Frederik Lodewijk Anthing (1820-1883) adalah salah satu penginjil Belanda yang melakukan kegiatan pekabaran Injil di daerah Jawa[1] khususnya Jawa Barat.[2] Ia memberikan perhatiannya terhadap penginjilan kepada masyarakat pribumi.[1] Bersama dengan penginjil lain seperti Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, Kiai Sadrach, Paulus Tosari, dan lain-lain Anthing menyebarkan kekristenan kepada masyarakat Jawa.[3]

Riwayat Singkat sunting

F.L. Anthing memiliki nama lengkap Frederik Lodewijk Anthing.[4] Lahir di Batavia (sekarang Jakarta)[4] pada tahun 1820 dan meninggal pada tahun 1883 dalam sebuah kecelakaan trem.[5] Ayahnya adalah seorang Belanda dan ibunya seorang keturunan Jerman.[4] Ia mendapat gelar sarjananya di bidang hukum di Belanda.[1] Anthing pun mendapat gelar Mr. (Meester in de rechten).[5] Setelah menyelesaikan studinya, ia bekerja di kantor pengadilan negeri di Semarang sejak akhir tahun 1850-an.[1] Kemudian sekitar tahun 1863 Anthing pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dan bekerja sebagai wakil ketua Mahkamah Agung.[1] Setelah pensiun Anthing benar-benar memusatkan perhatian dan kehidupannya untuk pekerjaan pekabaran Injil.[5] Semua biaya yang dikeluarkannya berasal dari kantongnya sendiri.[5] Oleh karena keterbatasannya, ia pun pergi ke Belanda untuk mencari bantuan dari para simpatisan di Belanda.[5]

Pekerjaan pekabaran Injil sunting

Dari Semarang ke Batavia sunting

Saat bekerja di pengadilan negeri Semarang, Anthing sudah memperlihatkan ketertarikan dan perhatiannya untuk pekerjaan pekabaran Injil.[6] Saat di Semarang ia menjadi pengikut pietisme.[6] Ketertarikan dan perhatian Anthing terlebih kepada penduduk pribumi.[6] Hal tersebut tumbuh semakin kuat ketika Kiai Ibrahim Tunggul Wulung yang juga merupakan penginjil pribumi mendatanginya.[6] Ia pun memulai usahanya di Semarang dan merekrut beberapa orang Kristen Jawa untuk dilatih menjadi penginjil.[3] Kemudian ketika ia dipindahkan ke Jakarta untuk menjadi wakil ketua Mahkamah Agung, ia tidak menghentikan usahanya untuk mengabarkan Injil.[3] Dia kemudian bergabung dengan sebuah perkumpulan pekabaran Injil bagi masyarakat di dalam dan di luar Batavia yaitu Genootschap voor In-en Uitwendige Zending.[1] Perkumpulan ini dibentuk oleh sejumlah orang Barat di Jakarta yang juga terpanggil untuk mengemban tugas pekabaran Injil.[1] Namun, ia tidak bertahan lama di perkumpulan tersebut dan akhirnya mengundurkan diri sehingga pekerjaan pekabaran Injilnya lebih banyak bersifat pribadi daripada kelembagaan.[1]

Usaha pekabaran Injil di Batavia sunting

Di rumahnya di Jakarta ia melatih para pemuda-pemuda pribumi yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi untuk dapat melakukan penginjilan-penginjilan ke daerah lain.[3] Anthing pun berhasil menghasilkan 50 orang penginjil yang akan bekerja di berbagai daerah di seluruh Hindia Belanda termasuk Jawa Tengah.[3] Sampai sekitar tahun 1870 pemerintah Hindia Belanda tidak memberikan izin untuk memberitakan Injil di sekitar Batavia yang meliputi Tanah Pasundan dan Banten.[1] Alasan pemerintah saat itu adalah karena mayoritas penduduk saat itu adalah pemeluk agama Islam yang taat.[1] Oleh karena itu, jika diberikan izin pemerintah memilki kekuatiran akan keamanan dan ketertiban di daerah tersebut.[1] Namun pada akhirnya pemerintah memberikan izin tersebut pada tahun 1873.[1]

