Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

kerajaan di Asia Tenggara
(Dialihkan dari Kasultanan Yogyakarta)

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Pulau Jawa bagian tengah yang berdiri pada tahun 1755, yang pada tahun 1800 menjadi protektorat berstatus daerah swapraja (zelfbestuurende landschappen) dalam Hindia Belanda. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian atau kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk (dalam hal ini Hindia Belanda) dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940 (Overeenkomst tusschen het Gouvernement van Nederlandsch-Indië en het Sultanaat Jogjakarta van 18 Maart 1940, Staatsblad van Nederlands-Indië 1941, No 47).

Nagari Kasultanan Ngayogyakarta[1]

ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦤꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀
Kasultanan Ngayogyakarta Adiningrat
1755–Sekarang
Bendera Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Bendera Kesultanan
(Gula Klapa)[2][3][4][5]

Lagu kerajaan
Wilayah Kesultanan Yogyakarta saat ini; termasuk wilayah Kadipaten Pakualaman dan bekas wilayah enklave Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran (Kotagede, Imogiri, Ngawen, dan Semin).
Wilayah Kesultanan Yogyakarta saat ini; termasuk wilayah Kadipaten Pakualaman dan bekas wilayah enklave Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran (Kotagede, Imogiri, Ngawen, dan Semin).
Ibu kotaKota Yogyakarta
Bahasa resmiJawa
Agama
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
• 1755–1792
Sultan Hamengkubuwana I
• 1792–1810
Sultan Hamengkubuwana II
• 1877–1921
Sultan Hamengkubuwana VII
• 1940–1988
(1950 Status Diturunkan)
Sultan Hamengkubuwana IX
• 1989–Petahana
Sultan Hamengkubuwana X
Pepatih Dalem 
• Pertama (1755–1799)
KRA. Danureja I
• Terakhir (1933–1945)
KPHA. Danureja VIII
Sejarah 
13 Februari 1755
19 – 20 Juni 1812
21 Juli 1825 – 9 Februari 1830
• Perjanjian Klaten
27 September 1830
• Restorasi Hamengkubuwana IX
1 Agustus 1945
• Penurunan Status: Pengundangan UU No. 3 Tahun 1950
4 Maret 1950 – Sekarang
Luas
 - Total
3.186 km2
Mata uang
Situs web resmi
www.kratonjogja.id
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Mataram
ksnKesunanan
Surakarta
Kadipaten Pakualaman
Daerah Istimewa Yogyakarta
Sekarang bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta
---
Status Politik:


Lain-Lain

Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Sultan Yogyakarta
Hamengku Buwana X (1989) Hamengku Bawana Ka-10 (2015)
Sedang berkuasa
Hamengku Buwana X
sejak 7 Maret 1989
Sultan Yogyakarta
Perincian
Sapaan resmiBaginda
Pewaris sementaraGusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawana Langgeng Ing Mataram
Penguasa pertamaSultan Hamengkubuwana I
Pembentukan1755 - Sekarang [9]
KediamanKaraton Ngayogyakarta Hadiningrat
PenunjukHereditas

Setelah bergabung dengan Republik Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, dan sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status protektorat atau negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sejarah

sunting

Pembentukan

sunting

Setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. pendiri Kesultanan Yogyakarta yakni Pangeran Mangkubumi resmi diangkat sebagai Sultan bergelar Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Susuhunan Pakubuwana III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kesunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC. Usaha-usaha untuk meredam peperangan yang terjadi di Jawa saat itu berakhir dengan perjanjian damai, yang kemudian dikenal oleh rakyat Jawa sebagai bentuk Palihan Nagari (pembagian negara), atau dikenal juga sebagai Perang Takhta Jawa Ketiga.

Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibu kota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibu kota berikut istananya tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan lansekap utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa " ingkang jumeneng kaping...ing Ngayogyakarta Hadiningrat " (bahasa Indonesia: "yang bertakhta ke .... di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama khusus atau gelar bagi Sultan, antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Sepuh/Tua) untuk Hamengkubuwana II, Sultan Mangkubumi (Sultan Mangkubumi) untuk Sultan Hamengkubuwana VI, atau Sultan Behi (Sultan Hanga[Behi]) untuk Sultan Hamengkubuwana VII.

Masa awal

sunting

Setelah wujud keraton mulai terbentuk pada tanggal 7 Oktober 1756, Sultan Hamengkubuwana I beserta pengikutnya segera melakukan boyong kedhaton atau melakukan perpindahan dari Pesanggrahan Ambarketawang Gamping menuju ke keraton yang baru. Perpindahan tersebut ditandai dengan surya sengkala Dwi Naga Rasa Tunggal, yang memiliki nilai tahun 1756 Masehi, dengan makna tentang kesatuan kegotong-royongan, serta kewibawaan, kesaktian, dan kesucian seorang raja atau pemimpin, dan sebagai tolak bala serta keyakinan akan keselamatan, ketenteraman, dan harapan pencapaian kemakmuran sebuah kerajaan yang dibangun. Saat itu, Sultan menggunakan Gedhong Sedhahan sebagai tempat untuk memerintah, mengingat keraton belum sepenuhnya selesai.

Di masa awal pemerintahannya, Sultan menerbitkan peraturan politik yang harus dipatuhi oleh Belanda. Empat peraturan tersebut antara lain:

  1. Residen untuk Yogyakarta tidak boleh menggunakan kereta kuda jika ingin berkunjung ke keraton dan harus berjalan kaki;
  2. Residen juga tidak diperkenankan memakai payung atau songsong, Payung atau songsong merupakan lambang kedaulatan bagi orang Jawa;
  3. Ketika ada upacara resmi di keraton, residen harus berdiri di hadapan Sultan dan mempersembahkan sejenis upeti berupa minuman atau sirih kepada Sultan, sedangkan Sultan tetap duduk dan tidak berdiri menyambut;
  4. Kursi yang digunakan oleh residen harus lebih rendah posisinya dari kursi Sultan.

Peraturan tersebut dibuat demi menjaga kedaulatan dan kedudukan Sultan dimata Belanda.[10]

Melihat kemajuan yang sangat pesat akan keraton, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diizinkan membangun sebuah benteng di dekat keraton, dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan keraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Sultan memahami taktik Belanda tersebut, dan berusaha untuk mengelabui dengan mengizinkan berdirinya sebuah benteng Belanda di sisi timur laut keraton, namun secara diam-diam Sultan menghalangi pembangunan tersebut dengan mengalihkan tenaga kerja yang seharusnya membangun benteng, untuk membangun sebuah pesanggrahan di dalam keraton. Alhasil, pembangunan benteng Belanda menjadi terhambat dan selesai lebih lambat dari yang direncanakan.

Masa sulit dan peperangan

sunting

Periode 1792-1811

sunting

Sepeninggal Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1792, tahta diberikan kepada Adipati Anom (putra mahkota), yakni Raden Mas Sundara, dengan gelar Sultan Hamengkubuwana II.

