Upacara adat Jangkrik Genggong merupakan salah satu upacara ritual yang sampai saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya yaitu di Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Upacara adat ini dipercaya dapat menciptakan keselarasan dan keharmonisan sehingga dapat memberikan rasa aman, tenteram, damai, dan sejahtera dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut membuat upacara adat ini terus dilestarikan. Upacara adat Jangkrik Genggong yaitu berupa upacara sedekah laut yang ditujukan kepada penguasa laut selatan. Upacara adat ini dilaksanakan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Dusun Tawang Wetan Desa Sidomulyo setiap satu tahun sekali menurut kalender jawa.[1]

Tujuan dari upacara adat Jangkrik Genggong ini adalah untuk mengungkapkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa berupa kesuksesan dalam hidup. Misalnya, hasil perikanan dan pertanian yang melimpah, keselamatan, kesehatan dan kedamaian. Upacara adat ini juga merupakan bentuk permintaan keamanan, kemakmuran dalam hidup, dan penghasilan yang lebih baik di masa depan, selain itu juga dimaksudkan untuk memperingati jasa Ki Raga Bahu, Gadhung Mlathi, Gambir Sari, Tumenggung Mangkunegara, dan Wanacaki. Banyak masyarakat Dusun Tawang yang ada di Desa Sidomulyo mencari nafkah sebagai nelayan di Laut Selatan, sehingga upacara adat ini juga sebagai wujud rasa terima kasih dari seluruh nelayan Dusun Tawang.[2]

Sejarah Upacara Adat Jangkrik Genggong

sunting

Upacara adat Jangkrik Genggong dilatarbelakangi oleh cerita yang dituturkan secara turun-temurun. Pada zaman dahulu Keraton Mataram berada dibawah kekuasaan Panembahan Senapati, Panembahan Senapati menikahi Kanjeng Ratu Kidul untuk menambah kekuatan dan kesaktiannya. Dari perkawinannya Kanjeng Ratu Kidul dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Raga Bahu. Setelah Bahu dewasa kemudian ia menemui Panembahan Senapati di Keraton Mataram tetapi tidak diakuinya sebagai anak. Kemudian Raga Bahu pergi mengembara sambil bersumpah bahwa ia selamanya tidak akan ke Keraton Mataram dan juga tidak mau tinggal bersama ibunya di laut selatan. Pengembaraan Raga Bahu sampai berbulan-bulan berjalan ke arah timur menyusun tepian laut selatan, sampailah di Nggoro Lemah, segara anakan Ngglandhang (yang sekarang bernama Pantai Tawang) yang pada saat itu masih merupakan hutan belantara. Raga Bahu merasa nyaman di daerah ini dan berjanji untuk selamanya tinggal di tempat tersebut.[3]

Pada suatu waktu ada kedatangan 4 orang dari Watu Ireng Imogiri wilayah Keraton Mataram, keempat orang tersebut adalah: Gadhung Mlathi, Gambir Sari/Anom, Tumenggung Mangkunegara, dan Wanacaki. Mereka kemudian melakukan babad alas dan tinggal bersama di Nggoro Lemah, laut anakan Ngglandhang bersama Raga Bahu yang sudah lebih dahulu tinggal di wilayah tersebut, sampai Ki Raga Bahu dan keempat orang tersebut meninggal dunia. Setelah beberapa waktu, datang 2 (dua) orang yang bertekad ingin membuka wilayah tersebut, yaitu Kyai Karmo Niti dan Kyai Wakid. Masing-masing membuka lahan yang berbeda, Kyai Karmo Niti menetap di daerah yang sekarang bernama Dusun Tawang dan Kyai Wakid pindah ke daerah yang lebih ke timur yang sekarang menjadi Desa Hadiwarno. Kyai Karmo Niti dalam membuka wilayah tersebut dibantu oleh Kyai Nggoro Kerti, Kyai Ponco Sari dan Kyai Tikarmo. Untuk memenuhi kebutuhan air Kyai Tikarmo yang (sesepuh dusun) menggali untuk membuat sumur di Tawang Wetan yang kemudian oleh warga diberi nama Sumur Gedhe, dengan sumur itu kebutuhan air bisa tercukupi tanpa harus mencari sumber air di tempat lain. Lama-kelamaan penduduk semakin bertambah dan mengakibatkan suatu permasalahan, karena untuk memperoleh air mereka harus bergantian. Hal ini membuat Ki Demang Tawijo bersama warga berpikir untuk membuat sumur kedua. Warga masyarakat dengan penuh semangat bergotong royong membuat sumur baru di Dusun Tawang yang kemudian diberi nama Sumur Pinggir. Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan air dalam bercocok tanam warga memanfaatkan sumber air di lereng bukit sebelah utara dusun yang disebut dengan Sumur Wungu. Nama Sumur Wungu diberikan karena di tempat tersebut terdapat pohon wungu yang sangat besar. Semakin banyak warga yang tinggal di wilayah tersebu, maka semakin bertambah pula kebutuhan akan air, sumber mata air di dusun tersebut terus bertambah dan akhirnya berjumlah 5 sumur.[4] Segala kegiatan warga yang memerlukan air diambilkan dari sumber air tersebut. Kelima sumber mata air tersebut menurut kepercayaan masyarakat setempat dikuasai oleh makhluk halus yang menjadi penguasa sumber mata air, yang oleh masyarakat di wilayah tersebut disebut dengan dhanyang atau yang mbaureksa. Dhanyang dipercaya sebagai roh leluhur yang sudah meninggal atau pendiri desa tempat mereka tinggal, orang pertama yang babad desa atau cikal-bakal, atau makhluk halus yang dipercaya melindungi atau menjaga wilayahnya tersebut. Para dhanyang yang dipercaya oleh warga masyarakat bersemayan di Desa Sidomulyo diantaranya yaitu Ki Raga Bahu, Gadhung Mlathi, Gambir Sari, Tumenggung Mangkunegara, dan Wanacaki.[5]

