Konflik Chad-Libya
Konflik Chad-Libya adalah sebuah konflik militer sporadis di Chad yang berlangsung dari tahun 1978 hingga 1987. Konflik ini adalah konflik yang terjadi antara Libya dan Chad, tetapi Libya sudah melakukan campur tangan dalam urusan dalam negeri Chad sebelum tahun 1978 (bahkan sebelum Muammar al-Gaddafi berkuasa pada tahun 1969, yaitu dari masa ketika Perang Saudara Chad merebak ke kawasan Chad utara pada tahun 1968).[4] Selama konflik ini, Libya melakukan campur tangan sebanyak empat kali di Chad pada tahun 1978, 1979, 1980–1981 dan 1983–1987. Gaddafi telah mendukung beberapa faksi yang berpartisipasi dalam perang saudara, sementara musuh-musuh Libya menerima bantuan dari pemerintahan Prancis. Prancis bahkan melakukan campur tangan militer untuk menyelamatkan pemerintahan Chad pada tahun 1978, 1983 dan 1986.
Konflik Chad-Libya | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Perang Dingin | |||||||||
| |||||||||
Pihak terlibat | |||||||||
Prancis Zaire[2] Didukung oleh: Amerika Serikat[3] Mesir[1] Sudan[1] | |||||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||||
Muammar Gaddafi Massoud Abdelhafid Khalifa Haftar (POW) Abdullah Senussi Ahmed Oun Abu-Bakr Yunis Jabr Abdel Fatah Younis Goukouni Oueddei |
François Tombalbaye Valéry Giscard d'Estaing (1974–1981) Hissène Habré Hassan Djamous François Mitterrand (1981–1987) Idriss Déby Mobutu Sese Seko Ronald Reagan | ||||||||
Korban | |||||||||
7.500+ tewas 1.000+ ditangkap 800+ kendaraan lapis baja 28+ pesawat | 1.000+ tewas |
Pola perang Chad-Libya dari tahun 1978 adalah pemberian bantuan dari Libya berupa kendaraan lapis baja, artileri dan dukungan dari udara, sementara sekutu mereka di Chad-lah yang bertempur langsung di medan perang.[5] Pola ini berubah drastis pada tahun 1986 menjelang akhir perang, ketika sebagian besar pasukan Chad bersatu untuk mengusir Libya dari Chad utara dengan tingkat persatuan yang tidak pernah terlihat sebelumnya di Chad.[6] Akibatnya, pasukan Libya harus berhadapan dengan angkatan darat musuh yang kini memiliki misil anti-tank dan misil anti-udara. Yang terjadi selanjutnya adalah Perang Toyota. Selama perang tersebut, pasukan Libya dapat dikalahkan dan dipukul mundur oleh Chad, sehingga mengakhiri konflik ini.
Alasan keikutsertaan Gaddafi dalam konflik di Chad adalah ambisinya untuk menguasai wilayah Jalur Aouzou, bagian terutara Chad yang diklaim sebagai bagian dari Libya berdasarkan sebuah perjanjian yang belum diratifikasi pada saat periode kolonial.[4] Pada tahun 1972, menurut sejarawan Mario Azevedo, ambisi Gaddafi telah berubah; kini ia menginginkan pendirian negara boneka di bawah Libya, sebuah republik Islam yang didasarkan pada konsep jamahiriya-nya, yang akan membina hubungan dekat dengan Libya. Pada saat yang sama, ia ingin memperkuat kendalinya atas wilayah Jalur Aouzou, mengusir kekuasaan Prancis dari kawasan Chad, dan menggunakan Chad sebagai basis untuk memperluas kekuasaannya di Afrika Tengah.[7]
Peristiwa-peristiwa
Pendudukan Jalur Aozou
Libya mulai ikut campur dalam urusan dalam negeri Chad pada tahun 1968 selama periode Perang Saudara Chad ketika para pemberontak Muslim FROLINAT melancarkan perang gerilya Prefektur BET di daerah utara Chad melawan Presiden Chad, François Tombalbaye yang beragama Kristen.[8] Raja Libya Idris I merasa perlu untuk memberikan bantuan kepada FROLINAT karena hubungan yang erat di antara kedua sisi perbatasan Chad-Libya. Untuk mempertahankan hubungan baik dengan negara yang pernah menjajah Chad, yaitu Prancis, Idris membatasi bantuannya dengan hanya memberikan tempat perlindungan untuk pemberontak FROLINAT dan bantuan logistik, dan juga Idris tidak memberi bantuan berupa senjata.[4]
Namun, semua hal ini berubah setelah terjadinya kudeta pada tanggal 1 September 1969 di Libya. Kudeta ini menjatuhkan Idris, sehingga Muammar al-Gaddafi mulai berkuasa. Gaddafi pun mengklaim Jalur Aouzou di daerah Chad Utara dengan merujuk kepada perjanjian yang belum disahkan dari tahun 1935 oleh Italia dan Prancis (kala itu merupakan penjajah Libya dan Chad).[4] Klaim semacam ini sudah dilayangkan pada tahun 1954, ketika Raja Idris mencoba untuk menduduki Aouzou, tetapi pasukannya dapat dikalahkan oleh tentara Prancis.[9]
Meski mula-mula waspada akan FROLINAT, Gaddafi pada tahun 1970 merasa bahwa organisasi ini berguna untuk kepentingannya. Dengan bantuan negara-negara blok Uni Soviet (terutama Jerman Timur), Gaddafi melatih dan mempersenjatai para pemberontak, dan memberi mereka senjata dan uang.[4][10] Pada tanggal 27 Agustus 1971, Gaddafi berani untuk melakukan kudeta terhadap Tombalbaye, yang hampir saja berhasil. Kudeta ini dilaksanakan akibat kegelisahan Libya, karena pada tanggal 24 Juli, terjadi upaya rekonsiliasi Muslim-Kristen dengan penyerahan separuh kursi kabinet Chad kepada para politikus Muslim. Walaupun ditolak oleh FROLINAT, hal ini dianggap Gaddafi sebagai ancaman terhadap kekuasaannya di Chad.[11]
Pada hari yang sama, Tombalbaye memutuskan hubungan diplomatik dengan Libya, dan mengundang semua kelompok oposisi Libya untuk pergi ke Chad, dan mulai mengklaim wilayah Fezzan berdasarkan "hak-hak historis". Tanggapan Gaddafi secara resmi pada 17 September mengakui FROLINAT sebagai satu-satunya Pemerintahan Chad yang sah, dan pada bulan Oktober, menteri luar negeri Chad, Baba Hassan, di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam "rencana ekspansi" Libya.[12]
Dengan adanya tekanan Prancis terhadap Libya, dan dengan Hamani Diori, Presiden Niger memainkan peran sebagai pelerai, kedua negara melanjutkan hubungan diplomatik pada tanggal 17 April 1972. Tidak lama kemudian, Tombalbaye memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan konon ia telah menyatakan kesediaannya secara rahasia pada 28 November untuk menyerahkan Jalur Aouzou kepada Libya. Sebagai gantinya, Gaddafi akan memberikan 40 juta pound kepada Presiden Chad[13] dan kedua negara menandatangani Perjanjian Persahabatan pada bulan Desember. Gaddafi menarik bantuan kepada FROLINAT dan memaksa pemimpinnya, Abba Siddick, untuk memindahkan bentengnya dari Tripoli ke kota Aljir.[11][14] Hubungan baik dibina untuk tahun-tahun selanjutnya, dan hubungan baik ini ditandai dengan kunjungan Gaddafi ke ibu kota negara Chad, N'Djamena pada Maret 1974,[15] dan pada bulan yang sama, sebuah bank didirikan untuk memberikan kepada Chad dana investasi.[12]