Pada masa ini, Kesultanan Yogyakarta mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam bidang sastra. Namun, Yogyakarta harus menghadapi beberapa tekanan politik dari Belanda, terlebih setelah diangkatnya Herman Willem Daendels sebagai Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, dimana Daendels tidak menyetujui peraturan dalam keraton yang telah dibuat oleh Sultan sebelumnya, dan justru membuat aturan baru yang terkesan merendahkan kewibawaan keraton. Sedangkan Sultan Hamengkubuwana II memiliki sikap yang keras dan tanpa ampun untuk menolak pengaruh bangsa asing di keraton.

Kemelut semakin menjadi-jadi setelah patih Danureja II dilantik untuk menggantikan patih sebelumnya. Danureja II cenderung memihak kepada Belanda, sehingga hubungannya dengan Sultan memburuk. Selain itu, muncul pula pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Ronggo, Bupati Madiun yang konon dilakukan atas izin Sultan.[11]

Belanda mencurigai peran Sultan dalam pemberontakan tersebut, sehingga pada bulan Desember 1810 Daendels menyerang Yogyakarta dan menurunkan Sultan Hamengkubuwana II. Ia digantikan oleh anaknya, Pangeran Adipati Anom bernama Raden Mas Suraja yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwana III. Belanda juga menjadikan beberapa kerabat dari Sultan menjadi tawanan politik. Meski begitu, Hamengkubuwana II tetap diizinkan tinggal di keraton menjadi Sultan Sepuh.[11]

Periode 1811-1813

sunting

Tahun 1811, Prancis yang saat itu menguasai Belanda melakukan perjanjian dengan Inggris untuk menyerahkan wilayah Hindia Belanda kepada Inggris, termasuk Yogyakarta. Momentum masuknya Inggris ke Yogyakarta dimanfaatkan oleh Sultan Hamengkubuwana II untuk kembali bertahta. Ia menurunkan anaknya kembali menjadi Adipati Anom, kemudian memecat dan menghukum patih Danureja II yang dekat dengan Belanda.

Meski demikian, sikap Sultan kepada Inggris sama saja dengan sikapnya kepada Belanda. Hubungan Sultan dengan anaknya juga sempat memanas, terlebih sang anak lah yang membuat dirinya dimakzulkan saat itu. Belum lagi nyaris terjadi pertumpahan darah antara utusan Thomas Stamford Raffles, Gubernur Inggris dengan kerabat keraton di depan Sultan, hanya akibat kursi untuk Raffles diletakkan lebih rendah dari singgasana Sultan, sewaktu wakil gubernur Inggris tersebut hendak mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Puncaknya ketika Inggris membongkar surat-menyurat antara Sultan dengan Susuhunan Pakubuwana IV yang sedang pura-pura membantunya untuk melawan Inggris. Alhasil Inggris menyerang Yogyakarta secara besar-besaran selama dua hari mulai tanggal 19 Juni 1812, dibantu dengan pasukan dari Sepoy (India) serta beberapa pasukan dari Mangkunegaran dan Surakarta. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Geger Sepoy atau Geger Sepehi, yang mengakibatkan beberapa kerugian bagi Yogyakarta:

  • Beberapa bangunan di keraton hancur lebur, salah satunya adalah Pojok Beteng Lor Wetan yang dibangun oleh Sultan sendiri dan Ndalem Sawojajar yang merupakan tempat tinggal putra mahkota
  • Sultan Hamengkubuwana II kembali diturunkan dan diasingkan ke Pulau Pinang (kini menjadi Penang di Malaysia), tahta kembali diduduki oleh Adipati Anom Hamengkubuwana III
  • Yogyakarta harus kehilangan beberapa wilayah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya
  • Karya-karya sastra dan aset keraton yang dibuat pada masa Sultan Hamengkubuwana II diambil oleh Raffles untuk dibawa ke negaranya
  • Pangeran Natakusuma yang merupakan tawanan politik pada masa Belanda dibebaskan dan dijadikan pangeran miji (pangeran merdeka) dengan gelar Paku Alam I serta berhak atas sebidang wilayah di timur keraton dan di pesisir Kulon Progo, yang menjadi cikal bakal dari Kadipaten Pakualaman[12]

Periode 1813-1823

sunting

Periode ini ditandai dengan kembalinya pemerintahan Hindia Belanda setelah perang Napoleon. Sultan Hamengkubuwana III wafat pada tahun 1814, dan tahta digantikan oleh Pangeran Adipati Anom yang masih sangat belia, yakni Gusti Raden Mas Ibnu Jarot. Ibnu Jarot naik tahta pada umur 10 tahun dengan gelar Sultan Hamengkubuwana IV. Mudanya usia Sultan saat itu, memunculkan pembentukan wali sultan yang didapuk oleh Paku Alam I.

Masa-masa ini ditandai dengan pengaruh Belanda yang semakin kuat di Yogyakarta, terlebih setelah naiknya Patih Danureja IV. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di keraton, dan mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk swasta yang merugikan rakyat kecil. Kebijakan politik ini menuai beberapa kecaman dari beberapa pihak di dalam keraton, salah satunya dari Pangeran Diponegoro, kakak Sultan sekaligus sosok yang mengangkatnya menjadi seorang patih.

Pemerintahan Hamengkubuwana IV secara mandiri baru dimulai pada 20 Januari 1820, setelah Paku Alam I meletakkan jabatannya selaku wali Sultan. Pemerintahan mandiri tersebut tidak berlangsung lama, hanya tiga tahun. Pada Desember 1823, Hamengkubuwana IV wafat di usia yang masih cukup muda, 19 tahun.

Periode 1823-1830

sunting

Hamengkubuwana IV digantikan oleh anaknya, Gusti Raden Mas Gatot Menol yang saat itu masih berusia tiga tahun dengan gelar Sultan Hamengkubuwana V. Sama seperti ayahnya yang memiliki wali karena diangkat menjadi raja pada usia muda, ia juga memiliki wali yang berjumlah empat orang, yakni Ratu Ageng (Nenek), GKR Ratu Kencono (Ibu), Pangeran Mangkubumi (Saudara kakek) dan Pangeran Diponegoro (Paman).[13]

Pada periode awal pemerintahannya, Yogyakarta masih diwarnai kemelut akibat intrik politik Belanda dan Patih Danureja IV yang bertindak semena-mena. Hal ini kembali memunculkan kemarahan di benak Pangeran Diponegoro selaku wali Sultan saat itu. Belanda juga berniat untuk menyingkirkan Diponegoro dari keraton demi memuluskan rencana mereka.

Puncaknya terjadi pada tahun 1825, ketika Diponegoro bersama pengikutnya menyatakan perang melawan Belanda. Peristiwa tersebut dikenal dengan Perang Jawa, dan berlangsung selama lima tahun lamanya hingga tertangkapnya Diponegoro pada tahun 1830.

Perang tersebut sebenarnya membuat Belanda kewalahan hingga akhirnya pada 1826 Belanda menurunkan Sultan Hamengkubuwana V, dan mengangkat Kembali Sultan Hamengkubuwana II yang saat itu masih menjalani pengasingan, dengan tujuan untuk meredakan perang tersebut. Namun, Hamengkubuwana II yang saat itu juga telah berusia lanjut terkesan enggan untuk mendamaikan perang hingga wafatnya pada tahun 1828.

