Ekonomi Hindia Belanda

Ekonomi Hindia Belanda mulai diatur sejak pembentukan Hindia Belanda oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1800. Kebijakan ekonomi Hindia Belanda diatur oleh Kerajaan Belanda melalui perwakilan-perwakilannya di Hindia Belanda. Awal ekonomi Hindia Belanda merupakan masa sulit karena harus menanggung utang Perusahaan Hindia Timur Belanda yang sebelumnya berkuasa di wilayah Hindia Belanda. Segala bentuk kebijakan ekonomi dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Hindia Belanda tanpa bantuan dari lembaga keuangan.

Urusan ekonomi Hindia Belanda selalu dikatikan dengan kebijakan politik dan kebijakan ekonomi yang diberlakukan oleh Kerajaan Belanda di Hindia Belanda. Pada pertengahan abad ke-19, ekonomi Hindia Belanda bersifat kapitalisme. Ekonomi Hindia Belanda mengalami kemerosotan selama Perang Dunia I. Kestabilan ekonomi Hindia Belanda membaik setelah Perang Dunia I berakhir. Pada dekade 1920-an, ekonomi Hindia Belanda mencapai masa keemasan. Ekonomi Hindia Belanda meningkat pesat hingga tahun 1940 karena kegiatan ekspor produk perkebunan dan swasembada beras. Namun, ekonomi Hindia Belanda berakhir setelah masa kekuasaan Kerajaan Belanda di wilayah Hindia Belanda berakhir. Kekuasaannya digantikan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang.

Informasi mengenai ekonomi Hindia Belanda bersumber dari arsip-arsip peninggalan Pemerintah Hindia Belanda. Arsip-arsip tersebut berisi laporan pertanggungjawaban para pemerintah daerah atas wilayahnya masing-masing setelah pensiun dari jabatannya. Termasuk di dalamnya laporan mengenai kondisi ekonomi Hindia Belanda. Ekonomi Hindia Belanda membentuk strata sosial di masyarakat Hindia Belanda menjadi tiga tingkatan.

Kebijakan-kebijakan yang pernah diterapkan berkaitan dengan ekonomi Hindia Belanda antara lain sistem tanam paksa, ekonomi liberal dan pembangunan ekonomi. Ekonomi Hindia Belanda sangat mengandalkan kegiatan ekspor ke berbagai negara pengimpor. Komoditas utama dalam perekonomian Hindia Belanda adalah produk perkebunan dan bahan mentah. Hindia Belanda juga menjadi pengimpor beras.

Sejarah sunting

Pengalihan kekuasaan dari Perusahaan Hindia Timur Belanda ke Pemerintah Hindia Belanda sunting

Hindia Belanda merupakan sebuah negara jajahan yang dibentuk pada tanggal 1 Januari 1800 oleh Kerajaan Belanda. Kedudukan Kerajaan Belanda dalam kekuasaan di Hindia Belanda sebagai pengganti dari Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Bersamaan dengan pengalihan ini, seluruh hutang VOC dialihkan penanggungannya kepada Kerajaan Belanda. Kerajaan Hindia Belanda meliputi kawasan Nusantara dan diakui oleh dunia secara de jure maupun de facto.[1]

Ekonomi Hindia Belanda mengalam masa sulit dalam hal keuangan ketika pertama kali dialihkan pengurusannya ke Pemerintah Hindia Belanda. Di Hindia Belanda pada masa awal pendiriannya belum ada bank sirkulasi. Sehingga pengaturan keuangan sepenuhnya dilakukan sendiri oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda tanpa adanya lembaga keuangan pemerintah.[2]

Setelah VOC dibubarkan, administrasi wilayah jajahan yang sebelumnya diurus oleh de Heeren XVII (Gentlemen Seventeen), digantikan oleh Aziatische Raad (Dewan Asia). Posisi Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijabat oleh Pieter Gerardus van Overstraten. Pada masa jabatannya, ia berhasil menahan serangan Inggris yang dipimpin Admiral Ball atas bantuan raja-raja di Pulau Jawa. Posisinya kemudian digantikan oleh Johannes Siberg. Sebelum pelantikannya, Siberg mengirim dua orang komisaris ke Hindia Belanda, yaitu Nederburg dan van Hogendrop. Tujuannya untuk memperkirakan politik penjajahan yang akan diterapkan di Hindia Belanda.[3]

