Iklim Indonesia secara keseluruhan adalah iklim tropis. Perairan yang hangat di wilayah Indonesia sangat berperan dalam menjaga suhu di darat tetap konstan, dengan rerata suhu 28 °C di wilayah pesisir, 26 °C di wilayah pedalaman dan dataran tinggi, serta 23 °C di wilayah pegunungan. Perubahan suhu antarmusim di Indonesia tidak begitu signifikan. Selain itu, perbedaan antara lama waktu siang dan malam juga tidak terlalu mencolok. Pada wilayah yang dilalui garis khatulistiwa, perbedaan waktu siang terpanjang dengan waktu siang terpendek adalah kurang dari 1 menit. Di wilayah paling selatan Indonesia yaitu Pulau Ndana, perbedaan waktu siang terpanjang dengan waktu siang terpendek adalah 78 menit (1 jam 18 menit).[1] Sedangkan di wilayah paling utara Indonesia yaitu Pulau Rondo, perbedaan waktu siang terpanjang dengan waktu siang terpendek adalah 42 menit.[2] Oleh karena lama durasi waktu siang yang cenderung sama sepanjang tahun, tetumbuhan dan tanaman dapat tumbuh sepanjang tahun di wilayah Indonesia.[3]
Faktor utama yang mempengaruhi iklim Indonesia bukan merupakan suhu udara ataupun tekanan udara, melainkan curah hujan. Rerata kelembapan di wilayah Indonesia berkisar pada angka 65% hingga 90%. Kecepatan angin di sekitar wilayah Indonesia adalah sedang dengan arah angin yang dapat diprediksi sebagai akibat pergerakan angin muson, yaitu angin muson timur yang bertiup dari arah tenggara pada bulan Mei hingga September dan angin muson barat yang bertiup dari arah barat dan barat laut pada bulan November hingga Maret.
Terdapat beberapa jenis iklim yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu sebagian besar beriklim hutan hujan tropis yang mempunyai tingkat presipitasi atau curah hujan tertinggi, kemudian diikuti dengan iklim muson tropis, serta iklim sabana tropis yang mempunyai tingkat presipitasi atau curah hujan terendah.[a] Namun, selain iklim-iklim tersebut, Indonesia pun memiliki iklim laut dan iklim tanah tinggi subtropis di beberapa wilayah dataran tinggi di Indonesia, umumnya pada ketinggian 1500 hingga 3500 m di atas permukaan laut (mdpl). Selain itu, Indonesia juga memiliki iklim tundra yakni di wilayah pegunungan di Papua.[4]
Pergerakan angin muson sangat berpengaruh terhadap intensitas curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Pada umumnya, angin muson barat yang membawa banyak uap air bergerak dari arah barat dan barat laut Indonesia pada bulan November hingga Maret, sehingga terjadilah musim penghujan; angin muson timur yang bersifat kering bergerak dari arah tenggara Indonesia pada bulan Mei hingga September, sehingga terjadilah musim kemarau. Akan tetapi, pola angin muson ini juga dapat berubah sebagai akibat dari adanya pola arah angin lokal, terutama di wilayah kepulauan Maluku. Pola angin tahunan yang berosilasi ini berkaitan erat dengan posisi Indonesia yang merupakan isthmus atau tanah genting yang menjadi penghubung antara dua benua, yakni Asia dan Australia. Pada bulan Oktober hingga Maret, tekanan udara yang tinggi terjadi di Gurun Gobi dan menyebabkan pergerakan angin muson dari daratan Asia menuju arah Australia yang bertekanan udara rendah, karena melewati Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, angin muson ini membawa banyak uap air, sehingga terjadilah musim penghujan di Indonesia. Pada bulan April hingga September, tekanan udara yang tinggi terjadi di daratan Australia dan menyebabkan pergerakan angin muson menuju daratan Asia yang bertekanan udara rendah, dan angin muson ini bersifat kering dan dingin, sehingga terjadilah musim kemarau di Indonesia.[3]
Tipe ekuatorial: tipe pola curah hujan yang cenderung memiliki curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan memiliki dua puncak musim penghujan dengan periode kering di antara kedua puncaknya. Dua puncak musim penghujan di wilayah ini biasanya berlangsung sekitar waktu ekuinoks, yaitu sekitar bulan Maret dan April serta bulan September dan Oktober. Tipe pola curah hujan ini biasanya berada di wilayah yang dekat dengan garis khatulistiwa. Tipe pola curah hujan ekuatorial ini berada di wilayah pesisir barat Pulau Sumatera dan sekitar Pegunungan Bukit Barisan, sebagian besar Kepulauan Riau, sebagian besar Kalimantan Barat, wilayah utara Kalimantan Tengah, seluruh Kalimantan Utara, wilayah barat dan utara Kalimantan Timur, sebagian besar Sulawesi Barat, wilayah utara Sulawesi Selatan, wilayah utara Sulawesi Tenggara, wilayah timur dan utara Sulawesi Tengah, sebagian kecil Gorontalo dan Sulawesi Utara, sebagian besar Maluku Utara, wilayah utara Semenanjung Kepala BurungPulau Papua, kepulauan di Teluk Cenderawasih, wilayah utara provinsi Papua, sebagian besar wilayah Papua Tengah, sebagian besar wilayah Papua Pegunungan, dan wilayah utara Papua Selatan.