Masa pemulihan dan kestabilan politik

sunting

Periode 1830-1855

sunting

Setelah Perang Jawa, Yogyakarta mengalami kerugian yang cukup besar. Yogyakarta harus melepas seluruh wilayah manca nagara nya untuk diambil oleh Belanda, menyisakan wilayah di sekitar negara agung dan kutha negara saja. Selain itu, rakyat juga dihadapi dengan trauma yang cukup berat akibat perang yang berkelanjutan selama lima tahun dan menimbulkan banyak korban jiwa.

Situasi tersebut membuat Sultan Hamengkubuwana V yang saat itu telah memimpin secara mandiri, menjalankan taktik perang pasif atau taktik main aman, dimana Sultan melakukan perlawanan tanpa pertumpahan darah. Ia mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan, sehingga k esejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.[13]

Berjalannya politik perang pasif memang membuat situasi politik di Yogyakarta menjadi lebih stabil. Namun, taktik tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian kerabat keraton dan para abdi dalem, salah satunya dari adik kandung Sultan sendiri, Gusti Raden Mas Mustojo. Ia menilai sikap Sultan tersebut menurunkan kewibawaan keraton, dan malah membuat keraton menjadi pengecut karena tunduk pada Belanda. Alhasil terjadi ketegangan antara dua belah pihak pada saat itu.

Periode 1855-1867

sunting

Sultan Hamengkubuwana V wafat pada tahun 1855 karena ditikam oleh selirnya sendiri, yakni Kangjeng Mas Hemawati. Sampai saat ini, tidak diketahui apa penyebab selir tersebut berani membunuh Sultan[14]. Sedangkan saat itu kursi putra mahkota belum diisi, dikarenakan calon putra mahkota sedang dikandung oleh permaisuri Sultan, yakni GKR Sekar Kedhaton. Alhasil, tahta diserahkan kepada Gusti Raden Mas Mustojo dengan gelar Sultan Hamengkubuwana VI. Kendati demikian statusnya hanyalah sementara, ia berjanji kelak akan menyerahkan tahta kepada putra mahkota dari kakaknya bila telah dewasa.

Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VI justru malah mengikuti jejak almarhum kakaknya yang mendekat kepada Belanda. Hal tersebut tak sejalan dengan sikapnya yang sangat keras menentang kakaknya dulu. Beberapa pemberontakan hampir terjadi pada masanya, namun teratasi berkat kecerdikan dan ketangguhan patih Danureja V saat itu. Masa pemerintahannya juga ditandai dengan situasi politik yang sudah sangat stabil, membuat keraton mulai menjalin kerjasama dengan beberapa kerajaan.

Periode 1867-1921

sunting

Yogyakarta dilanda gempa besar pada 10 Juni 1867 yang membuat beberapa bagian di keraton dan aset keraton rusak berat, termasuk Tugu Golong Gilig yang telah ada sejak masa Hamengkubuwana I. Sepuluh tahun kemudian tepatnya pada tanggal 20 Juli 1877, Hamengkubuwana VI wafat dan tahta malah diberikan oleh anaknya yang sebelumnya telah diangkat menjadi Pangeran Adipati Anom, yakni Gusti Raden Mas Murtejo. Pengangkatan Murtejo ditentang oleh permaisuri Sultan Hamengkubuwana V yang awalnya dijanjikan tahta untuk anaknya, Gusti Raden Mas Timur Muhammad yang telah dewasa. Namun, ia malah diadili dan dihukum buang ke Manado dengan tuduhan pembangkangan terhadap raja.[14]

Pada masa Sultan Hamengkubuwana VII, Yogyakarta mengalami masa kejayaan. Adanya politik pintu terbuka (opendeur politiek) yang dicanangkan oleh pemerintah Belanda pada awal 1920-an memberikan kesempatan bagi bangsa lain untuk melakukan penanaman modal internasional di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda dan Yogyakarta. Kebetulan, politik pintu terbuka tersebut sudah sesuai dengan peraturan agraria (agrarische wet) yang berlaku di Yogyakarta, sehingga menguntungkan keraton.[15]

Kekayaan yang didapat digunakan oleh Sultan untuk merevitalisasi dan merenovasi sebagian fasad dan bangunan milik keraton yang rusak akibat gempa bumi. Sultan juga membangun banyak pabrik gula di wilayah Yogyakarta. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar ƒ200.000,00.[16]

Yogyakarta juga mengalami masa transisi menuju ke arah modern pada masa Sultan Hamengkubuwana VII. Beberapa fasilitas pendidikan modern dibangun di sekitar keraton. Sultan juga mendukung perkumpulan pergerakan nasional seperti Boedi Oetomo dan Muhammadiyah.

Periode 1921-1945

sunting

Pada penghujung kekuasaan Sultan Hamengkubuwana VII, ia memutuskan untuk lereh keprabon (turun tahta) menjadi raja. Terdapat beberapa versi mengenai turun tahtanya. Ada yang mengatakan bahwa Sultan sengaja meletakkan tahtanya untuk mandeg pandita (bertapa) sehingga ia memutuskan untuk mencari ketenangan di Pesanggrahan Ambarukmo. Sedangkan versi lain mengatakan bahwa turunnya Sultan Hamengkubuwana VII dikarenakan sikapnya yang menentang peraturan baru yang dibuat oleh Belanda, sehingga ia memilih untuk lengser dari jabatannya sebagai raja. Sultan Hamengkubuwana VII pun menetap di Pesanggrahan Ambarukmo hingga wafatnya pada tahun 1931.[17]

Tahta kesultanan kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni Gusti Pangeran Harya Purbaya, dengan gelar Sultan Hamengkubuwana VIII. Pada masa pemerintahannya, Sultan Hamengkubuwana VIII mewarisi kekayaan dan aset keraton dari Sultan sebelumnya, sehingga terjadi beberapa revitalisasi dan renovasi aset-aset keraton. Perhatiannya terhadap rakyat juga begitu besar, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Beberapa fasilitas pendidikan berdiri di masa pemerintahannya, seperti Sekolah Taman Siswa Nasional (berdiri 3 Juli 1922). Sultan juga mendukung perkumpulan pergerakan nasional, seperti mendukung pendirian Organisasi Politik Katholik Jawi (1923) dan Kongres Perempuan (1929).[18]

Sultan Hamengkubuwana VIII memerintah selama 18 tahun, hingga tahun 1939. Ia mangkat setelah menjemput putranya, Gusti Raden Mas Dorojatun di Batavia, sepulang dari Belanda. Disini ia juga menunjuk Dorojatun menjadi penerusnya, ditandai dengan penyerahan keris pusaka Kyai Joko Piturun kepada Dorojatun. Namun, pengukuhan Dorojatun menjadi Adipati Anom baru dilaksanakan beberapa saat sebelum pengangkatannya sebagai raja pada tahun 1940.

