Kesultanan Soppeng

Kerajaan Islam di Sulawesi
(Dialihkan dari Kerajaan Soppeng)

Kesultanan Soppeng, dikenal juga sebagai Kerajaan Soppeng dari ca 1550 hingga 1609 (Bugis: ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ ᨑᨗ ᨔᨚᨄᨙ, translit. Akkarungeng ri Soppeng) merupakan sebuah Kedatuan yang terletak di Sulawesi Selatan. Kesultanan Soppeng berpusat di Watansoppeng, Kabupaten Soppeng. Namun sebelum Watansoppeng, Tinco merupakan pusat kerajaannya.[1] Kesultanan Soppeng berdiri antara tahun ca 1550–1957.

Kesultanan Soppeng

Akkarungeng ri Soppeng  (Buginese)
Bendera Kesultanan Soppeng
Bendera Kesultanan Soppeng
Peta Kesultanan Soppeng sekitar tahun 1590 M
Peta Kesultanan Soppeng sekitar tahun 1590 M
Ibu kotaWatansoppeng
Bahasa resmiBahasa Bugis
Agama
Tolotang Towani dan Patuntung (Sebelum 1609) Islam (Setelah 1609)
DemonimTau Soppeng (Bahasa Bugis)
PemerintahanKedatuan
Datu Soppeng 
• 1550s
La Temmamala
• 1601–1609
Beoe
• 1659–1660
La Tenribali
• 1940–1959
H. Andi Wana
Pendirianca 1550
Sejarah 
• Kerajaan Soppeng dibentuk
ca 1550
• Persekutuan Tellumpoccoe dibentuk
1582
• Soppeng menguasai Sidenreng dan Rappang, dan kemudian sungai Cenrana
1591-1593
• Perang Islam terjadi
1608
• Soppeng berubah menjadi negeri bawahan Gowa
1609
• Soppeng berpartisipasi pada Perang Makassar
1660
• Korte Verklaring ditandatangani
1905
• Kesultanan Soppeng berubah menjadi Kabupaten
1957
Luas
 - Total
1,500 km2
Didahului oleh
Digantikan oleh
Kedatuan Soppeng Riaja
Kedatuan Soppeng Rilauq
kslKesultanan
Gowa
Belanda
Indonesia
Sekarang bagian dari Indonesia
(Kabupaten Soppeng)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaaan Soppeng bermula dengan kedatangan To Manurung ri Sekkanyili yaitu La Temmamala dan We Tenripuppu Manurungnge ri GoariE kemudian membentuk kedatuan Soppeng Riaja dan kedatuan Soppeng ri Lau, lalu para pemangku adat sepakat menikahkan mereka, untuk menyatukan dua kerajaan mereka yang berbeda. Sebelumnya, Soppeng dipimpin oleh 60 matoa atau pemuka masyarakat yang berdiri sendiri dan aturannya hanya berlaku untuk kelompoknya sendiri. Antara satu matoa dan matoa lainya tidak tersinergi sehingga terjadi ketidakseimbangan kehidupan sosial masyarakat karena yang kuat menguasai yang lemah atau istilah populernya dalam bahasa bugis, sianre bale taue.

Secara resmi entitas ini disebut sebagai Kesultanan Soppeng, namun terkadang pula disebut sebagai Kedatuan Soppeng atau Kerajaan Soppeng. Dalam Bahasa Bugis, Kesultanan ini disebut Akkarungeng ri Soppeng (ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ ᨑᨗ ᨔᨚᨄᨙ) atau Addatuang ri Soppeng (ᨕᨉᨈᨘᨕ ᨑᨗ ᨔᨚᨄᨙ)[2] (ᨒᨚᨈᨑ ᨔᨚᨙᨄ). Akkarungeng (Bugis: ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ) sendiri merupakan sebuah bentuk pemerintahan atau monarki khas etnis Bugis setara dengan kerajaan yang dikepalai oleh Manurungnge (ᨆᨊᨘᨑᨘ) atau Arung (ᨕᨑᨘ)[butuh rujukan]. Namun pada Sureq La Galigo, ketika I We Cimpau meninggalkan Kerajaan Cina untuk membesarkan anak Sawerigading, La Galigo, I We Cimpau diceritakan untuk berpindah ke Soppeng, yang dimana disebut sebagai "Mario"[3].

Terdapat dua versi akan etimologi dari nama Soppeng. Versi toponimi pertama menyatakan bahwa nama Soppeng berasal dari nama pohon buah Coppeng, yang sering muncul di daerah Soppeng dan juga dipercaya untuk tumbuh di dekat Istana Datu Soppeng. Pada dialek Bugis Soppeng, konsonan "C" pada nama Coppeng berubah menjadi "S", merubah nama Coppeng menjadi Soppeng. Namun, pada versi toponimi kedua menyatakan bahwa nama Soppeng berasal dari dua kata yaitu Sosso(turun) dan Lappeng(nama sebuah tempat). Menurut Sureq La Galigo, Orang-orang Sewo meninggalkan negeri Sewo untuk bermigrasi menuju ke suatu tempat bernama Lappeng, yang terletak di sekitar Istana Datu Soppeng, yang nantinya pula menjadi cikal bakal dari Kerajaan Soppeng Riaja[4].

Bentuk dan Simbol Pemerintahan

sunting

Bentuk pemerintahan

sunting
 
Peta kerajaan Soppeng pada kejayaannya

Kesultanan Soppeng merupakan Kesultanan yang terdiri dari berbagai Wanua (terkadang ditulis sebagai Wanuwa). Wanua sendiri merupakan wilayah ataupun tempat yang dimana manusia tinggal. Caldwell sendiri mendefinisikan wanua sebagai bentuk pemukiman yang dimana populasi manusia tinggal secara berkelompok sesuai dengan identitas budaya, dan dimana setiap individu memiliki hubungan kekerabatan. Namun, wanua seringkali disamakan dengan konsep Kampung atau pedesaan. Wanua sendiri umumnya dipimpin oleh seorang Matoa[5]. Di Soppeng terdapat 60 Wanua yang dibagi menjadi tiga status, yaitu[6]:

  1. Wanua besar (Palili lompo)
  2. Contohnya: Lamuru, Marioriwawo, Goa-goa, Pattojo, Ujumpulu, Lompengeng, Baringeng, Tanatengnga, Appanang, Belo, Ganra, Bakke', Leworeng, Marioriawa, Citta.
  3. Wanua kecil (Palili baiccu')
  4. Contohnya: Jampu, Galung, Gattareng, Bua, Beccoing, Palakka, Umpungeng, Kampiri, Kading, Balosu, kirukiru.
  5. Wanua yang diperintah langsung oleh Datu Soppeng (Wanua Napanoe Rakkalana)
  6. Contohnya: Sompe', Bila, Salotungo, Kubba, Pao, Panincong, Maccope, Maccile, Mangkutu, Akkempeng, Ujung, Cenrana, Pacciro, Awo, Tellang, Pasaka, Kajuara, Areppang, Tinco, Madello Rilau, Tappareng, Botto, Seppang, Pesse, Uncing, Langga, Weccoing, Kulo, Watu Iaia, Ara, Mattobulu, Cirowali, Uddungeng, Maingeng(?), Lisu.

Diantara seluruh 60 Matoa di Soppeng, terdapat tiga Matoa yang secara historis "lebih signifikan", yakni Matoa Botto, Matoa Ujung, dan Matoa Bila. Ketiga Matoa tersebut dipilih oleh Matoa lainnya untuk mewakili 60 Matoa lainnya. Ketiga Matoa tersebut berwenang mengadakan mufakat bersama dalam menjalankan pemerintahan, baik dalam hal yang menyangkut urusan dalam negeri dan urusan luar negeri[butuh rujukan].

Sebelum Kesultanan Soppeng menjadi bagian dari Afdeling Bone, struktur pemerintahan Soppeng antara lain sebagai berikut:

  1. Datu Soppeng
  2. Sulle Datu Soppeng
  3. Arung Bila (tomaccana to Soppeng)
  4. Pa'bicara (Hakim Pengadilan)
  5. Watang Lipu
  6. Matoa (Pemimpin Wanua)

Kesultanan Soppeng pada dasarnya memiliki sistem pemerintahan berupa kedatuan, yang berarti Kesultanan Soppeng dipimpin oleh seorang Datu (alih-alih Arung atau Raja). Sementara disisi lain, Pa'bicara merupakan hakim pengadilan yang menjatuhkan vonis atas kasus-kasus hukum. Segala Pabbicara memiliki bidang tugas yang berbeda—misalnya: Kelautan dan Perikanan, Kehutanan, Ekonomi dan Perdagangan, Pertanian, dan lain-lain[7]. Dan terdapat pula Watang Lipu, yakni Kementerian Pertahanan Kesultanan Soppeng, contoh dari tokoh sejarah Soppeng yang bergelar Watang Lipu adalah Watang Lipu La Palloge[8].

Simbol Kesultanan Soppeng

sunting

Kesultanan Soppeng juga memiliki vexilloid(benda seperti bendera yang digunakan oleh negara, organisasi, atau individu sebagai bentuk representasi selain bendera) berupa spanduk bernama "La Panyannya" yang digunakan untuk merepresentasikan Kedatuan Soppeng Riaja. Kesultanan Soppeng juga memiliki dua bendera utama lainnya yaitu "Bakke' " dan "La Piannyarang" pada Perang Makassar[9][10]. Namun, desain dari bendera tersebut kurang jelas.

 
Spanduk yang digunakan oleh Datu Soppeng Abdul Gani (1865-1895), berdasarkan File:S-datu-baso-batoe-poete-abdul-gani-of-soppeng-1865-1895before-sub-raja-of-mario-ri-wawo.-.jpg

Kesultanan Soppeng juga sempat memiliki panji atau spanduk Datu, yang digunakan oleh Datu Soppeng Abdul Gani dalam periode pemerintahannya.

Sejarah

sunting

Sejarah pembentukan Kerajaan Soppeng

sunting

Pada awalnya, Soppeng merupakan kumpulan wanua-wanua yang masing-masing dipimpin oleh seorang Matoa. Seluruh wanua Soppeng terikat dalam semacam konfederasi bernama Lipu Soppeng (Tanah Soppeng). Lipu Soppeng diperkirakan untuk berdiri pada masa peradaban agraris awal (sekitar abad ke-4 ketika masa prasejarah berakhir) di Tana Soppeng. Namun, Sebagian besar Sulawesi Selatan, termasuk Soppeng, kemudian di kuasai oleh Kedatuan Luwu pada abad ke 9 atau abad ke 10.

