Gereja Santa Perawan Maria Lourdes, Promasan
Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan (disebut juga "Gereja Promasan") adalah salah satu gereja Katolik tertua yang berada di Promasan, Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gereja tersebut mulai dibangun pada 18 Desember 1940. Pembangunan Gereja Promasan berbeda dengan geraja lain yang berada di lokasi yang sama, yaitu Gereja Boro. Gereja Promasan pada awal pembangunnya tidak disertai dengan bangunan pendukung lain, seperti bangunan pastoran atau sekolah. Pembangunan bangunan-bangun baru mulai dilanjutkan setelah ditetapkan sebagai Paroki pada tanggal 1 Januari 1959.
Sejarah Gereja Perawan Maria Lourdes Promasan
suntingSejarah gereja Perawan Mario Lourdes Promasan atau disingkat menjadi Gereja Promasan juga dirintis pertama kali oleh Romo J. Prennthaler yang kemudian dilanjutkan oleh Romo Jasawiharja bersama dengan Romo Tephema. Gereja Promasan dibangun karena berkaitan dengan persoalan pendidikan. Pada waktu itu, kondisi Sekolah Rakyat di Ploso menjadi semakin tidak memadai untuk dilaksanakan peribadatan dan perayaan Ekaristi. Kapasitas bangunan yang ada hanya dapat menampung 450 umat, namun pada perayaan Hari Raya Paskah jumlahnya bisa mencapai 550 umat. Beberapa dari mereka bahkan sampai harus menunggu di ruangan untuk menerima Komuni Kudus. Selain itu, Gereja Promasan juga dibangun untuk menampung jenazah menuju ke Sendang Sono karena tentunya membutuhkan ruangan gereja yang cukup besar.[1]
Semula, Romo Jasawiharja melakukan pembicaraan ringan dengan para tokoh Katolik setempat terkait rencana pembangunan Gereja Promasan. Setelah melewati beberapa perbincangan, mereka akhirnya sepakat untuk membeli tanah milik Mbok Martina Martorejo dan tanah milik Bapak marcelinus Semokariyo. Namun demikian, setelah dilakukan pemeriksaan lokasi, tanah milik mereka ternyata sering kali mengalami bencana tanah longsor. Hal itu tentu menimbulkan kekhawatiran apabila dibangun gereja di atasnya, kemungkinan besar tanah tersebut tidak akan mampu menyokongnya. Akhirnya, lokasi pembangunan gereja disana dibatalkan dan mereka mencari lokasi lain.[2]
Akhirnya, tokoh agama Katolik itu menemukan tanah yang lebih cocok untuk dibangun gereja, yaitu tanah yang berada di Promasan milik Prawiro Semito dan adiknya. Prawiro Semito memberikan tanahnya secara cuma-cuma dengan ganti rugi berupa pemberian tanah yang dulunya batal untuk dibangun gereja, yaitu tanah yang berlokasi di Ploso. Pihak pengurus gereja juga diharuskan menanggung sendiri biaya pembinahan rumah milik Prawiro Semito. Setelah dilakukan kesepakatan antar-kedua belah pihak, proses perataan tanah pun akhirnya dilakukan oleh mereka. Setelah itu, mereka juga melakukan pemotongan kayu dan bambu sebagai bahan bangunan. Proses pembangunan tersebut melibatkan seluruh umat Katolik di Promasan, mulai dari orang dewasa hingga anak-anak. Dalam buku “Kenangan 50 tahun Gereja Katolik Santa Perawan Maria Lourdes Promasan” dimuat beberapa material bangunan yang dipergunakan untuk membangun gereja, di antaranya adalah batu, kayu, pasir, batu merah, semen, genting, dan tenaga manusia.[3]
Dalam perkembangannya, pembangunan gereja tersebut sempat terhenti selama beberapa bulan akibat terjadinya Perang Dunia II pada tahun 1939. Tertundanya pembangunan gereja disebabkan oleh terputusnya bantuan dana dari pemerintah Belanda. Baru pada tahun 1940, pembangunan dilanjutkan kembali dengan peletakkan batu pertama oleh Romo Superior Misi Jos Van Ball dan peresmian gereja dilakukan pada tanggal 18 Desember 1940 dengan diresmikan oleh Mgr. Soegijapranata, S.J. dengan nama pelindung “Santa Maria yang Menampakan Diri di Lourdes”.