Dorojatun naik tahta dengan gelar Sultan Hamengkubuwana IX pada tahun 1940, setelah mengalami proses alot dalam perundingan kontrak politiknya dengan Belanda. Sultan yang awalnya menolak kontrak politik tersebut, tiba-tiba berubah pikiran dan langsung menyetujuinya. Konon ia mendapatkan wisik (bisikan gaib) dari ayahnya yang mengatakan bahwa Belanda akan pergi[19]|quotealign=center}}. Hal tersebut baru terwujud pada tahun 1942, dimana Jepang menduduki Hindia Belanda, termasuk Yogyakarta. Sebelumnya, Belanda telah memprediksi kedatangan Jepang, dan telah merencanakan penculikan terhadap empat penguasa vorstenlanden (Susuhunan Pakubuwana, Sultan Hamengkubuwana, Adipati Mangkunagara, Adipati Paku Alam) untuk dibawa ke Australia. Namun Sultan menolak dengan tegas, dan bersumpah untuk tidak akan meninggalkan Yogyakarta.

Jepang mulai menduduki Hindia Belanda pada 5 Maret 1942. Di tengah banyaknya pengambilan penduduk menjadi romusa, banyak catatan mengatakan bahwa Sultan mampu mencegahnya dengan memanipulasi data statistik produktivitas pertanian dan peternakan. Ia berhasil membujuk pemerintah Jepang untuk mengalihkan rakyatnya dalam membangun sebuah kanal irigasi raksasa yang menghubungkan antara Sungai Progo dan Sungai Opak agar pengairan sawah dapat dilakukan sepanjang tahun dari yang sebelumnya masih bersistem tadah hujan. Kanal tersebut diberi nama Selokan Mataram, dan terbukti mampu memakmurkan masyarakat saat itu.

Masa kemerdekaan dan revolusi nasional

sunting

Periode 1945-1946

sunting

Pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadi peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dibacakan oleh Soekarno dan Hatta di Jakarta. Sehari setelahnya, Sultan Hamengkubuwana IX mengucapkan selamat kepada Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat atas kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 20 Agustus 1945, dikirimkan lagi telegram oleh Hamengkubuwana IX sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta, menegaskan bahwa Yogyakarta "sanggup berdiri di belakang pimpinan"; diikuti oleh Paku Alam VIII Peristiwa ini menjadikan Yogyakarta sebagai kerajaan di Indonesia pertama yang bergabung dengan Republik Indonesia. Dukungan tersebut berlanjut hingga tanggal 5 September 1945, dimana Sultan mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan Sultan sebagai pemimpinnya yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Paku Alam VIII juga menyatakan amanat setelahnya atas Kadipaten Pakualaman dan menjadi wakil pemimpin Yogyakarta. Konsep ini disebut dengan konsep dwi tunggal, dimana dua pemimpin bersama-sama membantu untuk membangun negara Indonesia. Realisasi Yogyakarta sebagai daerah istimewa dikeluarkan pada tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah telegram dari Yogyakarta tiba.

Pada Januari 1946, situasi politik di Jakarta sedang tidak stabil, dikarenakan terjadinya pertikaian antara kelompok pro-Republik dengan kelompok pro-Belanda. Atas dasar situasi tersebut, Sultan mengusulkan kepada Pemerintah Indonesia saat itu untuk memindahkan ibu kota negara menuju Yogyakarta. Usulan kepindahan tersebut disambut baik oleh Soekarno, sehingga rombongan pemerintah Republik menuju Yogyakarta pada tanggal 3 Januari 1946 dengan kereta luar biasa.

Hamengkubuwana IX dinilai menjadi figur yang mampu meredam adanya pergolakan anti swapraja–seperti yang terjadi di Surakarta dan sebagian Sumatra–di Yogyakarta yang bisa melengserkan dirinya dan menghapuskan pemerintahan monarki Yogyakarta.

Periode 1946-1950

sunting

Pada periode ini, terjadi pengintegrasian wilayah ke dalam Republik Indonesia. wilayah Kesultanan Yogyakarta meliputi daerah-daerah sebagai berikut:

  1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
  2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
  3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
  4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
  5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.[20]

Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja.[21] Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota sampai tahun 1950.

Tahun 1950, diterbitkan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58).

Berlakunya undang-undang tersebut membuat birokrasi pemerintahan harus dipisahkan dengan monarki. Alhasil, posisi Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pemangku adat budaya Jawa, khususnya Gaya Yogyakarta. Sedangkan di pemerintahan, Sultan tetap menjadi pemimpin daerah istimewa tingkat I dibawah Presiden.

Masa Republik

sunting

Periode 1950-1989

sunting

Bergabungnya Kesultanan Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia membuat keraton menjadi terbuka terhadap masyarakat. Beberapa kesenian yang sebelumnya tidak boleh keluar dari keraton sama sekali, diizinkan oleh Sultan. Beberapa aset dan pusaka kesultanan juga diizinkan dilihat oleh umum dengan dibukanya museum keraton Yogyakarta.

Pada tanggal 7 Oktober 1988, Sultan Hamengkubuwana IX wafat. Sebelumnya, ia telah mempersiapkan anak laki-laki tertuanya, yakni Kanjeng Gusti Pangeran Harya Mangkubumi untuk menggantikannya. Mangkubumi resmi ditunjuk menjadi Adipati Anom setelah musyawarah keluarga. Pengukuhannya sebagai Adipati Anom dilangsungkan beberapa saat sebelum penobatannya menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwana X pada bulan Maret 1989. Itu adalah kali pertama Yogyakarta melaksanakan penobatan raja tanpa campur tangan kolonial Belanda.

Wilayah dan penduduk

sunting

Wilayah

sunting
 
Pembagian Mataram dan Manca Nagara pada tahun 1757.

Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibu kota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).

  • Nagari Ngayogyakarta meliputi:
    (1) Kota tua Yogyakarta (di antara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
    (2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
  • Nagara Agung meliputi:
    (1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
    (2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu),
    (3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
    (4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
    (5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudra Hindia]).
  • Manca Nagara meliputi:
    1. Wilayah Madiun yang terdiri dari daerah-daerah:
    - Madiun Kota
    - Magetan
    - Caruban
    - Sebagian Pacitan;
    2. Wilayah Kediri yang meliputi daerah-daerah:
    - Kertosono
    - Berbek
    - Godean
    - Kalangbret
    - Ngrowo;
    3. Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto);
    4. Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah:
    - Jipang (Ngawen) dan
    - Teras Karas (Ngawen);
    5. Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah:
    - Selo atau Seselo (makam nenek moyang raja Mataram)
    - Warung (Kuwu-Wirosari)
    - Sebagian Grobogan.

Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan Mangkunegaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian Giyanti.

Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kesultanan Yogyakarta dengan Kesunanan Surakarta. Wilayah Kesultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangkunegaran (Ngawen), dan Pakualaman (Kabupaten Kota Pakualaman).

Penduduk

sunting
 
Potret putra dan putri bangsawan Kesultanan Yogyakarta pada masa Sultan Hamengkubuwana VII.

Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.

Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.

Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kesultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.

Pemerintahan dan politik

sunting
 
Koridor di depan Gedhong Jene dan Gedhong Purwaretna. Dari bangunan yang disebut terakhir ini Sultan mengendalikan seluruh kerajaan

Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Hageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.[22]

Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:

(1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan
(2) Kanayakan Keparak Tengen,
yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
(3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
(4) Kanayakan Gedhong Tengen,
yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.