Kira-kira pada tahun ca 1125, Kepangeranan Kawu(kira-kira berdiri pada abad ke-11) yang membentang dari Bulumatanre (1000 m di sebelah barat daya dari Watansoppeng) menuju Kahu di Bone, dipimpin oleh Opu Batara Kawu (atau Pangeran Kawu) bernama La Padoma. Namun suatu ketika, Pangeran La Padoma di ditikam menggunakan keris oleh sepupunya (Datu Pattuku) ketika sedang berada di Kahu. Kepangeranan Kawu yang juga memerintah Kerajaan Bulumatanre kemudian berselisih dengan Sewo dan Gattareng, yang kemudian berakhir dengan runtuhnya pemerintahan Kawu. I Mangkawani, sebagai tunangan La Padoma, memutuskan untuk berlayar ke Wajo, Soppeng, dan Bone untuk menyebarkan ilmunya sebelum akhirnya menghilang. Kematian La Padoma kemudian dianggap sebagai pemicu terjadinya masa Sianre Bale Tauwe; masa dimana tidak ada pemerintahan dan hukum, serta masing-masing masyarakat Soppeng saling tidak mempercayai satu sama lain.

Sebelum abad ke-14, terjadi dua periode kedatangan Tomanurung. Pertama, kedatangan Tamboro langit (atau PatotoE) di puncak gunung Latimojong dari Boting-Langi (lapisan langit). Kedua, Kedatangan Batara Guru, sebagai putra dari PatotoE. Kedatangan dari kedua tokoh tersebut tidak diketahui secara pasti. Namun, kedatangan dari Batara Guru dan istrinya (We Nyilittimoq) menandai kedatangannya tau, yakni munculnya tokoh-tokoh lokal di berbagai wilayah di Sulawesi Selatan.

Menuju ke abad ke-14, dikarnakan oleh setiap Matoa Soppeng yang berselisih untuk menjadi pemimpin dari keseluruhan Tana Soppeng, Tana Soppeng kemudian dilanda musim paceklik, menyebabkan terjadinya gagal panen dan kelangkaan makanan. Musim paceklik ini kemungkinan besar berhubungan dengan letusan Gunung Samalas tahun 1257, yang dimana masih berefek ke iklim Asia hingga tahun 1749. Menurut data dari U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Dataran Tinggi Tibet sempat mengalami periode pendinginan yang signifikan dari tahun 1620 hingga tahun 1749. Yang dimana hal ini menunjukkan bahwa dampak dari letusan Gunung Samalas masih berlanjut hingga tahun 1700-an.

Sebelum tahun 1550 (kira-kira pada abad ke-14 atau 1300-an), Kerajaan Cina membentuk perkauman di lembah Walennae. Soppeng Riaja kemudian juga ikut menjadi perkauman dibawah kekuasaan Kerajaan Cina. Perkauman-perkauman Cina yang terletak di Soppeng merupakan: Marioriwawo, Pattojo, Ujumpulu, Lompengeng, Tanah Tengah, Appanang, Belo, Ganra, Bekkeq, Leworeng, Marioriawa, dan Citta. — Perkauman-perkauman Kerajaan Cina di lembah Walennae berperan dalam menjalankan hubungan diplomatik dengan Wanua-wanua Soppeng melalui jalur perkawinan, dimana wanita Soppeng umumnya menikah dengan pria Cina, membentuk hubungan diplomatik antara wanua Soppeng dan Kerajaan Cina.

Pada abad ke-14 (ca tahun 1300), 60 Matoa Soppeng (yang masing-masing memerintah Wanuwa-nya tersendiri) berkumpul untuk bermusyawarah, mendiskusikan mengenai periode paceklik (periode di mana ketersediaan pangan menurun drastis dan dapat menyebabkan kelaparan yang melanda wilayah tertentu) yang terjadi selama 7 tahun, dan untuk mencari solusi dari masalah tersebut agar hujan kembali datang ke negeri Soppeng dan kehidupan masyarakat Soppeng kembali membaik.

Ditengah perbincangan tersebut, para matoa melihat burung kakak tua. Mereka percaya bahwa burung tersebut merupakan petunjuk jalan untuk menemukan seseorang yang sesuai untuk menjadi Datu Soppeng. Ke-60 matoa tersebut pun kemudian memerintah beberapa orang untuk mengikuti burung kakak tua tersebut. Keesokan harinya, orang-orang yang diutus tersebut kemudian menemukan hamparan sawah yang luas dan dipenuhi oleh padi berwarna kuning.

Di sawah tersebut, mereka bertemu dengan La Temmamala To Manurungnge ri Sekkanyili, pria yang dipercaya untuk diturunkan dari langit. Para 60 Matoa Soppeng memohon La Temmamala untuk menjadi pemimpin mereka, kurang lebih percakapan mereka berbunyi :

”Kami telah datang ke sini, O yang diberkahi, untuk memohon belas kasihanmu. Janganlah engkau pergi. Kami menerima engkau sebagai junjungan kami. Engkau melindungi [ladang-ladang kami] dari burung-burung agar kami tidak kekurangan makanan. Engkau menaungi kami agar kami tidak kedinginan, serta [membimbing kami] ke mana pun, dekat maupun jauh. Jika engkau menolak bahkan istri dan anak-anak kami, maka kami pun akan menolak mereka.”

Tuhan kami yang telah turun berkata,

“Bagaimana nanti jadinya, para pemuka, jika aku datang ke Soppeng, sedangkan aku tidak memiliki rumah?”

Enam puluh pemuka(Matoa) itu menjawab serempak,

“Kami akan membangunkan rumah untukmu, O yang diberkahi.”

Tuhan kami berkata,

“Akankah kalian, para pemuka, mengisi rumah itu? Sebab aku tidak memiliki pelayan sendiri.”

Para pemuka(Matoa) itu berkata,

“Kami akan mengirimkan anak-anak dan cucu-cucu kami.”

Tuhan kami yang turun berkata,

“Lalu bagaimana aku akan memberi makan orang-orang di rumahku?”

Para pemuka(Matoa) dari [Soppéng] Barat [dan] Timur menjawab bersama,

“Kami akan pergi dan membuka ladang-ladang.”

Tuhan kami yang turun di Sékkan(y)ili berkata,

“Kalian tidak akan berkhianat kepadaku, bukan? Kalian tidak akan menggulingkanku dengan cara yang tidak adil?”

Mereka pun menjawab dengan tegas,

“Jika engkau menolak bahkan istri dan anak-anak kami, maka kami pun akan menolak mereka.”  

Pada akhirnya, La Temmamala To Manurungnge ri Sekkanyili setuju dan kemudian dilantik sebagai Datu Soppeng pertama dalam upacara pelantikannya di Sekkanyili (±8 km di sebelah barat Watansoppeng). Setelah upacara pelantikannya tersebut terjadi, To Manurungnge ri Sekkanyili kemudian menikah dengan Sepupu sekalinya yang berada di Libureng (GoariE), We Tenripuppu Manurungnge ri GoariE. Namun versi lain menyatakan bahwa To Manurungnge ri Sekkanyili menikah dengan We Mapupu Manurungnge ri Suppa (alih-alih Manurungnge ri GoariE), yang kemudian melahirkan La Maracinna Manurungnge ri Sekkanyili. Pernikahan simbolis ini kemungkinan besar memotivasi masyarakat Soppeng untuk memberontak melawan kekuasaan Kedatuan Luwu—Luwu sebelumnya (sekitar abad ke-9 atau abad ke-10) menguasai berbagai wilayah di Sulawesi Selatan, termasuk Soppeng. Disebutkan bahwa beberapa saat di masa lalu, perwakilan dari Luwu biasanya datang secara berkala untuk memastikan bahwa wilayah Soppeng telah diperintah dengan baik—dan dari pemberontakan tersebut, Kerajaan Soppeng Riaja dan Soppeng Rilauq didirikan pada tahun ca 1300. Dan dari pernikahan tersebut pula, masa Sianre Bale Tauwe berakhir—Diceritakan pula bahwa setelah pelantikannya, para-para Bissu datang ke Tana Soppeng untuk mengantar To Manurungnge ri Sekkanyili ke rumah Matoa Tinco. Disana, beliau dibuatkan Istana di Tinco (disebelah utara Watansoppeng). Bersamaan dengan pembangunan Istana tersebut, sebuah sawah juga dibuat di Lakelluaja.

Silsilah kekerabatan Raja-raja Soppeng menunjukkan bahwa La Temmamala To Manurungnge ri Sekkanyili memerintah selama kurang lebih 50 tahun, sebelum akhirnya digantikan oleh La Maracinna Manurungnge ri Sekkanyili sebagai Datu Soppeng kedua.

Pada tahun 1408, We Tékkawanua Manurungnge ri Sekkanyili diangkat sebagai Datu Soppeng sekaligus Datu Suppaq, menggantikan pendahulunya La Bang (kadang pula di eja sebagai Lamba). Dia memerintah di Kerajaan Soppeng Riaja dan di Kedatuan Suppaq secara bersamaan melalui uni personal. Ia sering disebut sebagai pemimpin yang menganjurkan penduduk perbukitan untuk meluaskan lahan pertanian di sekitar danau Tempe pula. Datu Soppeng Riaja dan Datu Suppaq We Tékkawanua dikenang akan usahanya dalam perluasan lahan pertanian, membentuk ketertiban politik, dan kemakmuran ekonomi. Namun, Ia pada akhirnya digantikan oleh La Makkanengnga pada tahun 1438.

Ditengah abad ke-16, di tengah pemerintahan Datu Soppeng Riaja La Mataesso Puang LipuE PatolaE dan Datu Soppeng Rilauq La Makkarodda Totenribali MabbeluaE, terjadi pertikaian antara persekutuan Soppeng Riaja (Soppeng Riaja bersama sekutunya: Passeppe, Pising, Lawunga, Mattobulu, Ara, Lisu, Lawo, Madello Rilau, Tinco, Cennara, Salokaraja, Malaka, dan Mattoanging) dengan persekutuan Soppeng Rilauq (Soppeng Rilauq bersama sekutunya: Lolloé, Kubba, Panincong, Talagaé Riattassalo, Mangkuttu, Maccile, Watu-watu, dan Akkampeng). Dalam peperangan tersebut, Soppeng Rilauq merasa kewalahan dan dinyatakan untuk kalah di bawah supremasi Kerajaan Soppeng Riaja. — Pada tahun tersebut pula, Kerajaan Cina sedang mengalami kelemahan politik. Kelemahan politik Cina inilah yang kemudian manfaatkan oleh Datu La Mataesso. Datu La Mataesso kemudian merebut wilayah perkauman Kerajaan Cina di lembah Walennae.

Datu La Makkarodda kemudian berangkat ke Tanah Bone untuk meminta bantuan ke keluarga bangsawan Bone. Datu La Mataesso kemudian mengirim utusan untuk memberitahukan Datu La Makkarodda untuk kembali ke Tanah Soppeng dan mengisi pemerintahan Soppeng Rilauq. Namun, Datu La Makkarodda kemudian menolak ajakan utusan tersebut, seperti yang tercermin dari jawabannya yang kurang lebih berbunyi: "Bessing passuka bessing tepa parewekka" (saya keluar dari negeri Soppeng karena tombak, maka saya pun hanya akan kembali kelak dengan tombak pula).

Datu La Makkarodda kemudian mencoba untuk mencari bantuan di Negeri Bone. Namun, tidak ada satupun raja yang bersedia untuk bersekutu dengan Soppeng Rilauq dan memerangi Soppeng Riaja. Maka Datu La Makkarodda kemudian tinggal untuk beberapa saat di Bone dan bahkan menikahi We Tenripakkuwa (saudara raja Bone, La Tenrirawe Bongkange), yang kemudian membentuk hubungan kekeluargaan antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Soppeng Rilauq melalui hubungan perkawinan.