Sebagaimana penjelasan di muka, pemerintah Belanda juga merupakan pihak yang berperan banyak dalam pembangunan Gereja Promasan. Belanda memberikan bantuan berupa lima buah patung serta sibori monstrans dan beberapa pakaian misa untuk melengkapi fasilitas peribadatan di gereja tersebut. Namun demikian, tidak semua fasilitas bantuan tersebut sampai pada pengurus Gereja Promasan. Beberapa patung tidak tersampaikan kepada mereka karena kondisi perang yang tidak memungkinkan dan mempersulit prosesnya. Sehingga, patung yang sampai pada pihak gereja hanya berjumlah tiga buah, yaitu salib besar, patung St. Yusup, dan patung Hati Kudus Yesus.[2]
Dalam perkembangannya, proses peribadatan di Gereja Promasan juga mengalami kendala ketika pemerintahan Jepang berkuasa di Indonesia. Pemerintah Jepang menyebabkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat menjadi semakin sulit. Hal itu berdampak ada kesulitan dalam proses pengajaran agama yang dilakukan di gereja. Pemerintah Jepang bahkan juga membuat ancaman sekaligus pengaturan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Peraturan tersebut di antaranya adalah pemungutan pajak bagi para misionaris dan penyitaan fasilitas peribadatan gereja. Beberapa pastor bahkan juga ditahan karena bersekongkol dengan pastor dari Belanda. Gereja Promasan juga terhitung sebagai salah satu gereja yang akan dibumihanguskan oleh pemerintah Jepang. Mendengar kabar itu, Mgr. Soegijapranoto mengabarkan kepada pengurus gereja. Mereka kemudian memindahkan seluruh benda-benda suci yang ada di gereja ke dalam rumah Antonius Sukariyo. Benda-benda tersebut diamankan dengan cara dipendam di dalam tanah. Hal itu dilakukan pada malam hari agar tidak terdeteksi oleh Jepang.[1]
Pada tahun 1940-1958, Gereja Promasan kemudian menjadi bagian dari stasi Proki Boro sebagaimana Gereja Boro. Promasan kemudian ditetapkan menjadi Paroki sendiri pada 1 Januari 1959. Dengan adanya ketetapan itu, segala urusan administrasi di Promasan diurus sendiri oleh mereka.[1]
Keadaan Geografis Gereja Promasan
suntingSebagaimana Gereja Boro, Gereja Promasan juga dibangun di daerah Kalibawang, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah ini berbatasan langsung dengan daerah-daerah lain di sekitar Jawa Tengahh, superti Magelang atau lebih tepatnya di daerah Borobudur. Secara spesifik, berikut ini dijabarkan batas-batas geografis wilayah Kalibawang yang menjadi lokasi berdirinya Gereja Promasan.[4]
- Utara: Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah
- Selatan: Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Minggir, Selaman, Yogyakarta
- Timur: Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Yogyakarta
- Barat: Kecamatan Samigaluh dan Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta
Lokasi Gereja Promasan berada di atas Pegunungan Menoreh yang kontur tanahnya berbukit-bukit dyngan ketinggian yang sannat variatif. Menurut data dari Badan Pusat Statistik setempat, wilayah itu memiliki total luas wilayah 5.296.368 ha. Dari luas tersebut, sebanyak 250,05 ha gerada di ketinggian 26-100 meter di atas pemukaan laut, sedangkan seluas 4900,85 ha memiliki ketinggian sekitar 100-500 meter di atas permukaan air laut.[5] Sementara itu, wilayah tersebut juga memiliki curah hujan rata-rata yang berkisar 240 mm dengan rata-rata hari hujan 11 hh.[6] Kecamatan Kalibawang bukan wilayah tunggal yang tidak memiliki sub-bagian, di dalam wilayah tersebut juga terdapat wilayah lain seperti Desa Banjaroyo, Banjarharjo, Banjarsari, dan Banjararum.[4]
Terkait kondisi kontur tanah dan lahan, saat ini mayoritas lahan di wilayah tersebut dipergunakan oleh warga untuk mendukung aktivitas pertanian. Beberapa komoditas yang ditanam dalam aktivitas tersebut adalah padi, jagung, ubi-ubian, kopi, dan kelapa. Bidang pertanian memang menjadi matapencaharian utama penduduk di sana. Hal itu sungguh berbeda dengan kondisi yang terjadi sekitar tahun 1930-1940 dimana kondisi tanah dan lahan disana didominasi oleh lahan gamping yang tandus. Kondisi tersebut tentu tidak memungkinkan bagi penduduk setempat untuk melakukan aktivitas pertanian.
