Jaringan Lamongan
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Januari 2023. |
Jaringan Lamongan (bahasa Inggris: Lamongan Network), adalah jaringan kelompok teroris yang berbasis di Lamongan, Jawa Timur. Jaringan ini dibentuk oleh Jemaah Islamiyah pada tahun 1993. Jaringan Lamongan merupakan salah satu akar dari berbagai peristiwa terkait terorisme yang terjadi di seluruh Indonesia. Para anggota jaringan ini yang diketahui termasuk Siswanto, Sibghotullah, Arif Tuban, Hendro, Dayat dan Salim Mubarok, dan semuanya memiliki jalan radikal mereka sendiri namun akhirnya bertemu di Lamongan melalui kelompok diskusi, satu pesantren, pernikahan, dan masalah Poso. Mereka tidak memiliki latar belakang organisasi yang sama atau berasal dari berbagai jaringan seperti JI, Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Ansharut Daulah, Mujahidin KOMPAK, Front Pembela Islam dan kelompok lainnya.[1]
Sejarah
suntingPada tahun 1993, di waktu yang sama dengan saat JI dibentuk di Malaysia, Pondok Pesantren Al-Islam didirikan di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, oleh kakak laki-laki Amrozi, Mukhlas dan Ali Imron. Pondok ini merupakan cabang dari Pesantren al-Mukmin di Ngruki, Solo yang didirikan oleh Abu Bakar Ba'asyir pada tahun 1970-an dan menjadi pusat kegiatan JI di Indonesia.[2] Pondok Al-Islam meminjam ustadz dan pengajar dari Ngruki untuk membantu mereka dalam rangka memulai aktivitas. Ali Imron, yang dilatih di Afganistan seperti saudaranya Mukhlas, kembali mengajar di sana.
Di antara tahun 1999 hingga 2002, Pondok al-Islam, menjadi pusat kegiatan jihad karena keterlibatan ketiga bersaudara tersebut di dalam satuan operasi khusus JI. Kebanyakan operasi jihad awal yang dilakukan oleh JI —seperti pengeboman malam Natal tahun 2000, Bom Bursa Efek Jakarta, serangan bom terhadap Kedutaan Besar Filipina di Jakarta dan Bom Bali 2002— sebagian besar direncanakan atau dimulai dari Lamongan dengan dibantu oleh Dr. Azahari dan Noordin M. Top, dua orang gembong teroris asal Malaysia. Setelah mereka bertiga ditangkap pada akhir tahun 2002, dua orang di antaranya diadili dan dijatuhi hukuman mati. Ali Imron diberi hukuman penjara seumur hidup, dan bersama dengan saudara tirinya, Ali Fauzi, mulai berusaha untuk mengalihkan pandangan orang terhadap pesantren tersebut dari stigma negatif dan kekerasan. Ketika Mukhlas, Amrozi dan rekan mereka dari Jawa Barat, Imam Samudera, dieksekusi oleh regu tembak pada tahun 2008, Pondok al-Islam dibanjiri para pengagum mereka yang datang untuk menemui keluarga atau berkunjung ke penjara tempat mereka pernah ditahan. Pemakaman Mukhlas dan Amrozi merupakan sarana bagi ribuan militan untuk berkumpul bersama dan merayakan "kesyahidan" mereka, dan makam mereka berdua kemudian menjadi tujuan populer bagi kawula muda yang berharap bisa mengikuti jejak mereka.[3]
Perkembangan jaringan
suntingPernikahan
suntingBagi para pria yang menjadi anggota penting dari jaringan di Lamongan, pernikahan dengan wanita setempat adalah salah satu cara untuk memperkuat ikatan. Jika seseorang tidak bisa menikahi wanita atau anak perempuan dari seorang ekstremis berdarah biru, menikahi seorang alumni dari sebuah lembaga berbau radikal yang dihormati, seperti Pondok al-Islam, hampir sama baiknya. Semakin banyak keluarga yang berusaha pergi ke Suriah, termasuk wanita yang mencoba mengikuti suami mereka. Di sisi lain, para janda berusaha mencari suami atau pasangan baru dan mencoba membangun kehidupan di bawah negara Islam. Dalam beberapa kasus, ada wanita yang ikut berbai'at terhadap Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), sama seperti yang dilakukan pria. Dalam kasus lainnya, faktor ekonomi kemungkinan besar berpengaruh.[4]