Tipe monsunal: tipe pola curah hujan dengan dua musim yang jelas antara musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan berlangsung antara bulan November hingga bulan April ketika angin monsun Asia (baratan) berhembus dan periode puncak penghujan terjadi antara bulan Desember hingga bulan Februari, sedangkan musim kemarau terjadi antara periode Mei hingga Oktober ketika angin monsun Australia (timuran) berlangsung dan periode puncak kemarau terjadi pada periode Juni hingga September. Tipe pola curah hujan monsunal ini berada di sebagian besar pesisir timur Pulau Sumatera, seluruh wilayah Pulau Jawa, Bali, dan Kepulauan Nusa Tenggara, wilayah selatan Kalimantan Barat, sebagian besar Kalimantan Tengah, seluruh wilayah Kalimantan Selatan, wilayah tengah dan pesisir timur Kalimantan Timur, wilayah tengah dan selatan Sulawesi Selatan, wilayah selatan dan tenggara Sulawesi Tenggara, sebagian besar Gorontalo dan Sulawesi Utara, wilayah timur dan selatan Kepulauan Maluku, wilayah selatan Papua Pegunungan, serta sebagian besar wilayah Papua Selatan.
Tipe lokal: tipe pola curah hujan yang tidal dapat dimasukkan ke dalam dua tipe sebelumnya. Tipe lokal ini memiliki dua subtipe, yaitu:
Tipe lokal 1: tipe pola curah hujan ini punya dua musim yang cukup jelas antara musim kemarau dan musim penghujan seperti tipe monsunal. Namun, musim pada tipe pola curah hujan berlangsung secara terbalik dibandingkan dengan tipe monsunal. Pada tipe ini, musim penghujan justru berlangsung antara bulan April hingga September ketika angin monsun Australia (timuran) berlangsung dan musim kemarau terjadi pada periode Oktober hingga Maret ketika angin monsun Asia (baratan) berlangsung. Tipe ini berada di sebagian besar wilayah tengah Kepulauan Maluku, wilayah barat, tengah, dan selatan Semenanjung Kepala BurungPulau Papua, serta sebagian besar wilayah Semenanjung Onin di Papua Barat.
Tipe lokal 2: tipe pola curah hujan ini hanya memiliki satu musim, yakni musim kemarau dengan curah hujan yang rendah sepanjang tahunnya. Tipe ini berada di wilayah tengah Sulawesi Tengah.
Berdasarkan rata-rata tahunannya, BMKG membagi wilayah Indonesia ke dalam empat kategori, yakni:[6]
Curah Hujan Rendah: wilayah yang masuk ke dalam kategori ini memiliki curah hujan tahunan antara 0 hingga 1500 mm per tahunnya.
Curah Hujan Menengah: wilayah yang terdapat pada kategori ini mempunyai curah hujan tahunan antara 1500 hingga 3000 mm per tahunnya.
Curah Hujan Tinggi: wilayah yang berada dalam kategori ini memiliki curah hujan tahunan antara 3000 hingga 4500 mm per tahunnya.
Curah Hujan Sangat Tinggi: wilayah yang masuk dalam kategori ini mempunyai curah hujan tahunan lebih dari ≥4500 mm per tahunnya.