Perkembangan Agama Katolik di Kalibawang
suntingMula-mula, terdapat empat pastor dari Belanda yang membawa misi untuk menyebarkan agama Katolik di Pulau Jawa. Keempat pastor tersebut adalah Van Lith, Keyzer, S.J., K. Hebrans, L.j., dan Hoevenaars. Fokus area penyebaran agama Katolik yang mereka lakukan adalah di wilayah Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Muntilan, Ambarawa (disambiguasi), Bedono, dan Magelang, sekaligus Yogyakarta. Pada waktu itu, Kalibawang dan wilayah Pegunungan Manoreh tidak termasuk dalam wilayah tujuan mereka. Namun, lokasinya yang berdekatan dengan Muntilan, Magelang dan jauh dari daerah Yogyakarta menjadikan persebaran agama Katolik juga masuk ke wilayah tersebut.[7]
Pada awalnya, persebaran agama Katolik yang dilakukan oleh misionaris itu berhasil menjaring empat tokoh pribumi di Kalibawang, yaitu Barnabas Sarikromo, Lukas Suratirta, Markus Suradrana, dan Yokanan Surawijaya. Keempat penduduk pribumi tersebut tertarik belajar agama Katolik kepada Van Lith di sekolah misi Muntilan. Keempat tokoh pribumi tersebut dianggap sebagai tokoh penting dalam penyebaran agama Katolik di Kecamatan Kalibawang serta wilayah Pegunungan Menorehlainnya. Sebelumnya, mereka telah dibaptis terlebih dahulu bersama dengan 174 orang penduduk Kalibawang yang kebanyakan bermatapencaharian sebagai petani.[7]
Mata air Sendangsono yang menjadi tempat pembatisan tersebut kemudian dianggap suci dan dijadikan sebagai lokasi ziarah penganut agama Katolik. Terlebih laga, Gua Mario Lourdes dan beberapa tempat ikonik juga terdapat di sekitar area itu. Jadilah lokasi itu menjadi semakin banyak didatangi oleh peziarah. Selanjutnya, pihak misi Katolik di Semarang kemudian mengutus Romo Groenwegan, S.J. untuk membimbing umat Katolik di sekitar Kalibawang. Pada awalnya, para jamat Gereja Promasan di Kalibawang harus menempuh perjalanan ke Muntilan, Magelang untuk beribadah sekaligus untuk mengikuti sekolah misi dan perayaan Ekaristi. Hal itu disebabkan oleh belum tersedianya fasilitas gereja yang memadai, sehingga mereka terbiasa untuk menggelar tikar ketika kebaktian. Hal itu mendorong Romo Groenwegen untuk mendirikan Sekolah Rakyat di Ploso pada tahun 1918 yang selesai dibangun pada tahun 1922. Sekolah itu tidak hanya berfungsi sebagai lembaga penyelnggaraan pendidikan, melainkan juga berfungsi sebagai kapel stasi.[8]
Proses penyebaran agama Katolik di wilayah Pegunungan Menoreh, tepatnya di Kecamatan Kalibawang, mengalami tantangan ketika agama Islam juga mengalami progres yang baik dalam penyebarannya, Terlebih lagi, penduduk desa yang tinggal di wilayah pedesaan di lereng Tenggara Pegunungan Menoreh juga sudah mulai terbuka dengan pengaruh dan ajaran agama Islam. Progres tersebut tidak terlepas dari peran organisasi kemasyarakatan Islam bernama Muhammadiyah. Selain memeluk Islam dan Katolik, di antara mereka juga masih memercayai kepercayaan nenek moyang seperti menyembah arwah leluhur, mengeramatkan benda-benda pusaka, dan lain sebagainya.