Kedua komisaris ini memiliki perbedaan pendapat. Nederburg cenderung konservatif, sementara van Hogendrop  berpendirian sangat liberal. Usulan yang diajukan oleh Nederburg adalah mempertahankan dan melanjutkan sistem perekonomian yang telah dibangun oleh VOC. Sedangkan Van Hogendrop mengusulkan agar persoalan politik dan ekonomi harus dipisah. Kedua pendapat ini kemudian diberi kompromi dalam Charter 1904. Dalam Charter 1904 ditetapkan bahwa kebijakan lama yang masih dipandang baik perlu dipertahankan. Pembaharuan-pembaharuan hanya akan dilakukan jika memang dibutuhkan. Akhirnya, Kerajaan Belanda mulai mengalihkan perhatiannya dari urusan ekonomi menjadi urusan politik penjajahan.[3]

Kerajaan Belanda kemudian melakukan ekspansi-ekspansi ekonomi di wilayah Hindia Belanda hingga mendekati tahun 1850. Ekspansi ini dikategorikan sebagai kolonialisme marxistik dengan pemikiran kapitalisme. Pihak Kerajaan Belanda memperoleh penambahan modal dan kelebihan produksi selama masa ini. Setelah tahun 1850, kebijakan Kerajaan Belanda di Hindia Belanda tidak hanya meliputi urusan ekonomi, tetapi juga urusan militer, politik, keagamaan dan kepegawaian.[3]

Kondisi ekonomi Hindia Belanda akhirnya menjadi tidak stabil selama Perang Dunia I (1914-1918) dan setelahnya. Perekonomian Hindia Belanda berhenti mengalami pertumbuhan ekonomi hingga tahun 1921. Industri komoditas penting seperti kelapa sawit hingga berakhirnya Perang Dunia I hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri di Hindia Belanda. Setelah tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda mulai kembali meningkat. Kegiatan industri dan ekspor kembali berkembang. Jenis indsustri yang berkembang pesat di Hindia Belanda setelah tahun 1921 adalah industri pembuatan cerutu dan rokok. Pabrik-pabrik pengolahan tembakau dibangun dalam skala besar di Pulau Jawa.[4]

Periode 1920-an kemudian menjadi masa keemasan bagi ekonomi Hindia Belanda. Nilai ekspor dari berbagai jenis tanaman perkebunan mengalami titik kulminasi. Perkembangan ekonomi Hindia Belanda seiring dengan perkembangan ekonomi di Eropa setelah Perang Dunia I berakhir. Perkembangannya mencapai skala ekonomi lokal. Perkembangan ini ditandai dengan penyediaan dana untuk pembangunan kota-kota di Hindia Belanda dalam skala besar.[5]

Hingga tahun 1940, ekonomi Hindia Belanda mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Kegiatan ekspor dilakukan dengan komoditas dari sektor perkebunan sebagai andalan dalam perdagangannya. Pada tahun ini juga terjadi pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian khususnya tanaman padi karena swasembada beras.[6] Namun, pada tahun 1942, seluruh kebijakan ekonomi dan regulasi Pemerintah Hindia Belanda terkait ekonomi berakhir. Berakhirnya ekonomi Hindia Belanda disebabkan oleh berakhirnya masa pemerintahan Hindia Belanda.[7]  

Setelah masa pemerintahan Hindia Belanda berakhir dan digantikan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang, ekonomi Hindia Belanda digantikan dengan perekonomian perang. Sumber daya ekonomi di Indonesia digunakan untuk mendukung pasukan Jepang dalam memperoleh kemenangan dalam Perang Pasifik.[8]

Sumber informasi sunting

Sebuah arsip bernama Koloonial Verslag/Indisch Verslag menggambarkan keadaan ekonomi Hindia Belanda pada masa kekuasaan Kerajaan Belanda. Isi dari arsip ini meliputi laporan pertanggung-jawaban dari para menteri yang bertugas di seluruh wilayah Hindia Belanda. Arsip lain yang serupa adalah Memorie van Overgave est Borneo. Isinya memuat laporan mengenai laporan pertanggungjawaban dari kepala daerah pada masa akhir jabatannya kepada pemerintah pusat Hindia Belanda. Di dalam laporan ini terdapat banyak informasi, termasuk informasi mengenai hasil hutan, hasil perikanan, lahan pertanian dan perdagangan di Hindia Belanda.[9]