Datu La Mataesso kemudian mengirimkan lagi utusannya untuk kedua kalinya untuk memberitahukan Datu La Makkarodda untuk kembali ke Tanah Soppeng dan mengisi pemerintahan Soppeng Rilauq. Namun ajakan tersebut ditolak kembali oleh Datu La Makkarodda. Namun, pada akhirnya Datu La Makkarodda kemudian berinisiatif untuk melakukan perundingan dengan Datu La Mataesso. Alasan dari tindakan tersebut adalah karena tidak adanya bantuan yang datang dari Kerajaan Bone, dan juga karena Datu La Makkarodda rindu akan keluarga dan Tanah airnya di Soppeng.

Ketika Datu La Makkarodda kembali ke wilayah Soppeng Rilauq, beliau sudah tidak memiliki keinginan untuk berkuasa di Kerajaan Soppeng Rilauq. Pada akhirnya, pada tahun ca 1550, Kerajaan Soppeng Riaja dan Soppeng Rilauq bersatu menjadi satu kerajaan bernama Kerajaan Soppeng dibawah pemerintahan La Mataesso Puang LipuE PatolaE, dengan gelar Datu Soppeng. Kerajaan ini yang merupakan cikal bakal dari Kabupaten Soppeng.

Perang Tellumpoccoe (1582-1609)

sunting
 
Peta kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada Perang Tellumpoccoe

Pada Desember, 1582 penguasa dari Kerajaan Soppeng, Bone, dan Wajo sepakat untuk mengadakan perjanjian di Desa Timurung, pada wilayah kekuasaan Bone (disebut pula sebagai Perjanjian Timurung)[11]. Dalam perjanjian tersebut, terdapat beberapa kesepakatan, yang berbunyi[12]:

  1. Memperingati bagi mereka yang tidak mentaati kesepakatan, saling mengakkan jika ada yang tersungkur dan saling membantu dalam suka duka.
  2. Tidak akan saling mengecilkan peran, tidak akan saling menginginkan perebutan takhta dan penggantian putera mahkota dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri.
  3. Tidak akan putus satu-satu melainkan semua harus putus, perjanjian ini tidak akan batal kerena kita mati dan tidak akan lenyap karena dihanyutkan angin keluar langit, mustahil terjadi. Siapa yang tidak mau diperingati dialah yang harus diserang kita berdua. Walaupun langit runtuh dan bumi terbang. Perjanjian ini tidak akan batal dan disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa (Dewata Seuwae).
  4. Saling menundukkan kerbau yang kuat, saling mematahkan paha, saling mengebirikan kerbau.
  5. Tidak akan saling berebutan harta benda dan berlaku bagi generasi penerus.

Dalam perjanjian tersebut pula mereka mallamung patu (menenggelamkan batu) sebagai penanda sahnya perjanjian tersebut. Namun sebelumnya sempat terjadi percakapan antara ketiga penguasa kerajaan tersebut (Arumpone La Tenrirawe Bongkangnge (Bone), Arung Matowa La Mungkace To Uddamang (Wajo), dan Datu La Mappaleppe Patolae (Soppeng)). Adapun bunyi percakapannya sebagai berikut[13]:

Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arumpone:

”Bagaimana mungkin Arumpone, untuk kita hubungkan tanah kita bertiga, sementara Wajo adalah kekuasaan Gowa. Kemudian kita tahu bahwa antara Bone dengan Gowa juga memiliki hubungan yang kuat ?”

Arumpone menjawab:

”Itu pertanyaan yang bagus Arung Matowa. Tetapi yang menjalin hubungan disini adalah Bone, Soppeng, dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa. Kalau Gowa masih mau menguasai Wajo, maka kita bertiga melawannya”

Pernyataan Arumpone tersebut diiyakan oleh Arung Matowa Wajo. Berkata pula La Mappaleppe PollipuE Datu Soppeng:

”Bagus sekali pendapatmu Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara. Tetapi saya minta agar tanah Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab yang namanya bersaudara, berarti sejajar”

Arumpone menjawab:

”Bagaimana pendapatmu Arung Matowa, sebab menurutku apa yang dikatakan oleh Lamappaleppe PollipuE Datu Soppeng adalah benar?”

Arung Matowa Wajo menjawab:

”Saya kira tanah kita bertiga akan rusak apabila ada yang namanya – sipoana’ (ada yang menganggap dirinya tua dan ada yang muda).”

Berkata lagi Arumpone:

”Saya setuju dengan itu, tetapi tidak apalah saya berikan kepada Soppeng Gowa-gowa dan sekitarnya untuk penambah daki, agar tanah kita bertiga tetap bersaudara. ”

Berkata pula Arung Matowa Wajo:

”Bagus pendapatmu Arumpone, saya juga akan memberikan Soppeng penambah daki yaitu Baringeng, Lompulle dan sekitarnya. ”

Datu Soppeng dan Tau TongengngE berkata:

”Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga telah bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal yang tidak dikehendaki, kita bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki. ”

Berkata Arumpone dan Arung Matowa Wajo:

”Kita bertiga telah sepakat, maka baiklah kita bertiga meneggelamkan batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE, siapa yang mengingkari perjanjiannya dialah yang ditindis oleh batu itu. ”

Berkatalah Arung MatowaE ri Wajo kepada Kajao Laliddong sebagai negarawan dan penasihat Bone:

”Janganlah dulu menanam itu batu, Kajao! Sebab saya masih ada yang akan kukatakan bahwa persaudaraan TellumpoccoE tidak akan saling menjatuhkan, tidak saling berupaya kepada hal-hal yang buruk, janganlah kita mengingkari perjanjian, siapa yang tidak mau diingatkan, dialah yang kita serang bersama (diduai), dia yang kita tundukkan. ”

Sesuai dengan isi percakapan ketiga penguasa tersebut, Arumpone dan Arung Matoa lalu kemudian menyerahkan sebagian daerah kekuasaan mereka kepada Datu Soppeng agar wilayah ketiga Kerajaan tersebut sama besar. Dalam perjanjian tersebut Bone menyerahkan wilayah Goa-goa (Abbanuange), sedangkan Wajo menyerahkan wilayah Baringeng dan Lompulle[14][15]. Dengan dilakukannya perjanjian Timurung, Persekutuan Tellumpoccoe terbentuk diantara Bone-Wajo-Soppeng[16]. Hubungan antara negeri-negeri anggota persekutuan sering digambarkan serupa kakak-beradik; Bone sebagai si sulung, Wajo sebagai saudara tengah, dan Soppeng sebagai bungsunya[butuh rujukan].

Menyikapi terbentuknya Persekutuan Tellumpoccoe, Kesultanan Gowa-Tallo dibawah pimpinan Karaeng Tunijallo melancarkan serangan percobaan ke persekutuan Tellumpoccoe dengan menggempur Wajo pada tahun 1583. Namun serangan tersebut dapat digagalkan oleh pasukan Persekutuan Tellumpoccoe[17]. 2 tahun kemudian Kesultanan Gowa-Tallo mengirimkan beberapa pasukan ke Bone, namun kemudian menariknya kembali sebelum sempat memasuki perbatasan Bone. Alasan penarikan pasukan tersebut masih kurang jelas[butuh rujukan].

Pada tahun 1590, Soppeng menyerang Lamuru (wilayah Kekuasaan Gowa-Tallo). Dengan bantuan sekutu-sekutunya, Soppeng berhasil menaklukkan daerah tersebut dalam satu bulan[18]. Setahun kemudian Soppeng menyerang Konfederasi Ajatappareng (yang merupakan vasal atau negeri bawahan dari Kesultanan Gowa-Tallo). Setelah dua bulan, pasukan Soppeng dan sekutunya berhasil menaklukkan Sidenreng, lalu kemudian Rappang. Kedua kedatuan tersebut kemudian dijadikan sebagai vasal (negeri bawahan) Tellumpoccoe[19].

Pada tahun 1593, Persekutuan Tellumpoccoe menyerang daerah Cenrana, wilayah kekuasaan Luwu (yang sebelumnya direbut dari Bone). Soppeng dengan sekutunya pun berhasil dalam merebut Cenrana kembali[20]. Wilayah tersebut kemudian dikuasai oleh ketiga Kerajaan persekutuan Tellumpoccoe, dengan ketentuan bahwa[21] :

  1. Bone menguasai daerah pantai/pelabuhan.
  2. Wajo menguasai wilayah bumi (dataran Cenrana).
  3. Soppeng menguasai sungai Cenrana.

8 tahun kemudian (pada tahun 1601), Datu La Mappaleppe meninggal dunia. Beliau kemudian digantikan oleh putranya, Beoe[22].

Pada tahun 1606, seorang ulama berdarah Arab-Yunani bernama Syeh Abdul Madjid tiba di Soppeng. Beliau berkeinginan untuk menyebarkan agama Islam ke masyarakat Soppeng setelah mempelajari bahwa masyarakat Bugis di Soppeng belum menganut agama Islam[23].

Pada tahun April 1608, Para penguasa Kesultanan Gowa-Tallo mengajak penguasa Kerajaan-kerajaan Bugis di persekutuan Tellumpoccoe untuk ikut dalam memeluk Islam (seperti Kesultanan Gowa-Tallo dan Kedatuan Luwu). Namun, ajakan ini ditolak oleh para penguasa Persekutuan Tellumpoccoe karena menganggap bahwa ajakan tersebut sebagai strategi Gowa untuk menundukkan mereka. Kemudian, Datu Soppeng (yang saat itu merupakan Datu Beoe) mencoba untuk menyinggung Sultan Gowa dengan memberinya gulungan kapas dan roda putar (dalam maksud untuk menghina kejantanannya). Hal ini pun menyebabkan terjadinya Perang Islam (Musu' Asellenge atau Bundu' Kasalanga) setelah Sultan Alauddin Gowa dan Karaeng Matoaya berangkat memimpin ekspedisi ke Soppeng. Melalui Sawitto, para pasukan Makassar menggempur kerajaan Soppeng[24] beserta negeri bawahannya (Sidenreng dan Rappang). Luwu kemudian bersekutu dengan Gowa-Tallo dan partisipasi dalam perang tersebut[butuh rujukan].

Pada tahun Desember 1608, Kedatuan Rappang (yang merupakan negeri bawahan dari Soppeng) bergabung dengan Kesultanan Gowa-Tallo[25]. Setahun setelahnya pada Februari, Soppeng bersama sekutunya mencoba untuk menyerang Sawitto dan Rappang (Anggota Konfederasi Ajatappareng, dibawah kekuasaan Gowa). Namun Soppeng gagal dalam menguasainya pada perang Padang-padang (Perang Parepare), hal tersebut dikarenakan oleh ketidakkompakan pasukan Tellumpoccoe[26]. Pada april Kesultanan Gowa-Tallo berhasil menggempur Kedatuan Sidenreng (yang merupakan negeri bawahan Soppeng) dan kemudian menaklukkan Kedatuan tersebut[butuh rujukan]. Pada Agutus, Kerajaan Soppeng dan Gowa saling menyerang pada Tanete[butuh rujukan].

