Cincalok

variasi makanan khas Indonesia

Cincalok atau cencaluk[1] adalah makanan khas Kalimantan Barat dan juga berkembang di Kepulauan Riau berupa udang berukuran kecil yang proses fermentasinya terjadi dengan bantuan mikroba.[2] Salah satu mikroba yang berperan penting adalah kelompok bakteri asam laktat.[2] Makanan ini juga ditemui di daerah Malaka dan termasuk bahan untuk masakan peranakan. Bahan makanan ini digunakan untuk membuat sambal.[3] Di Kepulauan Bangka-Belitung, cincalok disebut pula dengan istilah kecalok.[4]

Sambal dengan cincalok, bawang merah, dan cabai

Bakteri

sunting

Bakteri yang berperan dalam proses fermentasi cincalok adalah kelompok bakteri asam laktat.[2] Kelompok bakteri ini memiliki kemampuan untuk menghasilkan senyawa dengan aroma dan rasa khas, meningkatkan nilai cerna makanan, dan menghasilkan senyawa antimikrob yang dapat menghambat atau membunuh mikroba seperti asam laktat, hidrogen peroksida, karbondioksida, dan bakteriosin.[2] Bakteri yang berhasil diisolasi adalah Lactobacillus sp. dan Streptococcus sp.[2] Penelitian lain melaporkan bahwa ditemukan juga bakteri dari genus Staphylococcus dengan bakteri langka yaitu Staphylococcus piscifermentans.[5] Bakteri yang dominan ditemukan pada Cincalok dari Thailand adalah Lactobacillus sp. dan Lactococcus sp.[2] Berdasarkan sekuens 16s, ditemukan bakteri Staphylococcus piscifermentans dengan strain langka yang sebelumnya hanya ditemukan pada isolat dari ikan.[2] Bakteri penghasil γ-butyric acid (GABA) yaitu Leuconostoc NC5 juga ditemukan pada cincalok.[2] Semua bakteri ini akan memberi nilai tambah yang positif bagi pengawetan dan nilai gizi dari cincalok yang biasa digunakan sebagai saus pada hidangan di negara-negara Asia Tenggara.[2] Hidangan ini bermanfaat sebagai pengawet alami dan kultur starter makanan fermentasi.[2]

Produksi

sunting

Udang yang digunakan adalah udang dari genus Acetes.[6] Proses awal produksi secara tradisional adalah pencucian udang dengan air laut, lalu udang yang telah dicuci akan dicampur dengan nasi dan garam.[7] Campuran disimpan pada wadah tembikar dan ditutup dengan kain atau penutup tembikar.[7] Selanjutnya campuran didiamkan selama 20 hingga 30 hari agar terfermentasi sempurna.[7] Beberapa produsen menambahkan asam benzoat dan pewarna merah pada akhir fermentasi, namun ada juga yang menambahkan saus tomat.[7]

Metode Penelitian

sunting

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan berbagai spesies bakteri dari cincalok. Cairan dari sampel sebanyak 25 ml dicampur dengan bufer air pepton sebanyak 225 ml.[2] Beberapa pengenceran dibuat dengan 0,1% air pepton.[2] Sampel disebar pada agar MRS (De Man, Rogosa dan Sharpe) dan diinkubasi secara anaerob selama 48 jam pada suhu 37 oC.[2] Koloni sel tunggal diambil dengan tusuk gigi steril dan diuji lebih lanjut.[2] Uji morfologi, fisiologi, dan karakteristik biokimia dari isolat ditentukan dengan prosedur standar yaitu uji pewarnaan Gram, uji produksi katalase dan uji produksi gas dilakukan.[2] Pada uji penggunaan laktosa, koloni yang dipilih diulas pada NA (Nutrient Agar) dengan penambahan laktosa dan 0.005 g/L dari ungu bromkresol sebagai indikator pH.[2] Cawan petri diinkubasi pada suhu 30 oC selama 24 jam.[2] Isolat yang menggunakan laktosa dan memproduksi asam akan terlihat dari perubahan warna pada media yang berwarna ungu menjadi warna kuning.[2] Uji aktivitas katalase dilakukan dengan penambahan setetes larutan hidrogen peroksida dengan konsentrasi 30 % ke ulasan kultur.[2] Reaksi positif didapatkan dengan gelembung udara yang muncul dari koloni yang menandakan produksi gas oksigen.[2] Isolat bakteri asam laktat ditumbuhkan pada medium MRS broth dan diinkubasi secara anaerob selama 48 jam pada suhu 30 oC.[2] Sel yang terdapat pada larutan kaldu dipipet ke filter kertas cakram, lalu dikeringkan selama 10 menit.[2] Kertas cakram diletakkan pada permukaan agar yang sebelumnya telah diulas sebanyak 500 μL bakteri indikator.[2] Uji anti bakteri dilakukan dengan 4 bakteri indikator yaitu E. coli ATCC 35215, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, dan Salmonella typhimurium.[2] Uji ini dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.[2] Lalu cakram diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC dan zona inhibisi yang mengelilingi cakram diamati.[2]

