Dapunta Selendra (IAST: Ḍapunta Śailēndra berasal dari bahasa Sanskerta gabungan kata Śaila dan Indra, yang berarti "Raja Gunung",[1] juga dieja dengan Sailendra, Syailendra, Selendra atau Slendro) adalah leluhur dari Wangsa Sailendra yang dianggap sebagai cikal bakal Wangsa Sailendra. Namanya disebut dalam Prasasti Sojomerto (awal abad VII M) beraksara Kawi berbahasa Melayu Kuno yang dikeluarkan oleh Dapunta Selendra pendiri Wangsa Sailendra yang berkuasa di Jawa dan Sumatra.[2][3]

Wangsa Syailendra
Masa Awal (Hindu)
Yawadwipa
Santanu sekitar 650
Dapunta Selendra sekitar 674
Hsi-mo 674—703
Sannaha 710—717
Sanjaya 717—760
Masa Peralihan (Buddha)
Yawadwipa
Rakai Panangkaran 760—775
Rakai Panunggalan 775—800
Rakai Warak 800—812
Rakai Garung 812—833
Pramodawardhani 833—856
Rakai Kayuwangi 856—880(?)
Swarnadwipa
Balaputradewa 833—850
Sri Udayaditya Warmadewa 960–988
Sri Cudamani Warmadewa 988–1008
Sri Mara-Wijayottunggawarman 1008–1017
Sangrama-Vijayottunggawarman 1017–1030

Biografi sunting

Pendapat bahwa wangsa Sailendra berasal dari luar Nusantara (India dan Kamboja) ditentang oleh Prof. Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka. Menurutnya Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari wangsa Sailendra, asli Indonesia, yang semula beragama Hindu Siwa (Saiwa), namun kemudian Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama Buddha Mahayana. Salah satu kuncinya adalah data arkeologi yang ada di Kabupaten Batang, yaitu Prasasti Sojomerto. Prasasti yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang itu menyebutkan Dapunta Selendra, nama ayah dan ibunya yaitu Santanu dan Bhadrawati, dan istrinya yang bernama Sampula. Prasasti Sojomerto yang menyebut nama Dapunta Selendra yang jelas merupakan ejaan Melayu dari kata dalam bahasa Sanskerta Ḍapunta Śailēndra. Maka sesuai dengan asal usul nama-nama wangsa yang lain itu dapatlah disimpulkan bahwa Śailēndravamśa itu berpangkal kepada Ḍapunta Śailēndra. Kenyataan bahwa ia menggunakan bahasa Melayu Kuno di dalam prasastinya menujukkan bahwa ia orang Nusantara asli, mungkin berasal dari Sumatra, karena di Sumatra banyak dijumpai prasasti berbahasa Melayu Kuno.[4]

Dengan perkataan lain, mungkin sekali pendapat Poerbatjaraka adalah benar mengenai asal usul wangsa Sailendra, yaitu mereka adalah pribumi asli Nusantara dan bahwa hanya ada satu wangsa saja, wangsa Sailendra yang anggotanya semula penganut agama Saiwa, tetapi sejak pemerintahan Rakai Panangkaran menjadi penganut agama Buddha Mahayana untuk kemudian kembali lagi menjadi penganut agama Saiwa sejak pemerintahan Rakai Pikatan.[4] Jika nama Selendra pada Sailendrawangsa itu benar sama dengan nama Selendra pada prasasti Sojomerto, maka nama Çailendra (penulisan ini mengikuti Slamet Muljana) ialah pelafalan Sanskerta nama Sailendra atau Selendra ialah bentuk pelafalan Melayu dari Çailendra.[5]

Kadar jejak Sailendra di Kabupaten Batang memang sangat penting, bukan hanya dari prasasti tetapi juga data arkeologi lainya. Berdasarkan bukti tertulis, sekali lagi, Boechari berpendapat bahwa Dapunta Selendra merupakan pendiri wangsa Sailendra yang berkuasa di Jawa dan Sumatra. Berdasarkan pada prasasti Sojomerto dapat diperkirakan bahwa pada awal abad VII M, di pantai utara Jawa Tengah telah ada cikal bakal sebuah institusi politik kerajaan. Data arkeologis lainnya yang cukup menarik adalah yoni dan arca selaraja yang ditemukan di Desa Deles, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang. Istilah Selaraja, kemungkinan berasal dari kata Sela (Śaila berarti gunung) dan Raja (pemimpin), sama dengan Indra (pemimpin para dewa), jadi istilah Selaraja dapat disamakan dengan Selendra atau Sailendra.[6]

