Gajah sumatra

hewan mamalia di Indonesia
Gajah sumatra
Gajah sumatra jantan di sekitar Borobudur
Bayi gajah sumatra di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
Subspesies:
E. m. sumatranus
Nama trinomial
Elephas maximus sumatranus
Temminck, 1847

Gajah sumatra (bahasa Latin: Elephas maximus sumatranus) adalah subspesies dari gajah asia yang hanya berhabitat di Pulau Sumatra.[1] Gajah sumatra berpostur lebih kecil daripada subspesies gajah india. Populasinya semakin menurun dan menjadi spesies yang sangat terancam. Sekitar 2000 sampai 2700 ekor gajah sumatra yang tersisa di alam liar berdasarkan survei pada tahun 2000. Sebanyak 65% populasi gajah sumatra lenyap akibat dibunuh manusia, dan 30% kemungkinan dibunuh dengan cara diracuni oleh manusia. Sekitar 83% habitat gajah sumatra telah menjadi wilayah perkebunan akibat perambahan yang agresif.

Gajah sumatra merupakan mamalia terbesar di Indonesia, beratnya mencapai 6 ton dan tumbuh setinggi 3,5 meter pada bahu. Periode kehamilan untuk bayi gajah sumatra adalah 22 bulan dengan umur rata-rata sampai 70 tahun. Herbivora raksasa ini sangat cerdas dan memiliki otak yang lebih besar dibandingkan dengan mamalia darat lain. Telinga yang cukup besar membantu gajah mendengar dengan baik dan membantu mengurangi panas tubuh. Belalainya digunakan untuk mendapatkan makanan dan air dengan cara memegang atau menggenggam bagian ujungnya yang digunakan seperti jari untuk meraup. Cara untuk melindungi gajah adalah merawatnya di kebun binatang/taman konservasi oleh Pemerintah.

Morfologi

sunting

Gajah Sumatera merupakan salah satu subspesies dari species Gajah Asia yang keberadaannya pun hampir punah. Gajah sumatera merupakan subspesies dari Gajah Asia sehingga diberi nama Elephas maximus dengan subspecies sumatranus. Menurut Garsetiasih et al. (2017), Gajah merupakan mamalia besar yang memiliki bobot 1000 kg. Sedangkan Gajah Sumatera memiliki bobot 2000–3000 kg yang berarti gajah sumatera memiliki bobot 2-3x lebih besar dari gajah pada umumnya. Gajah Sumatera memiliki morfologi yang tidak berbeda jauh dengan Gajah Asia. Menurut Zein dan Sulandari (2016), Gajah Asia memiliki morfologi berupa telinga yang lebih kecil dibanding Gajah afrika, berdahi rata, serta memiliki dua bonggol di kepala yang merupakan puncak tertinggi gajah dimana gajah afrika hanya memiliki satu bonggol. Gajah Asia memiliki satu bibir pada ujung belalainya sedangkan gajah afrika memiliki dua bibir di ujung belalainya. Ciri khas yang dimiliki Gajah Asia dimana hanya gajah jantan yang memiliki gading. Menurut Garsetiasih et al. (2017) Gajah Sumatera memiliki daya pakan hijauan dengan kisaran 200 kg hingga 300 kg per individu. Tumbuhan pakan yang disukai oleh Gajah Sumatera berasal dari suku Cyperaceae dan Poaceae disebabkan tekstur morfologinya yang lunak dan bentuknya seperti rerumputan.