Namun demikian, kondisi tersebut tidak sepenuhnya menghambat perkembangan agama Katolik. Romo Prennthaler ternyata memiliki metode sendiri dalam menyebarkan ajaran Katolik. Ia mendatangi masyarakat satu per satu serta melakukan aktivitas real bersama mereka. Langkah tersebut dinilai menarik bagi masyarakat, sehingga tidak memerlukan waktu lama, jumlah penganut agama Katolik juga meningkat selama rentan waktu 1927-1930. Jumlah mereka pada tahun tersebut mencapai 981 jiwa dan dua tahun kemudian meningkat menjadi 1.225 jiwa.[8]
Bangunan Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan
suntingSebagaimana Gereja Boro, Gereja Promasan juga dibangun di atas tanah dengan kontur berbukit-bukit yang bagian utaranya lebih tinggi daripada bagian barat. Gereja Promasan berdiri di atas tanah seluas 19,24 x 37,75 m yang di sekitar bangunan gerejanya terdapat permukiman warga dan persawahan, terutama pada sisi selatan gereja. Bagian luar Gereja Promasan adalah bangunan beratap pelana yang dikombinasikan dengan pemakaian atap limas dan piramid pada bagian tertentu. Bagian-bagian tersebut antara lain bagian belakang, lorong-lorong di samping kanan-kiri bangunan, dan menara lonceng. Sementara itu, fasade gereja berupa porch yang berdampingan dengan menara lonceng setinggi 24,25 m serta dinaungi oleh atap limas yang dikombinasikan dengan gabel. Gabel tersebut berhias salib dan tulisan IHS yang merupakan singkatan dari Iesus Hominum Salvator (Yesus Penyelamata Manusia).[9]
Pintu utama gereja merupakan pintu berdaun dua yang berhiaskan list salib. Bagian bawah pintu utama terdapay hiasan berupa tanda salib yang dibubuhkan di atas keramik marmer berwarna putih. Itu adalah sebuah penanda bahwa bangunan yang sedang berdiri di sana adalah sebuah gereja. Di deretan sebelah barat dan timur pintu utama tersebut terdapat jendela persegi panjang berjumlah empat buah; dua buah di deret timur dan dua buah lainnya di deret barat.[10]
Sementara itu, bagian dalam gereja terdiri dari beberapa ruangan seperti ruang depan, panti umat, panti imam, ruang pengakuan dosa, dan ruang sakristi. Ruang depan melingkupi balkon dan fasilitas peribadatan yang terdapat di sisi depan. Fasilitas tersebut adalah kotak persembahan dan bejana kecil untuk tempat air suci. Balkon Gereja Promasan berupa pagar cor setinggi satu meter yang dilapisi pelipit kayu. Balkon tersebut ditopang oleh empat tiang yang juga dilapisi kayu. Lantai balkon dilapisi tegel berwarna abu-abu yang masing-masing berukuran 20 x 20 cm. Panti umat sebagaimana definisi lainnya adalah tempat para jemaat untuk melaksanakan proses peribadatan, baik pernikahan maupun ibadah mingguan. Ruang tersebut dilengkapoi dengan dua blok kursi kayu yang memanjang dari barat-timur serta menyisakan ruang khusus yang dipergunakan oleh jemaat untuk berjalan. Di dalam ruang umat juga terdapat aisle yang ditandai dengan tiang-tiang kayu berjulah dua belas buah yang seolah-olah membatasi kedua bagian tersebut. Selain panti umat, di dalam bangunan gereja juga terdapat panti imam yang merupakan tempat imam atau pemimpin perayaan liturgy. Panti imam berada pada batur dua tingkat sehingga permukaannya lebih tinggi daripada ruangan sekitar Di samping kanan dan kiri panti imam juga terdapat mimbar yang berbeda satu dengan yang lain. Mimbar di bagian kiri terbuat dari cor beton sedangkan mimbar di sebelah kanan terbuat dari kayu. Di antara mimbar tersebut juga terdapat hiasan kayu bertuliskan “Perjamuan Terakhir atau Perjamuan Malam”.[10]
Ruangan di dalam bangunan gereja juga dilengkapi dengan keberadaan ruang sakristi yang merupakan tempat persiapan para imam dan pembantunya sebelum keluar untuk memimpin peribadatan. Ruangan tersebut terletak di pojok barat dan timur panti imam dengan akses berupa pintu bukaan satu yang berhiaskan salib. Di dalam ruangan tersebut terdapat dua buah pintu yang menghubungkan halaman luar dan panti imam. Di dalam ruangan tersebut juga terdapat beberapa perlengkapan yang digunakan oleh imam untuk memimpin peribadatan seperti busana liturgi. Dalam perkembangannya, panti umum justru berubah fungsi menjadi tempat menyimpan perlengkapan yeng berhubungan dnegan peribadatan, seperti buku-buku, tape recorder, dan sound system. Di dalam ruangan tersebut juga terdapat almari baja, almari kayu, kaca, meja, dan rak untuk tempat buku. Selain itu, bangunan gereja juga dilengkapi dengan ruang pengakuan dosa yang masing-masing terletak di sayap barat dan sayap timur serta dinaungi oleh atap tersendiri. Akses untuk memasuki ruang pengakuan dosa adalah berupa pintu berdaun satu sebagaimana pintu pada ruang sakristi.[9]