Masalah-masalah yang dihadapi sunting

Anthing sangat memahami keadaan medan pekerjaan pekabaran Injil yang sedang dijalaninnya.[2] Ia memahami benar dan kemudian merumuskan apa yang menjadi masalah dalam usaha pekabaran Injil di kalangan masyarakat pribumi.[2] Anthing melihat ada beberapa penghalang yang ditemukan dalam usahanya tersebut.[2] Ia melihat bahwa hal-hal seperti kebangsaan, keturunan dan pandangan hidup menjadi salah satu jurang pemisah antara dunia orang pribumi dan dunia orang Barat.[2] Selain itu kedudukan politik dan ekonomi orang Eropa Kristen menurut Anthing menjadi salah satu rintangan bagi upaya pekabaran Injil.[2] Kemudian terdapat kenyataan bahwa bagi orang Timur agama, kebangsaan dan adat istiadat merupakan suatu kesatuan yang erat. Oleh sebab itu jika seseorang meninggalkan agamanya dan berpindah ke agama lain tetapi tidak meninggalkan kebangsaan dan adat istiadat adalah tidak masuk akal dan akan dianggap suatu bentuk pengkhianatan terhadap identitas.[2] Terlebih lagi jika ada yang beralih ke agama Kristen, mereka akan dikucilkan dari lingkungan masyarakat.[7] Bagi mereka agama Kristen adalah agama orang kulit putih, agama orang-orang Belanda.[2] Masyarakat pribumi saat itu terutama masyarakat Sunda masih banyak yang menggemari praktik ngelmu.[7] Masyarakat ini sangat erat dengan praktik ngelmu ini karena bagi mereka "ilmu" itu merupakan suatu pengetahuan rahasia yang memberi kekuatan batin kepada yang memilikinya.[2] Daerah-daerah yang saat itu masih mempraktikkan ngelmu misalnya daerah Bogor, Karawang dan sekitarnya.[7] Seringkali terjadi perdebatan atau adu kekuatan antara para pencari ilmu di daerah-daerah tersebut.[7] Pihak yang kalah wajib menjadi pengikut dari pihak yang menang.[7]

Metode pekabaran Injil sunting

Dengan memahami konteks dan keadaan masyarakat pribumi saat itu, Anthing menetapkan metode dalam upaya pekabaran Injilnya.[2] Bagi Anthing penginjilan di kalangan masyarakat pribumi akan lebih baik jika dilakukan oleh para penginjil pribumi juga.[1] Seperti yang sering dikatakannya, Inlander moet worden gewonnen door den inlander yang berarti pribumi harus dimenangkan oleh pribumi.[1] Oleh karena itulah ia dengan gencar melatih dan mendidik orang-orang pribumi untuk menjadi pekabar-pekabar Injil.[1] Selain itu metode lain yang digunakan Anthing adalah dengan membawa dan memberitakan Injil di dalam suasana masyarakat setempat.[8] Sesuai dengan suasana ngelmu, Anthing membawakan dan memberitakan Injil.[7] Ia menyebutnya dengan 'elmu sajati yang berarti ilmu sejati.[7] Anthing mengemas pokok-pokok ajaran Kristen di dalam bentuk rumusan-rumusan magis.[7] Pokok-pokok ajaran itu antara lain ajaran tentang Trinitas, Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli dan Sepuluh Perintah Allah.[7] Upaya Anthing ini mendapat respon baik dari masyarakat.[7] Dalam kehidupan mereka sehari-hari, mereka menggunakan rumusan Trinitas ketika hendak mengusir kuasa jahat, ketika berada di tempat-tempat yang mereka anggap didiami oleh kuasa kegelapan.[7]