Gajah Sumatera merupakan salah satu satwa yang terancam punah. Gajah Sumatera memiliki manfaat yang sangat penting bagi lingkungan disekitarnya. Menurut Salsabila et al. (2017), gajah merupakan penjaga ekosistem di hutan Taman Nasional Way Kambas. Gajah juga memiliki peran sebagai penyebar benih tumbuh tanaman atau pepohonan di dalam hutan, sedangkan dalam fungsi ekonomi gajah dapat berperan sebagai objek wisata. Populasinya yang semakin sedikit dan lambatnya proses perkembang biakan gajah menyebabkan gajah memiliki berbagai ancaman yang serius. Menurut Zein dan Sulandari (2016), banyak populasi gajah yang berkurang karena terjebak dalam kantung-kantung kecil yang tidak cocok untuk mendukung kehidupan gajah. Hal ini memicu konflik antara manusia dan gajah yang mengancam punahnya Gajah Sumatera. Berkurangnya populasi Gajah Sumatera akibat perburuan sebab gadingnya sangat bernilai di dunia ekonomi.

Habitat

sunting

Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa yang membutuhkan wilayah jelajah yang luas, hal ini karena gajah butuh merasa aman dan nyaman, agar aktivitas hariannya tidak terganggu.[2] Seekor gajah membutuhkan ruang jelajah seluas 680 ha.[3] Terdapat tiga hal yang menentukan penggunaan habitat dan sumberdaya gajah sumatera, yaitu musim, aksesibilitas, dan gangguan. Aktivitas gajah sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya, habitat yang sesuai akan menjamin gajah dapat beraktivitas secara normal.[4]

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi gajah sumatera dalam memilih habitat, yaitu :

1. Kemiringan

sunting

Gajah sumatera merupakan hewan herbivora berukuran besar, kemiringan berpengaruh karena gajah cenderung menghindari kemiringan terjal. Hal ini dikarenakan ukuran tubuh yang besar akan menyulitkan saat bergerak pada dataran yang terjal.[5]

2. Sumber Air

sunting

Gajah sumatera termasuk water dependent species atau hewan yang memiliki ketergantungan terhadap air, sehingga gajah cenderung memilih habitat yang terdapat sumber air untuk makan dan berkubang.[5]

3. Ketersediaan Sumber Mineral

sunting

Gajah sumatera membutuhkan garam mineral diperlukan dalam proses metabolisme tubuhnya dan melancarkan proses pencernaan makanan.[6] Garam mineral diperoleh dengan mengunjungi lokasi yang mengandung banyak garam (salt licks).[7]

4. Ketinggian Lahan

sunting

Gajah sumatera termasuk satwa megaherbivor, hal ini menyebabkan gajah cenderung menghindari areal pegunungan, yang mana memiliki kemiringan yang terjal.[5]

5. Ketersediaan Pakan

sunting

Gajah sumatera umumnya memiliki bobot sebesar 2000 ‒ 3000 kg, sehingga gajah mencari habitat yang dapat memenuhi kebutuhan pakan hariannya yang mana sebesar 10% dari total bobot tubuhnya.[5] Pakan gajah berupa semak muda, herba, dan jenis pohon yang berserat halus serta kulit kayu muda yang masih segar.[8]

6. Pelindung (cover)

sunting

Gajah sumatera dalam memenuhi kebutuhannya mengembara di habitatnya dari satu vegetasi ke vegetasi lainnya untuk mencari makan, istirahat, tidur, dan menjalin hubungan sosial. Hal ini karena setiap vegetasi memiliki fungsi dan cover tersendiri dalam memenuhi kebutuhan kebutuhan gajah.[9]

7. Tipe Hutan

sunting

Gajah sumatera memiliki habitat di beberapa tipe hutan, yaitu hutan rawa, hutan gambut, hutan hujan dataran rendah, dan hutan hujan pegunungan rendah.[6]

