Cacak burung (Banjar) / Lapak Lampinak (Ngaju) / Palang Balasangar (Maanyan) adalah tanda magis penolak bala yang berbentuk tanda + (positif) yang dikenal dalam budaya tradisional asli Kalimantan. Ia merupakan sebuah doa yang diwujudkan dalam bentuk simbol. Menurut tradisinya, ada beberapa versi cerita yang menceritakan asal-usul mengapa tanda ini dipakai sebagai tolak bala.

Simbol Swastika

sunting

Bentuk tanda + merupakan penyederhanaan bentuk dari swastika (卐 atau 卍).

Kata Swastika terdiri dari kata Su yang berarti baik, kata Asti yang berarti adalah dan akhiran Ka yang membentuk kata sifat menjadi kata benda. Sehingga lambang Swastika merupakan bentuk simbol atau gambar dari terapan kata Swastiastu sehingga menuliskan tanda cacak burung memiliki makna sama seperti halnya menyebutkan kata om swastiastu (Semoga selamat sejahtera atas rahmat Tuhan YME). Dalam kebudayaan Bali, tanda ini dikenal dengan sebutan tapak dara.

sunting

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa suku Dayak di Kalimantan merupakan keturunan dari Sepuluh suku yang hilang dari suku-suku Bani Israil, yang oleh karena itu memiliki suatu tradisi menuliskan huruf "t" (taw) sebagai lambang tolak bala.

 
Huruf taw dalam tulisan Ibrani/Aram kuno

Yehezkiel (dalam Yehezkiel 9:4) menggambarkan penglihatan di mana huruf taw (seperti tanda salib atau tanda silang) berperan penting dalam Paskah Yahudi mirip dengan darah pada ambang atas dan tiang-tiang pintu rumah orang Ibrani di Mesir untuk menghindari tulah kematian anak sulung.[1] Dalam penglihatan Yehezkiel, Tuhan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya untuk memisahkan orang-orang yang takut akan Tuhan dengan yang tidak, dalam perjalanan melalui kota Yerusalem, ibu kota kerajaan Israel kuno, dan menuliskan huruf "t" (taw) "pada dahi orang-orang yang berkeluh kesah karena segala perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan di sana."[2]

Dalam penglihatan itu, Tuhan kemudian menyatakan orang-orang Israel yang ditandai huruf taw itu layak untuk diampuni, tetapi yang tidak memiliki tanda itu (dan tidak melakukan hal yang pantas) layak untuk dimusnahkan. Dengan kata lain, menjadi alat pemisah dalam budaya yang moralnya jatuh, menjadi semacam shibboleth untuk ketaatan dan kesetiaan kepada Allah.[3]

Kutuk dan Tanda Kain

sunting

Menurut versi lain yang beredar di masyarakat, cacak burung adalah bentuk kutuk dan tanda Kain, yaitu tanda yang diberikan TUHAN pada Kain (Qabil) sebagai peringatan agar dia tidak dibunuh atau dicelakai, bahwa jika ia dibunuh maka TUHAN akan membalaskannya dan jika ia dicelakai akan dibalaskan kembali tujuh kali lipat. Kutukan ini merupakan akibat dari Kain (Qabil) membunuh adiknya Habel (Habil) dan berbohong kepada TUHAN mengenai pembunuhan tersebut. Ketika Kain menumpahkan darah adiknya, tanah menjadi terkutuk segera setelah darahnya menyentuh tanah. Sedikit banyak, bumi seperti "meminum darah Habel".

sunting

Menurut Hermogenes Ugang, pada abad ke 17, seorang misionaris Katolik Roma bernama Antonio Ventimiglia pernah datang ke Banjarmasin. Portugis mengirim seorang pastur bernama Antonio Ventigmilia yang penjelajahannya dimulai per tanggal 16 Januari 1688 dari Macau. Pada tanggal 2 Februari 1688, Antonio Ventimiglia tiba di Banjarmasin untuk mengembangkan agama Katolik di udik negeri Banjar di sepanjang sungai Barito

Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik. Pekerjaan dia dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh pekerjaan dia terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjar, Pastor Antonio Ventimiglia kemudian dibunuh pada tahun 1691. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Surya Alam/Tahliluulah, karena orang Biaju (Ngaju) adalah pendukung Gusti Ranuwijaya penguasa Tanah Dusun-saingannya Sultan Surya Alam/Tahlilullah dalam perdagangan lada. Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang telah dibaptiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka (Kaharingan). Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini dikenal luas oleh masyarakat Kalimantan.[4] Pada masa kekuasaan Sultan Saidillah sekitar tahun 1685, Portugis mengirim seorang pastur bernama Ventigmilia.[5][6][7][8][9][10]

Penggunaan

sunting

Tanda cacak burung biasanya dioleskan pada dahi, dada, telapak tangan, telapak kaki, lipatan tangan dan lipatan kaki untuk mengobati orang yang terkena "kapidaraan" atau "puji liau" dengan memakai kapur sirih atau dicampur dengan kunyit. Kapidaraan dianggap dapat terjadi karena dikenang atau dipengaruhi oleh arwah orang yang telah meninggal dunia. Pidara dalam bahasa Bukit berarti arwah. Pada suku Bukit tanda "cacak burung" dipakai ketika melaksanakan upacara adat dalam bentuk tarian ritual. Salah satu rumah Banjar dikenal dengan sebutan Rumah Cacak Burung karena bentuk atap bubungan rumah tersebut serta denah rumah ini berbentuk + (tanda tambah), maka dinamakan pula rumah Cacak Burung.[11]

Cacak burung juga terkadang dituliskan pada ambang pintu, atau pada daun hanjuang (Cordyline fruticosa) yang secara khusus dianggap sakral oleh suku Dayak, bahkan pada senjata tajam seperti parang.

Pranala luar

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Keluaran 12:7,12,13
  2. ^ Yehezkiel 9:4
  3. ^ Bandingkan dengan kecaman terhadap suam-suam kuku dalam Wahyu 3:15–16
  4. ^ George Bryan Souza (2004). The Survival of Empire: Portuguese Trade and Society in China and the South China Sea 1630-1754 (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 126. ISBN 0-521-53135-7.  ISBN 9780521531351
  5. ^ (Indonesia)J. U. Lontaan (1985). Menjelajah Kalimantan. Penerbit Baru. hlm. 91. 
  6. ^ (Indonesia)Kiai Bondan, Amir Hasan (1953). Suluh Sedjarah Kalimantan. Bandjarmasin: Fadjar. 
  7. ^ http://jejakrekam.com/2018/10/14/perjuangan-penuh-keringat-pastor-ventimiglia/
  8. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-01-18. Diakses tanggal 2011-07-17. 
  9. ^ Pinkerton, John (1812). A general collection of the best and most interesting voyages and travels in all parts of the world: many of which are now first translated into English : digested on a new plan. 11. Longman. hlm. 134. 
  10. ^ Beeckman, Daniel (1718). A Voyage to and from the Island of Borneo. hlm. 1346. 
  11. ^ http://eprints.unlam.ac.id/399/1/1_SERAP-%231-UGM.pdf.no%20security.pdf[pranala nonaktif permanen]