Kementerian urusan luar adalah

(5) Kanayakan Siti Sewu, dan
(6) Kanayakan Bumijo,
yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
(7) Kanayakan Panumping, dan
(8) Kanayakan Numbak Anyar,
yang keduanya mengurusi pertahanan.

Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.

Untuk menangani urusan agama, Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibu kota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.

 
L. F. Dingemans, residen Belanda di Yogyakarta (1926)

Setidaknya sampai 1792 Kesultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.

Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada di tangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.

Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Kesultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninklijk der Nederlanden, dengan status swapraja (zelfbestuurende landschappen). Selain itu, pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon sultan yang akan bertakhta. Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V hingga Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, Lucien Adam dengan HB IX.

Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan ditakhtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.

Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwana IX (HB IX) naik takhta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Hamengkubuwana IX melakukan restorasi (bandingkan dengan restorasi Meiji). Ia membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan sultan. Dengan perlahan namun pasti, ia memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.

 
Alun-alun Lor, saksi bisu kemegahan sebuah pemerintahan negara

Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danureja VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Hageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor. Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau anak keturunan Sultan.

Sultan memimpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi kesultanan pada Republik Indonesia, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah. Kesultanan menjadi bagian dari republik modern sebagai provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Hukum dan peradilan

sunting

Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta, terdapat empat macam badan peradilan, yaitu Pengadilan Pradata, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.

  • Pengadilan Pradata merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
  • Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
  • Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
  • Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Pancaniti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.

Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kesultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kesultanan Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradata sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradata dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kesultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.

Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadasa, Angger Gunung, Angger Nawala Pradata Dalem, Angger Pradata Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.

Ekonomi dan agraria

sunting

Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.

Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 di masa pemerintahan Sultan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu, istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.

Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.

Restrukturisasi pada zaman Sultan HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusa oleh Jepang.

Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan

sunting
 
Gerbang Danapratapa, Keraton Yogyakarta, antara seni, filsafat, kosmologi, kebiasaan umum (adat istiadat), sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan pendidikan yang tak terpisahkan dalam kebudayaan Jawa.

Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).

Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedhaya Semang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.

Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.

 
Para penari tarian Beksan Entheng, sekitar tahun 1870.

Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat dan babad).

Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pendidikan dibuka untuk umum. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dengan nama SD Negeri Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Muncul pula sekolah guru dari kalangan Muhammadiyah Hogere School Moehammadijah pada 1918 (kini bernama Muallimin). Pada 1946 kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca: kejawen) masih tetap dianut rakyat meski menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan tetapi doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada tahun 1912 seiring dengan tumbuh dan berkembangnya organisasi Islam Muhammadiyah dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman, Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para imam kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.

Pertahanan dan keamanan

sunting

Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu, untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Mancanagara.

Pada paruh kedua abad ke-18 sampai awal abad ke-19 tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi, namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan adipati anom dan para pangeran, serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak diasingkannya Sultan HB II akibat peristiwa Geger Sepehi pada Juni 1812, dan ditandatanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.

Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya Perang Diponegoro pada tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri, Kesultanan Yogyakarta dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam Perang Pasifik, Sultan membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus 1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.

Prajurit Kraton Yogyakarta

sunting
 
Brigade Prajurit Nyutra

Layaknya sebuah kerajaan, Kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan Kraton Yogyakarta juga mempunyai beberapa tentara atau satuan-satuan militer. Satuan-satuan militer di Keraton Yogyakarta ini disebut dengan Abdi Dalem Prajurit. Dalam sejarahnya, Kraton Yogyakarta pernah memiliki 15 satuan militer dan masing-masing memiliki nama dan fungsi yang berbeda-beda. Dari 15 satuan militer yang keseluruhannya satuan infanteri tersebut, saat ini baru diaktifkan sebanyak 11 satuan setelah sempat dibubarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai antisipasi pemanfaatan Abdi Dalem Prajurit oleh Jepang untuk digunakan dalam Perang Pasifik Timur pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945.[23]

Pada awal pembentukannya oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I (ketika itu masih bernama Pangeran Mangkubumi) satuan-satuan Abdi Dalem Prajurit sangatlah kuat. Tercatat Abdi Dalem Prajurit pernah mengalahkah Pasukan Kompeni Belanda pada masa pengasingan Sri Sultan Hamenku Buwana I sebelum diadakannya Perjanijian Giyanti tahun 1755. Pada pertempuran-pertempuran tersebut, Abdi Dalem Prajurit bahkan berhasil membunuh perwira-perwira Belanda seperti Letnan Coen yang tewas dalam Perang Gowang, Letna Van Gier tewas pada Perang Grobogan, Letnan Foster tewas dalam Perang Gunung Tidar dan Mayor Clereq dan Kapten Winter yang tewas dalam Perang Jenar/Bogowonto bersama 3.801 Prajurit Kompeni Belanda lainnya. Bahkan ada sebuah pusaka Kraton Yogyakarta berupa Tombak yang bernama Kangjeng Kyai Klerk sebagai bentuk pemuliaan ketika tombak tersebut digunakan untuk membunuh Mayor Clereq pada Perang Jenar/Bogowonto oleh salah seorang Abdi Dalem Prajurit Mantrijero.

Untuk saat ini Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta tidaklah kuat dan tidak pula memiliki fungsi dan tugas untuk bertempur. Seluruh kesatuan Abdi Dalem Prajurit yang ada diperuntukkan untuk mengawal dalam upacara-upacara adat Kraton Yogyakarta seperti pada saat Upacara Gunungan atau lebih dikenal dengan Gerebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun, yaitu Grebeg Sekaten, Grebeg Maulud, dan Grebeg Syawal. Berikut adalah sekilas tentang 15 satuan Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta.

  1. Abdi Dalem Prajurit Wirabraja.
  2. Abdi Dalem Prajurit Dhaeng
  3. Abdi Dalem Prajurit Patangpuluh
  4. Abdi Dalem Prajurit Jagakarya
  5. Abdi Dalem Prajurit Prawiratama
  6. Abdi Dalem Prajurit Nyutra
  7. Abdi Dalem Prajurit Ketanggung
  8. Abdi Dalem Prajurit Mantrijero
  9. Abdi Dalem Prajurit Bugis
  10. Abdi Dalem Prajurit Surakarsa
  11. Abdi Dalem Prajurit Langenhastra
  12. Abdi Dalem Prajurit Somaatmaja
  13. Abdi Dalem Prajurit Jager
  14. Abdi Dalem Prajurit Suranata
  15. Abdi Dalem Prajurit Suragama

Akhir riwayat

sunting

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Pada tahun 1950 secara resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kesultanan Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta

sunting
 
Pendapa Museum Hamengku Buwono IX di Keraton Yogyakarta.