Strata sosial-ekonomi sunting

Ekonomi Hindia Belanda menganut asas perorangan. Aliran pemikiran yang utama pada ekonomi Hindia Belanda adalah individualisme.[10]

Kebijakan ekonomi sunting

Sistem tanam paksa sunting

Sejak tahun 1830, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan ekonomi yaitu sistem tanam paksa. Kebijakan ini merupakan bagian dari eksploitasi dan perluasan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dari segi ekonomi. Pemerintah Hindia Belanda mengawasi dan mengendalikan pembukaan lahan dari berbagai jenis komoditas perkebunan. Tanaman perkebunan yang ditanam hanya yang memiliki nilai ekspor di pasar Eropa. Proses penanaman dilakukan untuk mempoleh hasil produksi dalam skala besar. Sehingga tenaga dari pribumi dan lahan pertanian mereka dialih-fungsi untuk perkebunan.[11]

Ekonomi liberal sunting

Pemerintah Hindia Belanda telah menghapuskan sistem tanam paksa sejak tahun 1870. Penghapusan ini mengawali periode ekonomi liberal yang mulai diterapkan pada awal abad ke-20. Pemerintah Hindia Belanda menetapkan pembatasan kegiatan ekonomi. Namun, memberikan hak istimewa kepada pemerintahannya. Hak ini adalah pemberian izin bagi pihak swasta untuk investasi di Hindia Belanda.[12]

Pada periode 1900–1940, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kebijakan ekonomi liberal. Kebijakan ini membuat kondisi penjajahan Belanda di Hindia Belanda berubah. Sejak tahun 1900, pengeluaran Pemerintah Hindia Belanda mengalami peningkatan jumlah yang besar. Karena pada masa ini Pemerintah Hindia Belanda mengadakan pelayanan kesejahteraan dan peningkatan jumlah pegawai negeri sipil.[13]

Pada periode 1870–1900, pemerintah Hindia Belanda telah mengadakan banyak pembangunan di berbagai sektor di seluruh wilayah Hindia Belanda. Setelah Perjanjian Brussel disepakati pada tahun 1902, Hindia Belanda mengalami pertumbuhan ekonomi. Perjanjian Brussel menyepakati pembatasan produksi pada industri gula bit di Eropa. Kesepakatan ini membuat produksi gula di Hindia Belanda menjadi meningkat. Para penguasa Eropa yang berada di Hindia Belanda juga memberikan tanggapan yang positif. Industri pengolahan karet dipercepat produksinya. Wilayah Hindia Belanda di luar Pulau Jawa diubah menjadi lahan perkebunan dan memberikan nilai ekonomi bagi penduduknya.[14]

Pembangunan ekonomi sunting

Pertumbuhan ekonomi di Hindia belanda meningkat pesat setelah kebijakan pembangunan kereta api diberlakukan. Kebijakan ini mengizinkan pembangunan kereta api tidak hanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga pihak swasta. Pertumbuhan ekonomi ini juga meningkatkan ekonomi penduduk Hindia belanda karean biaya perjalanan yang murah dan mudah dilakukan.[15]

Perdagangan sunting

Percepatan pembangunan pada sektor ekonomi di Hindia Belanda diketahui melalui data lalu lintas ekspor-impor yang terjadi selama periode 1900–1920. Pada tahun 1900–1915, terjadi kenaikan ekspor yang stabil. Jumlah ekspor meningkat dari 230,2 juta gulden pada tahun 1900 menjadi 758,2 juta gulden pada tahun 1915. Memasuki tahun 1920, jumlah ekspor tersebut mengalami kenaikan pesat hingga mencapai 2.225 juta gulden. Jumlah ekspor kembali stabil pada beberapa tahun berikutnya dengan jumlah ekspor berkisar antara 1.500–1.700-an juta gulden.[16]

Komoditas sunting

Beras sunting

Hindia Belanda dibentuk tidak dengan tujuan untuk menjadi negara penghasil beras yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Sejak abad ke-19 M, Pemerintah Hindia Belanda telah memilih menggunakan doktrin ekonomi pasar bebas. Pemerintah Hindia Belanda tidak memandang penting komoditas seperti beras dan menganggapnya sama dengan komoditas-komoditas lain yang laris diperdagangkan dalam perdagangan internasional. Tidak ada kebijakan khusus dalam mengontrol produksi, distribusi, ataupun tingkat konsumsi beras. Alhasil, ketika produksi beras dalam negeri tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras, maka impor beras pun dilakukan. Doktrin ini telah membuat Hindia Belanda mengalami ketergantungan terhadap beras impor.[17]

Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda telah mengalami ketergantungan beras yang besar sejak tahun 1860-an. Jenis beras yang diimpor pada periode ini adalah beras dari Siam (sekarang Thailand), Cochinchina, Indochina Prancis, maupun dari Burma (sekarang Myanmar). Sebaliknya, Pemerintah Hindia Belanda semakin memperlancar impor dengan pemberlakuan kebijakan penghapusan bea cukai beras impor pada tahun 1863.[17]

Pada periode akhir tahun 1920-an, Pemerintah Hindia Belanda tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pasokan beras dalam negeri. Sehingga kegiatan impor beras dari luar negeri diadakan. Impor beras menjadi komoditas kedua yang terbesar selain impor barang-barang tekstil potongan. Pada periode 1926–1928, Pemerintah Hindia Belanda mengimpor beberapa jenis beras, di antaranya beras dari Siam, beras dari Saigon, dan beras dari India Inggris. Pemerintah Hindia Belanda juga mengimpor beras dari Singapura dan Penang selama kegiatan pemindahan muatan.[17]

Produk perkebunan sunting

Di pasar internasional, secara garis besar produk-produk perkebunan dari Hindia Belanda sangat laris. Pada tahun 1927, Hindia Belanda memproduksi kulit peruvian yang berasal dari pohon kina seberat 10.046 ton bersama dengan kapuk seberat 19.025 ton, lada seberat 22.219 ton, dan karet seberat 227.000 ton. Produksi lainnya adalah kelapa seberat 319.838 ton, serabut agava seberat 46.134 ton, teh seberat 65.623 ton, gula seberat 2.393.674 ton, dan kopi seberat 86.387 ton. Masing-masing hasil produksi tersebut memberikan kontribusi terhadap ekspor di dunia dengan persentase masing-masing secara berurutan adalag 91%, 75%, 53%, 37%, 23%, 19%, 16%, 10%,, dan 6%. Produk-produk perkebunan ini diimpor oleh Singapura sebanyak 19,3%. Singapura mengimpor produk Hindia Belanda berupa karet, minyak, dan hasil sampingan. Negara pengimpor berikutnya adalah Belanda dengan presentase sebesar 16,66%.  Produk impor yang dikirim berupa tembakau, teh, timah, kopra, karet, dan kopi. Kemudian, negara pengimpor lainnya adalah Amerika Serikat dengan persentase sebesar 12,77%. Produk yang diimpor meliputi karet, kapuk, teh, serat agava, kopi, tapioka, timah, getah damar, dan lada. Negara pengimpor berikutnya adalah India dengan persentase sebesar 11,13%. India hanya mengimpor gula. Sementara negara pengimpor lain hanya mengimpor produk Hindia Belanda dengan persentase kurang dari lima persen. Negara-negara ini adalah Inggris, Prancis, Tiongkok, Jepang, dan Australia.[18]

Setelah terjadinya depresi ekonomi yang mendekati tahun 1930, harga komoditas ekspor memang menjadi sangat murah. Namun, jumlah ekspor malah semakin meningkat jauh dibandingkan pada periode tahun 1920-an. Peningkatan jumlah ekspor terjadi pada komoditas karet, minyak, kopra, dan kopi. Peningkatan ekspor kopra dan kopi terjadi di daerah Borneo Barat karena adanya perluasan daerah perkebunan.[19]

Bahan mentah sunting

Wilayah Hindia Belanda di luar Pulau Jawa berperan sebagai eksportir bahan mentah. Hingga tahun 1925, nilai ekspor bahan mentah secara keseluruhan hampir mencapai 1 miliar gulden. Ekspor bahan mentah mulai berkurang pada tahun 1930 karena terjadi depresi ekonomi yang mempengaruhi kegiatan ekspor Hindia Belanda.[19] Persentase rata-rata ekspor bahan mentah secara keseluruhan adalah 82% pada dekade 1911–1920, 94% pada dekade 1921–1930, dan 96% pada dekade 1931–1940.[20]

Referensi sunting

Catatan kaki sunting

Daftar pustaka sunting