Enam bulan setelah perjanjian pada tahun 1972, pasukan Libya dipindah ke Jalur Aouzou dan mendirikan sebuah lapangan udara yang dilindungi dengan senjata anti-rudal tepat di sebelah utara Aouzou. Pemerintahan sipil yang terikat dengan Kufra didirikan, dan sekitar ribuan penduduk di daerah Aouzou memperoleh kewarganegaraan Libya. Selain itu, juga dibuat peta negara Libya yang baru dan Jalur Aouzou dimasukan ke dalam Libya.[14]
Syarat penyerahan Aouzou secara pasti masih misterius dan diperdebatkan. Keberadaan persetujuan rahasia antara Tombalbaye dan Gaddafi terungkap hanya pada tahun 1988, saat Presiden Libya menunjukkan salinan dari surat yang berisi tentang pengakuan Tombalbaye atas klaim Libya. Namun, beberapa ahli seperti Bernard Lanne membantah dan menyatakan bahwa tidak pernah ada persetujuan resmi apapun, dan Tombalbaye merasa dimudahkan dengan tidak menyebutkan pendudukan sebagian wilayah negaranya. Selain itu, Libya tidak dapat menunjukan salinan asli dari persetujuan pada saat kasus Aouzou dibawa pada tahun 1993 ke Mahkamah Internasional.[14][16]
Merebaknya pemberontakan
Hubungan ini tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 13 April 1975, sebuah kudeta berhasil menggulingkan Tombalbaye, lalu Jendral Felix Malloum mulai berkuasa. Alasan kudeta ini adalah perlawanan terhadap kebijakan Tombalbaye dalam hal hubungan dengan Libya. Gaddafi merasa kudeta ini adalah ancaman terhadap kekuasaannya di Chad dan akhirnya ia melanjutkan bantuannya kepada FROLINAT.[4]
Pada bulan April tahun 1976, terjadi usaha pembunuhan Malloum yang didukung oleh Gaddafi,[11] dan pada tahun yang sama tentara Libya mulai melakukan penyerangan di daerah Chad Tengah, dan tentara Libya bekerja sama dengan pasukan FROLINAT.[5]
Kegiatan Libya mulai membangkitkan kekhawatiran dalam faksi terkuat di dalam tubuh FROLINAT, yaitu CCFAN. Para pemberontak terpecah akibat isu bantuan dari Libya pada bulan Oktober tahun 1976. Sebagian kecil meninggalkan milisi tersebut dan membentuk Dewan Komando Angkatan Bersenjata Utara (FAN) yang dipimpin oleh tokoh anti-Libya Hissène Habré. Sebagian besar bersedia untuk bersekutu dengan Gaddafi, dan mereka dipimpin oleh Goukouni Oueddei. Kelompok ini nantinya mengganti namanya menjadi Angkatan Bersenjata Rakyat.[17]
Pada tahun-tahun ini, kebanyakan bantuan Gaddafi hanya secara moril saja dan senjata yang diberikan terbatas jumlahnya. Hal ini mulai berubah pada bulan Februari tahun 1977, saat Libya memberi pasukan Goukouni ratusan senapan serbu AK-47, lusinan basoka, 81 dan 82mm mortar dan meriam. Dengan menggunakan senjata-senjata ini, Angkatan Bersenjata Rakyat mulai menyerang benteng Angkatan Bersenjata Chad (FAT) di Bardai, Zouar di Tibesti dan Ounianga Kebir di Borkou. Goukouni berhasil menguasai seluruh Tibesti setelah Bardai (yang telah dikepung sejak 22 Juni 1977) menyerah pada tanggal 4 Juli 1977. Zouar sendiri dievakuasi oleh Chad. FAT kehilangan 300 orang, dan beberapa persediaan militer jatuh ke tangan FAT.[18][19] Ounianga diserang pada tanggal 20 Juni 1977, tetapi diselamatkan oleh kehadiran penasehat militer Prancis disana.[20]
Tampak jelas bahwa Libya telah menggunakan Jalur Aozou sebagai basis untuk melakukan intervensi yang lebih mendalam di Chad, sehingga Malloum memutuskan untuk membawa kasus pendudukan Aozou ke PBB dan Organisasi Kesatuan Afrika.[21] Malloum juga membutuhkan sekutu baru, oleh karena itu ia bernegosiasi dengan Habré dan menghasikan persetujuan Khartoum pada bulan September. Persetujuan ini dirahasiakan sampai tanggal 22 Januari 1978, saat sebuah Piagam Fundamental ditandatangani, diikuti dengan pembentukan pemerintahan baru pada tanggal 29 Agustus 1978 dengan Habré sebagai Perdana Menteri.[22][23] Persetujuan Malloum-Habré secara giat dipromosikan oleh Sudan dan Arab Saudi karena keduanya takut bahwa Chad akan dikendalikan oleh Gaddafi. Kedua negara ini merasa bahwa Habré (dengan kesalehannya sebagai seorang Muslim dan sikapnya yang anti-kolonialis) merupakan satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk menggagalkan rencana Gaddafi.[24]
Reaksi Libya
Persetujuan Malloum-Habré dianggap Gaddafi sebagai ancaman serius terhadap pengaruhnya di Chad, dan Libya menanggapinya dengan memperkuat keterlibatan Libya di Chad. Untuk pertama kalinya pasukan Libya melakukan intervensi aktif[5] selama serangan Ibrahim Abatcha yang dilancarkan oleh Angkatan Bersenjata Rakyat pada tanggal 29 Januari 1978 terhadap pos-pos yang dimiliki pemerintah Chad di daerah utara Chad. Pos-pos tersebut adalah Faya-Largeau, Fada dan Ounianga Kebir. Serangan-serangan ini berhasil, sehingga Goukouni dan Libya menguasai seluruh Prefektur BET.[25][26]
Konfrontasi menentukan antara pasukan Angkatan Bersenjata Rakyat Libya dan Angkatan Bersenjata Chad terjadi di Faya-Largeau, ibu kota BET. Kota itu dilindungi oleh 5.000 pasukan Chad, tetapi kota tersebut jatuh pada tanggal 18 Februari 1978 setelah pertempuran sengit yang melibatkan 2.500 pemberontak yang didukung oleh sekitar 4.000 pasukan Libya. Libya tidak berpartisipasi langsung dalam pertempuran; ini adalah pola yang akan terus berulang untuk ke depannya, tetapi Libya masih memberikan kendaraan lapis baja, artileri dan bantuan udara.[5] Pemberontak juga memiliki lebih banyak persenjataan daripada sebelumnya dan mereka bahkan mempunyai misil Strela 2.[27]
Goukouni menangkap sekitar 2.500 tawanan pada tahun 1977 dan 1978, sehingga Angkatan Darat Chad kehilangan sekitar 20% pasukannya.[26] Sementara itu, jumlah anggota Garda Nomaden dan Garda Nasional Chad benar-benar menipis akibat jatuhnya Fada dan Faya.[28] Goukouni memanfaatkan kemenangan ini untuk memperkuat posisinya di FROLINAT (selama kongres yang disponsori Libya yang diadakan pada bulan Maret di Faya, faksi-faksi utama pemberontak kembali bersatu dan mencalonkan Goukouni sebagai sekretaris jenderal FROLINAT).[29]
Reaksi Malloum terhadap serangan Goukouni-Gaddafi adalah dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan Libya pada tanggal 6 Februari 1978 dan melaporkan kepada PBB tentang keterlibatan Libya. Isu tentang pendudukan Jalur Aouzou oleh Libya pun muncul lagi; namun, pada tanggal 19 Februari 1978, setelah jatuhnya Faya, Malloum terpaksa menerima gencatan senjata dan menarik tuntutannya. Gaddafi sendiri menghentikan serangan Goukouni karena mendapat tekanan dari Prancis yang masih menjadi pemasok persenjataan Libya pada masa itu.[25]