Pada bulan Oktober, karna tidak memperoleh bala bantuan dari Bone maupun Wajo, para pasukan Kesultanan Gowa-Tallo berhasil menjebol Watansoppeng (Ibukota Kerajaan Soppeng). Kerajaan Soppeng pun jatuh ke kekuasaan Kesultanan Gowa-Tallo. Datu Beoe kemudian memeluk Islam dan Kerajaan Soppeng dijadikan sebagai vasal (negeri bawahan) dari Kesultanan Gowa-Tallo[27].

Perang Makassar (1660-1667)

sunting

Pada tahun 1660, Tobala' dan penguasa Bugis lainnya memutuskan untuk mengundang Datu Soppeng La Tĕnribali dan beberapa dari pejabat utamanya untuk bertemu di Mampu untuk mendiskusikan mengenai kemungkinan untuk adanya persekutuan antara Bone dan Soppeng. Di tengah perbincangan mereka, Arung Mampu mencoba untuk membujuk anaknya, Datu Soppeng La Tĕnribali, untuk tidak terlalu terburu-buru dalam bersekutu dengan Bone. Arung Mampu memutuskan untuk membujuk Datu Soppeng karena Gowa belum pernah memaksakan peraturan Adat maupun peraturan lain ke Soppeng, menandakan bahwa hubungan antara Soppeng dan Gowa masih baik-baik saja. Arung Mampu juga menambahkan bahwa semenjak terjadinya Perjanjian Lamogo, hubungan antara Soppeng dan Gowa sudah jelas dan baik. Namun, meskipun telah dibujuk oleh Arung Mampu, Datu Soppeng La Tĕnribali sudah yakin untuk bersekutu dengan Arung Palakka dan Arung Bila (Kerajaan Bone). Arung Palakka dan Arung Bila percaya bahwa satu-satu cara untuk Soppeng dan Bone dalam mengalahkan Gowa adalah dengan menghargai Perjanjian Timurung tahun 1582. Terlepas dari protes Arung Mampu, Pincara Lopie ri Atappang (Perjanjian di atas rakit di Atappang) terjadi dengan Datu Soppeng La Tĕnribali dan Arung Bila, mewakili Kesultanan Soppeng, setuju untuk bersekutu dengan Kesultanan Bone[28].

Sepulangnya Datu Soppeng La Tĕnribali ke negeri Soppeng, mereka mengumumkan mengenai perjanjian tersebut. Banyak dari keluarga bangsawan yang menolak persekutuan dengan Bone. Penolakan ini disebabkan oleh Perjanjian Lamogo yang tidak pernah dipatahkan oleh Gowa itu sendiri dan kekuatan Soppeng yang masih kurang kuat bila dibandingkan dengan Kesultanan Gowa-Tallo. Hal ini sempat menyebabkan Keluarga Bangsawan Soppeng untuk terpecah menjadi dua, dengan satu yang takut akan apa yang Gowa akan lakukan ke Soppeng, dan lainnya yang percaya bahwa Kesultanan Soppeng akan bisa dalam melawan hegemoni Gowa. Namun pada akhirnya banyak dari Keluarga Bangsawan Soppeng yang kemudian memutuskan untuk bersekutu dengan Bone[29].

Setelah perjanjian di atas rakit Atappang tersebut disetujui, Kesultanan Soppeng bersekutu dengan Kesultanan Bone dan memberontak melawan hegemoni Kesultanan Gowa-Tallo. Datu Soppeng Lasamampa Petta Janggo Datu Marioriawa Datu Poleana[30] kemudian memimpin perlawanan terhadap Kesultanan Gowa-Tallo bersama dengan para pasukan Soppeng dan Arung Palakka[31].

Di bulan Desember 1660[32], Datu Soppeng La Tenribali dan keluarganya diasingkan oleh Gowa ke kampung Sanrangang bersama dengan bendera Soppeng (Bakke' dan La Piannyarang). Datu Soppeng kemudian ditempatkan dalam pengawasan di kampung tersebut. Pada sepanjang tahun 1660 sendiri, banyak keluarga bangsawan Bugis Soppeng yang melarikan diri setelah mengetahui bahwa Soppeng telah bersekutu dengan Bone. Hal tersebut menyebabkan kurangnya percaya diri dan moral dari para prajurit Soppeng. Namun, pada akhirnya Arung Belo dan Arung Kaju berpulang ke tanah Soppeng setahun kemudian. Kedatangan Arung Belo dan Arung Kaju (yang dimana dianggap telah meninggal) memberikan sedikit harapan ke moral bangsa Soppeng. Berkat ini, Arung Belo dan Arung Kaju kemudian memimpin pemberontakan pada bulan Mei dengan jumlah prajurit yang meningkat dari sebelumnya[33].

Tiga bangsawan Soppeng—Arung Bila, Arung Appanang, dan Arung Belo—meminta izin ke Arung Palakka (Bone) untuk kembali ke Soppeng guna menilai siapa saja yang masih setia kepada mereka dan masih menghargai mereka, yang kemudian disetujui oleh Arung Palakka. Ketiga bangsawan Soppeng tersebut kemudian bermalam di Goa-goa (Abbanuange). Namun, keesokan paginya mereka diberitakan bahwa Raja Sawitto dan pasukannya telah menyerbu Soppeng selama lima hari dan sekarang ditempatkan di masjid utama Soppeng, membakar bangunan-bangunan dan membunuh orang-orang Soppeng. Saat fajar keesokan harinya, ketiga bangsawan Soppeng tersebut, bersama dengan 30 orang terpilih, menyusup masuk ke dalam masjid dan melakukan pembantaian besar-besaran, membunuh para pasukan-pasukan Sawitto[34].

Meskipun Raja Sawitto berhasil melarikan diri, ada lebih dari 100 pasukan Sawitto yan berhasil ditangkap dan dibunuh oleh orang-orang Soppeng. Upacara Aru kemudian dilaksanakan di Pasar rakyat Soppeng, di mana orang-orang bersumpah setia kepada penguasa mereka sambil menari dengan memegang kepala pasukan Sawitto di tangan mereka[35].

Meskipun perjanjian diatas rakit di Atappang telah ditandatangani oleh La Tenribali dan Arung Palakka, Soppeng berpendapat bahwa Bone sudah melanggar inti dari perjanjian tersebut ketika Bone dan Gowa mulai menjalin hubungan diplomatik kecil pada tahun 1660. Soppeng sendiri meminta Arung Palakka untuk memastikan bahwa hal seperti tersebut tidak akan terjadi lagi pada pertempuran ke depannya. Keesokan harinya seluruh Bone dan penguasa negeri bawahannya (Bone lili' passeajingĕng) datang menuju Pattiro sambil membawa spanduk, sementara Arung Palakka dan bangsawan Bone lainnya membawa Standar kerajaan Bone, yaitu Pajumpulawĕng (payung emas). Para prajurit Soppeng juga hadir disana, membawa spanduk Soppeng Riaja (La Panyannya). Disana para bangsawan Bone, Soppeng dan Toangke kemudian bersumpah untuk menjunjungi dan menghargai Perjanjian di atas rakit di Atappang tahun 1660[36].

Pada akhirnya, para pasukan Gowa-Tallo berhasil dikalahkan oleh koalisi Bone-Belanda (dan sekutunya) setelah Makassar berhasil ditaklukkan pada tahun 1667[37]. Perang Makassar tersebut diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Bungaya pada 18 November 1667[38]. Beberapa dari isi perjanjian tersebut adalah[39]:

  1. Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng (La Ténribali) dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
  2. Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.

Sesuai dengan isi perjanjian tersebut, Datu Soppeng La Ténribali beserta rakyat-rakyat Soppeng dibebaskan dari tahanan Gowa. Kesultanan Soppeng dibebaskan dan bukan lagi merupakan negeri bawahan Kesultanan Gowa, melainkan Kesultanan merdeka. Namun, Perang Makassar masih berlanjut. Banyak bangsawan Wajo dan Makassar yang menolak perjanjian Bungaya dan lanjut berperang.

Pada sekitar bulan Juli 1668, Arung Matowa Wajo La Tĕnrilai Tosenngĕng menerima surat dari Sultan Hasanuddin (Gowa). Dalam surat tersebut Sultan Hasanuddin mengatakan bahwa tanpa bantuan Wajo, Kesultanan Gowa-Tallo akan dalam keadaan yang "menyedihkan". Surat tersebut juga mendesak Kerajaan Wajo untuk menyerang Soppeng, untuk menarik pasukan Bone menjauh dari Segeri dan wilayah sekitarnya, sehingga dapat meringankan tekanan yang dilalui oleh pasukan Gowa. Permintaan tersebut kemudian disetujui oleh Arung Matowa Wajo La Tĕnrilai Tosenngĕng[40].

Pada tahun 1668, sebelum bulan Agustus, menanggapi permintaan dari Tosa'dêng, Belanda kemudian mengerahkan kapal Meliskerk ke Tanete. Kapal tersebut ditetapkan di lepas pantai Tanete, bersiap untuk mengangkut pasukan Soppeng ke lokasi yang telah ditentukan di Maros. Maros sebelumnya telah menyambut delegasi Bugis dengan hangat dan menyatakan kesediaannya untuk bergabung dengan pasukan Bone-Soppeng-VOC melawan Gowa[41].

Dalam sebuah pertemuan dengan lima tokoh terpenting di Maros, delegasi tersebut beritahukan bahwa jika orang-orang Bugis mendarat di teritori Maros, maka pasukan Maros akan mendukung mereka. Namun, Maros mengajukan satu syarat untuk diterimanya kedatangan pasukan Soppeng: orang-orang Bugis tidak boleh menjarah wilayah mereka[42].

Dinamika Politik Pasca Perang Makassar (1670-1830an)

sunting

Pada tahun 1670, Menurut Lontara Sukkuna Wajo, orang-orang Soppeng, Bone, Tanete, dan VOC secara diam-diam memasuki benteng Tosora (di Ibukota Kerajaan Wajo) pada malam hari dengan bantuan orang-orang Limpo Tuwa. Mereka kemudian membakar gedung-gedung penyimpanan mesiu, yang kemudian menyebabkan terjadinya kebakaran dan letusan besar di dalam benteng Tosora. Peristiwa tersebut menyebabkan kematian dari La Tenrilai Tosenngeng bersama 997 pasukannya.

