Hard–easy effect

(Dialihkan dari Efek sulit–mudah)

Hard-easy effect adalah bias kognitif yang membuat orang tidak menyadari kesulitan sebenarnya (sulit atau mudah) dari tugas yang mereka coba. Dengan kata lain, individu ini melebih-lebihkan kemampuan mereka dalam melakukan tugas-tugas sulit dan meremehkan dirinya untuk tugas yang mudah. Misalnya, ketika individu menunjukkan sifat kurang percaya diri saat menjawab pertanyaan yang relatif mudah dan sebaliknya, sifat terlalu percaya diri saat menjawab pertanyaan yang relatif sulit. Katherine A. Burson, Richard P. Larrick, dan Jack B. Soll dalam studi tahun 2005 menemukan bahwa, "Tugas yang sulit cenderung menghasilkan efek terlalu percaya diri, sementara tugas yang mudah menghasilkan efek kurang percaya diri."[1]

Bias ini berada di bawah lingkup "teori perbandingan sosial" yang dicetuskan oleh Leon Festinger pada tahun 1954. Festinger berpendapat bahwa ketika individu bermaksud untuk menilai pemikiran dan kemampuan mereka, maka teori perbandingan sosial menerangkan cara penilaian tersebut dilakukan, yakni melalui proses membandingkan diri mereka dengan orang lain.[2]

Pada tahun 1980, Ferrell dan McGoey menyebut bias ini sebagai "efek diskriminabilitas". Sementara, Griffin dan Tversky (1992) menyebutnya sebagai "efek kesulitan".[3]

Eksperimen

sunting

Dalam berbagai penelitian, peserta diminta untuk menjawab soal pengetahuan umum dan memperkirakan peluang mereka untuk menjawab dengan benar. Apabila peserta memiliki tingkat pengetahuan diri (self-knowledge) yang memadai, maka mereka akan memberi persen peluang yang tinggi untuk pertanyaan yang mereka jawab dengan benar dan begitupun sebaliknya. Namun, hal ini tidak umum terjadi. Kebanyakan orang akan terlalu percaya diri dan melebih-lebihkan kemampuannya dalam menjawab pertanyaan sulit, tetapi terlihat kurang percaya diri saat menjawab pertanyaan yang dianggap mudah.[2]

William M. Goldstein dan Robin M. Hogarth dalam penelitian tahun 1997, menguji sekelompok orang dengan beberapa soal pengetahuan umum, seperti, "Siapa yang terlahir lebih dahulu, Aristoteles atau Buddha?" dan "Apakah ritsleting ditemukan sebelum atau sesudah tahun 1920?" Peserta dalam penelitian ini diminta untuk menuliskan jawaban yang mereka yakini benar dan persen keyakinan mereka terhadap jawaban tresebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta akan cenderung kurang percaya diri atas jawaban dari sebuah pertanyaan yang digolongkan mudah oleh peneliti dan terlalu percaya diri atas jawaban dari sebuah pertanyaan yang digolongkan sulit oleh peneliti.[4]

Prevalensi

sunting

Sebuah riset pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa seluruh subjek penelitian menunjukkan hard-easy effect di banyak keadaan dan hal ini tidak dapat membedakan antara kegiatan menilai atau menghimpun dukungan model tertentu terkait elisitasi kepercayaan.[5]

Hard-easy effect menunjukkan bahwa bias ini tak tergantung oleh perbedaan kepribadian.[2] Para peneliti sepakat bahwa hal ini termasuk fenomena yang mengakar kuat dan menyebar ke banyak orang.[3]

Studi tahun 1999 menilai bahwa perbedaan data antara studi Baranski dan Petrusic (1994) di Kanada dengan Olsson dan Winman (1996) di Swedia, bisa jadi merefleksikan perbedaan lintas negara terkait kepercayaan diri dalam diskriminasi sensorik.[6]

Penyebab

sunting

Penjelasan lebih mendalam terkait efek ini menyangkut tentang mekanisme kognitif sistematis, bias eksperimen, kesalahan acak, dan artefak statistik.[5]

Sebuah studi tahun 1991 menyebut bahwa hard-easy effect merupakan akibat dari seleksi informal dari item almanak. Seleksi tersebut memungkinkan perubahan validitas isyarat yang digunakan oleh subjek dalam pemilihan jawaban item.[7] Lebih lanjut, Baranski dan Petrusic (1994), Griffin dan Tversky (1992), dan Suantak dkk (1996) menjelaskan efek ini berdasarkan aspek psikologisnya.[3]