Malloum dan Gaddafi kembali membuka hubungan diplomatik pada tanggal 24 Februari 1978 di Sebha, Libya, dalam sebuah konferensi internasional yang dihadiri oleh Presiden Niger Seyni Kountché dan Wakil Presiden Sudan sebagai pelerai. Akibat tekanan dari Prancis, Sudan dan Zaire,[30] Malloum terpaksa menandatangani persetujuan Benghazi pada tanggal 27 Maret 1978 dan ia mengakui FROLINAT. Selain itu, persetujuan ini menyerukan pendirian komite militer gabungan Libya—Niger yang bertugas untuk menerapkan isi persetujuan tersebut. Persetujuan ini juga berisi syarat lain yang penting untuk Libya yang meminta agar semua kehadiran keberadaan Prancis di Chad dihilangkan.[25] Persetujuan yang gagal ini merupakan strategi Gaddafi untuk memperkuat kekuasaannya di Chad dan Goukouni. Perjanjian ini juga melemahkan kewibawaan Malloum di Chad selatan. Mereka menganggap hal ini sebagai bukti kelemahan kepemimpinannya.[30]
Pada tanggal 15 April 1978, beberapa hari setelah gencatan senjata, Goukouni meninggalkan Faya dan menugaskan garnisun yang berjumlah 800 serdadu Libya di sana. Dengan bantuan dari Libya, ia lalu menyerbu ibu kota Chad, N'Djamena.[5][30]
Permintaan kembalinya pasukan Prancis ke Chad telah dilayangkan tahun 1977, setelah serangan pertama Goukouni. Malloum meminta kembalinya militer Prancis, namun Presiden Prancis Valéry Giscard d'Estaing awalnya enggan untuk ikut campur di Chad sebelum diadakannya pemilihan umum legislatif pada bulan Maret tahun 1978, dan juga Prancis takut jika hubungan diplomatik yang menguntungkan dengan Libya terganggu. Pada akhirnya, keadaan di Chad memaksa Presiden Prancis pada tanggal 20 Februari 1978 menjalankan Operasi Tacaud. Pada bulan April, Prancis mengirim sekitar 2.500 pasukan di Chad untuk menyelamatkan ibu kota dari pemberontak.[31]
Pertempuran yang menentukan terjadi di Ati, sebuah kota yang berlokasi 430 kilometer barat daya dari N’Djamena. Garnisun kota yang berjumlah 1.500 tentara diserang pada tanggal 19 Mei 1978 oleh pemberontak FROLINAT, yang dipersenjatai dengan persenjataan modern dan artileri. Garnisun itu diringankan dengan kedatangan bantuan dari pasukan Chad, dan lebih penting lagi, kedatangan Legiun Asing Prancis dan resimen infantri marinir ketiga. Dalam pertempuran yang berlangsung selama dua hari, FROLINAT dapat dipukul mundur dengan korban jiwa yang besar, sebuah kemenangan yang semakin diperkokoh oleh pertempuran di Djedaa pada bulan Juni. FROLINAT mengakui kekalahannya dan mundur ke utara setelah kehilangan 2.000 orang dan meninggalkan persenjataan modern yang mereka bawa. Kunci dalam pertempuran ini adalah keunggulan angkatan udara Prancis karena pilot-pilot Angkatan Udara Libya menolak untuk melawan pesawat-pesawat Prancis.[30][32][33]
Kesulitan Libya
Hanya beberapa bulan setelah FROLINAT mengalami kegagalan di N’Djamena, perselisihan di dalam tubuh kelompok FROLINAT menghancurkan kesatuan FROLINAT serta melemahkan kekuasaan Libya di Chad. Pada malam 27 Agustus 1978, Ahmat Acyl, pemimpin Pasukan Volcan, menyerang Faya-Largeau dengan bantuan pasukan Libya. Serangan ini tampaknya merupakan upaya Gaddafi untuk menyingkirkan Goukouni dari kepemimpinan FROLINAT dan menggantikannya dengan Acyl. Goukouni bereaksi dengan mengusir semua penasihat militer Libya di Chad dan mulai berkompromi dengan Prancis.[34][35]
Pemicu perselisihan antara Gaddafi dengan Goukouni adalah permasalahan etnis dan politik. FROLINAT terbagi di antara orang Arab, seperti Acyl, dan orang Toubou, seperti Goukouni dan Habré. Perbedaan etnis ini juga menggambarkan sikap yang berbeda terhadap Gaddafi dan buku hijaunya. Goukouni dan pengikutnya tidak mau mengikuti permintaan Gaddafi untuk menjadikan buku hijau sebagai peraturan resmi FROLINAT, dan mereka mencoba menunda isu tersebut hingga pergerakan FROLINAT telah sepenuhnya disatukan. Setelah gerakan ini disatukan kembali, Gaddafi kembali menekan mereka untuk menerapkan buku hijau, sehingga muncul pertikaian di dalam tubuh dewan revolusi dan banyak yang menyatakan kesetiaan mereka kepada program FROLINAT yang disetujui pada tahun 1966, ketika Ibrahim Abatcha menjadi sekretaris jendral pertama. Sementara itu, faksi yang lain (termasuk Acyl) secara penuh menganut gagasan Kolonel Gaddafi.[36]
Di N'Djamena, kehadiran dua angkatan bersenjata yang sebaya (FAN yang dipimpin oleh Perdana Menteri Habré dan FAT yang dipimpin oleh Presiden Malloum) memicu pertempuran N'Djamena yang mengakibatkan kerutuhan negara dan bangkitnya elit-elit utara. Insiden kecil mulai membesar pada tanggal 12 Februari 1979 menjadi pertempuran berskala penuh antara pasukan Habré dan Malloum, dan pertempuran semakin menggelora pada tanggal 19 Februari 1979 ketika tentara Goukouni memasuki ibu kota untuk bertempur bersama Habré melawan FAT. Pada tanggal 16 Maret 1979, ketika konferensi perdamaian internasional pertama diadakan, 2.000 - 5.000 orang terbunuh dan 60.000 - 70.000 terpaksa mengungsi dari ibu kota. Pasukan Chad yang jumlahnya sudah menipis meninggalkan N'Djamena dan kota tersebut jatuh ke tangan pemberontak. Para pemberontak mereorganisasi diri mereka di selatan di bawah kepemimpinan Wadel Abdelkader Kamougué. Selama pertempuran, garnisun Prancis hanya menonton saja dan kadang membantu Habré seperti saat mereka meminta Angkatan Udara Chad untuk menghentikan pengeboman dari udara.[37]
Konferensi perdamaian internasional diadakan di Kano, Nigeria, yang dihadiri oleh negara-negara tetangga Chad dan juga oleh Malloum, Habré dan Goukouni. Persetujuan Kano ditandatangani pada tanggal 16 Maret 1979 oleh semua yang hadir, dan Malloum lalu mengundurkan diri dan digantikan oleh dewan negara di bawah kepemimpinan Goukouni.[38] Hal ini dipicu oleh tekanan dari Prancis dan Nigeria yang ingin agar Goukouni dan Habré berbagi kekuasaan.[39] Prancis menganggap tindakan ini sebagai strategi mereka untuk memutus semua hubungan antara Goukouni dan Gaddafi.[40] Beberapa minggu kemudian, faksi yang sama membentuk Pemerintahan Transisi Persatuan Nasional (GUNT), yang disatukan oleh keinginan bersama untuk mengusir Libya dari Chad.[41]
Walaupun sudah menandatangani persetujuan Kano,[42] Libya murka karena GUNT tidak memasukkan pemimpin dari pasukan Volcan dan tidak mengakui klaim Libya atas Jalur Aouzou. Semenjak 13 April 1979, militer Libya sudah cukup aktif di Chad utara dan mereka juga memberikan dukungan kepada gerakan separatis di selatan. Namun, mereka baru menanggapi secara serius setelah tanggal 25 Juni 1979 dengan melayangkan sebuah ultimatum yang meminta pembentukan pemerintahan yang baru dan lebih inklusif. Pada tanggal 26 Juni 1979, 2.500 tentara Libya menyerang Chad dan bergerak menuju kota Faya-Largeau. Pemerintah Chad lalu meminta bantuan dari Prancis. Pasukan Libya pada awalnya dihalangi oleh milisi Goukouni, dan lalu dipaksa mundur oleh pesawat pengintai dan pengebom Prancis. Pada bulan yang sama, faksi-faksi yang tidak diikutsertakan dalam pemerintahan GUNT mendirikan pemerintahan tandingan di Chad utara yang disebut Front untuk Aksi Gabungan Sementara (FACP).[39][41][43]