Perilaku Makan

sunting

Gajah memiliki peran penting dalam menjaga ekologi habitatnya melalui perilaku makannya. Gajah dalam alam liar dapat menjamin ketersediaan pakan bagi gajah lain bahkan satwa lainnya. Gajah merupakan penhaga ekosistem karena secara tidak langsung membantu menyebarkan benih-benih tumbuhan dan pepohonan di dalam hutan (Salsabilla et. al 2017). Perilaku makan yaitu gajah mengambil dan memasukan makanan ke mulut dan mengunyah. Sebelum memakan makanannya gajah biasanya membersihkan makanannya dengan menggibaskan menggunakan belalainya hingga bersih. Gajah memakan berbagai jenis spesies tumbuhan sampai dengan 112 jenis tanaman yang dimakan gajah dari tumbuhan bawah hingga dedaunan yang ada dipohon (Sukumar 1990). Secara umum gajah memakan 5 bagian dari tumbuhan yaitu daun, batang, akar, buah, dan kulit. Namun dari kelima bagian tersebut daun merupakan bagian yang paling disukai gajah. Diambil dari penelitian Riba’i et. al (2013), berikut merupakan jenis pakan alami gajah berdasarkan habitatnya.

Tabel 1. Jenis pakan alami gajah yang dikonsumsi berdasarkan habitat (Riba’I et. Al 2013)

Padang rumput Rawa Hutan sekunder
1. Ilalang

2. Rumput gajah mini

3. Putri malu

4. Rumput teki

5. Jambu biji

6. Benalu belimbing

7. Kalopogonium

8. Polongan

9. Rumput bambu

10. Paku merak

11. Sawi langit

12. Grintingan

13. Paku hata

14. Senggani

1. Teki rawa ‘

2. Mendong

3. Lingi

4. Suket godokan

5. Teratai

1. Palem serdang

2. Jabon

3. Rotan duduk

4. Sungkai

5. Sonokeling

Menurut Offrinaldi et.al (2019) persentase makan gajah dalam satu hari mencapai 45-77, 1% dalam keseluruhan perilaku gajah dalam satu hari. Gajah menggunakan belalai dan dibantu oleh kaki dan gadingnya untuk mengambil, memotong, dan membuka kulit kayu (Abdullah et.al 2009). Gajah juga sensitif terhadap cuaca, jika cuaca panas gajah cenderung berpindah ke tempat yang lebih teduh atau basah.

Perilaku Sosial (Allelomimetik)

sunting

Gajah merupakan satwa yang hidup berkelompok pada habitat alaminya. Dalam satu kelompok, gajah dipimpin oleh gajah betina yang paling besar. Biasanya gajah yang sudah tua hidup soliter, karena sudah tidak bisa mengikuti pergerakan dari kelompoknya. Menurut Shoshani dan Eisenberg (1982) Gajah betina muda tetap berada pada kelompok sebagai pengasuh anak-anak gajah dalam kelompoknya, sedangkan gajah jantan muda atau gajah jantan dewasa dipaksa atau dengan sukarela untuk keluar dari kelompok dan mengikuti kelompok gajah jantan lainnya. Pada dasarnya gajah sumatera memiliki perilaku sosial yang tinggi dalam kelompoknya. Menurut Putri (2019) interaksi sosial individu pada gajah sumatera seperti interaksi menggunakan belalai, menaiki badan, dan bersandar. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu satwa yang sensitif dalam indera pendengaranya. Hal ini dikarenakan terdapat sensor tajam yang berada dalam telinga gajah sumatera sehingga dapat dengan mudah merespon keadan dala sekitar kelompoknya. Perilaku tersebut termasuk dalam mengawasi keadan sekitar untuk tetap waspada dan melindungi kelompoknya. Ciri-ciri gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dalam mewaspadai adalah berdiam diri lalu telinga menegang, ekor yang biasanya dikibaskan diam dengan tatapan mewaspadai kondisi sekitarnya. Gangguan yang menyebabkan gajah sumatera mewaspadai keadaan sekitar kemungkinan disebabkan oleh pergerakan pada manusia atau pada satwa lain yang berada di sekitar kelompoknya.

