Estetika agama
Estetika agama adalah konsep filsafat yang dikemukakan oleh Fahruddin Faiz (dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga). Konsep tersebut dapat dilihat dalam buku berjudul Filsafat dan Cinta yang Menggebu yang ditulis oleh Darwin tahun 2015. Menurut Fahruddin, etika dan estetika juga terkandung dalam aksiologi. Kehidupan manusia sendiri tidak dapat dilepaskan dari estetika, bahkan bidang yang berkutat kepada keindahan ini dianggap sebagai puncak dari agama. Agama menjadi sempurna jika estetika terkandung di dalamnya. Tujuan agama adalah etika, sedangkan tujuan etika adalah rasa nyaman dan aman. Domain rasa di sini adalah estetika. Dengan kata lain, penilaian indah atau tidaknya sesuatu itu pasti akan terus ada dalam diri manusia karena potensi yang dimiliki manusia itu sendiri, baik indra, akal, dan hati nurani.
Filsafat seni
suntingEstetika dalam ranah filsafat memunculkan beberapa tokoh, yaitu Immanuel Kant, David Hume, Auguste Comte. Adapun buku pertama yang menjelaskan mengenai estetika adalah karya Alexander Gottlieb Baumgarten berjudul Aesthetica yang ditulis pada 1750. Estetika sering disebut juga dengan filsafat seni. Seni sendiri adalah hasil oleh rasa seorang seniman. Logika modern memilah seni dengan reduktif. Seni dikerucutkan menjadi seni rupa (seni lukis dan seni pahat), seni pertunjukan (seni musik dan seni film), seni tari, dan seni sastra. Tentu banyak varian lain dari seni, seperti yang dapat dijumpai di daerah-daerah seluruh Nusantara. Seni di pelosok negeri sangat beragam, misalnya seni anyam yang ditemukan bisa berasal dari pandan, rotan, pohon teratai, dan lainnya.[1]
Saat ini, para penikmat seni terhibur dengan hasil olah sastra Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, Dewi Lestari, atau Tere Liye, sedangkan dalam seni lukis disuguhkan karya Affandi, S. Sudjojono, dan Djoko Pekik. Begitu juga dengan keseharian seseorang dari pagi hingga menjelang tidur, tidak dapat terlepas dari musik. Seni juga tidak bisa dilepaskan dari keindahan.[2] Aristoteles mengatakan keindahan adalah sesuatu yang baik dan menyenangkan, sedangkan Kaum Sofis mengatakan keindahan adalah apa pun yang membuat senang. Sementara itu, Georg Wilhelm Friedrich Hegel menyatakan keindahan adalah identitas yang sempurna dari yang ideal dan nyata.[3]
Paramater keindahan meliputi unity (kesatuan atau keutuhan), harmony (keselarasan), symmetry (terpadu), balance (seimbang), dan contrast (berbeda, tetapi saling mendukung).[4] Selain parameter, ada pula nilai dari sebuah keindahan, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang ada dalam bendanya, sedangkan nilai ekstrinsik ada dalam aspek luarnya, misalnya seseorang menyukai sebuah buku karena berkaitan dengan seseorang pada masa lalunya. Nilai keindahan yang lain juga disebut dengan nilai intelektual. Nilai ini berkaitan dengan teori objek yang diserap, misalnya sebuah patung dikatakan indah karena berkaitan dengan ulasan di buku tentang patung tersebut. Selain itu, ada juga nilai katarsis yang berkaitan dengan psikis seseorang dan nilai ekspresi yang berkaitan dengan kepuasan pembuat karya.[5]
Estetika tidak muncul di ruang hampa karena berkutat dengan ruang dan waktu. Ia hadir dan berkelindan dengan manusia yang dianggap sebagai “pusat” kosmos.[6] Pada masa klasik, estetika berfokus kepada subjek dan senimanlah yang menjadi pembicaraan. Namun, pada era modern, subjek digantikan oleh objek – karya seniman. Adapun pada masa pascamodern, subjek dan objek dipadukan – tidak ada lagi pemilihan antara subjek dan objek.[7]
Estetika tidak bisa dilepaskan dari tokoh-tokoh pencetusnya. Merekalah yang membuat estetika menemukan tempat dalam ruang-ruang kefilsafatan. Plato, satu dari tiga filsuf terbesar selain Sokrates dan Aristoteles. Plato adalah filsuf yang “bemain-main” dalam dunia idea. Terkait estetika, cintalah yang menjadi sumber keindahan baginya. Cinta di sini adalah pengosongan diri, sehingga sesuatu dapat diserap secara maksimal. Level keindahan Plato dimulai dari yang fisik (tubuh dan tampilan luar), selanjutnya adalah intersubjektif (mencintai tubuh yang lain), kemudian spiritual, dan terakhir keindahan yang tidak terikat aspek jasmani. Keindahan non-jasmani ini terkait dengan ide, misalnya sifat seseorang yang toleran dengan sesama.[8] Sementara itu, Aristoteles setia dengan konsep realismenya. Sebagaimana diketahui bahwa dia adalah antitesis dari Plato yang mengatakan bahwa realitas adalah idea.[9] Dia mengatakan bahwa seni di dalam adalah mimesis (tiruan) dari alam, benda, dan manusia. Tiruan di sini adalah penciptaan yang baru, bukan meniru yang sudah ada.[10][11]