Anthing dan Gereja Kerasulan sunting

Pada tahun-tahun terakhirnya Anthing sempat menjalin hubungan dengan Gereja Kerasulan Apostolik (Apostolische Kerk)[3] Ia bergabung dengan Gereja ini pada tahun 1879 ketika ia pergi ke Belanda untuk mencari sokongan dana.[9] Namun, tidak ada satu pun badan zending di sana yang tertarik dengan pekerjaan yang dilakukannya.[6] Hanya Gereja Kerasulan lah yang bersedia memberikan dukungan.[6] Ia pun diangkat menjadi rasul di Jawa.[6] Anthing kembali ke Indonesia pada tahun 1882.[6] Setelah pulang ke Indonesia ia menyebarkan ajaran Gereja Kerasulan tersebut kepada jemaat-jemaatnya.[9] Namun, tidak semua pengikut Anthing menerima ajaran Gereja Kerasulan tersebut.[6] Hanya jemaat Pangharepan-Cikembar yang menerima ajaran Gereja Kerasulan.[6] Ia juga mengangkat seorang muridnya yang bernama Leonard menjadi rasul Jawa.[9]

Hasil pekabaran Injil sunting

Pekerjaan pekabaran Injil yang dilakukan oleh Anthing membuahkan hasil.[7] Di Jakarta dan sekitarnya berhasil berdiri beberapa pos pekabaran Injil.[7] Pos-pos ini kemudian berkembang menjadi jemaat-jemaat dan akhirnya dikenal dengan sebutan "jemaat-jemaat Kristen Pribumi Anthing" atau "Anthingsche Christen-Inlandsche Gemeenten".[3][5][7] Jemaat-jemaat tersebut antara lain jemaat Kampung Sawah, Pondok Melati, Gunung Putri, Cigelam, Cikuya (di Banten), Tanah Tinggi, Cakung, Ciater, Karawang.[1][7] Jemaat-jemaat ini tidak berafiliasi dengan denominasi tertentu dan berkembang pesat.[3] Setelah kematiannya, Rasul Leonard lah yang menggantikan Anthing mengasuh jemaat-jemaatnya.[6] Pada akhirnya, jemaat-jemaat Anthing ini pun bergabung dengan badan penginjilan Belanda yaitu NZV.[6] Di bawah asuhan NZV ini lah akhirnya jemaat-jemaat tersebut menjadi mandiri dan menjadi cikal bakal Gereja Kristen Pasundan.[9]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Jan S. Aritonang. 2006. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 90-92.
  2. ^ a b c d e f g h i j Kelompok Kerja Penyusun Buku Peringatan HUT ke-65 GKP. 1999. Merenda Potensi, Mandiri dalam Misi - Buku Kenangan HUT ke-65 GKP. Bandung: Gereja Kristen Pasundan. hlm. 70-72.
  3. ^ a b c d e f g h Soetarman Soediman Partonadi. 2001. Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualisasinya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 51-52.
  4. ^ a b c (Inggris)Gerald H. Anderson (ed.). 1998. Biographical Dictionary of Christian Missions. Grand Rapids Michigan: Eerdmans Publishing. hlm. 24.
  5. ^ a b c d e f Emanuel Gerrit Singgih. 2000. Berteologi dalam Konteks. Yogyakarta: Kanisius & BPK Gunung Mulia. hlm. 106-108.
  6. ^ a b c d e f g h i j k l S.H. Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa - jilid 1. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 142-147.
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Koernia Atje Soejana. 1974. Benih yang Tumbuh II – Suatu Survey Mengenai Gereja Kristen Pasundan. Bandung: BPS GKP dan Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan-dewan Gereja di Indonesia. hlm. 24-32.
  8. ^ Van den End dan J. Weitjens. 1993. Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 24-32.
  9. ^ a b c d Van den End. 2006. Sumber-sumber zending tentang sejarah gereja di Jawa Barat 1858-1963. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 32.