Kira-kira pada tahun yang sama, pemimpin Ajatapparĕng, Arung Bakkĕ mengklaim bahwa ia, secara adat, berhak untuk menguasai Enrekang dan Leta. Soppeng sendiri pada saat itu diharuskan untuk memberikan beberapa distriknya ke Ajatappareng, yang dimana dipandang dengan sangat buruk di Soppeng. Sementara Ajatappareng baru saja menggulingkan Sawitto(yang merupakan sekutu dari Pammana, dengan bantuan Kompeni VOC), sehingga menimbulkan ketegangan antara Datu Pammana dan Ajatappareng. Soppeng dan Pammana sama-sama mencoba menyakinkan Enrekang untuk menolak kekuasaan Arung Bakkĕ. Arung Palakka sendiri menentang keputusan VOC yang lebih memilih Arung Bakkĕ daripada Sawitto. Setelah diyakinkan oleh Datu Pammana dan Datu Soppeng, Enrekang memutuskan menolak menjadi bawahan Ajatappareng. Enrekang berargumen bahwa menurut Perjanjian Enrekang–VOC pada 20 April 1671, Enrekang merupakan negara merdeka dan akan selalu menjadi negara merdeka serta akan selalu menjadi Sekutu VOC. Akibat hal tersebut, terjadi perang antara Leta dengan Enrekang. Enrekang kemudian meminta Arung Palakka untuk menyelesaikan perang tersebut, dan Arung Palakka langsung memutuskan untuk memenangkan penguasa Enrekang. Hal ini disebabkan oleh ketidaksukaan Arung Palakka terhadap Datu Bakkĕ[43].

Pada pertengahan tahun 1737, setelah berbagai konflik dengan Kesultanan Bone, La Maddukelleng (Kerajaan Wajo) dan Kesultanan Bone memutuskan untuk menandatangani perjanjian damai yang mengharuskan Bone untuk menebus segala kerugian yang diderita Wajo akibat penindasan penguasa-penguasa Bone sejak Perang Makassar[44]. Dengan perjanjian tersebut, Wajo berubah menjadi salah satu kerajaan yang sangat berkuasa di Sulawesi Selatan[45]. Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ bahkan menyebutkan bahwa Wajo di akui sebagai pemimpin dari Persekutuan Tellumpoccoe[46]. Dengan kekuatan yang dicapai Wajo pada kala itu, La Maddukelleng sempat menyerukan ekspedisi untuk bersatunya Persekutuan Tellumpoccoe dan Kesultanan Gowa untuk mengusir Belanda dari Makassar. Namun ekspedisi tersebut gagal dikarenakan desersi yang dilakukan oleh sekutu-sekutunya Wajo[47][48].

Tidak jauh setelah La Mappajung Puanna Salowo (Arung Matoa Wajo) dilantik, Kesultanan Bone menyatakan perang terhadap Pénéki (yang merupakan salah satu daerah bawahan Wajo)[49]. Deklarasi perang tersebut disebabkan oleh La Maddukelleng yang menolak untuk menyerahkan putranya yang mencuri kuda milik Arumponé La Temmassongé[50]. Meskipun dengan deklarasi tersebut, Pemerintah Pusat Wajo menolak untuk terlibat ke dalam perang tersebut dan hanya mengirimkan beberapa pasukan ke Pénéki ketika La Maddukelleng sedang terpojok[51]. Pada akhirnya, pada tahun ca 1763 La Maddukelleng diadili oleh Persekutuan Tellumpoccoe. Namun utusan dari setiap kerajaan tidak sepakat mengenai hukuman apa yang akan diberikan kepada La Maddukelleng untuk segala tindak kesalahan yang telah ia lakukan. Pada akhirnya beliau meninggal dunia sebelum sempat diberikan hukuman apapun[52].

Pada 1830-an[53], Sebuah peristiwa perebutan takhta terjadi di wilayah Sidenreng antara La Pangnguriseng dan saudara tirinya La Patongi. Kebanyakan keluarga bangsawan Wajo memutuskan untuk mendukung La Patongi (yang merupakan cucu dari seorang Ranreng Talotenreng)[54]. Namun disisi lain Bone, Soppeng, dan Belanda memihak kepada La Pangnguriseng. Meskipun pada akhirnya La Patongi dikalahkan dan tersingkir, beliau tidak melepaskan klaimnya atas takhta Sidenreng[55]. Perselisihan ini akhirnya membuat pemerintahan Wajo menjadi tidak stabil, menyebabkan para anggota dewan untuk menjadi tidak sepakat dalam memilih Arung Matowa Wajo yang baru[butuh rujukan].

Penandatanganan Korte Verklaring dan perlawanan La Palloge (1905, September–Desember)

sunting

Setelah Kesultanan Gowa dan Bone berhasil ditaklukkan pada tahun 1905, Datu Soppeng We Tenrisui Sitti Zaenab (Ratu) menerima kedatangan C.A. van Leones dengan baik dan terbuka. Sitti Zaenab kemudian setuju untuk menandatangani Korte Verklaring (Deklarasi pendek) bersama dengan Kerajaan Wajo. Sesuai dengan isi perjanjian tersebut, Datu Soppeng Sitti Zaenab setuju untuk menyerahkan seluruh urusan luar negeri Soppeng ke tangan Belanda, Datu Sitti Zaenab juga setuju untuk menjadikan Kesultanan Soppeng sebagai swapraja di bawah pemerintahan Belanda. Datu Sitti Zaenab juga bersumpah bahwa Kesultanan Soppeng akan selamanya setia kepada Belanda, dan bahwa Kesultanan Soppeng akan mematuhi peraturan dan perintah yang diberikan oleh Kerajaan Belanda melalui pemerintah kolonial[56].

Alasan dari keputusan Datu Soppeng St. Zaenab adalah karena beliau khawatir dan ingin menghindari konflik berdarah dengan Kerajaan Belanda yang dianggap jauh lebih kuat. Namun keputusan beliau tidak disukai oleh sebagian besar bangsawan lainnya, terutama menteri pertahanan Soppeng, Watang Lipu La Palloge. La Palloge dan sebagian besar bangsawan lain menganggap keputusan Datu Soppeng St. Zaenab sebagai bentuk pengkhianatan terhadap identitas Soppeng. Penolakan La Palloge sendiri dipengaruhi oleh budaya Bugis "Siri' na pesse", yang merupakan ungkapan dalam bahasa Bugis yang berarti kehormatan, harga diri, atau martabat[57].

Setelah sebagian besar pasukan ekspedisi militer Belanda pimpinan C.A. van Leones meninggalkan Soppeng (untuk menuju ke Pampanua), La Palloge kemudian menjalankan pemberontakan pertamanya. Oleh karna itu, Pemerintah Hindia Belanda mengirim Kapten Kooy dari Wajo ke Soppeng pada awal November. Kapten Kooy kemudian menjalankan operasi militer ke daerah Balusu dan sekitarnya, dan setelahnya terjadilah pertempuran di Lappa Parese selama tiga hari diantara pasukan ekspedisi Belanda dan pasukan Kesultanan Soppeng dibawah pimpinan Baso Balusu Sulle Datu Soppeng. Namun, setelah tiga hari pasukan ekspedisi Belanda memutuskan untuk mundur dan meninggalkan wilayah tersebut. Setelahnya, di Galung LangiE dan Lawo terjadi sebuah pertempuran antara pasukan kapten Kooy dengan pasukan Kesultanan Soppeng dibawah pimpinan Jangko Bauna. Namun, Jangko Bauna kemudian dikalahkan dan mati di dalam pertempuran tersebut[58].

Pada tanggal 5 November, terjadi pertempuran besar diantara pasukan Kapten Kooy dengan Pasukan Kesultanan Soppeng. Kedatuan Sidenreng dan Kerajaan Barru kemudian memutuskan untuk bergabung ke pertempuran tersebut untuk membantu pasukan Soppeng. Pada tanggal 13, pasukan ekspedisi militer Belanda menyerang Bulu Alipeng (di Balusu), menyebabkan terjadinya pertempuran diantara pasukan Soppeng dan pasukan ekspedisi militer Belanda. Pasukan ekspedisi militer Belanda kemudian berhasil merebut gudang mesiu dari pasukan Soppeng lalu kemudian menghancurkan gudang tersebut. Karna hal tersebut, pasukan Kesultanan Soppeng dibawah La Palloge memutuskan untuk menyerah dan mundur ke Palakka. La Palloge kemudian bersembunyi di puncak Umpungeng[59].

Pada bulan Desember, Kapten Kooy memutuskan untuk memerintahkan Ambo Salama mengirimkan surat ke La Palloge dengan maksud untuk mengundang La Palloge untuk turun dari persembunyiannya, agar kemarahan La Palloge dapat diredakan secara diplomatik. Pada akhirnya La Palloge setuju untuk menandatangani gencatan senjata tersebut dengan syarat bahwa[60]:

  1. Beliau diberikan akses untuk mendapatkan senjata
  2. Beliau diberikan seorang pengawal
  3. dan agar diberikannya senjata untuk pengawal beliau

Permintaan tersebut kemudian disetujui oleh kapten Kooy.

Kejatuhan Kesultanan Soppeng (1906–1957)

sunting

Villa Yuliana dibangun di Watansoppeng pada tahun 1905 atas perintah Gubernur Sulawesi Hindia Belanda, C.A. Krosen, dan akhirnya diresmikan pada tahun 1906. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Villa Yuliana digunakan sebagai tempat peristirahatan dan penginapan pejabat pemerintah Hindia Belanda[61]. Berlawanan dengan anggapan umum, Villa Yuliana diresmikan 3 tahun sebelumnya Ratu Juliana dilahirkan[62].

Ditahun yang sama, pihak Belanda memutuskan untuk menjadikan Kesultanan Soppeng sebagai dari Afdeling Bone (bahasa Belanda: Afdeeling Bone) dengan status Onderafdelling Soppeng. Bersamaan dengan hal tersebut, Persekutuan Tellumpoccoe resmi dibubarkan. Pada saat itu, Onderafdelling Soppeng dipimpin oleh seorang Controleur atau Patih, dengan Clerek/Juru Tulis dibawahnya, dan Datu Soppeng di tingkatan ketiga.

Pada tahun tersebut pula Pemerintahan Kolonial Belanda memaksa Datu Soppeng St. Zaenab untuk membebaskan wilayah Balusu (juga dikenal sebagai Soppeng Riaja) dari wilayah kekuasaan Soppeng untuk menjadi kerajaan independen tersendiri. Oleh karna itu, Kerajaan Balusu kembali merdeka pada tahun 1906. Hal ini sendiri mengindikasikan bahwa Kesultanan Soppeng sempat menguasai Kerajaan Balusu sebelum tahun 1906 dan menjadikannya sebagai salah satu wilayah Wanua Napanoe Rakkalana[63].

Pada tahun 1923, pada masa pemerintahan Gubernur A.J.L. Couvreur, Onderafdelling Soppeng diberikan kekuasaan Zelfbestuur(Swapraja). Dengan ketetapan tersebut, Onderafdelling Soppeng dibagi menjadi 7 distrik, yaitu:

  1. Distrik Lalabata
  2. Distrik Lilirilau
  3. Distrik Liliriaja
  4. Distrik Pattojo
  5. Distrik Citta
  6. Distrik Marioriwawo
  7. Distrik Marioriawa

Pada tahun 1940, Haji Andi Wana, dengan gelar Datu Marioriawa, diangkat menjadi Datu Soppeng menggantikan pendahulunya We Tenrisui Sitti Zaenab[64].

