Ekonomi Majapahit berkembang dengan dua sistem perekonomian yaitu sistem agraris dan sistem maritim. Pusat kegiatan ekonomi Majapahit terletak di ibu kotanya yaitu Trowulan yang terletak di bagian bawah aliran sungai Brantas. Masa keemasan dari ekonomi Majapahit tercapai setelah seluruh aliran sungai Brantas dikuasai pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350–1389).

Kemerosotan ekonomi Majapahit mulai terjadi ketika berlangsungnya Perang Paregreg. Setelah berakhirnya peperangan, kekuasaan di wilayah Majapahit terbagi menjadi dua sehingga kegiatan ekonomi berkurang. Kehancuran ekonomi Majapahit terjadi setelah keruntuhannya dan setelah pedagang muslim mengambil alih pusat-pusat ekonomi di pantai utara Jawa. Salah satu peninggalan masa keemasan ekonomi Majapahit ialah celengan berbentuk babi yang menandakan adanya kebiasaan menabung dalam masyarakat.

Sistem

sunting

Majapahit menerapkan dua sistem perekonomian yaitu sistem agraris dan sistem maritim. Kedua sistem ekonomi ini berhasil diadakan oleh Majapahit.[1] Setelah Majapahit mengalami kemajuan dalam bidang pertanian dan perdagangan, ekonomi Majapahit menjadi komplek. Sejak tahun 1300, ekonomi mikro dilakukan di Majapahit dengan mengadakan impor uang koin dari Tiongkok untuk memenuhi kebutuhan pecahan uang. Uang yang diimpor dari Tiongkok berbahan perunggu dan berbentuk kepeng.[2]

Kegiatan ekonomi

sunting
 
Situs Trowulan di Trowulan, Kabupaten Mojokerto yang pada masa lalu merupakan ibu kota Majapahit.

Kegiatan ekonomi Majapahit berpusat di aliran sungai Brantas bagian bawah. Daerah aliran sungai pada bagian bawah memanjang dari barat ke timur, mulai dari Kertonoso sampai Delta Brantas yang sekarang berada di Kota Surabaya. Ibu kota dari Majapahit dibangun di aliran sungai Brantas bagian bawah dan dinamakan Trowulan. Lokasinya sekarang terletak di Trowulan dalam wilayah Kabupaten Mojokerto.[3]

Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350–1389 M), Majapahit berhasil menguasai seluruh aliran sungai Brantas. Penguasaan ini membuat pertanian dapat diadakan di daerah pedalaman dan perdagangan dapat dilakukan di muara sungai. Kondisi ini menjadikan Majapahit sebagai suatu kerajaan yang memiliki kekuasaan yang kuat.[4]

Kemerosotan

sunting
 
Bandar-bandar di pesisir utara Jawa yang menggantikan kedudukan Trowulan (lingkaran merah bergaris dalam putih), ditandai dengan lingkarang hitam dan merah bergaris luar putih dari yang terdekat ke yang terjauh: Gresik, Tuban, Lasem dan Demak.

Ketahanan ekonomi dan keamanan di Majapahit mengalami pelemahan sejak terjadi pendangkalan pada Sungai Brantas. Kondisi ini membuat rute pelayaran untuk rantai pasok perdagangan di Majapahit mengalami gangguan karena Sungai Brantas merupakan sarana transportasi utama dalam pelayaran di Majapahit. Terganggunya pelayaran kemudian memicu terjadinya pergolakan politik di Majapahit.[5]

Ekonomi Majapahit mulai mengalami kemerosotan selama berlangsungnya Perang Paregreg karena terjadinya pengurangan kegiatan perdagangan.[6] Peperangan mengakibatkan fungsi Majapahit sebagai penghasil beras dan pengumpul barang dagangan dari Nusantara bagian timur menjadi tidak maksimal. Para pedagang dari berbagai daerah di Nusantara tidak lagi membawa barang dagangan masuk ke wilayah pesisir pedalaman hingga ke ibu kota Majapahit. Keengganan para pedagang mempertimbangkan risiko keamanan di daerah pedalaman Majapahit yang masih berperang. Karena itu, para pedagang singgah di bandar-bandar Majapahit di pantai utara Jawa bagian timur lainnya. Beberapa di antaranya ialah Lasem, Tuban, Gresik, Surabaya dan Kadipaten Demak.[7]

Kehancuran

sunting

Kehancuran ekonomi Majapahit terjadi setelah berakhirnya Perang Paregreg. Majapahit kehilangan kewibawaan dan pengaruh serta kekuasaannya terbagi menjadi dua. Wilayah Majapahit bagian barat dikuasai oleh Wikramawardhana. Sedangkan Majapahit bagian timur dikuasai oleh WIrabhumi dan didirikan sebagai Kerajaan Blambangan.[8] Ekonomi Majapahit berakhir dengan keruntuhan Majapahit yang diikuti dengan pengambil-alihan pusat perekonomian dan perdagangan di pesisir Laut Jawa oleh para pedagang Muslim.[9]

Peninggalan

sunting
 
Salah satu celengan berbentuk babi yang menjadi peninggalan ekonomi Majapahit. Celengan ini menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia di Kota Administrasi Jakarta Pusat.

Salah satu peninggalan dari masa keemasan ekonomi Majapahit ialah celengan berbentuk babi yang disebut Celengan Majapahit. Penemuan Celengan Majapahit menandakan bahwa masyarakat di Majapahit telah memiliki kebiasaan menabung.[2]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Margana 2021, hlm. 175.
  2. ^ a b Kartapranata, Gunawan. "Hidup di Ibu Kota Majapahit". Dalam Aziz, Nasru Alam. Indonesia dalam Infografik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 36. ISBN 978-979-709-841-4. 
  3. ^ Widodo dan Syaifuddin 2021, hlm. 205-206.
  4. ^ Widodo dan Syaifuddin 2021, hlm. 206-207.
  5. ^ Zaim, Yahdi. "Adakah Kejayaan Majapahit Pudar karena Bencana Alam?". Dalam Koesbardiati, T., Murti, D. B., dan Bestiana, D. Sandhyakala ning Majapahit: Pembelajaran dari Pasang Surut Kerajaan Majapahit (PDF). Surabaya: CV. Putra Media Nusantara. hlm. 226–227. ISBN 978-623-6611-35-7. 
  6. ^ Munandar 2021, hlm. 133.
  7. ^ Munandar 2021, hlm. 116-117.
  8. ^ Abdillah, Y. B. Murti, D. B., dan Koesbardiati, T. (2021). "Similaritas DNA Mitochondria Masyarakat Tengger dengan Temuan Rangka Kedaton, Trowulan". Dalam Koesbardiati, T., Murti, D. B., dan Bestiana, D. Sandhyakala ning Majapahit: Pembelajaran dari Pasang Surut Kerajaan Majapahit (PDF). Surabaya: CV. Putra Media Nusantara. hlm. 233. ISBN 978-623-6611-35-7. 
  9. ^ Margana 2021, hlm. 198.

Daftar pustaka

sunting