Jeruk jepara

(Dialihkan dari Jeruk Jepara)


Jeruk jepara alias jeruk swing dengan nama latin Limnocitrus littoralis (Miq.) Swingle merupakan tanaman endemik Jawa Tengah Indonesia dan hanya terdapat di Jepara dan Rembang (Cagar Alam Keling dan Cagar Alam Celering), Jawa Tengah. Jeruk Jepara (Limnocitrus littoralis) adalah spesies tanaman dalam keluarga Rutaceae. Jeruk Jepara sendiri masuk dalam status konservasi dengan status Endangered oleh IUCN Redlist.

Jeruk Jepara
Jeruk Jepara
Nilai nutrisi per 100 g (3,5 oz)
Energi288 kJ (69 kcal)
18.1 g
Gula15.48 g
Serat pangan0.9 g
0.16 g
0.72 g
VitaminKuantitas
%AKG
Tiamina (B1)
6%
0.069 mg
Riboflavin (B2)
6%
0.07 mg
Niasin (B3)
1%
0.188 mg
Asam pantotenat (B5)
1%
0.05 mg
Vitamin B6
7%
0.086 mg
Folat (B9)
1%
2 μg
Vitamin B12
0%
0 μg
Vitamin C
13%
10.8 mg
Vitamin K
21%
22 μg
MineralKuantitas
%AKG
Kalsium
1%
10 mg
Zat besi
3%
0.36 mg
Magnesium
2%
7 mg
Mangan
3%
0.071 mg
Fosfor
3%
20 mg
Potasium
4%
191 mg
Sodium
0%
3.02 mg
Seng
1%
0.07 mg
Persen AKG berdasarkan rekomendasi Amerika Serikat untuk orang dewasa.
Sumber: USDA FoodData Central

Jeruk jepara dengan nama ilmiah Limnocitrus littoralis (Miq.) Swingle merupakan tanaman yang memiliki kekuatan luar biasa. Antara lain tahan penyakit dan mampu hidup di tanah berpasir yang berkadar garam tinggi. Juga banyak terdapat di daerah rawa-rawa di pinggir pantai dan tepian sungai dekat pantai. Sifat pertumbuhan tanaman mirip sekali dengan pohon bakau. Ketika hampir seluruh tanaman jeruk di pantai utara Jawa Tengah terserang penyakit, ternyata jeruk jepara masih tetap bertahan, sehat, dan tidak terkena pengaruh apa-apa. Ini membuktikan bahwa jeruk jepara cukup ampuh dan dapat dipergunakan sebagai batang bawah jeruk komersial yang mudah terserang penyakit. Sebagai batang bawah kemungkinan besar jeruk jepara[1] dapat digunakan sebagai ‘anti-penyakit' CVPD.

Pernah Punah

sunting

Jeruk jepara[2] alias jeruk swing Limnocitrus littoralis (Miq.) Swingle pernah dinyatakan punah/hilang oleh para ahli botani Indonesia sejak tahun 1969. Hilangnya jeruk jepara ini sangat menarik perhatian, ketika seorang ahli buah-buahan dari Hawaii, Hamilton, pada tahun 1969 mengirim surat kepada Kebun Raya Bogor. Ia meminta kepada pihak Kebun Raya Bogor agar dikirimkan jeruk jepara dengan harapan dapat diwariskan bakat/sifat genetiknya secara khusus pada bibit-bibit jeruk baru yang sedang dikembangkannya. Permintaan Hamilton terpaksa tidak dapat dipenuhi, sehubungan tanaman yang dimaksud telah punah. Sebelum pernyataan itu disampaikan kepada yang bersangkutan, petugas dari LBN (Lembaga Biologi Nasional) telah mencari di sepanjang pantai Rembang dan Jepara, tetapi hasilnya nihil.