Pada tahun 1951, Gubernur Sulawesi, Sudiro, mengeluarkan Keputusan Gubernur No. 618 Tahun 1951 mengenai diubahnya Onderafdelling menjadi Kewedanaan. Sesuai dengan keputusan tersebut Onderafdelling Soppeng berganti menjadi Kewedanaan Soppeng. Pada tanggal 12 Agustus tahun 1952, pemerintah pusat Indonesia mengeluarkan peraturan No. 34 Tahun 1952 mengenai pembubaran wilayah-wilayah Swatantra (daerah dalam suatu negara yang mempunyai pemerintahan sendiri yang bebas daerah lain yang bukan daerah otonomi), termasuk Swatantra/Afdeling Bone.

Pada akhirnya, pada tanggal 13 Maret 1957, sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor P.7/2/24 Tanggal 8 Februari 1957, Kewedanaan Soppeng dibawa pimpinan Haji Andi Wana melepaskan diri dari Afdeling Bone dan bergabung dengan Negara Republik Indonesia sebagai Kabupaten Soppeng. Haji Andi Wana kemudian diangkat menjadi Bupati Soppeng yang pertama[65].

Kebudayaan

sunting

Busana bangsawan Soppeng

sunting

Berdasarkan dari bukti potret Datu Soppeng[66], Datu Soppeng memiliki gaya berpakaian tersendiri. Raja-raja Soppeng pada umumnya menggunakan pakaian berupa Jas Tutu' atau Jas Tutup dengan kain Lipa' Sabbe (Sarung berwarna cerah) dan Pabekkeng (semacam ikat pinggang). Raja-raja Soppeng juga menggunakan penutup kepala berupa Songkok Recca yang terbuat dari anyaman rotan dan benang emas, dan ikat kepala (Pasappu/Patonro) dengan warna terang. Sementara para Ratu Soppeng pada umumnya menggunakan Baju Bodo dengan kain Lipa' Sabbe bermotif Balo Renni yang berwarna terang. Sementara di bagian kepala, Ratu Soppeng pada umumnya menggunakan jilbab segitiga berwarna cerah dan sejenis topi jerami berukuran besar.

Disisi lain, putri mahkota di Soppeng, terutama yang berada di Marioriawa, juga memiliki gaya berpakaian tersendiri. Para putri mahkota Marioriawa umumnya mengenakan Baju Bodo berwarna hijau[butuh rujukan]</nowiki> bermotif bunga kotak-kotak. dengan berbagai perhiasan emas seperti anting-anting, cincin, gelang, dan kalung bermotif bunga[67].

Keagamaan

sunting

Kerajaan Soppeng pada awalnya, seperti kerajaan lain, merupakan kerajaan yang beragama Tolotang[68]. Namun di karenakan kekalahan Soppeng pada Perang Islam (Musu' Asellenge atau Bundu' Kasalanga), Datu Soppeng Beoe akhirnya memeluk agama Islam pada tahun 1609[69]. Namun sebelum Datu Soppeng memeluk agama Islam, seorang ulama berdarah Arab-Yunani bernama Syeh, Abdul Madjid tiba di Soppeng pada tahun 1606. Beliau berperan dalam menyebarkan agama Islam di Soppeng sebelum Datu Beoe memeluk agama Islam[70].

Pada tahun 1936, seorang asisten menteri masyarakat adat Indische Kerk membaptis beberapa masyarakat Barru. Dari Barru, agama Kristen menyebar ke tetangganya, Soppeng. Dari tahun 1940 hingga 1942, 800 masyarakat Soppeng telah dibaptis dan memeluk agama Kristen, dan pada tahun 1950 jumlahnya mencapai 1000. Beberapa saat setelahnya, ada sekitar enam dewan gereja setempat yang didirikan[71].

Hubungan luar negeri

sunting

Kesultanan Bone

sunting

 

Sepanjang sejarah Kesultanan Soppeng, hubungan antara Bone dan Soppeng cukup kompleks. Melalui Perjanjian Timurung (1582), Bone dan Soppeng (beserta Wajo) terlibat dalam Persekutuan Tellumpoccoe, Bone juga memberikan daerah Goa-goa (Abbanuange) terhadap Soppeng. Bone dan Soppeng juga terlibat dalam Perang Tellumpoccoe melawan Kesultanan Gowa. Kesultanan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka juga sempat meyakinkan Datu Soppeng La Tenribali untuk bersekutu dengan Bone dalam Perang Makassar. Setelah La Tenribali diasingkan, Datu Soppeng Lasamampa Petta Janggo Datu Marioriawa Datu Poleana ikut bersekutu dengan Kesultanan Bone.

Menurut peta-peta sejarah, sungai Cenrana yang sebelumnya dipegang oleh Soppeng, secara perlahan dialihkan ke tangan Kesultanan Bone. Peta terakhir yang menunjukkan Cronron Roy sebagai bagian dari Soppeng dibuat pada tahun 1752, dan pada abad ke-19 wilayah Cenrana sepenuhnya merupakan wilayah Bone. Pemindahan kekuasaan ini terjadi atas sebab yang tidak diketahui[butuh rujukan].

Hubungan di antara Kesultanan Bone dan Soppeng terus membaik hingga pada akhirnya persekutuan Tellumpoccoe dibubarkan pada tahun 1906 ketika Kesultanan Soppeng digabungkan ke dalam Afdeling Bone sebagai Onderafdeeling Soppeng.

Kerajaan Wajo

sunting

Pada awalnya, hubungan antara Wajo dan Soppeng sangatlah baik. Wajo dan Soppeng terlibat dalam Perjanjian Timurung (1582), dan Wajo bahkan memberikan wilayah Baringeng dan Lompulle ke Soppeng. Wajo juga Bersekutu dengan Soppeng pada perang Tellumpoccoe dalam melawan Hegemoni Kesultanan Gowa-Tallo. Namun, meskipun Persekutuan Tellumpoccoe belum dibubarkan hingga 1906, hubungan antara Soppeng dan Wajo mulai memburuk pada Perang Makassar.

Pada Perang Makassar, Wajo secara aktif berada disisi Kesultanan Gowa-Tallo dan menolak untuk menyerah, bahkan setelah Sultan Hasanuddin menyerah[butuh rujukan]. Pada tahun 1763, Soppeng bersama dengan Bone mengadili La Maddukelleng (mantan Arung Matowa Wajo). Dan pada tahun 1830-an, Soppeng, Bone, dan VOC berpartisipasi ke politik Wajo dengan mendukung La Pangnguriseng sebagai pemegang takhta Sidenreng. La Patongi, yang didukung oleh kebanyakan bangsawan Wajo, berhasil dikalahkan dan tersingkir. Namun, La Patongi tetap tidak melepaskan klaimnya atas takhta Sidenreng.

Daftar Raja/ Datu Soppeng

sunting

Nama-nama Raja yang pernah memerintah di Kerajaan Soppeng

Daftar raja/datu yang pernah memerintah di Kesultanan Soppeng
Nama Gelar Tahun memerintah
La Temmamala Tomanurung ri Sekkanyili Mythos (ca 1300-1350)[72]
La Maracinna 1350–1358[73]
La Bang (Lamba) Datu Soppeng Riaja 1358–1408[74]
We Tekkawanua Datu Soppeng Riaja 1408–1438[75]
La Makkanengnga Datu Soppeng Riaja 1438–1468[76]
La Karella Datu Soppeng Riaja 1468–1500[77]
La Pawiseng Datu Soppeng Riaja 1500–1530[78]
La Pasampoi Datu Soppeng Riaja Akhir abad ke-15
La Mannuga to Wakkareng Datu Soppeng 1534–1556[79]
La Manusa Sorompalie Datu Soppeng Ri Aja Awal abad ke-16
La De Mabolongnge, Baso, Datu Soppeng Ri Aja Awal abad ke-16
La Sekati Mallajangnge Ri Agellang Soppeng Ri Aja Tengah abad ke-16
La Mataesso Puang Lipue Patolae, Pendiri Soppeng Tengah abad ke-16
Kerajaan Soppeng didirikan pada ca 1550
La Temmamala Tomanurung ri Sekkanyili Mythos (ca 1550)
La Mappaleppe Patolae 1580-1601
Beoe Patolae 1601–1620
We Addang Matinroe ri Madello 1620–1654
La Tĕnribali Matinroe ri Riaddatunna 1659[80]–1660
Datu Soppeng La Tĕnribali sedang di dalam pengasingan Desember 1660[81]
Lasamampa Petta Janggo Datu Marioriawa Datu Poleana[82] Datu Marioriawa, Datu Poleana 1660–1666
La Tenri Senge' Toasa Matinroe ri Salassana 1666-1696
La Tĕnribali Matinroe ri Riaddatunna 1667–1676[83]
We Ada' 1676-1696[84]
La Patau’ Matanna Tikka Walinonoé To Tenribali Malaésanra Sultan Muhammad Idris Adzimuddin Ranreng Toa Matinroe Ri Naga Matinroe Ri Beula 1696–1714[85]
La Pada Sejati Matinroe ri Somba Opu 1676–1714(?)
La Mappaselli' Datu Pattojo Abad ke-18
La Pareppa Matinroe ri Beula 1714–1721
La Pada Sejati — Batara ri Toja Matinroe ri Luwu, Matinroe ri Musuna 1721–1727, 1722–1727
La Uddang Ri Lau Matinroe Ri Luwu 1727–1737
Batara Ri Toja Matinroe Ri Mallimongan 1737–1742
La Temma Senge Matinroe Ri Launa 1742–1744
La Tongenge Matinroe Ri Launa 1744–1746
La Mappajanci Daeng Massuro PollipuE Matinroe Ri Launa 1747–1765[86]
La Mappapoleonro, Sultan Nuhun Matinroe Ri Launa 1765–1820[87]
Tenri Awaru Tenri Ampareng Matinroe Ri Barugana 1820–1830[88]
La Unru Matinroe Ri Tengngana Soppeng ? ( ca 1830-1850?)
La Onrong Matinroe Ri Tengngana Soppeng, Datu Lompulle, Matinroe ri Galung 1850-1858
To Lempeng Matinroe Ri Tengngana Soppeng ? ( ca 1850-1878?)
Abdul Gani Baso Batu Pute Matinroe Ri Pakkasaloe 1878–1895
We Tenrisui Sitti Zaenab Matinroe Ri Pakkasaloe 1895–1940
Haji Andi Wana Datu Marioriawa 1940–1957