Istana atau Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dirancang sendiri oleh Sultan Hamengkubuwana I saat mendirikan Kesultanan. Keahliannya dalam bidang arsitektur antara lain dihargai oleh Dr. Pigeund dan Dr. Adam, yaitu para peneliti berkebangsaan Belanda. Bagian-bagian keraton adalah

(1) Kompleks Alun-alun Lor yang terdiri dari sub kompleks: Gladhak-Pangurakan, Alun-alun Lor, Masjid Ageng, dan Pagelaran;
(2) Kompleks Siti Hinggil Lor;
(3) Kompleks Kamandhungan Lor;
(4) Kompleks Sri Manganti;
(5) Kompleks Kedhaton yang terdiri dari sub kompleks: Pelataran Kedhaton, Kasatriyan, Kaputren, dan Karaton Kilen;
(6) Kompleks Kamagangan;
(7) Kompleks Kamandhungan Kidul;
(8) Kompleks Siti Hinggil Kidul; dan
(9) Kompleks Alun-alun Kidul dan Plengkung Nirbaya.

Keraton Yogyakarta Ngayogyakarta Hadiningrat selain merupakan kediaman resmi Sultan, saat ini juga berfungsi sebagai salah satu cagar budaya masyarakat Jawa. Sebagai pusat budaya, keraton sering melaksanakan kegiatan-kegiatan budaya dan merupakan salah satu tujuan pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sering didatangi para wisatawan dalam dan luar negeri.

Masalah suksesi Kraton

sunting

Sultan Hamengkubuwana X menghadapi persoalan terkait penerusnya karena tidak memiliki putra. Masalah ini mengemuka ketika terjadi pembahasan Raperda Istimewa tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sampai Sultan HB X secara mendadak mengeluarkan Sabdatama pertama[24] pada 6 Maret 2015. Dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta Pasal 18 ayat (1) huruf m disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi gubernur DIY adalah "menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak;" yang dianggap hanya memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk menjadi kandidat Sultan selanjutnya.

Sabdaraja

sunting

Pada tanggal 30 April 2015, Sri Sultan Hamengkubuwana X mengeluarkan sabdaraja pertama kalinya yang berisikan lima poin sebagai berikut.[25][26][27]

  • Perubahan gelar. Buwono (Buwana) diubah menjadi Bawono (Bawana).
  • Gelar Khalifatullah dihapuskan, serta penambahan frasa Suryaning Mataram.
  • Kaping sadasa diubah menjadi Kasepuluh.
  • Pengubahan perjanjian antara Ki Ageng Giring dengan pendiri Mataram, Ki Ageng Pamanahan.
  • Keris Kyai Kopek disempurnakan menjadi Keris Kyai Jaka Piturun.[28]

Gelar baru Sultan setelah sabdaraja, yaitu: Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama. [29][30]

Dhawuhraja

sunting

Pada tanggal 5 Mei 2015, Sultan mengeluarkan dhawuhraja kedua kalinya yang berisikan salah satu putri pertamanya, GKR Pembayun diangkat menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram

Kejadian ini menuai kontroversi dari keluarga Kraton. Anak dan adik-adik Sultan berziarah makam di Pemakaman Imogiri dengan tujuan meminta maaf kepada leluhur keluarga raja-raja Mataram terkait Sabdaraja tersebut.[31]

Ngudar sabda

sunting

Pada tanggal 31 Desember 2015, Sri Sultan Hamengkubuwana X mengeluarkan ngudar sabda sebagai berikut:[32]

  • Ngudar sabda adalah berdasarkan perintah dari Allah subhanahu wa ta'ala.
  • Pewaris tahta tidak bisa diturunkan kecuali putra/inya.
  • Siapa pun yang tidak menuruti perintah raja akan dicabut gelar dan kedudukannya.
  • Siapa pun yang tidak sependapat dengan pernyataannya dipersilakan pergi dari Bumi Mataram.

Daftar raja-raja kesultanan Yogyakarta

sunting

Daftar raja-raja Yogyakarta

Nama
Jangka hidup
Awal memerintah
Akhir memerintah
Keterangan
Keluarga
Gambar
Hamengkubuwana I
  • Pangeran Mangkubumi
  • Bendara Raden Mas Sujono
(1717-08-06)6 Agustus 1717 – 4 Maret 1792(1792-03-04) (umur 74) 1755 1792  
Hamengkubuwana II
  • Sultan Sepuh
  • Gusti Raden Mas Sundoro
(1750-03-07)7 Maret 1750 – 3 Januari 1828(1828-01-03) (umur 77) 1792 1810  
Hamengkubuwana III
  • Gusti Raden Mas Surojo
(1769-02-20)20 Februari 1769 – 3 November 1814(1814-11-03) (umur 45) 1810 1811  
Hamengkubuwana IV
  • Sinuhun Seda Besiyar
  • Gusti Raden Mas Ibnu Jarot
(1804-04-03)3 April 1804 – 6 Desember 1823(1823-12-06) (umur 19) 1814 1822  
Hamengkubuwana V
  • Gusti Raden Mas Gathot Menol
(1820-01-24)24 Januari 1820 – 5 Juni 1855(1855-06-05) (umur 35) 1822 1826  
Hamengkubuwana VI
  • Sinuhun Mangkubumi
  • Gusti Raden Mas Mustojo
(1821-08-10)10 Agustus 1821 – 20 Juli 1877(1877-07-20) (umur 55) 1855 1877 Hamengkubuwana V, abang  
Hamengkubuwana VII
  • Sultan Sugih
  • Gusti Raden Mas Murtejo
(1839-02-04)4 Februari 1839 – 30 Desember 1931(1931-12-30) (umur 92) 1877 1921  
Hamengkubuwana VIII
  • Gusti Raden Mas Sujadi
(1880-03-03)3 Maret 1880 – 22 Oktober 1939(1939-10-22) (umur 59) 1921 1939  
Hamengkubuwana IX
  • Gusti Raden Mas Dorojatun
(1912-08-12)12 Agustus 1912 – 2 Oktober 1988(1988-10-02) (umur 76) 1939 1988  
Hamengkubawana X
  • Bendara Raden Mas Herjuno Darpito
2 April 1946 (umur 78) 1988 masih menjabat  

Peristiwa penting

sunting

Abad ke-18

sunting
  • 1749, 12 Desember, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja Mataram oleh pengikutnya dan para bangsawan senior dari Surakarta dengan gelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
  • 1750, RM Said (MN I) yang telah menjadi perdana menteri P Mangkubumi menggempur Surakarta.
  • 1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
  • 1754, Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
  • 1755, 13 Februari, Perjanjian Palihan Nagari di desa Giyanti. P Mangkubumi mengambil gelar baru: Sampeyan Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yudonegoro, Gubernur Banyumas, menjadi Pepatih Dalem Danurejo I.
  • 1756, 7 Oktober, Sultan HB I menempati istana barunya yang diberi nama Ngayogyakarta.
  • 1773, Angger Aru-biru yang menjadi acuan dalam peradilan yang pertama disahkan.
  • 1774, Putra mahkota (kelak HB II) menulis buku Serat Raja Surya yang kemudian menjadi pusaka.
  • 1785, Perbentengan besar bergaya di sekeliling istana dibangun secara mendadak dan diselesikan dalam 2 tahun.
  • 1792, HB I wafat. Sultan HB II berusaha mengabaikan control VOC.
  • 1799, Danurejo I wafat dan diganti cucunya dengan gelar Danurejo II.