Pola angin umum[7] yang berinteraksi dengan kondisi topografi lokal menghasilkan variasi curah hujan yang signifikan di seluruh kepulauan Indonesia. Umumnya, wilayah barat dan utara Indonesia mengalami tingkat presipitasi yang tinggi, karena wilayah tersebut merupakan wilayah pertama yang mendapatkan curah hujan akibat angin muson barat. Hal ini dapat diketahui dari rerata curah hujan sebesar 2000 milimeter per tahun serta tingkat kelembapan yang lebih tinggi di wilayah Sumatra, bagian barat Jawa, Kalimantan, bagian utara Sulawesi, Maluku Utara, dan bagian utara Papua. Sementara itu, bagian timur Jawa, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, serta bagian selatan Papua mengalami tingkat presipitasi yang lebih rendah yakni dengan rerata curah hujan di bawah 1200 milimeter per tahun.[3]
Meskipun perubahan suhu tidak terlalu signifikan antarmusim di Indonesia, ketinggian permukaan daratan tetap mempengaruhi perubahan suhu udara yakni penurunan 1,2 derajat celsius setiap kali naik 100 meter di atas permukaan laut.[8] Oleh karena perubahan suhu yang disebabkan oleh ketinggian muka daratan, wilayah Pegunungan Jayawijaya tertutupi oleh salju atau es. Namun, jumlah sebaran es yang menutupi pegunungan tersebut terus menyusut akibat pemanasan global.[9]
Oleh karena wilayahnya yang dilalui oleh garis khatulistiwa, pulau Sumatera memiliki curah hujan yang cenderung tinggi hampir sepanjang tahunnya, terutama di wilayah bagian tengah dan pesisir barat pulau ini. Dalam aspek klimatologis, wilayah pulau Sumatera memiliki dua pola curah hujan, yakni pola ekuatorial yang mempunyai curah hujan yang cenderung tinggi sepanjang tahunnya dengan dua puncak hujan yang biasa terjadi sekitar bulan Maret dan bulan Oktober dan pola monsunal yang memiliki perbedaan musim yang jelas antara musim penghujan dan musim kemarau dengan satu puncak musim penghujan (biasa terjadi antara bulan Desember-Februari) dan satu puncak musim kemarau (biasa terjadi antara bulan Juni-Agustus).[5][6]
Seluruh wilayah Pulau Jawa termasuk dalam kategori iklim tropis basah dan kering, karena pola curah hujan di hampir seluruh wilayah Pulau Jawa adalah tipe pola monsunal yang memiliki perbedaan musim yang kontras antara musim penghujan dan musim kemarau. Periode musim penghujan di wilayah pulau Jawa berlangsung antara bulan November hingga April dengan puncak penghujannya terjadi antara bulan Desember hingga Februari. Sementara itu, periode musim kemarau di pulau Jawa terjadi di pertengahan tahun antara bulan Mei hingga Oktober dengan puncak kemarau terjadi antara bulan Juli hingga September. Secara rata-rata curah hujan tahunan, wilayah barat daya dan pegunungan tengah-selatan pulau Jawa memiliki curah hujan yang lebih tinggi (2500-4000 mm/tahun) dibandingkan wilayah lainnya seperti pantai utara dan wilayah timur pulau ini (1000-2500 mm/tahun).[6][5]
Seperti pulau Sumatera, wilayah Pulau Kalimantan juga dilalui oleh garis khatulistiwa. Hal ini menyebabkan pulau Kalimantan memiliki dua pola curah hujan, yakni pola ekuatorial dan pola monsunal. Curah hujan pola ekuatorial terjadi di wilayah Kalimantan yang dekat dengan garis khatulistiwa seperti sebagian besar wilayah Kalimantan Barat, wilayah utara Kalimantan Tengah, wilayah barat laut Kalimantan Timur, dan seluruh wilayah Kalimantan Utara. Pola ekuatorial ini dicirikan dengan dua periode puncak penghujan dan rata-rata curah hujan tahunan yang tinggi, yakni antara 2500 hingga 4500 mm/tahun. Sementara itu, pola curah hujan monsunal terjadi di wilayah Kalimantan lainnya seperti wilayah selatan Kalimantan Barat, sebagian besar Kalimantan Tengah, seluruh wilayah Kalimantan Selatan, dan wilayah tengah dan pesisir timur Kalimantan Timur. Pola monsunal ini umumnya memiliki satu puncak penghujan dan satu puncak kemarau dan memiliki rata-rata curah hujan tahunan lebih rendah daripada pola ekuatorial, yakni berkisar antara 1500 hingga 2500 mm/tahun.[5][6]