Para dhanyang tersebut dipercaya yang babad atau membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal, yang kemudian menjadi pedusunan dan selanjutnya menjadi pedesaan. Sebagai ungkapan terima kasih warga masyarakat di wilayah tersebut kepada para leluhur atau yang mbaureksa juga disebut dhanyang desa karena telah menjaga keselamatannya, segenap warga masyarakat setiap tahun sekali mengadakan selamatan caos dhahar. Caos dhahar tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada para nenek moyangnya dan juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta yang kemudian diwujudkan dalam bentuk upacara adat bersih desa.[6] Upacara adat bersih desa selalu diadakan dan disertai dengan pergelaran Tayuban. Pergelaran Tayub ini menjadi puncak dari upacara adat bersih desa tersebut.[7] Dalam pergelaran Tayub tersebut diiringi dengan gendhing-gendhing yang salah satunya gendhing Jangkrik Genggong. Gendhing Jangkrik Genggong ini dipakai untuk mengiringi ketika Ki Bayan Wanacaki yang menari bergerak dengan sangat lincahnya, seperti orang sedang mengusir roh-roh jahat di wilayah tersebut.

Waktu Pelaksanaan

sunting

Upacara adat Jangkrik Genggong berlangsung setahun sekali menurut penanggalan Jawa pada hari Selasa Kliwon di bulan Longkang atau Sela yang juga dikenal dengan Dulkaidah. Sebagai warisan pendahulunya, hari pelaksanaan upacara adat ini yaitu hari Selasa kliwon di bulan Dulkaidah. Di masa lalu, nenek moyang melakukan upacara adat pada hari itu. Selain itu, pada bulan Jawa, Dulkaidah atau Longkang disebut juga bulan Sela. Pasalnya, selama bulan ini masyarakat Jawa sudah senggang atau sela dari aktivitasnya karena sudah selesai panen. Sebagai rasa syukur atas keberhasilan mereka, upacara adat ini diselenggarakan. Selanjutnya, Selasa Kliwon dipilih sebagai hari upacara karena merupakan hari suci bagi masyarakat Jawa dan dianggap sangat cocok untuk berdoa dan melakukan upacara adat. Jika tidak ada Selasa Kiwon di bulan Sela atau Longkang, maka pertunjukan ritual adat tersebut dilaksanakan di bulan sebelumnya, Selasa Kliwon di bulan Syawal.[8]

Tempat Pelaksanaan

sunting

Rangkaian penyelenggaraan upacara adat Jangkrik Genggong dilaksanakan di beberapa tempat yaitu :[9]

  1. Sanggar Seni Jangkrik Genggong Dusun Tawang, yang berlokasi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Sidomulyo yang terletak di Dusun Tawang Wetan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan. Di Sanggar Seni Jangkrik Genggong Dusun Tawang Wetan ini dijadikan sebagai pusat penyelenggaraan upacara.
  2. Ngglandhang atau Plawangan yang merupakan laut anakan atau teluk di Desa Sidomulyo, yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya dhanyang Ki Raga Bahu.
  3. Sumur Gedhe yang merupakan sumber air paling besar, terletak di Dusun Tawang Wetan yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya dhanyang Gadhung Mlathi.
  4. Sumur Pinggir yang terletak di Dusun Tawang Wetan yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya dhanyang Gambir Sari.
  5. Sumur Wungu yang terletak di Dusun Tawang Wetan yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya dhanyang Tumenggung Mangkunegara.
  6. Teren yang terletak di tepi laut Dusun Tawang Wetan yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya dhanyang Wanacaki.

Referensi

sunting
  1. ^ Sunjata, Wahyudi Pantja (2021). Upacara Adat Jangkrik Genggong di Pacitan  : Fungsi dan Pelestariannya. Daerah Istimewa Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya. hlm. 3. ISBN 9786237654155. 
  2. ^ Sunjata, Wahjudi Pantja (2021). Upacara Adat Jangkrik Genggong di Pacitan : Fungsi dan Pelestariannya. Daerah Istimewa Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya DIY. hlm. 33. ISBN 9786237654155. 
  3. ^ Sunjata, Wahjudi Pantja (2021). Upacara Adat Jangkrik Genggong di Pacitan : Fungsin dan Pelestariannya. Daerah Istimewa Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya DIY. hlm. 27. ISBN 9786237654155. 
  4. ^ Hendriyanto, Agoes (2021). Upacara Jangkrik Genggong. hlm. 215. ISBN 9786025355769. 
  5. ^ Pemkab Pacitan, Humas (2018). Gerbang Pacitan : Informasi Obyektif & Konstruktif Untuk Masyarakat Pacitan (PDF). Pacitan: Redaksi Gerbang Pacitan. hlm. 29. 
  6. ^ Hendriyanto, Agoes (2021). Upacara Jangkrik Genggong. hlm. 216. ISBN 9786025355769. 
  7. ^ Delfina, Reninta (2021). Realitas Simbol Pada Tradisi Jangkrik Genggong di Dusun Tawang, Desa Sidomulyo, Pacitan (Kajian Semiotika Northrop Frye). hlm. 697.  line feed character di |title= pada posisi 50 (bantuan)
  8. ^ Hendriyanto, Agoes (2021). Upacara Jangkrik Genggong (PDF). hlm. 214. ISBN 9786025355769. 
  9. ^ Sunjata, Wahjudi Pantja (2021). Upacara Adat Jangkrik Genggong di Pacitan : Fungsi dan Pelestariannya. Daerah Istimewa Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya DIY. hlm. 32. ISBN 9786237654155.