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa arca Selaraja memiliki ciri ikonografik sikap duduk bersila (vajrāsana atau paryankāsana), sikap tangan kiri dhyānimudra dan sikap tangan kanan menunjuk ke atas (semacam mudra kematian). Berdasarkan ciri ikonografik dan istilah penyebutannya diperkirakan bahwa arca tersebut merupakan arca perwujudan dari tokoh Dapunta Selendra setelah beliau wafat dan diperdewakan oleh rakyatnya.[6] Dalam laporan ekskavasi Candi Deles, Desa Deles, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang, disebutkan adanya sebuah arca batu terletak beberapa meter dari yoni yang ditemukan dipinggir pematang. Arca tersebut dalam sikap duduk bersila dan kepalanya telah hilang. Lapik berbentuk bulat dan merupakan batu yang terpisah. Oleh penduduk setempat arca itu dinamakan Selaraja. Nama tersebut mengingatkan kita kepada Dinasti Sailendra (Sailaraja).[6]

Keberadaan Sailendra di Batang diperkuat dengan ditemukannya situs megalitik, khususnya berkaitan dengan pemujaan roh leluhur yang diyakini bersemayam di gunung dan sebagai tempat bagi Sailendra melakukan ritual kultus dewa rajanya, sebagai Raja Gunung (Sailaraja). Bukti arkeologis untuk pernyataan ini adalah ditemukannya bangunan Punden berundak di Dusun Batur, Desa Silurah, Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang. Selanjutnya, bangunan ini diberi kode "Punden Batur 1" karena ternyata kemudian ditemukan punden yang lain yang secara administrasi juga terletak di Dusun Batur dan nantinya diberi kode "Punden Batur 2". Punden Batur 1 berdasarkan analisis secara kronologis dapat dimasukkan ke dalam kepercayaan asli lokal masa prahindu hingga proses penetrasi anasir Hindu. Selain kemiripan formasi keruangannya dengan bangunan candi, tidak ditemukan data lain yang mengarah pada anasir Hindu, sehingga bangunan Punden Batur 1 cenderung berada pada masa prahindu.

Sedangkan transisi dan proses penetrasi unsur Hindu pada kepercayaan asli lokal ditunjukkan oleh bangunan Punden Batur 2 dengan ditemukannya arca Ganesha (ukuran kecil), yoni, dan batu-batu candi di situs tersebut. Punden Batur 2 berorientasi pada Punden Batur 1, yang berarti bahwa Punden Batur 2 dan Batur 1 memiliki hubungan dalam aspek ritual-relegius, sebagai punden untuk menghormati punden asli. Setelah melalui masa transisi dari megalitik ke Hindu di Punden Batur 2, selanjutnya agama Hindu sebagai kepercayaan baru semakin diterima karena dalam banyak aspek memang memiliki kemiripan.

Spiritualisme Hindu-Buddha memiliki orientasi pada tempat-tempat yang tinggi (gunung) yang dipercaya sakral. Gunung juga dipercaya sebagai tempat bermukim atau penghubung ke para dewa atau kekuatan adikodrati. Sehingga ada kesamaan atau titik temu antara spiritual Hindu-Buddha dengan kepercayaan asli lokal sebelum masa Hindu-Buddha.

Asal Usul sunting

Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau Sumatra atau Jawa; sebagai tanah air wangsa ini. Teori ini mengajukan bahwa wangsa Śailendra mungkin berasal dari Sumatra yang kemudian berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin wangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya.

Menurut beberapa sejarawan, keluarga Śailēndra berasal dari Sumatra yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke-7 Masehi dengan menyerang kerajaan Tarumanagara dan Kalingga di Jawa.[7] Serangan Sriwijaya atas Jawa berdasarkan atas Prasasti Kota Kapur yang mencanangkan ekspansi atas Bumi Jawa yang tidak mau berbhakti kepada Sriwijaya. Gagasan itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta Selendra pada prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno.