Sebuah konferensi perdamaian kembali diadakan di Lagos, Nigeria, pada bulan Agustus akibat perang melawan Libya, boikot ekonomi oleh Nigeria dan tekanan internasional. Sebelas faksi yang ada di Chad turut serta dalam konferensi ini. Persetujuan Lagos ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1979. GUNT yang baru dibentuk dan terbuka untuk semua faksi. Tentara Prancis meninggalkan Chad dan digantikan dengan pasukan perdamaian multinasional Afrika.[44] GUNT yang baru mulai bertugas pada bulan November, dengan Goukouni sebagai Presiden, Kamougué sebagai Wakil Presiden, Habré sebagai Menteri Pertahanan[45] dan Acyl sebagai Menteri Luar Negeri.[46] Walaupun melibatkan Habré, Gaddafi merasa puas dengan jumlah orang-orang pro-Libya yang dilibatkan dalam pemerintahan GUNT.[47]
Intervensi Libya
Dari awal Habré sudah mengisolasi dirinya dari anggota GUNT lainnya. Ia juga dibenci oleh anggota GUNT lainnya. Sifat Habré yang bermusuhan dengan Libya ditambah dengan ambisi dan kekejamannya membuat para pengamat menyimpulkan bahwa sang pemimpin perang sepertinya hanya akan puas dengan jabatan tertinggi. Terdapat keyakinan bahwa konfrontasi bersenjata antara Habré dan faksi pro-Libya akan terjadi, khususnya konflik antara Habré melawan Goukouni.[45]
Seperti yang telah diduga, bentrok di ibu kota antara FAN yang dipimpin oleh Habré dan kelompok-kelompok pro-Libya secara perlahan semakin menguat. Pada akhirnya, pada tanggal 22 Maret 1980, sebuah insiden kecil (seperti pada tahun 1979) memicu pertempuran N'Djamena kedua. Dalam waktu sepuluh hari, perselisihan antara FAN melawan Angkatan Bersenjata Rakyat Goukouni (keduanya memiliki sekitar 1.000 - 1.500 pasukan di kota tersebut) telah menelan ribuan korban jiwa dan pengungsian sekitar setengah populasi ibu kota. Beberapa pasukan Prancis yang tersisa (sebagian besar sudah meninggalkan Chad pada tanggal 4 Mei 1980) menyatakan netral; sikap yang sama diambil oleh pasukan perdamaian dari Zaire.[48][49]
FAN mendapat bantuan ekonomi dan militer dari Sudan dan Mesir, sementara Goukouni menerima bantuan dari FAT yang dipimpin oleh Kamougué dan CDR yang dikepalai oleh Acyl serta bantuan artileri Libya. Pada tanggal 6 Juni 1980, FAN mengambil alih kekuasaan kota Faya. Peristiwa ini membuat Goukouni gelisah, sehingga ia menandatangani perjanjian persahabatan dengan Libya pada tanggal 15 Juni 1980. Perjanjian itu memberikan izin kepada Libya untuk bebas bertindak di Chad dan melegitimasi intervensi Libya di negara tersebut. Pasal pertama perjanjian tersebut juga menegaskan komitmen pertahanan bersama di antara Chad dan Libya dan menyatakan bahwa ancaman terhadap salah satu akan dianggap sebagai ancaman terhadap keduanya.[49][50]
Semenjak bulan Oktober, tentara Libya yang dipimpin oleh Khalifa Haftar and Ahmed Oun dikirim ke Jalur Aouzou lewat udara dan beroperasi bersama dengan pasukan Goukouni untuk menduduki kembali kota Faya. Kota ini lalu digunakan sebagai tempat pengumpulan tank, artileri dan kendaraan tempur lapis baja yang bergerak kearah selatan menuju ibu kota Chad, N'Djamena.[51]
Serangan dimulai pada tanggal 6 Desember 1980 yang dipimpin oleh oleh tank T-54 dan T-55 buatan Uni Soviet dan dikoordinasi oleh penasihat militer dari Uni Soviet dan Jerman Timur. N'Djamena jatuh pada tanggal 16 Desember 1980. Pasukan Libya yang berjumlah sekitar 7.000 sampai 9.000 orang dan paramiliter legiun Islam Pan-Afrika, 60 tank, dan kendaraan tempur lapis baja lainnya, telah diterbangkan sejauh 1.100 kilometer dari perbatasan selatan Libya, sebagian diangkut lewat udara atau dengan menggunakan transporter tank dan sebagian dengan tenaga mereka sendiri. Perbatasan selatan Libya sendiri terletak sekitar 1.000 sampai 1.100 kilometer dari pangkalan militer utama Libya di pesisir Laut Tengah.[51] Intervensi Libya menunjukkan sebuah kemampuan logistik yang mengesankan, dan merupakan kemenangan militer pertamanya dan pencapaian politik Gaddafi yang penting.[52]
Walaupun ia telah dipukul mundur hingga ke pengasingan dan pasukannya dibatasi di zona perbatasan Darfur, Habré tetap berpendirian teguh. Pada tanggal 31 Desember 1980, ia mengumumkan di Dakar bahwa ia akan meneruskan perang gerilya melawan GUNT.[49][52]
Mundurnya Libya
Pada tanggal 6 Januari 1981, Gaddafi dan Goukouni mengeluarkan pengumuman resmi di Tripoli yang menyatakan bahwa Libya dan Chad telah memutuskan "untuk berupaya mencapai persatuan penuh di antara kedua negara". Rencana penyatuan ini memicu perlawanan di Afrika dan langsung dikutuk oleh Prancis. Pada tanggal 11 Januari 1981, Prancis menawarkan penguatan garnisun Prancis di negara-negara Afrika yang bersahabat dengan Prancis, dan pada tanggal 15 Januari armada laut Prancis di Laut Tengah disiagakan. Libya membalasnya dengan mengeluarkan ancaman embargo minyak, sementara Prancis mengancam akan bereaksi jika Libya menyerang negara tetangga lainnya. Persetujuan ini juga ditentang oleh semua menteri GUNT yang hadir bersama dengan Goukouni di Tripoli (kecuali Acyl).[46][53]
Banyak pengamat berkeyakinan bahwa Goukouni menerima persetujuan tersebut akibat gabungan ancaman, tekanan yang kuat dan bantuan finansial yang dijanjikan oleh Gaddafi. Sebelum mengunjungi ibu kota Libya, Goukouni telah mengirim 2 panglima besarnya ke Libya untuk melakukan konsultasi. Di Tripoli, Goukouni diberitahu oleh Gaddafi bahwa kedua orang ini telah dibunuh oleh "para pembangkang Libya", dan ia harus menerima rencana penyatuan jika ia tidak mau kehilangan kekuasaannya.[54]
Akibat perlawanan yang dihadapi oleh Gaddafi dan Goukouni, mereka mencoba menyatakan bahwa yang dimaksud adalah "penyatuan" bangsa dan bukan negara, dan hal tersebut diklaim sebagai langkah awal menuju kerjasama yang lebih erat. Namun, reputasi Goukouni sebagai seorang negarawan dan nasionalis sudah terlanjur rusak.[46]
Goukouni mencoba menanggapi tekanan internasional dengan menyatakan bahwa pasukan Libya berada di Chad atas permohonan pemerintah Chad, dan para penengah internasional sebaiknya menerima keputusan pemerintahan Chad yang sah. Dalam pertemuan yang diadakan pada bulan Mei, Gokouni menyatakan bahwa mundurnya pasukan Libya dari Chad bukan prioritas, tetapi ia akan menerima keputusan Organisasi Kesatuan Afrika. Goukouni pada saat itu tidak dapat menolak bantuan militer Libya karena ia membutuhkan bantuan tersebut untuk melawan FAN yang dipimpin oleh Habré, apalagi FAN sendiri didukung oleh Mesir dan Sudan dan mendapat dana dari CIA lewat Mesir.[55]
