Cangkring

sejenis pohon dari genus Erythrina
Cangkring
close-up bunga
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Rosid
Ordo:
Famili:
Subfamili:
Tribus:
Genus:
Spesies:
E. fusca
Nama binomial
Erythrina fusca
Sinonim

Erythrina caffra Blanco
Erythrina glauca Willd.
Erythrina viarum Tod.
Erythrina ovalifolia Roxb.

Cangkring, atau dadap duri adalah sejenis pohon dari genus Erythrina, suku Fabaceae. Pohon ini juga memiliki nama lain seperti; galada ayer, cengkering, chengkring, dedap duri (Mly.), dadap petis (Btw.), dadap cucuk, dadap rangrang, dadap cangkring (Sd.), dadap ri, cangkering (Jw.), rope (Sas.), kane (Mak.), rase (Bgs.), ngareer (Sam.)[1][2][3][4][5]

Pertelaan

sunting

Cangkring merupakan pohon yang meluruhkan daunnya seperti anggota Erythrina lainnya.[2] Tingginya bisa mencapai 10–20 m, pepagan berwarna keabu-abuan dengan permukaan kulit kasar dan cabang yang jarang, permukaan batang dan tangkai daun dipenuhi duri tempel.[2] Menurut Heyne, dikatakan E. fusca Lour. mempunyai lebih banyak duri daripada saudaranya, Erythrina lithosperma.[1]

Batang tegak dengan diselimuti duri tajam, silindris, percabangannya simpodial dan berwarna putih kecokelatan. Daun majemuk beranak tiga, berbentuk bulat telur dengan pangkal dan ujung tumpul, tepi rata, panjang 20–30 cm, lebar 4–10 cm, dan panjang tangkai daun 10–15 cm. Tulang daun menyirip, permukaan daun berwarna hijau mengilap, cabang tangkai anak daun berukuran lebih kecil daripada cabang tangkai daun utama yang di tengah.[2]

Bunga majemuk, berwarna jingga muda atau merah menyala, terletak di ujung percabangan, tangkai silindris dengan panjang 2–3 cm. Kelopak berbentuk tabung, ujung bercangap, berwarna hijau bergradasi jingga-merah; panjang benang sari kurang lebih 3 cm, berwarna merah, kepala sari berbentuk ginjal, berwarna kuning; tangkai putik silindris, panjang 3 cm, berwarna putih, kepala putik lonjong, berwarna kuning; mahkota bunga berbentuk seperti kupu-kupu. Buah berbentuk polong, berwarna cokelat tua. Akar tunggang, berwarna putih kecokelatan.[2]

Ekologi dan penyebaran

sunting

Cangkring biasa tumbuh di dekat daerah pesisir pantai, sepanjang aliran sungai, di daerah yang berkondisi tidak selalu hijau pepohonannya (seperti hutan galeri) dan di vegetasi lain sampai sekitaran 700 meter dari permukaan laut.[3] Heyne juga mengatakan bahwa di Jawa ditemukan pula tumbuh di bawah 700 m di atas permukaan laut.[1]

Rumphius mengilustrasikan di bukunya yang berjudul Herbarium Amboinense dengan nama Galala aquatica; bahwa dikatakan tumbuh terutama di daerah yang banyak air dan di pinggir sungai.[1][6] Cangkring diperkirakan masih dapat hidup pada daerah yang sering hujan pada suhu 20–28 °C dan pada pH 6–8.[7]

Pohon cangkring juga banyak dijumpai di taman-taman kota atau ditanam sebagai tanaman pembatas di pinggir jalan tol. Umumnya yang ditanam adalah varian yang berbunga merah menyala; karena lebih elok bunganya dan memikat mata. Nama dagang dari varian ini adalah dadap merah; dan menjadi rancu karena saudaranya yang bentuknya lebih "menyemak", yaitu E. crista-galli (juga disebut sebagai dadap katé menurut Heyne[1]); disebut demikian pula.

Manfaat

sunting

Cangkring telah turun temurun digunakan sebagai obat tradisional. Daunnya digunakan untuk mengobati gabag (campak), cacar air (cangkrangen (Jw.) dikatakan penamaan pada cangkring berkaitan dengan khasiatnya menyembuhkan penyakit ini), frambusia, dan gatal-gatal.[3] Caranya yang paling umum ialah dengan cara merebus daunnya (atau hanya direndam saja) untuk air mandi, atau daunnya dilumatkan lalu dibalurkan ke kulit yang sakit. Kadang pula akarnya juga ikut direbus untuk air mandi.

Akar dan kulit batangnya juga digunakan untuk mengobati beri-beri; penderita diminumkan air rebusan akarnya, lalu akar yang direbus tersebut dioleskan pada bagian badan.[1][2] Parutan kayunya setelah diremas-remas dapat diminum untuk mengobati kencing darah atau kencing nanah.[1]

Orang Jawa dan Bali menggunakan daunnya yang masih muda sebagai lalapan setelah direbus dahulu atau yang masih mentah.[1] Sering pula daun mudanya disayur, dikatakan rasanya tidak kalah dengan sayur lainnya.

Galeri

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h K., Heyne, (1987 [i.e. 1988]). Tumbuhan berguna Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya. OCLC 21826488. 
  2. ^ a b c d e f (Hutapea et al., 1994)
  3. ^ a b c (Mardisiswojo dan Rajakmangunsudarso, 1985)
  4. ^ Pengobatan tradisional pada masyarakat Betawi di Kelurahan Ciganjur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya. 1991. 
  5. ^ "Erythrina fusca Lour". www.nparks.gov.sg. Diakses tanggal 2021-03-06. 
  6. ^ Rumphius, Georg Everard (1741). Herbarium Amboinense (dalam bahasa Latin and Belanda). 
  7. ^ (Duke, 1983)

Bacaan lanjutan

sunting