Filsuf lain dalam menerka estetika adalah Immanuel Kant. Filsuf yang berasal dari Kerajaan Prusia ini menguraikan estetika dengan menyebutnya sebagai "momen". Momen di sini bersifat hierarkis. Momen pertama adalah disinterestedness (tanpa campur tangan manusia). Sebagai contoh, laut yang dilihat dari puncak gunung terlihat indah tanpa adanya intervensi dari manusia. Momen kedua adalah keuniversalan. Universal di sini adalah tidak adanya standar dalam keindahan – sifatnya sama bagi semua orang. Sebagai contoh, jika A mengatakan seseorang itu jelek, B atau C juga mengatakan hal yang sama. Dia tidak dibatasi oleh budaya, agama, dan sekat-sekat kelompok lainnya.[12] Momen berikutnya adalah esensialitas dan keterjangkauan – objek estetis yang dapat ditangkap oleh manusia. Manusia menyesuaikan dengan daya (jangkauan atau tangkapan) yang dimilikinya. Dengan kata lain, menyesuaikan dengan kemampuan. Momen yang terakhir adalah tujuan. Sebuah karya harus jelas tujuan estetikanya, misalnya tujuan dibuatnya sebuah telepon genggam adalah sebagai alat komunikasi.[13]
Estetika terakhir adalah perspektif Sokrates. Guru semua filsuf ini meneropong estetika secara berbeda. Menurut versinya, parameter keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan dan memenuhi keinginan terakhir (idealitas). Ukurannya tergantung pribadi yang menyerap, misalnya adalah manisnya secangkir teh. Masing-masing orang mempunyai idealitas sendiri dari manisnya secangkir teh. Jadi, ukuran manisnya sudah ada dalam pribadi masing-masing orang.[14]
Implikasi
suntingDalam ranah agama (Islam), estetika juga memainkan perannya. Seperti dijelaskan di atas tadi, di mana estetika adalah puncak dari agama. Dalam Islam bisa ditemukan beragam seni. Yang paling populer adalah prosa dan puisi. Puisi bahkan sudah menjadi tradisi dalam masyarakat pra Arab. Dalam berbagai literatur sering dikatakan, puisi-puisi dibacakan oleh para pujangga di istana hingga pasar yang becek. Karena itu pulalah kitab suci umat Islam, Al-Qur’an, mendapatkan inspirasinya dari syair-syair pra-Arab ini. Saking identiknya Islam dan puisi ada yang mengatakan, zaman keemasan Islam itu sama dengan zaman kesusasteraan Arab. Sehingga dari rahim Islam, muncullah para penyair, seperti Jalaluddin Rumi, Hafiz, Abu Nawas, Ibnu Arabi, Badi’ az-Zaman al Hamdhani (1969-1008 M), Al-Mutanabbin (915-965), dan Muhammad Iqbal. Ditambah lagi hampir semua ilmuwan Islam abad pertengahan adalah penyair, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan lainnya.
Seni Islam tidak bisa lepas dari unsur moral. Ia adalah sebagai payung atau tonggak bagi ekspresi para artis. Kita bisa melihat puisi-puisinya Rumi, misalnya, ia adalah ungkapan-ungkapan ketuhanan. Dalam Islam kontemporer, tokoh yang identik dengan estetika salah satunya adalah Ismail Raji al-Faruq (1921-1986), ada juga Muhammad Iqbal (1877-1938). Kata Faruq berdasar penjelasan Pak Fahruddin, kehidupan kita sebagai orang Islam tidak hanya berhenti pada tauhid yang pengejawantahannya ada pada syahadat, tetapi ada beberapa hal lain seperti berikut.
Implikasi doktrinal. Maksudnya adalah dalam kehidupan hanya ada makhluk dan khaliq. Hidup haruslah egaliter antar sesama makhluk. Dalam agama Nasrani disebut hidup yang penuh kasih. Ada lagi implikasi ritual. Hal ini bisa kita temui dalam agama-agama. Ritual adalah aspek penting dalam agama. Dalam Islam salah satu ritual misalnya salat.
Berikut adalah implikasi intelektual. Dalam Islam, kedudukan ilmu adalah urgen. Ada beberapa dimensi yang pokok dalam Islam, yakni iman, ilmu amal, dan ihsan. Ilmu atau dalam bahasa filsafat disebut epistemologi adalah obor penerang dokomandoi oleh ilmu. Dengan bahasa sederhana, sebelum kita menjalankan ritual, ilmunya harus kita ketahui terlebih dahulu.