Keraguan

sunting

Keraguan tentang eksistensi efek ini muncul atas penelitian yang dilakukan oleh Brenner dkk (1996), Justil dkk (1997), dan Keren (1991).[3]

Peter Juslin dalam penelitiannya tahun 1993 mengungkapkan bahwa, "(1) ketika objek yang akan dinilai diseleksi dari lingkungan asalnya, maka orang-orang terkalibrasi (tepat menentukan pilihan) dengan baik, (2) ketika item "sulit" dibuat melalui proses seleksi dengan materi yang kurang familiar (tak mempengaruhi validitas isyarat), maka tak ada hard-easy effect yang dapat diamati dan orang-orang terkalibrasi dengan baik pada item yang mudah maupun sulit."[7]

Juslin, Anders Winman, dan Henrik Olsson dari Universitas Uppsala di tahun 2000 menyatakan bahwa hard-easy effect sebelumnya telah dimaknai tanpa memperhatikan masalah metodologisnya. Melalui studi tersebut, mereka berpendapat bahwa dua masalah metodologis dapat dikendalikan bahkan ketika hard-easy effect hampir dihilangkan. Mereka beranggapan bahwa efek ini ditafsirkan dengan kurang memperhatikan dampak skala-akhir, ketergantungan linier, dan efek regresi dalam data. Mereka juga menyoroti bahwa 'bias terlalu percaya diri secara kognitif' hanya mengacu pada set data tertentu. Poin spesifik yang mereka tekankan adalah bahwa hard-easy effect hampir sepenuhnya dapat dihilangkan manakala terdapat kontrol pada dampak skala-akhir dan ketergantungan linier.[3]

Referensi

sunting
  1. ^ Sweller, J. (1972). "A Test between the Selective Attention and Stimulus Generalization Interpretations of the Easy-to-hard Effect". Quarterly Journal of Experimental Psychology (dalam bahasa Inggris). 24 (3): 352–355. doi:10.1080/14640747208400290. ISSN 0033-555X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-09. Diakses tanggal 2022-04-05. 
  2. ^ a b c Burson, Katherine; Larrick, Richard; Soll, Jack (2017). "Social Comparison and Confidence: When Thinking You're Better than Average Predicts Overconfidence" (PDF). Deep Blue. Michigan Ross School of Business. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-08-20. Diakses tanggal 8 Maret 2022. 
  3. ^ a b c d e Juslin, Peter; Winman, Anders; Olsson, Henrik (2000). "Naive Empiricism and Dogmatism in Confidence Research: A Critical Examination of the Hard-Easy Effect" (PDF). Psychological Review. 107 (2): 384–396. doi:10.1037/0033-295X.107.2.384. PMID 10789203. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-09-21. Diakses tanggal 8 Maret 2022. 
  4. ^ William M. Goldstein; Robin M. Hogarth (1997). Research on Judgment and Decision Making: Currents, Connections, and Controversies. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 108. ISBN 978-0-521-48334-6. Diakses tanggal 8 Maret 2022. 
  5. ^ a b Merkle, Edgar C. (2009). "The disutility of the hard-easy effect in choice confidence". Psychon Bull Rev. 16 (1): 204–213. doi:10.3758/PBR.16.1.204. PMID 19145033. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-09. Diakses tanggal 2022-03-12. 
  6. ^ Baranski, Joseph; Petrusic, William (1999). "Realism of confidence in sensory discrimination". Perception & Psychophysics. 61 (7): 1369–1383. doi:10.3758/BF03206187. PMID 10572465. Diakses tanggal 8 Maret 2022. 
  7. ^ a b Juslin, Peter (2007). "An explanation of the hard-easy effect in studies of realism of confidence in one's general knowledge". European Journal of Cognitive Psychology. 5 (1): 55–71. doi:10.1080/09541449308406514. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-07. Diakses tanggal 2022-03-12. 

Pranala luar

sunting
  • Fajar & Gurman (2009). "An analysis of calibration; the hard-easy effect and the emotional disappointment of overconfident behavior: Some experimental evidences" [1] Diarsipkan 2020-09-09 di Wayback Machine.
  • Moore & Healy (2007). "The Trouble with Overconfidence" [2]