Hubungan antara Goukouni dan Gaddafi mulai memburuk. Tentara Libya ditugaskan di berbagai tempat di Chad utara dan tengah dengan jumlah yang mencapai sekitar 14.000 tentara pada bulan Januari - Februari 1981. Tentara Libya membuat kesal banyak pihak di GUNT karena telah mendukung faksi Acyl dalam perselisihan dengan milisi-milisi lainnya, termasuk bentrok dengan Angkatan Bersenjata Rakyat yang terjadi pada akhir bulan April. Terdapat juga usaha untuk melibyanisasi penduduk setempat, yang membuat banyak orang menyimpulkan bahwa "penyatuan" bagi Libya berarti Arabisasi dan penyebaran budaya politik Libya, khususnya penyebaran gagasan yang terkandung di dalam Buku Hijau.[56][57][58]
Di tengah perselisihan yang terjadi antara Legiuner Islam Gaddafi melawan pasukan Goukouni pada bulan Oktober serta rumor bahwa Acyl merencanakan kudeta untuk menguasai kepemimpinan GUNT, pada tanggal 29 Oktober 1981 Goukouni meminta mundurnya pasukan Libya dari wilayah Chad. Ia meminta agar pasukan Libya mundur dari wilayah ibu kota paling tidak pada tanggal 31 Desember 1981. Ia juga ingin agar pasukan Libya digantikan oleh pasukan dari Organisasi Kesatuan Afrika yang disebut "Pasukan Inter-Afrika" (IAF). Gaddafi menuruti permintaan ini dan pada tanggal 16 November semua pasukan Libya meninggalkan Chad dan kembali ditugaskan di di Jalur Aouzou.[57][58]
Keputusan Libya untuk mundur mengejutkan banyak pengamat. Salah satu alasannya adalah karena Gaddafi ingin menjadi tuan rumah konferensi Organisasi Kesatuan Afrika pada tahun 1982 dan mengambil alih jabatan kepresidenan Organisasi Kesatuan Afrika. Alasan lain adalah kesulitan yang dihadapi oleh Libya di Chad. Tanpa dukungan rakyat Chad dan dunia internasional, Libya tidak dapat mengambil risiko perang melawan Mesir dan Sudan yang didukung oleh Amerika. Gaddafi masih tetap memiliki ambisi di Chad, tetapi ia perlu mencari pemimpin baru di Chad karena Goukouni terbukti tidak dapat dipercaya.[58][59]
Habré merebut N'Djamena
Komponen pertama IAF yang tiba di Chad adalah pasukan payung Republik Demokratik Kongo yang diikuti oleh pasukan Nigeria dan Senegal, sehingga jumlah pasukan IAF mencapai 3.275 orang. Sebelum pengiriman pasukan penjaga perdamaian diselesaikan, Habré mencoba memanfaatkan situasi ketika pasukan Libya mundur dari Chad dan ia melancarkan serangan besar-besaran di Chad timur, termasuk kota penting Abéché yang jatuh pada tanggal 19 November 1981.[60] Setelah itu, pada awal bulan Januari 1982, Oum Hadjer juga jatuh. Kota ini hanya terletak sejauh 160 km dari Ati, yang merupakan kota besar terakhir yang memisahkan pasukan Habré dengan N'Djamena. GUNT sempat diselamatkan oleh IAF setelah mereka berhasil mempertahankan Ati.[61]
Akibat serangan yang dilancarkan oleh Habré, Organisasi Kesatuan Afrika meminta GUNT untuk memulai perundingan rekonsiliasi dengan Habré, tetapi permintaan tersebut ditolak oleh Goukouni dengan nada penuh amarah.[62] Nantinya ia berkata:
Organisasi Kesatuan Afrika telah menipu kami. Keamanan kami sepenuhnya dijamin oleh tentara Libya. Organisasi Kesatuan Afrika telah menekan kami untuk mengusir Libya. Sekarang ketika mereka telah pergi, organisasi telah meninggalkan kami sembari memaksakan penyelesaian dengan Hissein Habre kepada kami[63]
Pada bulan Mei 1982, FAN memulai serangan terakhir dan tidak dihalangi oleh penjaga perdamaian di Ati dan Mongo.[63] Penolakan IAF untuk melawan Habré membuat Goukouni murka, sehingga ia berupaya untuk memulihkan hubungannya dengan Libya dan mendatangi Tripoli pada tanggal 23 Mei 1982. Namun, Gaddafi masih kesal dengan pengalamannya pada tahun sebelumnya, sehingga ia menyatakan kenetralan Libya.[64]
Pasukan GUNT mencoba untuk bertahan di Massaguet yang terletak 80 km di sebelah utara N'Djamena, tetapi mereka dikalahkan oleh oleh FAN pada tanggal 5 Juni 1982 setelah terjadinya pertempuran yang sengit. Dua hari kemudian, Habré memasuki N'Djamena tanpa adanya perlawanan, sehingga ia menjadi pemimpin de facto Chad, sementara Goukouni melarikan diri dari Chad dan mencari perlindungan di Kamerun.[65][66]
Setelah wilayah ibu kota berhasil diduduki, Habré mulai mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan menduduki wilayah Chad yang tersisa. Dalam waktu enam minggu, ia menguasai Chad selatan dan menghancurkan FAT. Kamougué mengharapkan bantuan dari Libya, tetapi harapan tersebut pupus. Satu-satunya wilayah Chad di sebelah selatan Jalur Aouzou yang tidak ditaklukan oleh Habré adalah wilayah Tibesti.[67]
Serangan GUNT
Gaddafi telah menjaga jaraknya dari Chad beberapa bulan sebelum jatuhnya N'Djamena, sehingga Habré pada awalnya ingin mencoba bersepakat dengan Libya (kemungkinan melalui persetujuan dengan Acyl yang tampak siap berdialog). Namun, Acyl meninggal dunia pada tanggal 19 Juli dan digantikan oleh Acheikh ibn Oumar. CDR sendiri tidak menyukai hasrat besar Habré untuk menyatukan Chad.[68]
Sementara itu, Goukouni dapat menghimpun kembali GUNT dengan bantuan Libya. Pada bulan Oktober, ia mendirikan Pemerintahan Perdamaian Nasional di kota Bardaï di Tibesti dan menyatakan pemerintahan ini sebagai pemerintahan yang sah sesuai dengan ketentuan persetujuan Lagos. Untuk pertempuran yang akan datang, Goukouni memiliki 3.000 - 4.000 pasukan yang diambil dari beberapa milisi, yang kemudian digabung dalam Armée Nationale de Libération (ANL) di bawah komando orang dari selatan, Negue Djogo.[69][70]
Sebelum Gaddafi mendukung Goukouni secara penuh, Habré menyerang GUNT di Tibesti, tetapi ia mengalami kekalahan pada bulan Desember tahun 1982 dan pada bulan Januari tahun 1983. Dalam waktu beberapa bulan, bentrok semakin menguat di utara, sementara upaya perundingan mengalami kegagalan. Oleh sebab itu, pada tanggal 17 Maret, Habré membawa konflik ini ke Perserikatan Bangsa Bangsa dan meminta kepada Dewan Keamanan PBB untuk mempertimbangkan "agresi dan pendudukan" Libya di wilayah Chad.[69][71]
Gaddafi kini siap untuk melancarkan serangan. Serangan dimulai pada bulan Juni, ketika 3.000 pasukan GUNT menyerang Faya-Largeau, benteng pemerintahan di utara. Kota ini jatuh pada tanggal 25 Juni dan pasukan GUNT lalu melanjutkan serangan ke Koro Toro, Oum Chalouba dan Abéché. Mereka pun berhasil menguasai jalur utama menuju N'Djamena. Libya membantu GUNT dalam hal perekrutan, pelatihan dan penyediaan artileri berat. Mereka hanya mengirim beberapa ribu pasukan reguler dan sebagian besar di antaranya adalah satuan artileri dan logistik. Hal ini dilakukan karena Gaddafi ingin agar konflik ini tetap dipandang sebagai urusan dalam negeri Chad.[51][65][69]