Seperti wilayah Pulau Jawa, seluruh wilayah Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara beriklim tropis basah dan kering. Hal itu disebabkan oleh pola curah hujan di wilayah ini yang bertipe monsunal dengan perbedaan musim yang nyata antara musim penghujan dengan musim kemarau. Di wilayah Bali dan Nusa Tenggara, musim penghujan berlangsung pada periode bulan November hingga April dengan puncak penghujan antara bulan Desember hingga Februari dan musim kemarau terjadi antara bulan Mei hingga Oktober dengan puncak kemarau antara bulan Juli hingga September. Berdasarkan angka rata-rata curah hujan tahunannya, wilayah Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara cenderung lebih kering dibandingkan wilayah lain di Indonesia, yakni dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 1000-3000 mm/tahun.[6][5]
Tidak seperti pulau lainnya di wilayah barat Indonesia, Pulau Sulawesi mempunyai tiga pola curah hujan, yakni pola ekuatorial, pola monsunal, dan pola lokal. Pola lokal merupakan tipe pola curah hujan yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori pola hujan monsunal atau ekuatorial, karena pola lokal ini memiliki keunikannya sendiri. Pola lokal ini dibedakan ke dalam dua jenis yaitu pola lokal dengan dua musim dan pola lokal dengan satu musim. Pola lokal dengan dua musim memiliki prinsip pola curah hujan yang mirip dengan tipe monsunal, tetapi hal yang membedakan adalah periode dari tiap-tiap musim. Dalam pola monsunal, musim penghujan terjadi pada periode November-April dan musim kemarau berlangsung pada periode Mei-Oktober. Sementara itu, perbedaan musim pada pola lokal dengan dua musim terjadi sebaliknya, yaitu musim penghujan terjadi di periode Mei-Oktober dan musim kemarau berlangsung di periode November-April. Di sisi lain, pola lokal dengan satu musim biasanya hanya memiliki satu musim tanpa ada puncak musim yang jelas, yakni musim kemarau sepanjang tahun atau musim penghujan sepanjang tahun.[5][27]
Seperti wilayah Sulawesi, Kepulauan Maluku juga memiliki tiga pola curah hujan. Di utara yang dilalui garis khatulistiwa, pola curah hujannya adalah tipe pola ekuatorial. Sementara itu, wilayah tengah kepulauan ini memiliki pola curah hujan tipe lokal dengan dua musim yang berbeda dan wilayah selatan memiliki pola curah hujan monsunal seperti wilayah lain di selatan Indonesia.[5]
Pulau Papua dari segi pola curah hujannya terbagi ke dalam tiga tipe, yakni pola ekuatorial, lokal, dan monsunal. Pola curah hujan ekuatorial di wilayah Papua tersebar di sebagian besar pulau ini yang meliputi sisi utara Semenanjung Kepala Burung Pulau Papua, kepulauan di Teluk Cenderawasih, wilayah utara provinsi Papua, sebagian besar wilayah Papua Tengah, sebagian besar wilayah Papua Pegunungan, dan wilayah utara Papua Selatan. Pola curah hujan monsunal terletak di wilayah tengah dan selatan Papua Pegunungan dan sebagian besar wilayah Papua Selatan. Sementara itu, pola curah hujan lokal biasa terjadi di wilayah barat, tengah, dan selatan Semenanjung Kepala Burung Pulau Papua dan sebagian besar wilayah Semenanjung Onin.[5]
^Iklim muson tropis tersebar di beberapa wilayah seperti pantai utara Jawa bagian barat hingga tengah dan pantai selatan Jawa bagian tengah hingga timur, pesisir selatan, tenggara, dan timur Sulawesi, pesisir barat daya dan wilayah tengah Bali, dan bagian barat Flores. Sementara itu, iklim sabana tropis berada pada beberapa wilayah, terutama di wilayah selatan dan tenggara Indonesia, seperti pesisir timur laut dan tenggara Jawa Tengah, sebagian besar pesisir utara dan wilayah tengah Jawa Timur, Madura, pesisir selatan dan tenggara Papua, pesisir utara dan tenggara Bali, seluruh wilayah Lombok dan Sumbawa, hampir seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur, dan sebagian besar pulau-pulau di selatan Maluku.