Bahasa Jawa Semarang
Bahasa Jawa Semarang atau Dialek Semarang (bahasa Jawa: ꦧꦱꦗꦮꦶꦱꦼꦩꦫꦁ, translit. Basa Jawi Sêmarang) adalah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di wilayah Kedungsepur atau Jawa Tengah dan sekitarnya. Dialek ini memiliki kemiripan leksikal dengan bahasa Jawa Standar.[2] Namun lebih kentara dalam menyerap kosakata asingnya karena dipengaruhi letak teritorialnya yang berada di pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, budaya heterogen daerah pesisir membuat perbendaharaan kosakatanya makin beragam.[2]
Bahasa Jawa Semarang
ꦧꦱꦗꦮꦶꦱꦼꦩꦫꦁ Basa Jawi Sêmarang | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Dituturkan di | Indonesia | ||||||
Wilayah | Kedungsepur (Jawa Tengah) | ||||||
Etnis | Jawa | ||||||
Penutur | |||||||
| |||||||
Aksara Jawa Abjad Pegon Alfabet Latin | |||||||
Status resmi | |||||||
Diatur oleh | Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah | ||||||
Kode bahasa | |||||||
ISO 639-3 | – | ||||||
Glottolog | sema1270 [1] | ||||||
Lokasi penuturan | |||||||
Wilayah Kedungsepur di mana dialek Semarang dipertuturkan secara dominan. | |||||||
Portal Bahasa | |||||||
Kosakata
suntingLetak daerah Semarang yang secara geografis merupakan daerah heterogen karena meliputi wilayah pesisir dan pegunungan membuat dialek yang dipakai memiliki kata ngoko, ngoko andhap dan madyå di Semarang ada pada zaman sekarang.
- Frasa: "Yo ora.." (Ya tidak) dalam dialek semarang menjadi "Yo orak to ". Kata ini sudah menjadi dialek sehari-hari para penduduk Semarang.
- Contoh lain: " kuwí ugå" (itu juga) dalam dialek Semarang menjadi "kuwi barang" ("barang" diucapkan sampai sengau memakai huruf h "bharhang").
Para pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat frasa, misalnya Lampu abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi "Bang-Jo", Limang rupiyah (5 rupiah) menjadi "mang-pi", kebun binatang menjadi "Bon-bin", seratus (100) menjadi "nyatus/satus", dan sebagainya. Namun tak semua frasa bisa disingkat, sebab tergantung kepada kesepakatan dan minat para penduduk Semarang mengenai frasa mana yang disingkat. Jadi contohnya "Taman lele" tak bisa disingkat "Tam-lěl" juga Gedung Batu tak bisa menjadi "Gé-bat" tetapi bisa diucapkan dengan “dung batu”, dsb.
Namun ada juga kalimat-kalimat yang disingkat, contohnya; "Kae lho pak mu Nodri" artinya "Itu lho pamanmu dari Wonodri". "Arep numpak Kijang kol" artinya akan menumpang omprengan. Zaman dulu kendaraan omprengan biasa menggunakan mobil merk "Colt", disebut "kol" maka setelah diganti "Toyota Kijang" menjadi Kijang-kol. Apa lacur kini ada yang menjadi "mercy-kol".
Adanya para warga/budaya yang heterogen dari Jawa, Tiongkok, Arab, Pakistan/India juga memiliki sifat terbuka dan ramah di Semarang tadi, juga akan menambah kosakata dan dialektik Semarang di kemudian hari. Adanya bahasa Jawa yang dipergunakan tetap mengganggu bahasa Jawa yang baku, sama dengan di daerah Solo. Artinya, jika orang Kudus, Pekalongan, Boyolali pergi ke kota Semarang akan gampang dan komunikatif berkomunikasi dengan penduduknya.
Dialek Semarang memiliki kata-kata yang khas yang sering diucapkan penuturnya dan menjadi ciri tersendiri yang membdakan dengan dialek Jawa lainnya. Orang Semarang suka mengucapkan kata-kata seperti "Piyé, jal?" (=Bagaimana, coba?) dan "Yo, městi!". Orang semarang lebih suka menggunakan kata "He'e" daripada "Yo". Pengucapan kata "sedelok" (sebentar), biasanya Orang Semarang lebih sering menggunakan kata "sědiluk, diluk, dilit" atau yang paling singkat adalah “sek”. Contoh : "Sědiluk, yo." (Sebentar, ya).
Orang Semarang juga lebih banyak menggunakan partikel "ik" untuk mengungkapkan kekaguman atau kekecewaan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh bahasa Jawa. Misalnya untuk menyatakan kekaguman:"Alangkah indahnya!", orang Semarang berkata: "Apík, ik!". Contoh lain untuk menyatakan kekecewaan: "Sayang, orangnya pergi!", orang Semarang berkata: "Wòngé lungo, ik"!.
Partikel "ik" kemungkinan berasal dari kata "iku" yang berarti "itu' dalam bahasa Jawa, sehingga untuk mengungkapkan kesungguhan orang Semarang mengucapkan "He'e, ik!" atau "Yo, ik".
Beberapa kosakata khas Semarang adalah: "sêmèh" Yang berarti "ibu" dan "sêbèh" yang berarti "ayah", yang dalam dialek Jawa yang lain, "sěbèh" sering dipakai dalam arti "mantra" atau "guna-guna"
Di Semarang tahun 1980-an mulai dikenal kata "Rob" yang berarti naiknya air laut atau banjir air laut. Dan sekarang kata "Rob" digunakan sebagai Bahasa Indonesia.
Referensi
sunting- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Dialek Semarang". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ a b Sudjati (1976). Bahasa Jawa dialek Semarang : laporan penelitian untuk Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Semarang: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. OCLC 220222345.
Pranala luar
sunting- Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa (PUEBJ)
- Leksikon bahasa Jawa di Sastra.org
- Bausastra Jawa oleh W.J.S. Poerwadarminta
- Kamus bahasa Indonesia-Jawa
- Kamus bahasa Jawa-Inggris di SEAlang Projects