kesehatan Nomor 33148/Kab/176 tanggal 8 Juni 1962, antara lain menetapkan pelarangan izin baru untuk pembukaan apotek-dokter, dan semua izin apotek-dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 1963. Sedangkan berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1963 yang isinya antara lain: pelarangan penerbitan izin baru untuk pembukaan apotek darurat, dan semua izin apotek darurat Ibu kota Daerah Tingkat I dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Februari 1964, dan semua izin apotek darurat di ibu kota Daerah Tingkat II dan kota-kota lainnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Mei 1964.