Belangkas

hewan artropoda
(Dialihkan dari Kepiting tapal kuda)
Belangkas
Rentang waktu: Ordovisium–sekarang
Limulus polyphemus
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Subfilum:
Ordo:
Superfamili:
Famili:
Limulidae

Leach, 1819 [1]
Genera
Bagian bawah belangkas betina (mintuna)

Belangkas (suku Limulidae) mencakup empat jenis hewan beruas (artropoda) yang menghuni perairan dangkal wilayah paya-paya dan kawasan mangrove. Kesemuanya merupakan anggota suku Limulidae dan menjadi satu-satunya wakil dari bangsa Xiphosurida yang masih sintas di bumi. Cetakan fosil hewan ini tidak mengalami perubahan bentuk berarti sejak masa Devon (400-250 juta tahun yang lalu) dibandingkan dengan bentuknya yang sekarang, meskipun jenisnya tidak sama.

Hewan ini monogamik, sehingga sering dijadikan simbol kelanggengan pasangan suami-isteri. Orang Inggris mengenalnya sebagai horseshoe crab atau "Kepiting tapal kuda" karena bentuknya yang dianggap seperti ladam/ tapal kuda.


Belangkas merupakan satwa dilindungi di Indonesia.[2]

Jenis-jenis

sunting

Perkembangbiakan

sunting

Selama musim kawin (musim semi dan musim panas di Amerika Serikat bagian timur laut; sepanjang tahun di daerah yang lebih hangat atau saat bulan purnama terbit),[3] ikan todak bermigrasi ke perairan pantai yang dangkal. Ekor pedang jantan yang lebih kecil menempel di punggung atau opisthosoma betina yang lebih besar dengan cakar depan yang khusus dan membuahi telur-telurnya saat diletakkan di pasir. Pejantan tambahan, yang disebut "pejantan satelit" yang tidak melekat pada betina, mungkin mengelilingi pasangan dan berhasil membuahi telur.[4] Ikan todak betina muda dapat diidentifikasi dengan tidak adanya bekas luka perkawinan.[5]

Betina dapat bertelur antara 60.000 hingga 120.000 butir telur dalam jumlah beberapa ribu dalam satu waktu. Telur-telur tersebut membutuhkan waktu 20 hingga 30 menit untuk dibuahi. Pada L. polyphemus, telur-telur tersebut membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk menetas; burung-burung pantai memakan banyak telur tersebut sebelum menetas. Larva mengalami mabung sebanyak enam kali selama tahun pertama dan setiap tahun setelah 3-4 tahun pertama.[6][7]

Penangkaran alami kepiting ekor pedang terbukti sulit. Beberapa bukti menunjukkan bahwa perkawinan hanya terjadi di hadapan pasir atau lumpur tempat telur-telur ekor pedang menetas; tidak diketahui secara pasti apa yang ada di dalam pasir yang dapat dirasakan oleh kepiting, atau bagaimana kepiting dapat merasakannya.[8] Untuk mempertahankan pasokan ekor pedang yang berkelanjutan, sebuah pusat penangkaran telah dibangun di Johor, Malaysia, tempat kepiting-kepiting tersebut dapat menetas.

Untuk melestarikan dan memastikan pasokan kepiting ekor pedang yang berkelanjutan, sebuah pusat penangkaran telah dibangun di Johor, Malaysia, tempat kepiting dikembangbiakkan dan dilepaskan kembali ke lautan dalam jumlah ribuan ekor setiap dua tahun sekali. Diperkirakan dibutuhkan waktu sekitar 12 tahun sebelum kepiting-kepiting ini layak untuk dimakan. Untuk menjaga pasokan kepiting pedang yang berkesinambungan, pusat penangkaran telah dibangun di Johor Malaysia.


Dari keempat jenis ini, hanya L. polyphemus yang tidak ditemukan di perairan Indonesia.[9]

Kegunaan

sunting

Esktrak plasma darahnya (Haemocyte lysate) banyak digunakan dalam kajian biomedis dan lingkungan. Di Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang ekstrak darah ini digunakan sebagai bahan pengujian endotoksin serta untuk mendiagnosis penyakit meningitis dan gonore. Serum anti-toksin menggunakan belangkas telah berkembang di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Asia Barat. Warna darah belangkas adalah biru, terbentuk dari senyawa mirip hemoglobin pada manusia, yang disebut hemosianin. Apabila hemoglobin memiliki atom besi sebagai pusat, hemosianin memiliki atom tembaga sebagai pusatnya.

Daging dan telur belangkas bisa dikonsumsi. Masyarakat Melayu di Kota Tinggi, Johor, mengenal masakan asam pedas dan sambal tumis belangkas. Belangkas juga disantap dengan hanya memanggang atau membakar saja. Namun, belangkas menghasilkan sejenis racun yang bisa memabukkan. Hanya bagian tertentu saja boleh dimakan dan hanya seorang yang sudah terbiasa dan ahli saja yang mengetahui cara menyajikan makanan laut belangkas ini dengan aman.

Ada peribahasa dalam masyarakat Jawa yaitu 'mimi-lan-mintuno' yang berarti cinta sejati, karena hewan ini sering kali ditemukan berpasangan.

Referensi

sunting
  1. ^ Kōichi Sekiguchi (1988). Biology of Horseshoe Crabs. Science House. ISBN 978-4-915572-25-8. 
  2. ^ Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (29 Juni 2018). "Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi" (PDF). Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem. Diakses tanggal 18 Januari 2022. 
  3. ^ "Belangkas: Potensi dan Masa Depan". btu.upm.edu.my. Diakses tanggal 2023-09-18. 
  4. ^ "Facts About Horseshoe Crabs and FAQ". myfwc.com. Diakses tanggal 2023-09-18. 
  5. ^ "Horseshoe crab: A biogem of the estuarine ecosystem". medcraveonline.com. Diakses tanggal 2023-09-18. 
  6. ^ "Мечехвост: подводный рыцарь голубых кровей". yavitrina.ru. Diakses tanggal 2023-09-18. 
  7. ^ "The Rabbit and the Horseshoe Crab". www.wakopyrostar.com. Diakses tanggal 2023-09-18. 
  8. ^ "Crab Love Nest". www.scientificamerican.com. Diakses tanggal 2023-09-18. 
  9. ^ Sekiguchi, K. 1988. Ecology. In: Sekiguchi, K. (Ed). Biology of Horse-shoe Crabs. Science House Co. Ltd, Tokyo. pp. 50-68.