Estetika Jawa mengenal beberapa konsep ideal yang bersinggungan dengan keindahan, mulai dari yang masih bertalian dengan tradisi Hindu hingga yang unik dalam kebudayaan Jawa.

Detail ukiran rumit pada wayang.

Sadangga sunting

 
Candi Jawi, arsitekturnya dapat dibagi menjadi bagian kaki, badan, dan kepala.

Pada zaman kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, estetika Jawa berpedoman pada Sad-angga, enam pokok atau enam pegangan keindahan, yaitu:[1][2]

  1. Rupabheda: keanekaragaman bentuk dan ciri-cirinya
  2. Sadrsya: kemiripan, padanan
  3. Pramuna: ukuran, standar, proporsi ideal
  4. Wanikabangga: warna-warna, pemisahan
  5. Bhawa: suasana hati atau rasa, wujud
  6. Lawanya: pesona, wibawa, kecantikan

Warisan Hindu lainnya dalam estetika Jawa adalah prinsip pembagian tiga, yakni kaki, badan dan kepala dalam arsitektur.

Ngrawit sunting

Ngrawit ꦔꦿꦮꦶꦠ꧀ dalam bahasa Jawa (juga bahasa Bali) berarti sangat halus.[3] Ngrawit adalah mutu suatu karya seni yang dihasilkan dari keterampilan tinggi sehingga dapat mencapai tingkat kerumitan ornamen yang sangat halus. Penggunaan ornamen yang rumit ini bisa dilihat pada ukiran-ukiran Jawa.[4] Meskipun demikian, istilah ngrawit juga banyak dipakai untuk mendeskripsikan seni musik Jawa, khususnya karawitan. Kata ngrawit memiliki asal kata yang sama dengan istilah karawitan. Keraton Surakarta disebut pernah menggunakan istilah karawitan sebagai istilah payung untuk beragam cabang seni, seperti musik, tari, ukir hingga pedalangan.[5][6]

Wangun sunting

 
Penataan berbasis tiga pada muka bangunan Keraton Surakarta

Wangun ꦮꦔꦸꦤ꧀ dalam bahasa Jawa berarti rancangan, tampilan atau bentuk, juga dapat berarti sesuai/patut/pantas.[7][8] Dalam konsep wangun, dikenal pula istilah ora wangun (tidak pantas) dan aèng / wagu (aneh). Wangun bersumber dari pemikiran Kejawen dan merupakan sebentuk estetika formalisme. Karya seni yang wangun berpedoman pada beberapa penataan yang disebut rupa wangun, yakni:[9]

  1. Manunggaling Kawula Gusti, objek memusat/mengerucut pada satu titik atas
  2. Loro-loroning Atunggal, dua objek, pada sisi kanan dan kiri
  3. Telu-teluning Atunggal, tiga objek yang ditata atas-tengah-bawah atau kanan-tengah-kiri
  4. Papat Keblat Kalima Pancer, empat objek dengan satu pusat
  5. Nawa Rupa, delapan objek dengan satu pusat

Pada dasarnya, ornamen Jawa klasik ditata menggunakan penataan di atas. Sementara itu, percampuran antara ornamen Jawa dan Eropa bisa disebut aèng atau wagu karena dianggap tidak njawani.

Rasa sunting

Rasa ꦫꦱ dalam bahasa Jawa berarti rasa atau sensasi.[10] Dalam estetika musik Jawa, rasa dapat digunakan untuk menjelaskan komposisi sebagai objek musikal, kemampuan mental yang diasah lewat pengalaman, dan indra intuitif bawaan yang bisa dilatih.[11]

Estetika musik Jawa yang berwujud dalam karawitan mengedepankan kelembutan (tidak meledak-ledak) dan terus mengalir (tidak terputus-putus).[12]

Kosakata sunting

 
Tarian Srimpi dengan keluwesannya.