          Perilaku sosial gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dapat terlihat pada aktivitas seperti bermain, menelisik (grooming), mengasuh anak dan bersuara. Setiap induk gajah sumatera akan melakukan pengasuhan dan perawatan terhadap anaknya selama 6 bulan. Perilaku induk gajah sumatera dalam mengasuh anaknya memiliki peran penting dalam pembentukan karakter pada anak gajah sumatera nantinya. Induk gajah sumatera akan mendampingi, melindungi dan membantu anaknya dalam keberlangsungan hidup anak gajah sumatera saat bertumbuh besar nantinya. Perilaku dalam induk gajah sumatera terhadap anak gajah sumatera memiliki maksud untuk membentuk karakter anak gajah sumatera dalam melakukan perilaku harian anak gajah sumatera nantinya.

Konflik dengan Manusia

sunting

Hal yang melatarbelakangi konflik antara satwa liar dengan manusia yaitu dari perilaku manusia secara langsung yaitu merusak dan mencemari sumberdaya alam, merubah habitat satwa liar menjadi lahan pertanian, dan mencederai atau membunuh satwa liar (Reynolds 2005). Habitat yang berubah mengakibatkan satwa liar harus menggunakan wilayah dan sumberdaya yang sama dengan manusia, hal tersebut menimbulkan konflik antara satwa liar dan manusia karena perebutan sumberdaya yang mengakibatkan terbunuhnya satwa liar (FORINA 2014). Sejak tahun 2012 hingga tahun 2016, setidaknya ada 150 ekor gajah yang terbunuh akibat konflik dengan manusia (Wahyudi 2016). Berkurangnya populasi gajah sumatra (Elephas maximus) secara cepat sejak 50 tahun terakhir disebabkan oleh habitat yang berkurang, pencurian gading, dan pembunuhan ilegal yang disebabkan oleh konflik antara gajah dan manusia (Soehartono et al. 2007). Gading gajah merupakan bagian yang paling dicari oleh pemburu (WWF dan Balai KSDA 2006).

Konflik antara gajah dengan manusia juga disebabkan oleh beberapa hal berikut, yaitu fragmentasi kawasan hutan, status lahan yang tidak jelas di daerah penyangga, pertumbuhan penduduk dan peningkatan warga pendatang, perambahan hutan dan penebangan liar, kesadaran masyarakat yang masih kurang, serta kurangnya peranan lembaga pendukung konservasi gajah di daerah tersebut (Kuswanda dan Barus 2018). Menurut Córdova Lepe et al. (2018), fragmentasi habitat yang diakibatkan bertambahnya populasi manusia, pemukiman, serta pertanian menyebabkan hilangnya penghubung dari jalur jelajah satwa liar yang dapat menjadi ancaman serius dalam konservasi satwa liar. Gajah yang kehilangan jalur penghubung wilayahnya akan melintasi perkebunan sawit yang dapat meningkatkan konflik antara gajah dengan manusia (Kuswanda et al. 2015).

Gajah merupakan satwa liar yang sangat bergantung pada hutan sebagai tempat tinggal dan berkembang biak, kerusakan hutan akibat fragmentasi dan konversi hutan dapat mengancam kehidupan satwa liar termasuk gajah sumatra (Rianti dan Garsetiasih 2017). Menurut Yoza (2003), perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri menjadi penyebab fragmentasi dan berkurangnya habitat. Bertambahnya populasi manusia menjadi penyebab konflik manusia dengan satwa liar baik secara langsung maupun tidak langsung (Kuswanda 2014). Konflik tersebut berdampak bagi kedua pihak. Dampak bagi manusia yaitu rusaknya tanaman yang rusak dan dirampas, sumber air dan infrastruktur yang rusak, kematian hewan ternak, korban luka dan meninggal (Berliani et al. 2016). Dampak bagi gajah yaitu gajah dapat terluka hingga terbunuh oleh manusia (Nuryasin et al. 2014). Meningkatnya konflik antara gajah dan manusia membuat masyarakat cenderung memusuhinya karena dianggap merugikan (Abdullah et al. 2017). Garsetiasih (2015) menyampaikan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh pada persepsi manusia terhadap satwa liar, dimana pendidikan yang rendah mempersepsikan satwa liar secara negatif. Gajah juga dianggap sebagai hama oleh masyarakat yang bertani di sekitar kawasan hutan (Mustafa et al. 2018; Pratiwi et al. 2020).