Komunitas internasional (khususnya Prancis dan Amerika Serikat) bereaksi keras terhadap serangan yang didukung Libya. Pada hari yang sama setelah jatuhnya Faya, Menteri Luar Negeri Prancis, Claude Cheysson memperingatkan Libya bahwa Prancis tidak akan tetap "acuh tak acuh" terhadap intervensi baru Libya di Chad, dan pada tanggal 11 Juli pemerintah Prancis kembali menuduh Libya sebagai pihak yang memberikan dukungan langsung militer terhadap para pemberontak. Pengiriman senjata Prancis dilanjutkan pada tanggal 27 Juni, dan pada tanggal 3 Juli kontingen pertama yang terdiri dari 250 orang Zaire tiba untuk memperkuat Habré. Sementara itu, Amerika Serikat mengumumkan pada bulan Juli bantuan militer dan makanan senilai 10 miliar dolar. Di sisi lain, Gaddafi juga mengalami kegagalan diplomatik di Organisasi Kesatuan Afrika, karena organisasi tersebut secara resmi mengakui pemerintahan Habré dan meminta semua pasukan asing untuk meninggalkan Chad dalam sebuah pertemuan yang diadakan pada bulan Juni.[69][71][72]
Dengan bantuan dari Amerika Serikat, Zaire dan Prancis, Habré dengan cepat mereorganisasi pasukannya (sekarang disebut Angkatan Bersenjata Nasional Chad atau FANT) dan bergerak ke utara untuk menyerang GUNT dan Libya. Mereka bertempur di sebelah selatan kota Abéché. Habré membuktikan kemampuannya dan berhasil menghancurkan pasukan Goukouni. Ia lalu memulai sebuah serangan balasan yang berhasil merebut kembali Abéché, Biltine, Fada dan, pada tanggal 30 Juli, Faya-Largeau.[69]
Operasi Manta
Gaddafi merasa bahwa kehancuran GUNT akan merusak martabatnya. Ia juga khawatir bahwa Habré akan menyediakan bantuan kepada semua oposisi Gaddafi, sehingga ia melancarkan intervensi, terutama mengingat bahwa sekutu Chadnya tidak dapat memperoleh kemenangan tanpa bantuan Libya.[73]
Semenjak jatuhnya Faya-Largeau, kota tersebut menjadi sasaran bombardmen udara yang menggunakan Su-22 dan Mirage F-1 dari lapangan udara Aouzou, bersama dengan pengebom Tu-22 dari Sebha. Dalam waktu sepuluh hari, pasukan darat dalam jumlah yang besar telah dikumpulkan di timur dan barat Faya-Largeau. Pertama-tama pasukan, kendaraan lapis baja dan artileri diangkut lewat udara ke Sabha, Al Kufrah, dan lapangan udara Aouzou, dan lalu dengan jarak yang lebih pendek diangkut oleh pesawat ke daerah konflik. Pasukan Libya yang jumlahnya mencapai 11.000 orang dan 80 pesawat tempur turut serta dalam serangan ke Chad. Namun, peran Libya tetap sama seperti sebelumnya, yaitu memberikan dukungan senjata api (dan kadang-kadang serangan tank) kepada GUNT dalam serangan-serangannya, dan jumlah tentara GUNT sendiri mencapai 3.000 - 4.000 orang.[51][74]
GUNT dan Libya pada tanggal 10 Agustus menyerang oasis Faya-Largeau. Habré telah berkubu dengan sekitar 5.000 tentara di tempat tersebut. Dengan menggunakan peluncur roket, artileri dan tank serta serangan udara berkelanjutan, garis pertahanan FANT dihancurkan ketika GUNT melancarkan serangan terakhir, dan hanya menyisakan 700 pasukan FANT. Habré melarikan diri dengan sisa pasukannya ke ibu kota tanpa dikejar orang Libya.[74]
Tindakan ini ternyata merupakan sebuah kesalahan, karena intervensi baru Libya telah menakutkan Prancis. Habré kembali meminta bantuan militer Prancis pada tanggal 6 Agustus.[75] Prancis (yang juga mendapat tekanan dari Amerika dan Afrika) mengumumkan pada tanggal 6 Agustus bahwa tentara Prancis akan kembali ke Chad sebagai bagian dari Operasi Manta, yang dimaksudkan untuk menghentikan serangan GUNT dan Libya dan melemahkan kekuasaan Gaddafi di Chad. Tiga hari kemudian beberapa ratus tentara Prancis dikirim ke N'Djamena dari Republik Afrika Tengah, dan jumlahnya kelak bertambah hingga 2.700 orang, dengan beberapa skuadron pesawat tempur dan pengebom Jaguar. Operasi ini merupakan operasi pasukan terbesar yang pernah dilakukan Prancis di Afrika setelah Perang Kemerdekaan Aljazair.[74][76][77][78]
Pemerintah Prancis lalu menetapkan batasan yang disebut garis merah. Garis yang terletak di paralel ke-15 ini yang terbentang dari Mao sampai Abéché. Prancis juga memperingatkan bahwa mereka tidak akan menolerir serangan apapun ke sebelah selatan garis ini baik oleh pasukan Libya mauapun GUNT. Baik Libya dan Prancis tetap bertahan di wilayah mereka masing-masing. Prancis enggan membantu Habré merebut kembali daerah utara, sementara Libya tidak ingin memulai konflik melawan Prancis dengan menyerang garis tersebut. Maka dari itu negara Chad terbagi secara de facto, dan Libya menguasai seluruh wilayah di sebelah utara garis merah.[51][76]
Keadaan sempat menjadi tenang, walaupun perundingan yang disponsori oleh Organisasi Kesatuan Afrika pada bulan November gagal untuk mendamaikan faksi Chad yang saling bertikai; pemimpin Ethiopia Mengistu Haile Mariam mencoba mendamaikan oposisi di Chad pada awal tahun 1984, namun ia juga tidak berhasil. Setelah kegagalan Mengistu, GUNT melancarkan serangan ke pos FANT di Ziguey pada tanggal 24 Januari yang didukung oleh kendaraan lapis baja Libya dengan tujuan agar Prancis dan negara-negara Afrika mau meneruskan perundingan. Prancis menanggapi pelanggaran ini dengan melancarkan serangan udara, mengirim pasukan baru ke Chad dan secara sepihak mengubah garis batas ke garis paralel ke-16.[79][80][81]
Mundurnya pasukan Prancis
Untuk mengakhiri kebuntuan, Gaddafi mengusulkan penarikan pasukan Prancis dan Libya dari Chad. Usul ini diajukan pada tanggal 30 April. Presiden Prancis, François Mitterrand, menerima tawaran itu, dan pada tanggal 17 September mereka berdua mengumumkan bahwa pasukan Prancis dan Libya akan mulai mundur pada tanggal 25 September dan penarikan pasukan akan diselesaikan pada tanggal 10 November.[79] Persetujuan ini pada awalnya dipuji oleh media sebagai bukti kecakapan diplomatik Mitterrand dan kemajuan dalam upaya untuk menyelesaikan krisis di Chad.[82]
Prancis menghormati batas waktu yang telah ditetapkan, tetapi Libya hanya menarik beberapa pasukan dan tetap mempertahankan 3.000 pasukan di Chad Utara. Tindakan Libya tidak hanya mempermalukan Prancis, tetapi juga mengakibatkan tuduh menuduh di antara Prancis dan Chad.[83]
Menurut Nolutshungu, persetujuan bilateral tahun 1984 antara Prancis dan Libya mungkin telah memberikan kesempatan kepada Gaddafi untuk mencari jalan keluar dari permasalahan Chad sembari memperkuat martabatnya di dunia internasional. Selain itu, persetujuan ini memberi kesempatan baginya untuk memaksa Habré agar ia mau menerima perjanjian perdamaian yang melibatkan boneka-boneka Libya. Gaddafi salah membaca tindakan mundurnya pasukan Prancis sebagai kesediaan untuk menerima kehadiran militer Libya di Chad dan aneksasi seluruh prefektur BET secara de facto oleh Libya. Kesalahan besar Gaddafi akan menjerumuskannya karena tindakannya malah memicu pemberontakan GUNT melawan Gaddafi dan ekspedisi baru Prancis pada tahun 1986.[84]