Persekutuan Tellumpoccoé

sunting

Keadaan politik di Sulawesi Selatan dengan dominasi Gowa pada sekitar akhir abad ke-16, maka pada tahun 1582, Bone, Wajo dan Soppeng menyepakati pakta pertahanan bersama yang dikenal sebagai Perjanjian Timurung. Persekutuan ketiga negeri Bugis ini juga dikenal sebagai Tellumpoccoé ('Tiga Puncak') atau Lamumpatue ri Timurung. Hubungan antara negeri-negeri anggota persekutuan digambarkan serupa kakak-beradik; Bone sebagai si sulung, Wajo sebagai saudara tengah, dan Soppeng sebagai bungsunya. Memasuki awal abad ke.18, Perjanjian Tellumpoccoe tigakali mengalami pembaharuan. Pembaharuan pertama terjadi pada 1708 Masehi. Pembaharuan perjanjian ini tidak diketahui dengan pasti waktu diadakannya dan dalam rangka apa sehingga dilakukan pembaharuan. Pembaharuan kedua adalah terjadi pada 1121 Hijriah, dalam perjanjian ini ikut serta Cenrana dan diadakan di istana Latimojong. Tellumpoccoe kembali memperbaharui perjanjiannya yang ketiga agar tidak saling mencelakai. Secara prinsip, isi dari tiga kali pembaharuan Perjanjian Tellumpoccoe, hanyalah saling mengingatkan saja tentang apa yang telah disepakati oleh leluhur mereka pada waktu yang lalu. Setiap kali pembaharuan perjanjian itu dilakukan biasanya karena terjadi kesalahpahaman di antara mereka (Tellumpoccoe), sehingga untuk mengatasinya agar tidak berlarut-larut maka mereka saling mengingatkan untuk kembali kepada perjanjian Tellumpoccoe.[butuh rujukan]

  • Arung Bila, Tomaccana to Soppeng
  • Lasamampa Petta Janggo Datu Marioriawa Datu Poleana, Datu Soppeng (1660–1666)
  • Watang Lipu La Palloge, Menteri Pertahanan Kesultanan Soppeng
  • La Temmamala, To Manurungnge ri Sekkanyili; Datu mitologis Soppeng (ca 1550)
  • Haji Andi Wana, Datu Soppeng terakhir; Bupati Soppeng pertama (1940–1957, sebagai Datu Soppeng)
  • We Tenrisui Sitti Zaenab, Datu Soppeng (1895–1940)
  • Beoe Patolae, Datu Soppeng pertama untuk diislamkan (1601–1620)

Galeri

sunting

Lihat Pula

sunting

Kesultanan Bone — Salah satu anggota persekutuan Tellumpoccoé.

Kerajaan Wajo — Salah satu anggota persekutuan Tellumpoccoé.

Referensi

sunting
  • Caldwell, I and Kathryn, W. (2017). Finding Cina: A new paradigm for early Bugis history. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 173(2): 296-324.
  • Killa, S. dkk (2018). Soppeng: Dari Tomanurung Hingga Penjajahan Belanda. Pustaka Refleksi, Makassar.
  • Mappangara, S. (2014). Perjanjian Tellumpoccoe Tahun 1582: Tindak-Balas Kerajaan Gowa terhadap Persekutuan Tiga Kerajaan di Sulawesi Selatan. SOSIOHUMANIKA, 7(1) : 43-54.

