Suku Pesisir
Suku Pesisir (bahasa Pesisir: Ughang Pasisi) adalah sebuah kelompok etnis yang tersebar di pesisir barat Sumatera Utara. Suku Pesisir merupakan keturunan dari orang Minangkabau yang bermigrasi ke Tapanuli sejak abad ke-14 dan telah bercampur dengan suku lain, yaitu suku Batak dan Aceh.
Ughang Pasisi | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Daerah dengan populasi signifikan | |||||||||
Tapanuli Tengah, Sumatera Utara | |||||||||
Bahasa | |||||||||
Pesisir Indonesia | |||||||||
Agama | |||||||||
Islam | |||||||||
Kelompok etnik terkait | |||||||||
Minangkabau • Batak • Aceh |
Sejarah terbentuknya kelompok suku ini tidak jauh berbeda dengan sejarah terbentuknya suku Aneuk Jamee di pantai barat Aceh, masyarakat Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan beberapa kelompok masyarakat lainnya, yang merupakan diaspora dari para perantau Minang sejak berabad-abad yang lalu.
Etimologi
Pesisir atau Pasisi bermakna wilayah yang berada di tepi lautan. Penamaan 'Etnis Pesisir' untuk kelompok masyarakat yang mendiami pesisir barat Sumatera Utara tidak pernah dikenal hingga akhir abad ke-20. Istilah ini dikemukakan untuk membedakan kelompok masyarakat di pesisir barat Sumatera Utara dengan masyarakat Batak di pedalaman. Berdasarkan ruang geografis etnisitas yang disusun oleh Collet (1925), Cunningham (1958), Reid (1979) dan Sibeth (1991), di pesisir barat Sumatera Utara terdapat kelompok masyarakat yang bukan merupakan bagian dari etnis Batak.[1] Kelompok ini merupakan para perantau dari Minangkabau yang telah bermigrasi ke pesisir barat Tapanuli sejak berabad-abad lalu.[2] Dalam perkembangannya, istilah Suku Pesisir lebih digunakan untuk mempertegas kepentingan politik masyarakat Sibolga-Tapanuli Tengah, terutama untuk menghindari dominasi orang Batak dari pedalaman.[3]
Sejarah
Pada abad ke-14, banyak masyarakat Minangkabau yang melakukan migrasi ke Tapanuli Tengah. Tujuan mereka ialah untuk menjadikan Barus sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Pagaruyung, bersama Tiku dan Pariaman, yang menjadi tempat keluar masuknya perdagangan di Pulau Sumatra.[4] Kedatangan mereka ke Barus menyebabkan tersingkirnya para pedagang Tamil yang sudah berdagang di kota itu sejak ratusan tahun sebelumnya.[5]
Gelombang berikutnya ialah rombongan yang dipimpin oleh Sultan Ibrahimsyah yang berasal dari Pesisir Selatan. Rombongan ini kemudian mendirikan Kesultanan Barus yang menjadi salah satu vassal Kerajaan Pagaruyung yang mempunyai pengaruh kuat di pesisir barat Sumatra.[6] Kedatangan orang Minang berlanjut setelah dibentuknya residentie Tapanuli yang beribu kota di Sibolga. Pemerintah Hindia Belanda banyak mempekerjakan mereka untuk mengisi jabatan guru dan di pemerintahan. Sejak pertengahan abad ke-19, masyarakat dari pedalaman Toba, Angkola, dan Mandailing mulai banyak bermukim di Barus, Sorkam, dan Sibolga. Mereka berasimilasi dengan masyarakat Minangkabau dan membentuk kelompok masyarakat Pesisir. Pada sensus penduduk tahun 2000, masyarakat Pesisir diklasifikasikan sebagai etnis tersendiri yang berbeda dengan Batak. Pada tahun 2008, sebagian besar kelompok masyarakat Pesisir menolak bergabung dengan etnis Batak Toba untuk mendirikan Provinsi Tapanuli.[7]
Penyebaran
Suku Pesisir tersebar di Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, pesisir Tapanuli Selatan, pesisir Mandailing Natal, dan juga perantauan di Medan.
Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat Pesisir merupakan salah satu dialek dari Bahasa Minangkabau. Terdapat beberapa kosakata yang diambil dari Bahasa Batak dan Bahasa Aceh. Percampuran bahasa ini dikenal dengan Bahasa Pesisir yang menjadi bahasa pergaulan sehari-hari (lingua franca) di pesisir barat Tapanuli.
Adat dan budaya
Sebagai wilayah rantau Minangkabau, kebudayaan etnis Pesisir banyak dipengaruhi oleh Budaya Minangkabau atau yang dikenal dengan "Adat Sumando".[8] Adat dan budaya Suku Pesisir yang serupa dengan budaya Minangkabau ialah dalam menyambut para tamu, dimana masyarakat Pesisir juga menggunakan Tari Parsambahan. Meski tidak menganut sistem matrilineal, namun etnis Pesisir juga memiliki kepala kaum yang dipanggil mamak. Untuk pemanggilan kepada saudara orang tua perempuan, etnis Pesisir juga menggunakan istilah mak tuo, mak angah, dan mak etek. Sedangkan untuk pemanggilan kepada saudara kandung laki-laki, adalah tuan adik, tak ogek, kak uti dan tak ajo, dan untuk penyebutan saudara kandung perempuan antara lain uniang, accik, cek angah, dan teti/teta.
Seni pertunjukan etnis Pesisir antara lain kesenian Sikambang, Tari Senyum Minang Manis, Bagala Duo Baleh, dan Randai. Dalam adat pernikahan, orang Pesisir biasa melakukan prosesi malam bainai dan manjapuk yang juga banyak dijumpai di rantau Minangkabau lainnya.[9] Untuk seorang bangsawan pada masyarakat Pesisir, masih diberikan gelar Sutan dan Marah yang dapat kita temukan pada etnis Minangkabau di belakang namanya.[10]
Tokoh masyarakat
Disamping tetap mempertahankan beberapa aspek budaya Minangkabau, seperti bahasa, seni, dan kuliner, etnis Pesisir juga mengadopsi beberapa aspek budaya Batak. Diantaranya pemakaian marga di belakang nama utama, seperti umumnya masyarakat Batak di pedalaman. Beberapa tokoh ternama dari Suku Pesisir diantaranya Akbar Tanjung, Faisal Tanjung, Chairul Tanjung, dan Zainul Arifin.
Sumber
- ^ Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas, Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, École Franc̦aise d'Extrême-Orient, 1995
- ^ Jane Drakard, A Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran Kingdom
- ^ http://apakabarsidimpuan.com Diarsipkan 2015-02-05 di Wayback Machine. Ketua DPRD Persoalkan Pakaian Adat Pesisir Sibolga Diarsipkan 2015-10-07 di Wayback Machine.
- ^ Cortesao A., The Suma Oriental of Tome Pires, London, 1944
- ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula
- ^ Jane Drakard, Sejarah Raja-raja Barus: Dua Naskah dari Barus, Penerbit Angkasa dan École Franc̦aise d'Extrême-Orient, 1988
- ^ http://www.jpnn.com RUU Provinsi Tapanuli Terganjal Sibolga Diarsipkan 2015-10-05 di Wayback Machine.
- ^ Chatib Soeleman, Adat Poesaka, Voor eensluidend konform, Sohrijver Koeriahoof Sibolga, Kassianoes, 1851
- ^ Refelina Puspita, Unsur Budaya Melayu & Minang dalam Budaya Pesisir Sibolga Sumatera Utara, Unimed, 2014
- ^ Elizabeth Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century, Cornell University, 1981