Operasi Epervier
Tidak ada pertempuran besar terjadi dari tahun 1984 hingga 1986. Pada masa itu, Habré berhasil memperkuat posisinya berkat dukungan dari Amerika Serikat dan pelanggaran persetujuan Prancis-Libya tahun 1984 oleh Gaddafi. Faktor lain yang juga menjadi penting adalah perselisihan di antara faksi-faksi di dalam tubuh GUNT yang berlangsung semenjak tahun 1984, khususnya perselisihan di antara Goukouni dan Acheikh ibn Oumar terkait dengan kepemimpinan organisasi.[85]
Pada periode ini, Gaddafi memperluas kekuasaannya atas Chad utara, membangun jalan baru dan mendirikan lapangan udara Ouadi Doum dengan tujuan untuk mempermudah operasi darat dan udara di luar Jalur Aouzou. Ia juga mengirim bala bantuan tambahan pada tahun 1985 dan menambah jumlah pasukan Libya di Chad menjadi 7.000 pasukan, 300 tank dan 60 pesawat tempur.[86] Ketika hal ini terjadi, banyak anggota GUNT yang membelot ke pemerintahan Habré sebagai bagian dari kebijakan akomodasi Habré.[87]
Pengkhianatan ini menakutkan Gaddafi karena GUNT-lah yang melegitimasi kehadiran Libya di Chad. Untuk kembali menyatukan GUNT, ia melancarkan serangan besar di garis merah dengan tujuan untuk merebut N'Djamena. Serangan ini dimulai pada tanggal 10 Februari dan melibatkan 5.000 tentara Libya dan 5.000 tentara GUNT. Serangan ini dikonsentrasikan di markas FANT di Kouba Olanga, Kalait dan Oum Chalouba. Kampanye ini mengalami kegagalan karena serangan balik FANT pada tanggal 13 Februari yang menggunakan perlengkapan baru dari Prancis berhasil memaksa para penyerang untuk mundur dan melakukan reorganisasi.[81][87][88]
Hal yang paling penting adalah tanggapan Prancis terhadap serangan ini. Gaddafi mungkin telah berkeyakinan bahwa Mitterrand enggan melancarkan ekspedisi yang mahal dan berisiko besar untuk menyelamatkan Habré karena pemilihan umum akan segera diadakan di Prancis pada tahun 1986. Asumsi ini terbukti salah, karena Presiden Prancis tidak mau dianggap lemah dalam menghadapi agresi Libya. Akibatnya, Operasi Epervier dilancarkan pada tanggal 14 Februari 1986. Operasi ini mengirim 1.200 tentara Prancis dan beberapa skuadron Jaguars ke Chad. Dua hari kemudian, untuk mengirim pesan yang jelas kepada Gaddafi, angkatan udara Prancis mengebom lapangan udara Ouadi Doum. Beberapa hari kemudian, Libya melancarkan serangan balasan dengan mengebom bandara N'Djamena, tetapi serangan ini tidak mengakibatkan kerusakan yang besar.[88][89][90]
Perang Tibesti
Kekalahan yang diderita pada bulan Februari dan Maret mempercepat kehancuran GUNT. Pada bulan Maret, selama perundingan yang disponsori oleh Organisasi Kesatuan Afrika di Kongo, Goukouni tidak hadir dan banyak yang mencurigai Libya sebagai dalangnya. Akibatnya, wakil presiden GUNT Kamougué memutuskan untuk membelot. Tindakannya diikuti oleh Angkatan Bersenjata Pertama dan kelompok FROLINAT Originel. Pada bulan August, CDR memutuskan untuk meninggalkan koalisi dan mengambil alih kota Fada. Pada bulan Oktober, Angkatan Bersenjata Rakyat Goukouni berusaha merebut kembali Fada, tetapi garnisun Libya malah menyerang tentara Goukouni, dan pertempuran ini secara efektif mengakhiri riwayat GUNT. Pada bulan yang sama, Goukouni ditangkap oleh Libya, sementara pasukannya memberontak melawan Gaddafi, mengusir orang Libya dari Tibesti, dan pada tanggal 24 Oktober berbalik mendukung Habré.[91]
Untuk mendirikan kembali jalur persediaan dan merebut kembali kota Bardai, Zouar dan Wour, Libya mengirim pasukan sebesar 2.000 orang dengan tank T-62 ke Tibesti dengan dukungan dari angkatan udara Libya. Serangan ini awalnya berhasil dan berhasil mengusir GUNT dari benteng-benteng utamanya (juga dengan menggunakan napalm). Serangan ini menjadi senjata makan tuan dan memicu reaksi dari Habré yang mengirim 2.000 tentara FANT untuk dihubungkan dengan pasukan GUNT. Mitterrand juga menanggapi serangan ini dengan memerintahkan sebuah misi yang mengirim bahan bakar, makanan, amunisi dan misil anti-tank yang diturunkan dengan parasut kepada para pemberontak, dan juga personal militer. Melalui aksi ini, Prancis telah menegaskan bahwa mereka tidak merasa harus tetap berada di sebelah selatan garis merah, dan siap untuk beraksi jika memang diperlukan.[92][93]
Dari segi militer, Habré kurang berhasil mengusir Libya dari Tibesti (Libya akan meninggalkan daerah itu pada bulan Maret, setelah berbagai kekalahan di kawasan timur laut telah membuat daerah tersebut tak dapat dipertahankan lagi), tetapi kampanye militer ini merupakan pencapaian yang penting bagi FANT karena telah mengubah perang saudara menjadi perang nasional melawan asing dan mendorong rasa kesatuan nasional yang sebelumnya tidak pernah terlihat di Chad.[94]
Perang Toyota
Pada permulaan tahun 1987 (tahun terakhir perang), pasukan Libya masih berjumlah 8.000 pasukan dan 300 tank, tetapi telah kehilangan dukungan sekutunya di Chad, yang sebelumnya menjadi pengintai dan bertindak sebagai infantri penyerang. Tanpa mereka, garnisun Libya mirip dengan pulau yang terisolasi dan mudah diserang di padang pasir Chad. Di sisi lain, FANT sendiri menjadi semakin kuat dan kini memiliki 10.000 tentara yang sangat termotivasi. Mereka juga memiliki truk Toyota yang dapat bergerak dengan cepat dan cocok untuk digunakan di wilayah padang pasir. Truk-truk ini dilengkapi dengan misil anti-tank MILAN, sehingga fase terakhir konflik Chad-Libya dijuluki "Perang Toyota" .[95][96][97]
Pada tanggal 2 Januari 1987, Habré memulai serangannya terhadap Chad utara dan berhasil merebut basis komunikasi Libya di Fada. Untuk melawan tentara Libya, panglima besar Chad Hassan Djamous melakukan berbagai pergerakan menjepit yang cepat, mengepung posisi Libya dan menghancurkan mereka dengan serangan mendadak dari semua sisi. Strategi ini diulang oleh Djamous pada bulan Maret selama pertempuran B'ir Kora dan pertempuran Ouadi Doum. Serangan-serangan ini memaksa Gaddafi untuk mundur dari Chad utara.[98]
Serangan Chad kini membahayakan kekuasaan Libya di Jalur Aouzou. Aouzou sempat jatuh ke tangan FANT pada bulan Agustus, tetapi mereka kemudian diusir oleh Libya dan Prancis menolak memberikan perlindungan dari udara. Habré membalas kekalahan ini dengan melakukan serangan Chad pertama ke wilayah Libya yang memicu pertempuran Maaten al-Sarra pada tanggal 5 September. Serangan ini adalah serangan kejutan dan merupakan bagian dari rencana untuk menghilangkan ancaman kekuatan udara Libya sebelum mereka dapat kembali melancarkan serangan ke Aouzou.[99]