Pergerakan
suntingIPAC melaporkan bahwa tingkat mobilitas anggota jaringan Lamongan sangat mencolok, bagian dari sebuah fenomena yang dicatat mereka dalam penelitian tentang para ekstremis Indonesia.[5] Bahkan hanya dengan enam orang ini, mereka mampu bergerak di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jakarta, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Selatan, bahkan sebelum mencoba berangkat ke Suriah. Jika mereka tidak melarikan diri dari polisi, mereka akan segera bergabung dengan sesi pelatihan, belajar, ambil bagian dalam kelompok diskusi, berkhotbah, mengunjungi teman di penjara,[6] menjual obat-obatan herbal atau mencari cara lain untuk meningkatkan pendapatan mereka. Sebagian besar perjalanan dalam negeri yang mereka lalui dilakukan dengan melewati jalur darat atau menggunakan kapal feri. Dalam beberapa kasus, kemajuan teknologi berupa media sosial mendorong para anggota untuk melanjutkan diskusi secara langsung yang dimulai secara daring (online),[7] meskipun ada keterbatasan untuk seberapa banyak diskusi mendalam yang bisa dilakukan mereka di Twitter atau Facebook. Jaringan ekstremis dapat berakar menurut wilayahnya —sebagaimana jaringan Lamongan— namun memiliki jangkauan yang jauh lebih luas dengan cara yang mempersulit upaya polisi untuk melacak aktivitas radikal mereka.[8]
Penjara
suntingSebagian besar anggota jaringan Lamongan pernah atau masih mendekam di dalam penjara, di antaranya:
- Agus Martin, anggota KOMPAK yang menikah dengan seorang wanita Lamongan, ditangkap pada bulan Agustus 2013 atas peristiwa penembakan di Poso.
- Arif Tuban ditangkap pada bulan Juni 2014.
- Suyitno alias Guntur Pamungkas, salah seorang anggota asli FPI Lamongan yang berangkat ke Medan pada tahun 2010, ditangkap pada bulan Agustus 2014 bersama Sukardi karena dicurigai membantu Santoso.
- Abu Fida, yang muncul secara berkala di kelompok Lamongan, ditangkap pada Agustus 2014, beberapa bulan setelah dia kembali dari Suriah.
- Adi Margono, perekrut teroris dari Magetan, kembali ditangkap pada bulan Desember 2014.
- Sibghotullah kembali ditangkap pada bulan Desember 2014.
IPAC menilai bahwa fakta atas begitu banyak anggota Lamongan yang telah ditangkap menunjukkan bahwa Polri benar-benar telah mengincar jaringan ini, tetapi juga menunjukkan potensi bahwa mereka yang ditangkap memiliki hubungan dengan militan dan ekstremis pro-ISIS yang masih mendekam di penjara. Pemerintah Indonesia masih berupaya untuk menerapkan sistem pengumpulan intelijen di penjara dan pemantauan pasca pelepasan tahanan yang dibebaskan.[9]
Referensi
sunting- ^ Institute for Policy Analysis of Conflict 2015, hlm. 14.
- ^ Institute for Policy Analysis of Conflict 2015, hlm. 2.
- ^ Institute for Policy Analysis of Conflict 2015, hlm. 3.
- ^ Institute for Policy Analysis of Conflict 2015, hlm. 15.
- ^ International Crisis Group 2012, hlm. 17.
- ^ International Crisis Group 2015, hlm. 18.
- ^ International Crisis Group 2015, hlm. 19.
- ^ Institute for Policy Analysis of Conflict 2015, hlm. 16.
- ^ Institute for Policy Analysis of Conflict 2015, hlm. 17.
Sumber
sunting- International Crisis Group (2012). How Indonesian Extremists Regroup (PDF). Crisis Group Asia Report (Laporan). Jakarta. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-02-23. Diakses tanggal 2017-12-11.
- Institute for Policy Analysis of Conflict (2015). Indonesia's Lamongan Network: How East Java, Poso and Syria are Linked (PDF) (Laporan). Jakarta.