Putut
Putut | |
---|---|
Pelat botani menurut Nodder (lk. 1770-1800) | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Klad: | Tracheophyta |
Klad: | Angiospermae |
Klad: | Eudikotil |
Klad: | Rosid |
Ordo: | |
Famili: | |
Genus: | |
Spesies: | B. gymnorhiza
|
Nama binomial | |
Bruguiera gymnorhiza | |
Sinonim | |
Sumber: POWO (2022)[2] |
Putut, tumu, atau kendeka (Bruguiera gymnorhiza) adalah sejenis perdu atau pohon kecil penghuni hutan bakau, anggota suku Rhizophoraceae. Pohon yang sering ditemukan di bagian dalam zona intertidal ini menyebar luas di pantai-pantai Samudra Hindia semenjak Afrika Timur, Madagaskar, India, Asia Tenggara, dan Nusantara, serta menyeberang hingga Australia tropis dan Pasifik Barat.[3]
Tumbuhan ini juga dikenal dengan nama-nama lokal seperti pertut (Aceh); taheup, tenggel (Sim.); putut, tumu (Riau); kandeka (Btw.); tanjang (Jw.); tancang, lindur (Md.); sala-sala (Bug.); tongke (Amb.).[4] Juga bako, bangko, wako, mangi-mangi, mutut besar, sarau, tanjang merah, tomo, totongkek.[5] Namanya di negara lain di antaranya: bakau besar, betut, tumu, tumus, tumbus (Mal.); bakau, bakauan, busiin, busaing, pututan, patutan, patotan, pototan (Fil.); arara, mapeke (PNG), Vet dù bông dó (Viet.), prasak, pangka hua sum dok khao (Thai.), basac kroahom (Kamb.).[3] Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai large-leafed mangrove, oriental mangrove, atau orange mangrove.[6]
Pengenalan
suntingPohon yang selalu hijau, tinggi hingga 15 m (jarang sampai 30 m), dengan pepagan berwarna abu-abu gelap hingga cokelat, berlentisel. Pangkal batang sering dengan banir dan dengan banyak akar lutut.[3]
Daun-daun berhadapan dalam kelompok di ujung ranting, agak tebal seperti jangat, bentuk jorong, 4,5–7 × 8,5–22 cm, hijau tua di atas dan kekuningan di sisi bawah, bertangkai 2–4 cm, dengan daun penumpu (stipule) panjang runcing di pucuknya. Tangkai daun dan daun penumpu sering tersaput warna merah atau kemerahan.[3][6]
Bunga soliter di ketiak daun, menggantung pada tangkai sepanjang 9-25 mm. Kelopak serupa mangkuk dengan sisi luar mulus atau paling-paling berlekuk, jarang berusuk, bertaju panjang runcing 10–14 (16) buah, hijau kuning kemerahan hingga merah terang. Helai mahkota berjumlah 10–16, putih krem lama-kelamaan jingga kecokelatan, masing-masing 13–16 mm panjangnya, berambut halus di sisi belakangnya, berbagi dua, dengan 2–3 lembar rambut halus sepanjang lk. 3 mm di ujung taju mahkota dan selembar rambut di tengah lekukannya.[3][5][6]
Buah melingkar spiral, 2–2,5 cm panjangnya, penampangnya bundar. Yang biasanya dikira buah sesungguhnya adalah hipokotil, yakni buah yang telah berkecambah, berbentuk seperti cerutu ramping, 12–25 cm panjang × 1½–2 cm gemang, hijau tua, dengan penampang bundar atau sedikit menyegi.[3][5][6]
Ekologi
suntingPutut merupakan jenis mangrove yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Pohon ini kerap mendominasi hutan bakau tua, menandai tahap akhir perkembangan zona litoral dan transisi ke zona daratan yang lebih kering.[3] Meski lebih umum ditemukan di bagian pedalaman dibandingkan dengan di zona intertidal bawah atau di sisi yang berhadapan langsung dengan laut, pohon ini mampu hidup di pelbagai kondisi salinitas dari yang hampir tawar hingga air laut, dengan berbagai tingkat penggenangan hutan bakau dan aneka jenis substrat.[6] Putut tumbuh baik di wilayah berlumpur, berpasir, dan sesekali juga di lumpur bergambut.[3]
Putut berbunga dan berbuah di sepanjang tahun. Bunganya diserbuki burung.[3] Propagulnya (buah yang berkecambah) terapung-apung dibawa arus dan pasang-surut air laut, hingga tersangkut dan tumbuh besar menjadi pohon baru.[6]
Kegunaan
suntingPutut terutama dinilai penting sebagai jenis pohon mangrove yang mampu beradaptasi dengan baik pada pelbagai kondisi tanah, salinitas, penggenangan pasang-surut air laut, dan juga naungan. Dianjurkan ditanam bersama dengan jenis mangrove lainnya, pohon ini dianggap mampu membantu menstabilkan tanah, melindungi pantai, dan memperkaya mangrove sebagai habitat aneka fauna.[6]