Abad ke-19

sunting
  • 1808, 28 Juli, Daendels mengeluarkan peraturan baru tentang penggantian residen dengan minister dan perubahan kedudukannya yang sejajar dengan Sultan dan Sunan.
  • 1810, Awal prahara politik Yogyakarta yang akan berlangsung sampai 1830. HB II menolak mentah-mentah kebijakan Daendels mengenai perubahan kedudukan minister. Danurejo II dipecat dan digantikan oleh Notodiningrat (PA II). Atas tekanan Daendels Danurejo II mendapatkan kembali kedudukannya. 31 Desember Daendels memberhentikan HB II dengan kekuatan militer dan mengangkat putra mahkota menjadi HB III serta merampas kekayaan istana.
  • 1811, Daendels menghapus uang sewa pesisir yang menjadi pemasukan keuangan negara. September/Oktober, HB II merebut kembali takhtanya. HB III dikembalikan dalam posisi putra mahkota. Oktober Danurejo II dibunuh di istana. Sindunegoro (Danurejo III) menjadi Pepatih Dalem.
  • 1812, 18 Juli-20 Juli, Kolonel Gillespie memimpin pasukan Inggris menyerang Yogyakarta. HB II dimakzulkan dan dibuang ke Penang (wilayah Malaysia sekarang). 1 Agustus, HB III menandatangani perubahan pemerintahan dan demiliterisasi birokrasi kerajaan.
  • 1813, 13 Maret, Notokusumo diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam yang mengepalai sebuah principality yang terlepas dari Yogyakarta. Sindunegoro diganti oleh Bupati Jipan yang bergelar Danurejo IV.
  • 1814, Sultan HB III wafat, putra mahkota yang masih berusia 9/10 tahun diangkat menjadi HB IV. PA I yang tidak disukai oleh istana ditunjuk Inggris menjadi wali sampai 1821.
  • 1816, Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kepada Hindia Belanda.
  • 1817, 6 Oktober Kitab Angger-angger sebagai Kitab Undang-undang Hukum (KUH) ditetapkan bersama Yogyakarta dan Surakarta.
  • 1823, HB IV dibunuh oleh seorang agen Belanda. Putra mahkota yang masih berusia 3(4) diangkat menjadi HB V. Sebuah dewan perwalian yang terdiri atas Ibu Suri, Nenek Suri, P. Mangkubumi, P Diponegoro dan Danurejo IV dibentuk.
  • 1825, Belanda menyerang kediaman P Diponegoro mengawali perang Jawa 1825-1830. Banyak bangsawan Yogyakarta mendukung P Diponegoro.
  • 1826, HB II dipulangkan dari Ambon untuk meredakan perang namun tidak membawa hasil.
  • 1828, HB II wafat, HB V kembali diangkat di bawah dewan perwalian baru.
 
Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1830 (berwarna hijau dan berada di sebelah selatan)
  • 1830, Akhir perang Diponegoro. Seluruh Mancanegara Yogyakarta dirampas Belanda sebagai pertanggungjawaban atas meletusnya perang. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta. 24 Oktober, HB V meratifikasi Perjanjian Klaten.
  • 1831, 11 Juni Perubahan struktur peradilan Kesultanan Yogyakarta.
  • 1848, Peraturan yang mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan di tetapkan.
  • 1855, HB V wafat. Adiknya diangkat menjadi HB VI.
  • 1867, Gempa besar menghancurkan bangunan penting.
  • 1877, HB VI wafat digantikan putranya HB VII.
  • 1883, Seorang pangeran dari Yogyakarta berupaya memberontak dan gagal.

Abad ke-20

sunting
  • 1904, Hindia Belanda mengambil alih penguasaan dan pengelolaan atas hutan di wilayah Kesultanan.
  • 1908, 20 Mei, Budi Utomo didirikan oleh Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, seorang pegawai kesehatan.
  • 1912, 18 November, Muhammadiyah didirikan oleh Mas Ketib Amin Haji Ahmad Dahlan, seorang Imam Kerajaan.
  • 1915, APBN Kesultanan Yogyakarta mulai dipisah menjadi dua APBN.
  • 1916, Pengadilan Bale Mangu dihapus oleh Hindia Belanda.
  • 1917, Pengadilan Pradoto dihapus oleh Hindia Belanda.
  • 1918, Perubahan hak atas tanah di wilayah Kesultanan.
  • 1921, Sultan HB VIII bertakhta. Kesultanan Yogyakarta memiliki dua APBN.
  • 1922, Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang kerabat Pakualaman.
  • 1933, 30 November, Danurejo VIII dilantik menggantikan Danurejo VII.
  • 1940, 18 Maret, Sultan HB IX menandatangani Kontrak Politik terakhir dengan Hindia Belanda.
  • 1942, Maret, Jepang datang. 1 Agustus, Sultan HB IX diangkat menjadi Koo atas Yogyakarta Kooti.
  • 1943, Sultan membentuk Paniradya untuk mengurangi kekuasaan Pepatih Dalem.
 
Peta tahun 1945
  • 1945, 15 Juli, Danurejo VIII diberhetikan karena pensiun. 1 Agustus, Restorasi HB IX. 5 September, Kesultanan Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia. 30 Oktober, HB IX dan PA VIII menyerahkan kekuasaan legeslatif kepada BP KNID Yogyakarta.
  • 5 September: Amanat Sultan HB X bahwa Negeri Ngajogyokarto Hadinigrat adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
  • 1946, 4 Januari, kedudukan Pemerintah Indonesia dipindah ke Yogyakarta atas jaminan kesultanan. 18 Mei, Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Kesultanan dan Pakualaman.
  • 1947, Pengadilan Darah Dalem dihapus oleh Pemerintah Indonesia.
  • 1950, 4 Maret, Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi, dan mulai berlaku pada 15 Agustus.
  • 1965, 1 September, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  • 1988, Sultan HB IX wafat.
  • 1989, Pangeran Mangkubumi (BRM Herjuno Darpito) diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono X.
  • 1998, Sultan Hamengku Buwono X ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Abad ke-21

sunting
  • 2012, Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta disahkan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dikembalikan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  • 2015, krisis suksesi yang notabene merupakan urusan internal Kraton memuncak, hingga akhirnya Sultan mengeluarkan Sabdaraja yang berisi perubahan gelar Sultan menjadi Hamengkubawana X. Selain itu, juga mengangkat putri sulungnya sebagai putri mahkota dengan gelar GKR Mangkubumi.