Analisis 16s dilakukan untuk mengetahui spesies bakteri yang berada pada cincalok.[2] Dalam amplifikasi 16s digunakan primer forward pA dan primer reverse pE.[2] Produk hasil amplifikasi dipurifikasi dengan spin column.[2] Amplifikasi dilakukan dengan denaturasi awal pada suhu 94 oC selama 4 menit dan dengan 29 siklus denaturasi pada suhu 94 oC selama 2 menit.[2] Penempelan primer pada suhu 55 oC selama 1 menit, dan pemanjangan (elongasi) pada suhu 72 oC.[2] Fragmen hasil amplifikasi dikloning dengan menggunakan blunt end dari produk PCR ke vektor kloning pJET1.2 dan ditransformasikan ke E. coli dengan sel kompeten.[2] Kemudian DNA dari isolat dianalisis dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa dengan kadar 1.0 % (b/v) dalam 1x bufer TAE (Tris-Cl Asetat EDTA) pada tegangan 90 V selama 65 menit.[2] Lalu gel divisualisasikan dengan sistem dokumentasi gel.[2] Untuk transforman yang berhasil, plasmid hasil rekombinasi diekstraksi kembali.[2] Kemudian plasmid yang telah diekstraksi diverifikasi lebih lanjut dengan PCR menggunakan primer vektor yang dituju.[2] Produk PCR hasil purifikasi juga langsung disekuensing dengan primer 16s rRNA. Sekuensing gen dianalisis dengan program BLAST di bank data NCBI GenBank.[2]

Aplikasi

sunting

Bakteri yang terdapat pada cincalok dapat digunakan sebagai starter dari produk fermentasi lain, serta dapat digunakan untuk pemrosesan dan pengawetan makanan.[5]

Regulasi

sunting

Peraturan dari The Malaysian Food Act and Regulation adalah kadar minimal protein dan garam masing-masing sebanyak 10 % dan kadar abu maksimal adalah 15%[7]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ (Indonesia) Arti kata cencaluk dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak Achmad DI, Nofiani R, Ardiningsih P. 2013. KARAKTERISASI BAKTERI ASAM LAKTAT Lactobacillus sp. RED1 DARI CINCALOK FORMULASI. Pontianak: FMIPA Universitas Tanjungpura.
  3. ^ Hutton W. 2007. The Food of Love: Four Centuries of East-West Cuisine. Singapore: Marshall Cavendish Cuisine.
  4. ^ Kecalok Makanan Khas Bangka dari Fermentasi Udang Rebon yang Enak Tapi Sempat Bikin Warga Keracunan, Tribunnews Bangka. Akses: 07-10-2021.
  5. ^ a b Hajar S, Hamid THTA. 2013. Isolation of lactic acid bacteria strain Staphylococcus piscifermentans from Malaysian traditional fermented shrimp cincaluk. Int Food Res J 20(1): 125-129 .
  6. ^ Alabastro EF, Acevedo TP, Chavez LL. 1985. Proceedings: Food Conference '85, February 18-23, 1985, Philippine International Convention Center. Manila: Filipina.
  7. ^ a b c d e Hui YH, Evranus EO. 2012. Handbook of Animal-Based Fermented Food and Beverage Technology, Second Edition. Boca Raton: Taylor & Francis.