Pranala luar

sunting

Catatan Kaki

sunting
  1. ^ Jurnal Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya; Universitas Hasanuddin; Akin Duli. (Juni 2019). SITUS TINCO SEBAGAI PUSAT AWAL BERDIRINYA KERAJAAN SOPPENG PRAISLAM. Jurnal Ilmu Budaya. Vol 7, No 1, Hlm 106–113
  2. ^ Lontarak Soppeng [Lontara Soppeng (versi digitalisasi)] (dalam bahasa Bugis). Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 1992. 
  3. ^ Sureq I La Galigo. Perpustakaan Universitas Leiden
  4. ^ Kila, Syahrir (2018). Soppeng: Dari Tomanurung Hingga Penjajahan Belanda. Pustaka Refleksi. hlm. 32-33. ISBN 978-602-5887-04-8. 
  5. ^ Muhlis Hadrawi, Nuraidar Agus (2018). Wanuwa and the Communalism System of Ancient Soppeng: A Manuscript-Based Study. EBSCO Publishing. p.75-76
  6. ^ "Lembah Walennae: Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi Peradaban Soppeng" (PDF). Penerbit Ombak. Diakses tanggal 4 Februari 2025. 
  7. ^ Latif, Abd. (2015). “Concepts of Wanua and Palili: The Buginese Political Geography in Confederation of Ajatappareng in South Sulawesi” in SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Vol.3(1), Maret, pp.1-18. Bandung, Indonesia: Minda Masagi Press and UBD Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, ISSN 2302-5808. Available online also at: http://susurgalur-jksps.com/development-of-language-planning/
  8. ^ "Watang Lipu La Palloge Dalam Menentang Imperialisme Belanda Di Kerajaan Soppeng (1905-1906)" (PDF). Universitas Negeri Makassar. Diakses tanggal 2 February 2025. 
  9. ^ ANDAYA, L. Y. (1981). THE MAKASSAR WAR. In The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (Vol. 91, pp. 73–99). Brill. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4wp.10
  10. ^ Artinya kemungkinan besar berasal dari kata Annyarang, yang dapat diartikan sebagai yang dihormati atau kuda. Sehingga nama "La Piannyarang" kemungkinan besar berarti Sang Kuda atau Yang Dihormati.
  11. ^ Mappangara, S. (2014). Perjanjian Tellumpoccoe Tahun 1582: Tindak-Balas Kerajaan Gowa terhadap Persekutuan Tiga Kerajaan di Sulawesi Selatan. SOSIOHUMANIKA, 7(1) : 46-50
  12. ^ "Kronologis Perjanjian " Tellumpoccoe "". Bugiswarta.com. 2013. Diakses tanggal 31 Januari 2025. 
  13. ^ "Kronologis Perjanjian " Tellumpoccoe "". Bugiswarta.com. 2013. Diakses tanggal 31 Januari 2025. 
  14. ^ Mappangara, S. (2014). Perjanjian Tellumpoccoe Tahun 1582: Tindak-Balas Kerajaan Gowa terhadap Persekutuan Tiga Kerajaan di Sulawesi Selatan. SOSIOHUMANIKA, 7(1) : 46-50
  15. ^ "Kronologis Perjanjian " Tellumpoccoe "". Bugiswarta.com. 2013. Diakses tanggal 31 Januari 2025. 
  16. ^ Mappangara, S. (2014). Perjanjian Tellumpoccoe Tahun 1582: Tindak-Balas Kerajaan Gowa terhadap Persekutuan Tiga Kerajaan di Sulawesi Selatan. SOSIOHUMANIKA, 7(1) : 46-50
  17. ^ Mappangara, S. (2014). Perjanjian Tellumpoccoe Tahun 1582: Tindak-Balas Kerajaan Gowa terhadap Persekutuan Tiga Kerajaan di Sulawesi Selatan. SOSIOHUMANIKA, 7(1) : 51
  18. ^ Mappangara, S. (2014). Perjanjian Tellumpoccoe Tahun 1582: Tindak-Balas Kerajaan Gowa terhadap Persekutuan Tiga Kerajaan di Sulawesi Selatan. SOSIOHUMANIKA, 7(1) : 51
  19. ^ Mappangara, S. (2014). Perjanjian Tellumpoccoe Tahun 1582: Tindak-Balas Kerajaan Gowa terhadap Persekutuan Tiga Kerajaan di Sulawesi Selatan. SOSIOHUMANIKA, 7(1) : 51-52
  20. ^ Mappangara, S. (2014). Perjanjian Tellumpoccoe Tahun 1582: Tindak-Balas Kerajaan Gowa terhadap Persekutuan Tiga Kerajaan di Sulawesi Selatan. SOSIOHUMANIKA, 7(1) : 52
  21. ^ Sritimuryati, Dra. (2013). Kerajaan Soppeng Dalam Tellumpoccoe. De La Macca. hlm. 42. ISBN 978-602-263-017-0 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan). 
  22. ^ Kila, Syahrir (2018). Soppeng: Dari Tomanurung Hingga Penjajahan Belanda. Pustaka Refleksi. hlm. 169. ISBN 978-602-5887-04-8. 
  23. ^ Kila, Syahrir (2018). Soppeng: Dari Tomanurung Hingga Penjajahan Belanda. Pustaka Refleksi. hlm. 77. ISBN 978-602-5887-04-8. 
  24. ^ Kila, Syahrir (2018). Soppeng: Dari Tomanurung Hingga Penjajahan Belanda. Pustaka Refleksi. hlm. 74. ISBN 978-602-5887-04-8. 
  25. ^ Kila, Syahrir (2018). Soppeng: Dari Tomanurung Hingga Penjajahan Belanda. Pustaka Refleksi. hlm. 75-76. ISBN 978-602-5887-04-8. 
  26. ^ Ahmad Yani. “Islamisasi di Ajatappareng Abad XVI-XVII”. Pustaka Jurnal Khazanah Keagamaan. 2020. Hlm. 200
  27. ^ Andi Palloge. Sejarah Kerajaan Tanah Bone: Masa Raja Pertama dan Raja-raja kemudiannya Sebelum Masuknya Agama Islam Sampai Akhir. (Watampone, tanpa penerbit. 1990). Hlm. 63
  28. ^ ANDAYA, LEONARD Y. “ROAD TO CONFLICT.” The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, vol. 91, Brill, 1981, pp. 45–72. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4wp.9. Accessed 31 Jan. 2025.
  29. ^ ANDAYA, LEONARD Y. “ROAD TO CONFLICT.” The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, vol. 91, Brill, 1981, pp. 45–72. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4wp.9. Accessed 31 Jan. 2025.
  30. ^ Biasanya hanya dipanggil Petta Janggo. Nama beliau terkadang dieja dengan cara yang berbeda. Seperti Petta Janggo, Petta Djangko, Petta Jangko, Puang Janggo, dan Datu Poleina. Buku "Potensi Kepurbakalaan Kabupaten Soppeng" memanggil beliau sebagai Petta Janggo, sementara Makam beliau dinamakan "Makam Petta Jangko".
  31. ^ Muhammad Said, Andi (2009). Potensi Kepurbakalaan Kabupaten Soppeng. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. hlm. 25. ISBN none Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  32. ^ "Foucault in Sulawesi: Challenging the Roots of Ethnic Discourse in South Sulawesi" (PDF). Universitas Hasanuddin. Diakses tanggal 3 February 2025. 
  33. ^ ANDAYA, L. Y. (1981). THE MAKASSAR WAR. In The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (Vol. 91, pp. 73–99). Brill. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4wp.10
  34. ^ ANDAYA, L. Y. (1981). THE MAKASSAR WAR. In The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (Vol. 91, pp. 84). Brill. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4wp.10
  35. ^ ANDAYA, L. Y. (1981). THE MAKASSAR WAR. In The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (Vol. 91, pp. 84). Brill. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4wp.10
  36. ^ ANDAYA, L. Y. (1981). THE MAKASSAR WAR. In The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (Vol. 91, pp. 73–99). Brill. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4wp.10
  37. ^ Hägerdal, H. (2021). The Bugis-Makassar Seafarers: Pirates or Entrepreneurs? In H. Hägerdal, S. E. Amirell, & B. Buchan (Eds.), Piracy in World History (pp. 109–128). Amsterdam University Press. https://doi.org/10.2307/j.ctv21r3j8m.8
  38. ^ Ningsih, Widya Lestari (2024). "Perjanjian Bongaya: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya". Kompas.com. Diakses tanggal 1 Februari 2025. 
  39. ^ Ningsih, Widya Lestari (2024). "Perjanjian Bongaya: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya". Kompas.com. Diakses tanggal 1 Februari 2025. 
  40. ^ ANDAYA, L. Y. (1981). THE UNFINISHED WAR. In The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (Vol. 91, pp. 124). Brill. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4wp.12
  41. ^ ANDAYA, L. Y. (1981). THE UNFINISHED WAR. In The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (Vol. 91, pp. 124). Brill. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4wp.12
  42. ^ ANDAYA, L. Y. (1981). THE UNFINISHED WAR. In The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (Vol. 91, pp. 124). Brill. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4wp.12
  43. ^ ANDAYA, L. Y. (1981). CHALLENGE FROM WITHIN. In The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (Vol. 91, pp. 228–242). Brill. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4wp.16
  44. ^ (2018). "La Maddukelleng and civil war in South Sulawesi". Dalam Michael Charney; Kathryn Wellen. Warring societies of pre-colonial Southeast Asia: Local cultures of conflict within a regional context. Studies on Asian Topics. 62. Kopenhagen: NIAS Press. hlm. 57. ISBN 9788776942281.
  45. ^ (2014). The open door: Early modern Wajorese statecraft and diaspora. DeKalb: Northern Illinois University Press. ISBN 9780875807126. hlm. 137
  46. ^ (2018). "La Maddukelleng and civil war in South Sulawesi". Dalam Michael Charney; Kathryn Wellen. Warring societies of pre-colonial Southeast Asia: Local cultures of conflict within a regional context. Studies on Asian Topics. 62. Kopenhagen: NIAS Press. hlm. 57. ISBN 9788776942281.
  47. ^ (2014). The open door: Early modern Wajorese statecraft and diaspora. DeKalb: Northern Illinois University Press. ISBN 9780875807126. hlm. 145-150
  48. ^ Patunru, Abdurrazak Daeng (1983) [1964]. Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. OCLC 215821862. hlm. 62-64
  49. ^ Patunru, Abdurrazak Daeng (1983) [1964]. Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. OCLC 215821862. hlm. 66
  50. ^ (2014). The open door: Early modern Wajorese statecraft and diaspora. DeKalb: Northern Illinois University Press. ISBN 9780875807126. hlm. 155
  51. ^ (2018). "La Maddukelleng and civil war in South Sulawesi". Dalam Michael Charney; Kathryn Wellen. Warring societies of pre-colonial Southeast Asia: Local cultures of conflict within a regional context. Studies on Asian Topics. 62. Kopenhagen: NIAS Press. hlm. 66. ISBN 9788776942281.
  52. ^ (2018). "La Maddukelleng and civil war in South Sulawesi". Dalam Michael Charney; Kathryn Wellen. Warring societies of pre-colonial Southeast Asia: Local cultures of conflict within a regional context. Studies on Asian Topics. 62. Kopenhagen: NIAS Press. hlm. 67–69. ISBN 9788776942281.
  53. ^ (2020). "Of native concerns: Brooke, the Bugis and Borneo". Dalam Ooi Keat Gin. Borneo and Sulawesi: Indigenous peoples, empires and area studies. London: Routledge. hlm. 87. ISBN 9780429430602.
  54. ^ Patunru, Abdurrazak Daeng (1983) [1964]. Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. OCLC 215821862. hlm. 68
  55. ^ 2020). "Of native concerns: Brooke, the Bugis and Borneo". Dalam Ooi Keat Gin. Borneo and Sulawesi: Indigenous peoples, empires and area studies. London: Routledge. hlm. 86–88. ISBN 9780429430602.
  56. ^ "Watang Lipu La Palloge Dalam Menentang Imperialisme Belanda Di Kerajaan Soppeng (1905-1906)" (PDF). Universitas Negeri Makassar. Diakses tanggal 2 February 2025. 
  57. ^ "Watang Lipu La Palloge Dalam Menentang Imperialisme Belanda Di Kerajaan Soppeng (1905-1906)" (PDF). Universitas Negeri Makassar. Diakses tanggal 2 February 2025. 
  58. ^ "Watang Lipu La Palloge Dalam Menentang Imperialisme Belanda Di Kerajaan Soppeng (1905-1906)" (PDF). Universitas Negeri Makassar. Diakses tanggal 2 February 2025. 
  59. ^ "Watang Lipu La Palloge Dalam Menentang Imperialisme Belanda Di Kerajaan Soppeng (1905-1906)" (PDF). Universitas Negeri Makassar. Diakses tanggal 2 February 2025. 
  60. ^ "Watang Lipu La Palloge Dalam Menentang Imperialisme Belanda Di Kerajaan Soppeng (1905-1906)" (PDF). Universitas Negeri Makassar. Diakses tanggal 2 February 2025. 
  61. ^ Hasrianti, Hasrianti (2016). "VILLA YULIANA: BANGUNAN BERARSITEKTUR INDIS DI KABUPATEN SOPPENG, SULAWESI SELATAN". WALENNAE: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan dan Tenggara (dalam bahasa Inggris). 14 (2): 99–110. doi:10.24832/wln.v14i2.380. ISSN 2580-121X. 
  62. ^ Ratu Juliana lahir pada 30 April tahun 1909, sementara Villa Yuliana diresmikan pada tahun 1906. Queen Juliana (1909-2004) Diarsipkan 2007-08-13 di Wayback Machine. at the Dutch Royal House website
  63. ^ Kerajaan Balusu atau Soppeng Riaja sendiri sempat sebelumnya merdeka dari Kerajaan Nepo semenjak abad ke-16. Berarti Kesultanan Soppeng sebelumnya sempat menguasai Kerajaan Balusu. Asba, Rasyid. 2010. Kerajaan Nepo, Sebuah Kearifan Lokal Dalam Sistem Politik Tradisional Bugis di Kabupaten Barru. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  64. ^ "Soppeng di bawah Kepemimpinan Andi Wana". DBS News. 2022. Diakses tanggal 8 Februari 2025. 
  65. ^ "Soppeng di bawah Kepemimpinan Andi Wana". DBS News. 2022. Diakses tanggal 8 Februari 2025. 
  66. ^ Berkas:S-datu-baso-batoe-poete-abdul-gani-of-soppeng-1865-1895before-sub-raja-of-mario-ri-wawo.-.jpg, Berkas:La Patau Matanna Tikka.jpg, dan Berkas:Penandatanganan Korte Verklaring.jpg
  67. ^ Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Dochtertje van de vorst (datu) van Mario-ri-wa met gouden sieraden te Sopeng Zuid-Sulawesi TMnr 10001336.jpg
  68. ^ Agama Tolotang merupakan kepercayaan yang mempercayai adanya seorang Tuhan yang bernama Dewata SeuwaE, yang bergelar PatotoE, didirikan oleh La Panaungi. || name= Panaungi>La panaungi, Pendiri Toani Tolotangrappang.com Diarsipkan 2015-05-03 di Wayback Machine.
  69. ^ Kila, Syahrir (2018). Soppeng: Dari Tomanurung Hingga Penjajahan Belanda. Pustaka Refleksi. hlm. 170. ISBN 978-602-5887-04-8. 
  70. ^ Kila, Syahrir (2018). Soppeng: Dari Tomanurung Hingga Penjajahan Belanda. Pustaka Refleksi. hlm. 77. ISBN 978-602-5887-04-8. 
  71. ^ Aritonang, J. S., & Steenbrink, K. (Eds.). (2008). CHRISTIANITY IN CENTRAL AND SOUTHERN SULAWESI. In A History of Christianity in Indonesia (Vol. 35, pp. 479). Brill. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctv4cbgb1.16
  72. ^ Ambo Asba, Abd. Rasyid, dkk. (2015). SilsiLah KekeRabatan RAJA-RAJA Sulawesi Selatan - Barat. Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-71109-1-5. 
  73. ^ Ambo Asba, Abd. Rasyid, dkk. (2015). SilsiLah KekeRabatan RAJA-RAJA Sulawesi Selatan - Barat. Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-71109-1-5. 
  74. ^ Ambo Asba, Abd. Rasyid, dkk. (2015). SilsiLah KekeRabatan RAJA-RAJA Sulawesi Selatan - Barat. Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-71109-1-5. 
  75. ^ Ambo Asba, Abd. Rasyid, dkk. (2015). SilsiLah KekeRabatan RAJA-RAJA Sulawesi Selatan - Barat. Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-71109-1-5. 
  76. ^ Ambo Asba, Abd. Rasyid, dkk. (2015). SilsiLah KekeRabatan RAJA-RAJA Sulawesi Selatan - Barat. Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-71109-1-5. 
  77. ^ Ambo Asba, Abd. Rasyid, dkk. (2015). SilsiLah KekeRabatan RAJA-RAJA Sulawesi Selatan - Barat. Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-71109-1-5. 
  78. ^ Ambo Asba, Abd. Rasyid, dkk. (2015). SilsiLah KekeRabatan RAJA-RAJA Sulawesi Selatan - Barat. Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-71109-1-5. 
  79. ^ Ambo Asba, Abd. Rasyid, dkk. (2015). SilsiLah KekeRabatan RAJA-RAJA Sulawesi Selatan - Barat. Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-71109-1-5. 
  80. ^ Makmur Makmur, Nurul Adliyah Purnamasari, Laila Abdul Jalil. WALENNAE: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan dan Tenggara 22 (2), 121-140, 2024. Persebaran Batu Nisan Aceh Di Sulawesi Selatan: The Distribution Of Acehnese Tombstone In South Sulawesi. Google Scholar
  81. ^ "Foucault in Sulawesi: Challenging the Roots of Ethnic Discourse in South Sulawesi" (PDF). Universitas Hasanuddin. Diakses tanggal 3 February 2025. 
  82. ^ Muhammad Said, Andi (2009). Potensi Kepurbakalaan Kabupaten Soppeng. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. hlm. 25. ISBN none Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  83. ^ Makmur Makmur, Nurul Adliyah Purnamasari, Laila Abdul Jalil. WALENNAE: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan dan Tenggara 22 (2), 121-140, 2024. Persebaran Batu Nisan Aceh Di Sulawesi Selatan: The Distribution Of Acehnese Tombstone In South Sulawesi. Google Scholar
  84. ^ Hadrawi, Muhlis (2022). "LAKKE'-LAKKENA PUATTA' LA PATAU' MATANNA TIKKA". Lapatau.id. Diakses tanggal 16 Februari 2025. 
  85. ^ Hadrawi, Muhlis (2022). "LAKKE'-LAKKENA PUATTA' LA PATAU' MATANNA TIKKA". Lapatau.id. Diakses tanggal 16 Februari 2025. 
  86. ^ Ambo Asba, Abd. Rasyid, dkk. (2015). SilsiLah KekeRabatan RAJA-RAJA Sulawesi Selatan - Barat. Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-71109-1-5. 
  87. ^ Ambo Asba, Abd. Rasyid, dkk. (2015). SilsiLah KekeRabatan RAJA-RAJA Sulawesi Selatan - Barat. Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-71109-1-5. 
  88. ^ Ambo Asba, Abd. Rasyid, dkk. (2015). SilsiLah KekeRabatan RAJA-RAJA Sulawesi Selatan - Barat. Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-71109-1-5.