Kayunya dinilai sebagai jenis kayu bakar terbaik. Kayu ini mudah terbakar, sekalipun baru ditebang, dan menghasilkan panas yang tinggi; sehingga disukai sebagai pasokan dapur pembakaran batu bata dan kapur. Kayu putut juga berat, keras, dan kuat; awet digunakan sebagai tiang rumah dan pondasi dalam tanah berawa. Kayu ini lebih awet lagi bila digunakan di bawah atap.[4]
Pepagan (kulit batang) putut merupakan bahan penyamak yang baik. Pepagan ini mengandung tanin rata-rata antara 28,5–32,2%. Secara tradisional, pepagan putut digunakan untuk mewarnai (hitam) kain dan mengawetkan (ubar) jala. Dalam jumlah kecil, pepagan ini juga dipakai untuk membumbui ikan.[4]
Di samping itu, pepagan putut memiliki khasiat pengobatan yang cukup banyak. Penduduk Solomon memanfaatkan pepagan ini untuk aborsi dan untuk menyembuhkan luka bakar. Di Indonesia, bahan ini digunakan untuk mengobati diare dan demam. Sementara di Kamboja, pepagan putut dipakai sebagai anti malaria. Pepagan tumu putih (B. sexangula), kerabat dekat putut, diketahui mempunyai khasiat anti kanker.[6]
Di pulau-pulau terpencil, daun-daun mudanya digunakan sebagai lalap atau sayuran. Bagian dalam hipokotil (‘buah’) putut, setelah diolah terlebih dulu, dimanfaatkan sebagai pengganti makanan pokok pada masa paceklik.[4] Pada masa lalu, ‘buah’ putut ini juga dijadikan semacam nyamikan yang dikenal sebagai “manisan kandeka”.[5]
Jenis serupa
suntingTumu putih (Bruguiera sexangula) dapat tertukar dengan putut. Tumu putih kadang-kadang juga memiliki kelopak bunga yang kemerahan, meskipun pada umumnya berwarna kuning; demikian pula sebaliknya. Namun, tumu putih hanya memiliki 1–2 lembar rambut halus sepanjang kurang dari 1,2 mm (putut: 2–3 lembar sepanjang 2–3 mm) di ujung taju mahkota bunga. Di pangkal bagian dalam daun penumpu, tumu putih memiliki 3–5 seri (putut: 12–14 seri) colleter –yakni semacam kelenjar serupa jari kecil-kecil.[7]
Ciri lain, ukuran daun tumu putih maksimal sekitar 6 × 15 cm (putut: 7 × 22 cm) dan panjang hipokotil yang masak maksimal sekitar 6–8 cm (putut: 15–25 cm).[8]
Catatan kaki
sunting- ^ Lamarck J. (1819). Tableau Encyclopedique et Methodique des trois règnes de la nature: Botanique 2(5.2): 517 (-518); 2(2.2): Pl. 397. Paris: Panckoucke (1791-1823)
- ^ POWO, The Plants of the World Online: Bruguiera gymnorhiza (L.) Lam., diakses pada 13/VIII/2022
- ^ a b c d e f g h i Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zierenand & L. Scholten (2007). Mangrove Guidebook for Southeast Asia, pages 692-693. Bangkok: FAO and Wetlands International. ISBN 974-7946-85-8 (sebagai Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.)
- ^ a b c d Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3: 1496-1497. Bogor: Badan Litbang Kehutanan. (versi berbahasa Belanda (1917) De nuttige planten van Nederlandsch-Indië, III: 351. Batavia: Ruygrok & Co.)
- ^ a b c d Noor, Y.R., M. Khazali, & I.N.N. Suryadiputra (1999). Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, hal. 82-83. Bogor: PKA/WI-IP.
- ^ a b c d e f g h Allen, J.A. & N.C. Duke (2006). Bruguiera gymnorrhiza (large-leafed mangrove). ver. 2.1. In: Elevitch, C.R. (ed.). Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. Hōlualoa, Hawai‘i: Permanent Agriculture Resources (PAR).
- ^ Sheue, C.R., J.W.H. Yong & Y.P. Yang. (2005). The Bruguiera (Rhizophoraceae) species in the mangroves of Singapore, especially on the new record and the rediscovery. Taiwania 50(4): 251-260, 2005
- ^ Giesen et al. op.cit. p. 698-699
Pranala luar
sunting- "Bruguiera gymnorrhiza". Wetlands Int'l - Indonesia Programme. Diakses tanggal 2011-03-31.
- "Bruguiera gymnorrhiza". Plantz Afrika. Diakses tanggal 2011-03-31.
- "Tumu, Bruguiera gymnorrhiza". Wild Singapore. Diakses tanggal 2011-03-31. (+foto-foto identifikasi)
- "Tumu, Bruguiera gymnorrhiza". Guide to the Mangrove of Singapore. Diakses tanggal 2011-03-31.