Yang lain, ada implikasi sosial dan implikasi estetik. Implikasi sosial yang selalu disebut-sebut dalam Al-Qur’an tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 30. Di mana tugas manusia di muka bumi tak lain hanyalah sebagai khalifah. Kita adalah wakil Tuhan dalam menyampaikan amanah-Nya. Makhluk lain seperti malaikat, binatang, atau tumbuhan tentu saja tidak mendapat mandat yang mulia ini. Hanya manusialah yang ditunjuk oleh Tuhan untuk tugas super-suci ini.
Terkait implikasi estetika, ia disebut juga tahsiny. Implikasi ini adalah sebagai komplementer atau pelengkap. Dalam Islam, seperti dikatakan dosen yang mukim di Yogyakarta ini, disebut ihsan. Contohnya kata dosen humoris ini, ketika kita salat, salat bagi laki-laki sah asal menutup aurat dari lutut hingga pusar, walaupun tidak memakai baju. Tapi hal ini tentu saja tidaklah estetis. Ia menjadi indah jika disempurnakan dengan baju atau jubah. Di sini letak ihsan tersebut.
Tokoh lain yang membincangkan estetika seni (Islam) adalah intelektual dari Iran Syyid Husein Nasr (1933). Ia adalah pemikir yang membagi atau mengklasifikasikan seni dalam Islam. Nasr membagi seni Islam menjadi: seni suci. Lawannya adalah seni profan, di seberang lain ada juga seni tradisional, anti-tesisnya adalah anti-tradisional. Dan ketiga adalah seni relijius. Menurut penjelasan Fahuruddin, seni suci adalah seni nan sakral yang itu berhubungan dengan agama. Lawannya adalah seni profan. Seni yang tidak berkaitan dengan agama sama sekali. Sementara seni tradisonal adalah seni yang hakikatnya profan, tetapi mengispirasi penikmatnya untuk menghayati Sang Pencipta. Contoh: pedang yang dibuat pada abad pertengahan dalam agama Kristen dan Islam tidak pernah digunakan untuk ritual-riotual keagamaan. Sementara pedang Shinto di kuil I Se Jepang dijadikan media ritual dalam agama Shinto. Pedang Islam atau Kristen inilah yang disebut seni tradisional, sementara pedang Shinto itu adalah seni suci/sakral. Adapun seni relijius adalah seni yang objek atau fungsinya bertemu keagamaan, tetapi bentuk dan cara pelaksanaannya tidak bersifat tradisional. Contohnya adalah lukisan-lukisan relijius abad pertengahan.
Filsuf yang tak ketinggalan bicara estetika adalah ahli hikmah yang juga sufi terbesar Islam, Al-Ghazali (1058-1111). Ia membagi keindahannya, seperti dijelaskan Fahruddin, ke dalam hierarki atau tingkatan. Yang pertama adalah level keindahan indrawi. Sifatnya luar atau fisik semata. Kemudian ada level emotif. Level yang berhubungan dengan emosi, atau imajinasi. Ia berkait dengan rasa yang ada dalam diri manusia.
Selanjutnya ada level rasional dan ilahiah. Keindahan rasional berkaitan dengan akap pikiran atau ilmu pengetahuan. Sementara keindahan puncak versi Ghazali adalah keindahan ilahiyyah. Pemenyatuan dengan Tuhan. Di sinilah keindahan yang paling hakiki. Dengan penjabaran seperti ini, maka menurut Ghazali fungsi spiritual dalam Islam adalah tawajjud. Seni yang membawa penikmat-penikmat seni mencapai mutmainnah dan menyatu dengan keabadian.Beginilah rupa makhluk yang bernama estetika itu. Ia adalah bagian kehidupan yang tidak bisa lepas dari diri manusia. Manusia tanpa jiwa estetika tidak bisa diangga sebagai manusia. Serupa seperti makhluk-Nya, Tuhan juga mempunyai dimensi dalam dirinya. Alam semesta beserta isinya begitu estetis. Tuhan itu indah dan Dia menyukai keindahan.
Lihat pula
suntingRujukan
sunting- ^ Darwin (2015), hlm. 31
- ^ Sujarwa (2001), hlm. 54–55
- ^ Darwin (2015), hlm. 32
- ^ Sujarwa (2001), hlm. 53–55
- ^ Darwin (2015), hlm. 32–33
- ^ Pals (2011), hlm. 144
- ^ Darwin (2015), hlm. 33
- ^ Davies (2012), hlm. 31–32
- ^ Adib (2014), hlm. 28
- ^ Darwin (2015), hlm. 33–34
- ^ Davies (2012), hlm. 33–34
- ^ Nurcholish & Dja'far (2015), hlm. 19
- ^ Darwin (2015), hlm. 34–35
- ^ Darwin (2015), hlm. 35
Daftar pustaka
suntingBuku
- Adib, Mohammad (2014). Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8479-93-6.
- Darwin (2015). Filsafat dan Cinta yang Menggebu. Yogyakarta: The Phinisi Press. ISBN 978-602-7250-62-8.
- Davies, Paul (2012). Membaca Pikiran Tuhan: Dasar-Dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9483-87-4.
- Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-0265-30-8.
- Pals, Daniel L. (2011). Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Yogyakarta: Ircisod. ISBN 978-602-9789-08-9.
- Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9075-69-7.