Glosarium

sunting
  • ISKS: Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan.
  • Karaton: Istana, tempat kedudukan Parentah Lebet dan tempat tinggal raja dan keluarganya.
  • Koo: Penguasa atas daerah dengan status Kooti
  • Kooti: Daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang tunduk kepada Kekaisaran Jepang.
  • Kutagara: lihat Nagari
  • Kuta nagara: lihat Nagari
  • Manca nagara: Teritori/negara asing yang ditaklukkan oleh raja dan menjadi wilayah kerajaan paling luar yang diperintah oleh para bupati (Gubernur) yang ditunjuk oleh raja atau mantan penguasa daerah yang telah tunduk.
  • Nagara Agung: Teritori yang mengelilingi teritori Nagari, tempat tanah lungguh pejabat kerajaan.
  • Nagari: Teritori ibu kota, tempat kedudukan Parentah Jawi dan tempat kediaman para pangeran dan pejabat tinggi kerajaan.
  • Parentah Ageng Karaton: Pemerintahan Istana (Imperial House) yang bertugas mengkoordianasikan semua bagian pemerintahan dalam istana.
  • Parentah Jawi: Pemerintahan yang berpusat di nagari (teritori ibu kota) dan dikepalai oleh Pepatih Dalem.
  • Parentah Lebet: Pemerintahan yang berpusat di karaton (istana) dan dikepalai oleh saudara atau putra Sultan. Lihat Parentah Ageng Karaton.
  • Parentah Nagari: lihat Parentah Jawi.
  • Pepatih Dalem: Perdana menteri, orang kedua setelah Sultan dan Residen/Gubernur Hindia Belanda, bertugas mengurus pemerintahan khususnya Parentah Jawi/Nagari.
  • Pepatih Jawi: Pembantu Sultan untuk mengurus rakyat, mengurus Parentah Nagari, mengurus teritori Manca nagara, dan menjalin hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam perkembangannya disebut dengan Pepatih Dalem.
  • Pepatih Lebet: Pembantu Sultan untuk mengurus keluarga kerajaan dan Parentah Lebet. Dalam perkembangannya jabatan ini dihapus; sebagian kewenangannya diambil oleh Pepatih Dalem dan sebagian lain diserahkan pada saudara atau putra Sultan.
  • Tanah Lungguh: Tanah Jabatan (Appenage Land), tanah yang hasilnya digunakan oleh pejabat sebagai ganti dari gaji bulanan.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Nama resmi ini mengacu pada naskah dalam bahasa Jawa dari Perjanjian Politik 1940. Nama resmi lainnya yang terdapat dalam dokumen resmi adalah Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat (Amanat 5 September 1945), Daerah Kesultanan Yogyakarta (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950)
  2. ^ Kraton Jogja (2023-08-31). "Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng 1 Sura Jimawal 1957 Kembali Diselenggarakan Secara Langsung". 
  3. ^ Pemerintah Daerah DIY (2019-09-01). "5.000 Orang Ikuti Lampah Budaya Mubeng Beteng 2019". 
  4. ^ Kraton Jogja [@kratonjogja] (September 11, 2018). "Sebelum pemberangkatan, nantinya akan dilakukan penyerahan dwaja (bendera) yang terdiri dari bendera Merah Putih, bendera Gula Klapa (bendera Kasultanan), dan klebet Budi Wadu Praja (DI Yogyakarta).#mubengbetengbe1952" (Tweet) – via Twitter. 
  5. ^ Historia (2019-12-31). "Ricklefs yang Tak Sempat Saya Temui". 
  6. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama youtube.com
  7. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama ReferenceA
  8. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama ReferenceB
  9. ^ Sabdacarakatama (2009). Sejarah Keraton Yogyakarta. Penerbit Narasi. ISBN 9789791681049. Diakses tanggal 22 February 2015. 
  10. ^ Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. 1997. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
  11. ^ a b Safitri, Ilmiawati (2019-07-07). "Keraton Yogyakarta Masa Lampau dan Masa Kini: Dinamika Suksesi Raja-Raja Jawa dan Politik Wacana "Raja Perempuan"". Indonesian Historical Studies. 3 (1): 47. doi:10.14710/ihis.v3i1.4850. ISSN 2579-4213. 
  12. ^ Carey 2022.
  13. ^ a b Biografi singkat HB V Diarsipkan 2020-08-07 di Wayback Machine.. Website resmi kraton Yogyakarta. 2019. Diakses tanggal 29/01/2023
  14. ^ a b Tragedi pembunuhan Hamengkubuwana V. tirto.id. 5 Juni 2019. Diakses tanggal 29/01/2023
  15. ^ Sejarah Kotabaru
  16. ^ Biografi singkat HB VII Diarsipkan 2020-08-07 di Wayback Machine.. kratonjogja.id. 2019. Diakses tanggal 29/01/2023
  17. ^ HB VII - Genealogy
  18. ^ Biografi singkat HB VIII Diarsipkan 2020-08-07 di Wayback Machine.. kratonjogja.id. 2019. Diakses tanggal 18/07/2019
  19. ^ Roem et al. 2011, hlm. 37; Suyono & Parera 2015, hlm. 63.
  20. ^ Joyokusumo, 2007
  21. ^ Soedarisman P, 1984
  22. ^ Mulanya terdapat dua pepatih yaitu Pepatih Lebet dan Pepatih Jawi. Dalam perkembangannya Pepatih Lebet dihapuskan dan Pepatih Jawi disebut sebagai Pepatih Dalem.
  23. ^ Prajurit Kraton Yogyakarta: Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta
  24. ^ Kusuma, Wijaya (6 Maret 2015). Wadrianto, Glori K., ed. "Raja Jogja Mendadak Keluarkan Sabdatama". Kompas.com. Kompas.com. Diakses tanggal 6 Maret 2015. 
  25. ^ Wibisono, Gunawan. "Raja Yogyakarta Keluarkan Sabda, Ini Komentar JK". Okezone.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-18. Diakses tanggal 2015-05-05. 
  26. ^ [http://jogja.tribunnews.com/2015/05/02/keluarkan-sabdaraja-nama-sri-sultan-hb-x-akan-berubah#
  27. ^ http://regional.kompas.com/read/2015/05/05/12351791/.Cuma.2.Menit.Apa.Isi.Sabda.Raja.dari.Sri.Sultan.HBX. Kompas: Cuma 2 Menit, Apa Isi Sabdaraja dari Sri Sultan HB X?]
  28. ^ Kedaulatan Rakyat, 2 Mei 2015. Sabdaraja Timbulkan Pro-Kontra
  29. ^ Antara: Sri Sultan Kembali Keluarkan Sabdaraja
  30. ^ Kedaulatan Rakyat, edisi Sabtu, 9 Mei 2015, hal. 8
  31. ^ Anak dan Adik Sultan Ziarah ke Makam Imogiri
  32. ^ http://m.antaranews.com/berita/537654/sultan-hb-x-keluarkan-sabda

Bacaan lanjutan

sunting
  • Chamamah Soeratno et. al. (ed) (2004). Kraton Yogyakarta:the history and cultural heritage (2nd print). Yogyakarta and Jakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing Associations. 979-96906-0-9. 
  • P.J. Suwarno (1994). Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-497-123-5. 
  • S. Margana (2004). Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan The Toyota Foundation. 

Pranala luar

sunting
Didahului oleh:
Kesunanan Surakarta Hadiningrat
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
1755–1813
Diteruskan oleh:
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Kadipaten Pakualaman
Didahului oleh:
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
1813–1950
Diteruskan oleh:
Daerah Istimewa Yogyakarta