Perubahan Bangunan Gereja Promasan
suntingDi awal pembangunannya, lingkungan di sekitar gereja pada bagian utara dipenuhi dengan rangkaian perbuktian yang ditumbuhi semak dan pepohonan, sedangkan pada bagian selatan berupa area pertanian milik warga. Di awal pendiriannya, bangunan Gereka Promasan juga belum memiliki bangunan pastoran, wisma ibu, dan koperasi. Bahkan, permukiman warga juga belum dibangun di sekitar gereja pada waktu itu. Hingga pada tahun 1959, dibangunlah bangunan-bangunan tersebut, kecuali permukiman warga. Lebih jauh lagi, dahulu, halaman gereja juga belum tertutupi oleh conblock seperti yang terlihat saat ini serta hanya berupa tanah yang diratakan. Sekarang, halaman geraja sudah dilapiri oleh conblock serta tidak lagi menggunakan pagar kayu sebagaimana yang terjadi di awal pembangunannya. Selain itu, bagian ruang peribadatan di dalam gereja juga mengalami perubahan signifikan. Dahulu, ketika peribadatan berlangsung, para jemaat harus duduk di bawah dengan menggunakan tikar. Pada masa itu, di dalam gereja juga belum ada hiasan “Perjalanan Salib” sebagaimana yang terlihat saat ini. Hanya lukisan-lukisan berupa ornamen berbahan gips yang menjadi hiasan di dalam ruang peribadatan.[2]
Sementara itu, ruangan panti imam di dalam gereja juga tidak mengalami perubahan yang mencolok. Perubahan yang ada hanya berupa penambahan meja kayu yang terletak di depan altar. Perubahan lainnya adalah pada ornament di meja altar berupa penambahan figure malaikat berbaju adat Jawa yang saat ini terletak di sisi kanan dan kiri meja. Dahulu, di dalam panti imam hanya terdapat satu mimbar yang terbuat dari bahan cor. Saat ini, di ujung kiri panti umam juga ditambah satu buah mimbar yang terbuat dari bahan kayu. Perubahan lain yang terjadi pada bangunan gereja ini adalah perubahan fungsi yang terjadi pada balkon. Dahulu, ketika awal pertama kali dibangun gereja, balkon yang ada hanya berfungsi sebagai tempat koor.
Referensi
sunting- ^ a b c Prabawa, Denny. 2015. Arsitektur dan Latarbelakang Penerapan Pada Kompleks Gereja Lama di Kalibawang, Kulon Progo, DI Yogyakarta. Skripsi. Program Studi Arkeologi Universitas Gadjah Mada
- ^ a b c Weitjen, Jan SJ. "Gereja Katolik Yogyakarta 1865-1945" dalam Gereja Dan Masyarakat, Sejarah Perkembangan Gereja Katolik Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia Misa Syukur Pesta Emas Republik Indonesia, 1995.
- ^ Hardawiryana, S.J., Robert. Romo JB. Prennthaler, S.J.: Perintis Misi Di Perbukitan Menoreh Kenangan Penuh Syukur HUT 75 Tahun Paroki St. Theresia Lisieux Boro. Boro: Paroki Santa Theresia Lisieux Boro, 2002.
- ^ a b Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo. Kalibawang Dalam Angka. Kulon Progo, 2008. pdf
- ^ Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kulon Progo. Luas dan Persentase Luas Wilayah dirinci menurut Kecamatan di Kabupaten Kulon Progo (Hektar), 2011 dalam Kulon Progo Dalam Angka 2012. Kulon Progo, 2012. pdf
- ^ Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo. Rata-rata Curah Hujan dan Hari Hujan menurut Masing-masing Stasiun Hujan di Kabupaten Kulon Progo, 2011 dalam Kulon Progo Dalam Angka 2012. Kulon Progo, 2012. pdf
- ^ a b Haryono, Anton. Misi Jesuit di Yogyakarta: Studi Tentang Pengembangan Pewartaan Agama Bagi Suku Jawa 1914-1940. Thesis, Yogyakarta: Program Studi Sejarah Ilmu Humaniora Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2000.
- ^ a b Weitjen, Jan SJ. Gereja Katolik Yogyakarta 1865-1945 Dalam Gereja Dan Masyarakat, Sejarah Perkembangan Gereja Katolik Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia Misa Syukur Pesta Emas Republik Indonesia, 1995.
- ^ a b Paroki Santa Perawan Maria Lourdes Promasan. Buku Kenangan 50 th Gereja Katolik Santa Perawan Maria Lourdes Promasan. Kulon Progo, 1990.
- ^ a b Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta. Laporan Pendataan Gereja Katolik Santa Perawan Maria Lourdes Promasan. Laporan pendataan, Yogyakarta: Balai Pelestarian Cagar Budaya, 2013.