Dalam bahasa Jawa terdapat sejumlah kosakata untuk menyatakan keindahan dan ketidakindahan, beberapa di antaranya meliputi:[13][14]

Keindahan sunting

  • Sembada: berimbang ke detail-detailnya
  • Jinem: mempunyai kesan sopan
  • Luwes: mencerminkan kehalusan
  • Demes: jelita dan lemah gemulai
  • Prasaja: sederhana
  • Lugu: tidak banyak tingkah, apa adanya
  • Mriyayèni: mencerminkan kepriyayian
  • Mutrèni: seolah-olah seperti putri
  • Mraboni: soalan-olah seperti bangsawan
 
Batik kawung digunakan sebagai penghias tempat sampah mungkin akan dianggap janggal dan tidak tahu aturan.

Ketidakindahan sunting

  • Wagu: janggal atau kaku
  • Wadag: tidak halus, garapannya kasar
  • Saru: tidak sopan
  • Ndèsani: seperti orang desa
  • Deksura: tidak tahu diri, tidak tahu tata krama
  • Mbranyak: memiliki warna-warna yang terlampau banyak atau berlebihan
  • Corèng: warna cerah yang mencolok
  • Marong: warna mencolok, kontras sekali, atau terlalu banyak hiasan
  • Ceblèh: terlihat pucat
  • Ngawur: tidak beraturan
  • Lawas/Kuno: lama, kuno

Lihat juga sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Jacob Sumardjo, dkk. (2010). Prosiding Seminar Nasional Estetika Nusantara. Institut Seni Indonesia Surakarta. 
  2. ^ Cai, Zongqi (2004). Chinese Aesthetics: The Ordering of Literature, the Arts, and the Universe in the Six Dynasties (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-2791-5. 
  3. ^ Lestari, Yayasan Sastra. Leksikon bahasa Jawa - Sejak 1997 (dalam bahasa Jawa). 
  4. ^ M.Sn, Dr Muh Fakhrihun Na’am. Pertemuan Antara Hindu, Cina, dan Islam pada Ornamen Masjid dan Makam Mantingan, Jepara. Dwi - Quantum. 
  5. ^ "Karawitan Jawa - Pengertian, Sejarah, Jenis, Filosofi & Fungsi Karawitan". Blog Kulo. 2018-06-10. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-17. Diakses tanggal 2020-05-25. 
  6. ^ Rustopo; Suparno, T. Slamet; Waridi (2007). Kehidupan karawitan pada masa pemerintahan Paku Buwana X, Mangkunagara IV, dan informasi oral. ISI Press Surakarta. ISBN 978-979-8217-55-5. 
  7. ^ "SEAlang Library Javanese Lexicography". sealang.net. Diakses tanggal 2020-05-24. 
  8. ^ kamuslengkap.com. "Arti kata wangun dalam kamus Jawa-Indonesia". Kamuslengkap.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-05-24. 
  9. ^ Widayat, Rahmanu (2017). "Aeng Visual Ornament of The Surakarta Palace's Building" (PDF). Advances in Economics, Business and Management Research (AEBMR). volume 41. [pranala nonaktif permanen]
  10. ^ "SEAlang Library Javanese Lexicography". sealang.net. Diakses tanggal 2020-05-25. 
  11. ^ Benamou, Marc. RASA: Affect and Intuition in Javanese Musical Aesthetics (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. doi:10.1093/acprof:oso/9780195189438.001.0001/acprof-9780195189438. ISBN 978-0-19-986423-2. 
  12. ^ Waridi (2008). Gagasan & kekaryaan tiga empu karawitan: pilar kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta, 1950-1970-an : Ki Martapengrawit, Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda. Etnoteater Publisher. ISBN 978-979-25-2903-6. 
  13. ^ M, Soegeng Toekio (1980-01-01). Tutup Kepala Tradisional Jawa. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  14. ^ Supanggah, Rahayu (2002). Bothekan karawitan. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. ISBN 978-979-97071-7-8.