Pindang

metode pengawetan ikan
(Dialihkan dari Ikan cue)

Pindang merupakan hasil olahan ikan dengan cara kombinasi perebusan (pemasakan) dan penggaraman.[1] Produk yang dihasilkan merupakan produk awetan ikan dengan kadar garam rendah.[2] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pindang memiliki pengertian "ikan yg digarami dan dibumbui kemudian diasapi atau direbus sampai kering agar dapat tahan lama".[3] Setelah selesai pemasakan, biasanya wadah di mana ikan disusun langsung digunakan sebagai wadah penyimpanan dan pengangkutan untuk dipasarkan.[4]

Ikan pindang tongkol di pasar tradisional Kalibaruwetan, Kalibaru, Banyuwangi

Pindang memiliki penampakan, citarasa, tekstur, dan keawetan yang khas dan bervariasi sesuai dengan jenis ikan yang digunakan, kadar garam, dan lama perebusan. Jenis-jenis ikan yang umum diolah dengan cara pemindangan adalah ikan-ikan pelagis seperti ikan layang, selar, japu, ikan tembang, lemuru, ikan kembung, tuna, cakalang, dan tongkol.[1] Produk sampingan dari proses pengolahan pindang ikan adalah petis ikan.

Berbeda dari ikan asin, pengolahan pindang selain menggunakan garam juga dikombinasikan dengan proses pemanasan sehingga produk yang dihasilkan mempunyai karakteristik tersendiri. Untuk ikan kecil dipindang dalam keadaan utuh sedangkan ikan besar dipindang dalam bentuk potongan.[4]

Jenis pindang

sunting

Teknik pemindangan

sunting

Pemindangan garam

sunting

Pemindangan garam juga disebut pindang badeng (Jawa Barat) atau pindang paso (karena menggunakan kendil atau paso tanah liat). Menurut pemindangan jenis ini, ikan disusun di dalam kendil tanah liat dan setiap lapisannya ditaburi garam, direbus selama 4-6 jam (atau 6-8 jam), kemudian ditiriskan. Kendil tetap digunakan sebagai wadah pada saat proses distribusi.[1] Selain menggunakan kendil atau paso tanah liat, wadah yang digunakan juga bisa terbuat dari plat logam.[4]

Pemindangan air garam

sunting

Pemindangan air garam juga disebut pemindangan naya atau cue/cué(Sunda). Pada proses ini, ikan disusun pada keranjang atau rak bambu (naya) kemudian direbus dalam larutan garam pekat hingga ikan matang (15-45 menit). Selanjutnya, ikan pindnag diangin-anginkan dan disusun pada besek bambu untuk didistribusikan.[1]

Pemindangan presto

sunting

Pemindangan presto menggunakan tekanan tinggi menghasilkan ikan dengan duri lunak.[5]

Cara pengolahan

sunting

Cara Bawean

sunting

Pengolahan ikan pindang cara Bawean termasuk jenis pemindangan garam menggunakan pendil atau paso, daun pisang kering, dan garam (20–30% dari berat ikan). Ikan yang digunakan biasanya ikan layang dan ikan bandeng. Ikan diatur berlapis-lapis serapat mungkin dan setiap lapisan ditaburi garam. Setelah pendil atau paso penuh, air ditambahkan sampai ikan terendam. Setelah ikan masak, air yang tersisa dikeluarkan dengan cara melubangi bagian bawa pendil atau dituang. Selanjutnya pendil dibungkus daun jati kemudian diikat supaya tidak pecah selama penyimpanan dan pengangkutan. Pindang bisa tahan sampai 3 bulan.[4]

Cara Muncar

sunting
 
Pemasaran ikan pindang Muncar di pasar tradisional Kalibaruwetan, Kalibaru, Banyuwangi

Perbedaan pengolahan ikan pindang cara Bawean dengan cara Muncar adalah cara pemasakannya tidak direbus melainkan dikukus di atas tungku khusus. Wadah yang digunakan adalah loko, yaitu sejenis beswek dari bambu. Pemindangan cara ini membutuhkan larutan garam 25%,peti pemasakan, tungku khusus, serta belanga atau wajan besar. Ikan direndam larutan garam selama 15 menit, kemudian ditata di atas loko sampai penuh dan ditiriskan ditempat teduh sampai kering. Loko dimasukkkan peti pemasakan sampai penuh, sementara air dimasak dalam belanga sampai mendidih. Kemudian peti pemasakan diletakkan di atas belanga. Setiap 15 menit, loko paling atas dipindahkan ke paling bawah dan ikan sekali-kali dibalik supaya masak merata. Setelah masak, ikan bersama loko disimpan dalam rak-rak bambu di tempat yang teduh, dibiarkan semalam hingga kulit ikan kering dan mengilap. Pindang ini bertahan selama 7 – 15 hari.[4]