Status Kepunahan

sunting

Gajah sumatra mendapatkan predikat status terancam punah (kode: critical endangered/ cr) semenjak tahun 2002. Kala itu terjadi pembalakan liar dan pembukaan lahan hutan di wilayah Sumatra.[10] Kejadian itu didukung dengan data yang dihimpun oleh bahwa isu lingkungan mempengaruhi habitat alami kehidupan alam. Hal itu berkorelasi dengan merosotnya kepeminatan investasi apabila satwa, termasuk gajah sumatra yang dianggap sebagai hama tanaman investasi seperti kelapa sawit.[11] Kebutuhan industri kelapa sawit yang menyebabkan pembalakan pada gajah sumatra itu yang mendorong status kegawatdaruratan populasi mamalia besar tersebut.

Perburuan gajah sumatra yang dinilai para pemburu memiliki nilai ekonomi [12] tinggi pada gading dan kepalanya juga menjadi sumber pendorong menurunnya populasi hewan tersebut. Diyakini, gading gajah sumatra ini memiliki nilai jual tinggi oleh para kolektor. Sehingga terjadi perburuan yang mengabaikan kelangsungan hidup gajah ini.

Status pada Rantai Makanan

sunting

Gajah secara fisiologis merupakan hewan penghuni ekosistem padang rumput atau sabana.[13] Hewan bioma ini menduduki rantai makanan kelas herbivora. Secara alami, musuh gajah di alam terbuka adalah sekumpulan harimau atau singa. Di Sumatra sendiri, puncak rantai makanan, harimau, macan tutul dan predator karnivora lainnya juga terancam punah. Berkorelasi analisis ahli tersebut, tinggi kemungkinan gajah sumatra mendapat predikat punah dikarenakan pembalakan liar yang sulit terungkap.[14]

Gajah hidup berkelompok. Satu kelompok bisa terdapat tiga hingga empat keluarga yang masing-masing terdiri dari empat hingga lima gajah. Dalam ekosistem,[15] gajah secara alami memakan tanaman dan dapat bertanding melawan puncak rantai makanan. Gajah apabila mati, tubuhnya menjadi santapan hewan pengurai alami dan burung hering dari wilayah hutan tropis. Sesama hewan herbivora, gajah pada umumnya dan gajah sumatra membentuk kelompok hayati dan kawanan di wilayah padang rumput.

Konservasi Gajah Sumatra

sunting

Pemerintah Republik Indonesia mulai mendisiplinkan pembalakan hutan dan perburuan hewan dilindungi termasuk gajah sumatra dengan berbekal Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Hal itu terjadi karena pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemburu gading dari luar negeri mulai meningkat secara ilegal di wilayah Sumatra bagian tengah. Undang-undang tersebut diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawasan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Meskipun dikukuhkan dengan peraturan, pembalakan dan perburuan liar di wilayah pulau Sumatra kerap terjadi.[16] Hingga pada tahun 2002 Pemerintah Republik Indonesia menaikkan status hayati gajah sumatra menjadi terancam punah (kode: critical endagered/ cr). Kegiatan represif digalakkan Pemerintah RI. Salah satunya dengan konservasi dan peningkatan status hutan nasional dan hutan lindung. Di dalam wilayah konservasi tersebut, termasuk flora dan fauna alami penghuni hutan dilindungi dan dilarang diburu atau dirusak.