Teori Nusantara juga dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal bakal raja-raja keturunan Śailēndra yang berkuasa di Jawa dan Sumatra.

Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Melayu dari kata dalam bahasa Sanskerta Śailēndra karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Śailēndra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sanskerta di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Śailēndra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.

Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailēndra, asli Nusantara yang menganut agama Saiwa. Tetapi sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahayana, raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahayana juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Sanjaya menyuruh anaknya Rakai Panangkaran dan Rakai Panaraban (atau Tamperan Barmawijaya) untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya (aliran Saiwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari penganut Saiwa menjadi Buddha Mahayana juga sesuai dengan isi Prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang).

Kemudian Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula dalam naskah Carita Parahyangan bahwa Sanjaya memerintah Jawa menggantikan ayahnya yaitu Sanna; Raja ketiga Galuh yang mempunyai saudara perempuan bernama Sannaha (putri Ratu Parwati di Kalingga) yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sanjaya.

Dari prasasti Sojomerto dan prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Jawa, yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sanjaya. Sanjaya mulai berkuasa di Kerajaan Medang pada tahun 717-746 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sanna berkuasa di Kerajaan Galuh 709-716 Masehi (selama 7 tahun). Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 709 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra.

Dalam Carita Parahyangan disebutkan bahwa Sanna putra dari Rahyang Mandiminyak. Ia memegang pemerintahan di Galuh selama 7 tahun, dan Rahyang Mandiminyak diganti oleh Sanna yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 702 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.

Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka keluarga Śailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Mereka pada awalnya beragama Saiwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti Tarumanagara dan Kalingga. Penggunaan bahasa bahasa Melayu Kuno pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran Dapunta menunjukkan bahwa keluarga Sailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan sistem politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah vasal atau Perdikan anggota kedatuan Sriwijaya. Hal ini seiring dengan kabar penaklukan Bumi Jawa oleh Sriwijaya sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kota Kapur.

Berita yang berasal dari masa Dinasti Tang memberitakan tentang Kerajaan Kalingga yang disebut She-po (Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-ma (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Jawa, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Shima (674-703 Masehi), Ratu Parwati (695-709 Masehi), Sanna (709-716 Masehi), Sanjaya (717-746 Masehi), Rakai Panangkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.

Daftar pustaka sunting

  • Sugeng Riyanto. 2014. THE DYNAMIC OF CULTURE AND CIVILIZATION IN ANCIENT BATANG: Preliminary Description Based on the Results of Archaeological Exploration Balai Arkeologi Yogyakarta.
  • Tim Penelitian, 2010. Jejak-Jejak Awal Masuknya Budaya Hindu Buddha Di Jawa. Laporan Penelitian Arkeologi. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
  • Tim Penelitian, 2014. Kajian Sailendra di Kabupaten Batang. Laporan Penelitian Arkeologi. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Referensi sunting

  1. ^ Cœdes, G (1983). The making of South East Asia. translated by H.M. Wright. Berkeley: University of California Press. hlm. 96. ISBN 9780520050617. 
  2. ^ Boechari (1966). “Preliminary Report on the Discovery of an Old-Malay Inscription at Sodjomerto” dalam Madjalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Jilid III No. 2 & 3. Jakarta: Jajasan Penerbitan Karja Sastra, Ikatan Sardjana Sastra Indonesia. 
  3. ^ Klokke, Marijke J. & Karel R. van Krooij (Ed.) (2001). Fruits of Inspiration – Studies in Honour of Prof. J.G. de Casparis. Groningen: Egbert Forsten. 
  4. ^ a b Sedyawati, Edi, dkk (2012). “Dinasti, Agma, Dan Monumen” dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 
  5. ^ Muljana, Slamet (1981). Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu. 
  6. ^ a b c Nitihaminoto, Goenadi dkk (1977/1978). Laporan Ekskavasi Deles Jawa Tengah 18 Maret – 7 April 1978. Yogyakarta: Proyek Penelitian & Penggalian Purbakala. 
  7. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. pages 171. ISBN 981-4155-67-5.