Gaya baru

sunting

Ikan yang telah dicuci bersih selanjutnya dilumuri garam dan diatur berlapis-lapis dalam besek yang sudah dialasi merang atau daun pisang kering. Selanjutnya ikan dibiarkan selama 1–3 jam supaya garam meresap. Besek dimasukkan ke dalam belanga yang berisi larutan garam yang mendidih sampai matang, diangkat, dan ditiriskan, lalu disimpan. Dibandingkan cara Bawean dan Muncar, cara ini lebih bersih, lebih sedap, dan dagingnya lebih padat. Dengan cara ini, ikan pindang bisa bertahan sampai 3 bulan.[4]

Kualitas dan nilai gizi

sunting

Karena tidak terlalu asin, pindang mempunyai kedudukan yang strategis dalam memenuhi kebutuhan protein hewani sebagian penduduk Indonesia.[1]

Menurut Standar Nasional Indonesia, standar mutu ikan pindang sesuai Keppres No. 20 tahun 1984 dan Keppres No. 7 tahun 1989 adalah sebagai berikut:

Jenis uji Pindang air garam Pindang garam
a. Organoleptik
- Nilai minimum 7 6
- Kapang Negatif Negatif
b. Mikrobiologi
- TPC* per gr, maks.    
- Escherichia coli MPN per gram, maks. 3 CFU 3 CFU
- Salmonella*) Negatif Negatif
- Vibrio cholera*) Negatif Negatif
- Staphyloccocus aureus*)    
c. Kimia
- Air, %bobot/bobot, maks 70 70
- Garam, %bobot/bobot, maks. 10 10

Keterangan: (*)Jika dibutuhkan

Keawetan

sunting

Pada dasarnya pemindangan ikan merupakan upaya pengawetan sekaligus pengolahan ikan yang menggunakan teknik penggaraman dan pemanasan. Pengolahan dilakukan dengan merebus atau memanaskan ikan selama waktu tertentu sehingga membunuh sebagian besar mikroorganisme pada ikan. Garam juga berperan sebagai pengawet serta memperbaiki cita rasa ikan. Pemanasan dengan garam tinggi juga menyebabkan tekstur ikan berubah menjadi lebih kompak.[5]

Pindang pada umumnya tidak terlalu awet karena memiliki kadar air cukup tinggi sehingga sesuai dengan pertumbuhan mikroorganisme, terutama bakteri pembentuk lendir dan kapang. Proses pemananasan (perebusan) tidak mampu membunuh semua mikroorganisme. Selain itu, pindang sangat rentan terhadap kontaminasi silang selama proses distribusi (bisnis) dan pemasaran. Daya awet ikan pindang naya sekitar 3-4 hari, sementara ikan pindang paso hingga 6-7 hari.[1]

Dari segi teknologi pengawetan makanan, produk pindang air garam dapat diklasifikasikan sebagai produk setengah diawetkan (semi-preserved). Produk ini memiliki kadar air yang tinggi sehingga sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme.[6]

Nilai sosial

sunting

Pengolahan ikan pindang cukup memasyarakat, terutama dikalangan nelayan, karena beberapa alasan:[7]

  1. Pemindangan sangat mudah dilaksanakan dan tidak banyak memakan biaya, sehingga dapat dilaksanakan oleh petani ikan atau nelayan.
  2. Hasil pemindangan masih berbentuk ikan segar sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk diolah lebih lanjut, juga dapat langsung dimakan karena memang telah matang.
  3. Ikan pindang sangat disukai karena mengandung rasa yang sesuai dengan selera masyarakat, yaitu mendekati rasa ikan hasil pengalengan.
  4. Nilai gizi ikan pindang relatif masih tinggi sehingga ikan hasil proses pemindangan dapat digunakan sebagai salah satu sumber protein hewani.
  5. Ikan pindang dapat menggunakan bahan baku ikan dengan tingkat kesegaran bervariasi, meskipun persyaratan tingkat kesegaran tertentu tetap harus dipenuhi agar produk akhir yang dihasilkan lebih bermutu.

Secara nasional, penghasil utama pindang adalah Jawa Tengah 4,11%; Jawa Timur 3,39%; dan Jawa Barat 1,40% dari hasil total produksi perikanan laut Indonesia.[4]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi-IPB. "Teknologi Pangan & Agroindustri", Volume 1 Nomor 8, hal. 116-119. Bogor: IPB.
  2. ^ Tri Margono, Detty Suryati, dan Sri Hartinah. 1993. "Buku Panduan Teknologi Pangan". Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation.
  3. ^ KBBI Online. Pindang.
  4. ^ a b c d e f g Bisnis UKM. 7 September 2007. Teknologi Pengawetan Ikan dengan Cara Pemindangan Diarsipkan 2014-04-08 di Wayback Machine..
  5. ^ a b Wibowo S. 1996. "Industri Pengolahan Ikan". Jakarta: Penebar Swadaya.
  6. ^ Ilyas. 1980. "Teknologi Pengolahan Pindang". Jakarta: Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian Departemen Pertanian Republik Indonesia.
  7. ^ Afrianto dan Liviawaty. 1989. "Pengawetan dan Pengolahan Ikan". Yogyakarta: Kanisius.

Pranala luar

sunting