Konservasi diselenggarakan di wilayah-wilayah hutan yang belum mengalami kerusakan. Lokasi tersebut seperti di wilayah Taman Nasional Gunung Leuser dan kawasan hutan Ulu Masen di Aceh, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Taman Nasional Tesso Nilo di Jambi, suaka margasatwa Padang Sugihan di Sumatera Selatan dan Taman Nasional Way Kambas juga Taman Nasional Bukit Barisan di Lampung.[17] Namun tantangan kembali terjadi, setelah lokasi konservasi terbentuk, tantangan selanjutnya adalah kurangnya tenaga medis dan dokter hewan yang siaga guna mengantisipasi keadaan hewan-hewan konservasi tersebut.

Organisasi yang Bergerak di Bidang Konservasi Gajah Sumatra

sunting

Dalam usaha konservasi gajah, sudah banyak organisasi yang membantu dan memfasilitasi konservasi gajah di Indonesia. beberapa diantaranya adalah :

WWF bekerja di tiga wilayah di Sumatera yang dinilai sangat penting bagi upaya konservasi gajah. Terobosan-terobosan besar telah berhasil dicapai dengan dideklarasikannya Taman Nasional Tesso Nilo di Riau (tahap I seluas 38,576 ha) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dulunya Departemen Kehutanan) pada tahun 2004. Pada tahun 2006, Menteri Kehutanan menetapkan Provinsi Riau sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera melalui Permenhut No. 5/2006. Hal ini merupakan langkah besar bagi penyelamatan habitat gajah di Sumatera (https://www.wwf.id/spesies/gajah [Diakses pada 31 Agustus 2021])

Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI)

sunting

Forum ini dibentuk dengan tujuan mendorong terbentuknya kebijakan dan strategi konservasi gajah di Indonesia yang selaras dengan pembangunan yang berkelanjutan, membantu pemegang kebijakan di tingkat daerah dan nasional untuk menyelaraskan rencana pembangunan yang berkelanjutan dengan konservasi gajah di Indonesia, mencari solusi penyelesaian konflik gajah dan manusia melalui kerjasama lintas institusi dan lembaga, meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar lembaga konservasi yang peduli terhadap konservasi gajah di tingkat nasional dan internasional, membantu upaya advokasi dan kampanye dalam kegiatan konservasi gajah secara komprehensif di tingkat nasional dan internasional, mencari alternatif pendanaan dalam konservasi gajah khususnya dengan melibatkan pihak swasta dan lembaga donor di tingkat nasional dan internasional (https://www.gajah.id/tentang/mengapa-forum-ini-berdiri/ [Diakses Pada 31 Agustus 2021])

Forum Komunikasi Mahout Sumatera (FOKMAS)

sunting

FOKMAS merupakan wadah bagi para mahout untuk dapat saling berkomunikasi, bertukar pengalaman dan keahlian. Forum ini juga akan dapat menjadi corong bagi para mahout untuk dapat memberikan upaya-upaya perbaikan tentang pentingnya keberadaan gajah jinak sebagai salah satu alternatif strategi konservasi gajah di Indonesia. Saat ini, FOKMAS diketuai oleh Nazaruddin. Beliau adalah staf Balai Taman Nasional Way Kambas yang cukup senior dan cukup lama bergelut dalam hal pergajahan, khususnya gajah tangkap dan gajah jinak. Harapan kami kedepan agar gajah-gajah jinak yang ada saat ini, kondisinya akan semakin baik.

Mahout atau pawang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upaya pelestarian konservasi gajah secara ex-situ. Hal yang mendasar adalah peran mahout sendiri yang masih dinomorduakan sebagai ujung tombak pemeliharaan gajah jinak. Disamping peningkatan taraf kesejahteraan mahout, modifikasi dan pengembangan pengelolaan sangat tergantung sekali terhadap kualifikasi, dedikasi dan kekompakan dari seluruh staf yang ada di suatu unit pengelolaan gajah jinak. Semua staf harus dilatih untuk melakukan modifikasi dan pengembangan sistem pengelolaan. Pemilihan staf harus dilakukan secara teliti berdasarkan kualifikasi, dedikasi dan kekompakannya. Berbagai paduan baik berupa tulisan maupun ilustrasi berkaitan dengan kebutuhan latihan haruslah tersedia dan dibagikan kepada semua staf yang berhubungan langsung dalam pengelolaan gajah jinak di Indonesia (https://www.gajah.id/forum-komunikasi-mahout/ [Diakses Pada 31 Agustus 2021]).

