Gong nekara adalah gong perunggu buatan kebudayaan Dong Son, yang terdapat di delta Sungai Merah Vietnam Utara. Gong ini diproduksi pada sekitar 600 tahun sebelum masehi atau sebelumnya, sampai abad ketiga Masehi. Dengan menggunakan metode pengecoran logam yang telah hilang (lost wax method),[1] gong ini oleh para peneliti sejarah dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dari budaya pengerjaan logam. Gong Nekara ini mempunyai 3 fungsi pada masanya,[2] yakni fungsi Keagamaan, Sosial-Budaya, dan Politik. Fungsi keagamaan yaitu sebagai alat komunikasi, upacara, dan simbol. Sementara fungsi sosial budaya yaitu sebagai simbol status sosial, perangkat upacara dan karya seni yang mempunyai daya magis religius. Sedangkan fungsi politik yaitu sebagai tanda bahaya atau isyarat perang.

Gong Nekara mempunyai luas lingkaran sebesar 396 cm persegi, luas lingkaran pinggang 340 cm persegi, dan tinggi 95 cm persegi. Keunikan yang dimiliki gong yang dikenal sakral itu adalah adanya gambar bermotif flora dan fauna terdiri dari gajah 16 ekor, burung 54 ekor, pohon sirih 11 buah dan ikan 18 ekor. Sementara dipermukaan gong bagian atas terdapat 4 ekor arca berbentuk kodok dengan panjang 20 cm dan di samping terdapat 4 daun telinga yang berfungsi sebagian pegangan. Pada bidang pukul terdapat hiasan geometris, demikian pula pada bagian tengah gong terdapat garis pola bintang berbentuk 16. Nekara secara vertikal terdiri atas susunan kaki berbentuk bundar seperti silinder, badan dan bahu berbentuk cembung.

Tertua di Dunia

sunting
 
C. Ribbe, seorang peneliti asal Belanda pada tahun 1882 mengadakan penelitian untuk mengetahui asal usul gong nekara
 
atas perkenan Opu Bontobangun Massairang Daeng Mangatta (1895–1936), AA Cense mengunjungi gong nekara (Keteltrom) di Bontobangun

Gong Nekara terbesar di Asia Tenggara dan bahkan tertua di dunia[3] adalah gong nekara yang ada di Pulau Selayar. Menurut informasi dari tetua adat dan penduduk Kelurahan Bontobangun (tempat ditemukannya gong nekara), gong tersebut ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang penduduk dari Kampung Rea-Rea yang bernama Sabuna pada tahun 1686. Pada saat itu Sabuna sedang mengerjakan sawah Raja Putabangun di Papaniohea, tiba-tiba cangkul Sabuna membentur benda keras yang ternyata adalah hiasan katak yang merupakan bagian dari gong nekara. Sejak berakhirnya Dinasti Putabangun, pada tahun 1760 gong nekara tersebut dipindahkan ke Bontobangun dan menjadi kalompoang/arajang (benda keramat) Kerajaan Bontobangun.

Legenda mengenai keberadaan Gong Nekara di Pulau Selayar berasal dari 2 (dua) sumber. Sumber yang pertama yaitu cerita mitos Sawerigading yang berkembang pada periode Galigo, suatu periode kekuasaan manusia dewa yang mengatur tata tertib dunia dengan pola kepemimpinan religius kharismatis. Sawerigading ditempatkan sebagai tokoh utama dalam perwujudan tata tertib dan penataan pertama masyarakat Bugis - Makassar di Sulawesi Selatan. Periode Galigo diperkirakan berlangsung sekitar abad ke-7 sampai abad ke-10 tetapi Christian Pelras menempatkannya pada sekitar abad ke-12.

Sumber yang kedua adalah naskah hukum pelayaran dan perdagangan Ammana Gappa (abad 17) dimana Pulau Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga. Letaknya sangat strategis bagi pelayaran yang menuju ketimur maupun ke barat. Dengan demikian Pulau Selayar menjadi bandar transit bagi lalu lintas pelayaran kala itu. Di dalam naskah itu juga disebutkan tentang daftar sewa bagi orang yang berlayar dari Makassar ke Aceh, Kedah, Kamboja sewanya 7 rial dari tiap seratus (orang) dan apabila naik dari tempat tersebut menuju Selayar, Malaka, Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus (orang).

Dari sumber tersebut memberikan keterangan tentang peranan Pulau Selayar dengan daerah-daerah di Nusantara dan Asia Tenggara. Hal ini memperkuat dugaan bahwa gong nekara mungkin didatangkan dari daratan Asia Tenggara pada waktu pengaruh kebudayaan Tiongkok berkembang di kawasan itu. Menurut cerita yang terkait dengan gong nekara di Pulau Selayar, dikatakan bahwa ketika Sawerigading bersama isterinya (We Cuddai) dan ketiga putranya (La Galigo, Tenri Dio, dan Tenri Balobo) kembali dari Tiongkok, dalam perjalanannya menuju ke Luwuk mereka singgah di Pulau Selayar dan langsung menuju ke suatu tempat yang disebut Putabangun dengan membawa sebuah nekara perunggu yang besar. Di tempat itu mereka dianggap sebagai Tumanurung. Pada saat itulah Tenri Dio dianggap menjadi raja pertama di Putabangun dan menempatkan gong nekara itu sebagai kalompoang di Kerajaan Putabangun.

Dari cerita itu dapat disimpulkan bahwa Gong Nekara dibawa dari Tiongkok oleh Sawerigading. Yang dimaksud dengan Tiongkok di sini, mungkin adalah Indo China. Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa hanya ada dua gong nekara di dunia, yaitu sebuah di Pulau Selayar dan sebuah lagi berada di Tiongkok. Gong nekara yang ada di Pulau Selayar dianggap sebagai suami dan yang ada di Tiongkok dianggap sebagai isteri. Hal ini mengingatkan kita pada nekara yang dipuja berpasangan di daerah Birma yang dipersonifikasikan sebagai pasangan suami isteri. Nekara yang di atasnya terdapat hiasan katak berukuran lebih tinggi melambangkan pria, sedangkan yang tidak memakai hiasan katak dan berukuran lebih kecil dan rendah melambangkan wanita. Dengan demikian tampak adanya persamaan nilai simbolis dari negara penganut kebudayaan perunggu khususnya gong nekara di Indonesia dan Asia Tenggara.[4]

Referensi

sunting
  1. ^ "pariwisataselayar.com". [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ "kerajaannusantara.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-28. 
  3. ^ "kompas.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-08. 
  4. ^ "Kata Ilmu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-19. 

Pranala luar

sunting