Menurut GBIF Backbone Taxonomy[3] (2016), faktor yang mengancam kepunahan jeruk jepara adalah hilangnya habitat asli dari si jeruk jepara. Upaya konservasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yakni dengan cara menanam dan membudidayakan jeruk jepara ini di Cagar Alam Keling dan Cagar Alam Clering.

Ditemukan lagi

sunting

Setelah puluhan tahun dalam pencarian, ternyata tanaman tersebut masih terdapat di tempat asalnya. Hidup dalam keadan liar dan jauh dari perawatan. Penemunya adalah Sutomo, Karyawan Dinas Pertanian Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Oleh Sutomo dijelaskan bahwa tanaman langka tersebut dilihat pertama kali pada tahun 1979. Tetapi waktu itu belum mengusik hatinya, sehubungan pengetahuannya tentang jeruk masih terbatas. Beberapa tahun kemudian setelah kuliah di Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta, ia baru mengetahui bahwa apa yang dilihatnya ternyata sedang dicari-cari. Kemudian didatangilah lokasi semula, pada tanggal 6 Oktober 1984, dan ternyata masih dijumpai tanaman jeruk jepara yang masih berada pada kondisi yang utuh. Oleh penduduk setempat tanaman liar ini disebut jeruk-jerukan, buahnya hanya dipakai untuk pengisi katapel. Untuk menguji kecurigaannya, Sutomo mengambil beberapa contoh daun, bunga, dan buah dari tanaman yang ditemukannya itu untuk diteliti di Laboratorium Fakultas Biologi UGM dan LBN Bogor. Dan ternyata hasilnya positif, bahwa tanaman tersebut adalah Limnocitrus littoralis yang pernah dinyatakan hilang itu. Pengakuan oleh LBN Bogor dituangkan dalam surat Direktur LBN Bogor Dr. Setiyati Sastropradja dengan surat keputusan tanggal 17 Oktober 1984 lewat surat Dekan fakultas Biologi UGM Prof. Ir. Moesa Soeryowinoto mempertegas jenis tanaman yang ditemukan oleh Sutomo itu adalah tanaman jeruk jepara yang pernah disangka punah. Oleh Prof. Moesa dinyatakan pula bahwa nama baru jeruk jepara adalah Pleiospernium littorale (Mig) Tanaka.

Penemu Jeruk Jepara

sunting

Jeruk jepara ditemukan pertama kali oleh J.E. Teijsman pada tanggal 6 Oktober 1854 di Pantai Lasem, Rembang. Tanggal 24 Agustus 1930 dibuat koleksi khusus jeruk ini di pantai dekat Lendang, kurang lebih 40 km sebelah timur kota Rembang. Pohon jeruk jepara berupa perdu setinggi ± 3 m, tumbuh menggerombol dan diduga keras karena tumbuh dari persemaian biji. Bentuk dan rasa buah tidak menarik, karena tidak mengesankan seperti jeruk keprok atau jeruk nipis. Buahnya berdiameter sekitar 3–5 cm. Di dalamnya ditemukan 5 ruangan, yang masing-masing terisi 2 biji. Rasanya masam bercampur asin. Kandungan air dalam buah sangat minim. Jadi isi buah tidak enak dimakan. Namun tanaman ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Antara lain tahan penyakit dan mampu hidup di tanah berpasir yang berkadar garam tinggi. Juga banyak terdapat di daerah rawa-rawa di pinggir pantai dan tepian sungai dekat pantai. Sifat pertumbuhan tanaman mirip sekali dengan pohon bakau. Ketika hampir seluruh tanaman jeruk di pantai utara Jawa Tengah terserang penyakit, ternyata jeruk jepara masih tetap bertahan, sehat, dan tidak terkena pengaruh apa-apa. Ini membuktikan bahwa jeruk jepara cukup ampuh dan dapat dipergunakan sebagai batang bawah jeruk komersial yang mudah terserang penyakit. Sebagai batang bawah kemungkinan besar jeruk jepara dapat digunakan sebagai ‘anti-penyakit' CVPD.

Lihat juga

sunting

Reference

sunting