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting
  1. ^ "Hikayat Gajah Aceh: Dari Keagungan Sultan, Kini Konflik Satwa yang Tak Berkesudahan - Acehkini.ID". 2023-08-12. Diakses tanggal 2023-12-29. 
  2. ^ Meytasari, P; Bahri, S; Herawati, S (2014). "Penyusunan kriteria domestikasi dan evaluasi praktek pengasuhan gajah: Studi di Taman Nasional Way Kambas Kabupaten Lampung Timur". Jurnal Sylva Lestari. 2 (2): 79–88. 
  3. ^ Maharani, AI; Hendrarto, IB; Suprobowati, TR (2012). "Daya dukung gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus Temminck) di SM Padang Sugihan Provinsi Sumatera Selatan". Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan SDA dan Lingkungan: 28–30. 
  4. ^ Abdullah (2009). "Penggunaan habitat dan sumberdaya oleh Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di hutan Provinsi NAD menggunakan teknik GIS". Berkala Penelitian Hayati Edisi Khusus. 3B: 47–54. 
  5. ^ a b c d Abdullah; Jopisa, T (2013). "Karakteristik habitat gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck) pada habitat terganggu di ekosistem hutan Seulawah". Jurnal EduBio Tropika. 1 (1): 57–60. 
  6. ^ a b Zahrah, M (2014). Analisis Kesesuaian Habitat untuk Konservasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dengan Mengembangkan Indeks Habitat [disertasi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. 
  7. ^ Leckagul, B; McNelly, JA (1977). Mammals of Thailand. Bangkok: Sahakarnbhat Co. 
  8. ^ Suhada, N; Yoza, D; Arlita, T (2016). "Habitat optimal gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus Temminck) di Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas". Jurnal Faperta Universitas Riau. 3 (1): 1–9. 
  9. ^ Zahrah, M (2007). "Karakteristik komunitas vegetasi habitat gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Kawasan Hutan Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Langkat". Akademia. 11 (2): 14–22. 
  10. ^ Dickinson, Nigel. "Deforestation and Forest Degradation". World Wide Life Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-11. Diakses tanggal 05 Juni 2021. 
  11. ^ Atkins, Hathaway (2019). "OECD Green Growth Policy Review of Indonesia 2019". OECD Environmental Performance Reviews: 47. doi:https://doi.org/10.1787/19900091 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  12. ^ Rachmawati, ed. (13 November 2020). "Cerita di Balik Penjualan Gading Gajah Seharga Rp 100 Juta, Gading Diisi Semen agar Lebih Berat". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-11. Diakses tanggal 5 Juni 2021. 
  13. ^ Atep (15 Desember 2019). "Materi Rantai Makanan: Pengertian, Fungsi, dan Contohnya". Gramedia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-29. Diakses tanggal 5 Juni 2021. 
  14. ^ "Living with Sumatran Elephants". National Geographic. 30 Januari 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-19. Diakses tanggal 5 Juni 2021. 
  15. ^ Aji, Seno (4 Mei 2018). "Komponen Pembentuk Ekosistem". Ruang Guru. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-06. Diakses tanggal 5 Juni 2021. 
  16. ^ Watts, Jonathan (24 Januari 2012). "Sumatran elephant upgraded to critically endangered status". The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-08. Diakses tanggal 5 Juni 2021. 
  17. ^ Sucahyo, Nurhadi (28 Januari 2018). "Konservasi Gajah Sumatera dan Keterbatasan Dokter Hewan". Voice of Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-11. Diakses tanggal 5 Juni 2021.