Bank Andromeda
Bank Andromeda merupakan salah satu bank yang lahir berkat adanya kebijakan PAKTO 1988. Bank ini dimiliki secara patungan oleh pengusaha Prajogo Pangestu (50%), Henry Pribadi (25%) dan Bambang Trihatmodjo (25%).[1] Bank ini didirikan secara resmi pada 3 Juni 1989[2] dan mulai beroperasi pada 15 Mei 1990. Kantor utamanya pertama kali berada di Jalan Cikini 91,[3] kemudian berpindah ke Wisma Barito Pacific pada 15 Mei 1991.[4] Nama asli Bank Andromeda adalah Andromeda Bank; nama tersebut kemudian berubah menjadi Bank Andromeda pada tahun 15 Maret 1996.[5] Bank Andromeda sendiri berhasil mendapat izin sebagai bank devisa pada 5 Agustus 1994.[2] Slogannya adalah “Bersama Anda Mengabdi dan Membangun”.
Sebelumnya | Andromeda Bank (1989–1996) |
---|---|
Swasta | |
Industri | Jasa keuangan |
Nasib | Dilikuidasi |
Didirikan | 03 Juni 1989 |
Ditutup | 01 November 1997 |
Kantor pusat | Wisma Barito Pacific, , Indonesia |
Pemilik | Prajogo Pangestu (50%) Henry Pribadi (25%) Bambang Trihatmodjo (25%) |
Kiprah sebagai bank yang dimiliki oleh para konglomerat, membuatnya sama seperti bank lain pada zaman itu yaitu digunakan sebagai “sapi perah” pemiliknya. Tidak tanggung-tanggung, bank tersebut digunakan untuk membiayai proyek Bambang-Prajogo yaitu Chandra Asri.[6] Pada akhirnya bank tersebut mengalami kelimbungan dan pemerintah memutuskan untuk melikuidasinya bersama 15 bank lain pada 1 November 1997. Sebelumnya pemilik saham sudah berusaha menyelamatkan bank tersebut dengan menyuntikkan dana Rp 350 miliar, tetapi BI menolaknya.[7]
Peristiwa tersebut sempat menuai keheranan publik karena bank tersebut dimiliki oleh seorang putra presiden, dan adanya friksi antara Bambang dan Depkeu-BI, dimana Bambang mengguggat likuidasi itu ke PTUN pada 5 November 1997,[8] meskipun kemudian dicabut pada 12 November 1997.[9] Berbeda dengan 15 bank yang dilikuidasi pada hari yang sama yang dibayar uang nasabahnya oleh negara, bank ini justru uang nasabahnya dibayar oleh pemiliknya sendiri.[10] Sialnya setelah peristiwa tersebut, Bambang diizinkan membeli sebuah bank kecil bernama Bank Alfa, dimana izinnya saja yang dibeli sementara asetnya dijual ke bank Risjad Salim Internasional. Izin bank Alfa itu digunakan untuk menampung aset Bank Andromeda. Akibat peristiwa tersebut, banyak yang menganggap likuidasi dilakukan tidak serius, sehingga justru merugikan kredibilitas pemerintah dalam menjalankan program IMF.[11] Setelah kejatuhan Soeharto, Prayogo, Bambang dan eksekutif Bimantara Peter Gontha sempat diperiksa oleh polisi meskipun tidak berlanjut.[12]