Serangan yang direncanakan ke Aouzou tidak pernah terjadi. Kemenangan Chad di Maaten membuat Prancis khawatir bahwa Chad akan meneruskan serangan ke wilayah Libya lainnya. Kemungkinan ini tidak dapat ditolerir Prancis. Sementara itu, Gaddafi mendapat tekanan dari dalam dan luar negeri, sehingga ia menyetujui gencatan senjata yang dipelopori oleh Organisasi Kesatuan Afrika pada tanggal 11 September.[100][101]
Akhir konflik
Walaupun gencatan senjata sering kali dilanggar, insiden yang terjadi relatif kecil. Kedua pemerintahan dengan segera memulai manuver diplomatik untuk menyetir opini dunia atas kasus ini. Pemerintahan Reagan menganggap kelanjutan konflik ini sebagai kesempatan terbaik untuk menjatuhkan Gaddafi.[102]
Hubungan antara kedua negara secara perlahan membaik, dengan Gaddafi memberi pertanda bahwa ia ingin menormalisasi hubungan dengan pemerintah Chad, hingga ia mengakui bahwa perang ini merupakan sebuah kesalahan. Pada bulan Mei tahun 1988, Gaddafi menyatakan bahwa ia akan mengakui Habré sebagai presiden Chad "sebagai hadiah untuk Afrika"; berkat tindakan ini, hubungan diplomatik di antara kedua negara dipulihkan pada tanggal 3 Oktober. Pada tanggal 31 Agustus 1989, perwakilan Chad dan Libya bertemu di Aljazair untuk menegosiasikan Kerangka Pesetujuan mengenai Penyelesaian Sengketa Wilayah secara Damai. Gaddafi bersedia untuk membawa isu Jalur Aouzou ke Mahkamah Internasional jika perundingan bilateral mengalami kegagalan. Setelah perundingan yang tidak membuahkan hasil selama setahun, kedua belah pihak membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional pada bulan September tahun 1990.[103][104][105]
Hubungan Chad-Libya semakin membaik ketika Idriss Déby yang didukung Libya menjatuhkan Habré pada tanggal 2 Desember. Gaddafi adalah kepala negara pertama yang mengakui pemerintahan baru, dan ia juga menandatangani perjanjian persahabatan dan kerjasama dalam berbagai tingkatan, tetapi Déby menyatakan bahwa ia akan tetap berjuang untuk menjaga jalur tersebut dari tangan Libya.[106][107]
Permasalahan Aouzou diakhiri dengan baik pada tanggal 3 Februari 1994 ketika hakim di Mahkamah Internasional dengan jumlah 16 banding 1 memutuskan bahwa Jalur Aouzou merupakan wilayah Chad. Pengadilan atas kasus tersebut dilaksanakan tanpa gangguan. Pada tanggal 4 April, keduanya menandatangani sebuah persetujuan mengenai implementasi putusan Mahkamah Internasional. Dengan diawasi dunia internasional, mundurnya tentara Libya dari Jalur Aouzou dimulai pada tanggal 15 April dan selesai pada tanggal 10 Mei. Penyerahan Jalur Aouzou secara resmi dilakukan pada tanggal 30 Mei, ketika kedua belah pihak menandatangani sebuah deklarasi gabungan yang menyatakan bahwa mundurnya pasukan Libya telah berhasil.[105][108]
Catatan kaki
- ^ a b c Geoffrey Leslie Simons, Libya and the West: from independence to Lockerbie, Centre for Libyan Studies (Oxford, England). Hlm. 57
- ^ Globalsecurity.org, Libyan Intervention in Chad, 1980-Mid-1987
- ^ Geoffrey Leslie Simons, Libya and the West: from independence to Lockerbie, Centre for Libyan Studies (Oxford, England). Hlm. 57–58
- ^ a b c d e f K. Pollack, Arabs at War, hlm. 375
- ^ a b c d e K. Pollack, hlm. 376
- ^ S. Nolutshungu, Limits of Anarchy, hlm. 230
- ^ M. Azevedo, Roots of Violence, hlm. 151
- ^ A. Clayton, Frontiersmen, hlm. 98
- ^ M. Brecher & J. Wilkenfeld, A Study of Crisis, hlm. 84
- ^ R. Brian Ferguson, The State, Identity and Violence, hlm. 267
- ^ a b c M. Brecher & J. Wilkenfeld, hlm. 85
- ^ a b G. Simons, Libya and the West, hlm. 56
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 327
- ^ a b c J. Wright, Libya, Chad and the Central Sahara, hlm. 130
- ^ M. Azevedo, hlm. 145
- ^ . "Public sitting held on Monday 14 June 1993 in the case concerning Territorial Dispute (Libyan Arab Jamayiriya/Chad)" (PDF). International Court of Justice. "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2001-07-27. Diakses tanggal 2007-09-08.
- ^ R. Buijtenhuijs, "Le FROLINAT à l'épreuve du pouvoir", hlm. 19
- ^ R. Buijtenhuijs, hlm. 16–17
- ^ . "Public sitting held on Friday 2 July 1993 in the case concerning uTerritorial Dispte (Libyan Arab Jamayiriya/Chad)". International Court of Justice. "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2001-07-27. Diakses tanggal 2007-09-08.
- ^ A. Clayton, hlm. 99
- ^ J. Wright, hlm. 130–131
- ^ S. Macedo, Universal Jurisdiction, hlm. 132–133
- ^ R. Buijtenhuijs, Guerre de guérilla et révolution en Afrique noire, hlm. 27
- ^ A. Gérard, Nimeiry face aux crises tchadiennes, hlm. 119
- ^ a b c M. Brecher & J. Wilkenfeld, hlm. 86
- ^ a b R. Buijtenhuijs, Guerre de guérilla et révolution en Afrique noire, hlm. 26
- ^ R. Buijtenhuijs, "Le FROLINAT à l'épreuve du pouvoir", hlm. 18
- ^ Libya-Sudan-Chad Triangle, hlm. 32
- ^ R. Buijtenhuijs, "Le FROLINAT à l'épreuve du pouvoir", hlm. 21
- ^ a b c d M. Azevedo, hlm. 146
- ^ J. de Léspinôis, "L'emploi de la force aeriénne au Tchad", hlm. 70–71
- ^ M. Pollack, hlm. 376–377
- ^ H. Simpson, The Paratroopers of the French Foreign Legion, hlm. 55
- ^ M. Brandily, "Le Tchad face nord", hlm. 59
- ^ N. Mouric, "La politique tchadienne de la France", hlm. 99
- ^ M. Brandily, hlm. 58–61
- ^ M. Azevedo, hlm. 104–105, 119, 135
- ^ Ibid., hlm. 106
- ^ a b M. Brecher & J. Wilkenfeld, hlm. 88
- ^ N. Mouric, hlm. 100
- ^ a b K. Pollack, hlm. 377
- ^ T. Mays, Africa's First Peacekeeping operation, hlm. 43
- ^ T. Mays, hlm. 39
- ^ T. Mays, hlm. 45–46
- ^ a b S. Nolutshungu, hlm. 133
- ^ a b c M. Azevedo, hlm. 147
- ^ J. Wright, hlm. 131
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 135
- ^ a b c M. Azevedo, hlm. 108
- ^ M. Brecher & J. Wilkenfeld, hlm. 89
- ^ a b c d e H. Metz, Libya, hlm. 261
- ^ a b J. Wright, hlm. 132
- ^ M. Brecher & J. Wilkenfeld, hlm. 89–90
- ^ M. Azevedo, hlm. 147–148
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 156
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 153
- ^ a b M. Brecher & J. Wilkenfeld, hlm. 90
- ^ a b c M. Azevedo, hlm. 148
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 154–155
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 164
- ^ T. Mays, hlm. 134–135
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 165
- ^ a b T. Mays, hlm. 139
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 168
- ^ a b K. Pollack, hlm. 382
- ^ T. Mays, hlm. 99
- ^ S.Nolutshungu, hlm. 186
- ^ Ibid. hlm. 185
- ^ a b c d e S. Nolutshungu, hlm. 188
- ^ M. Azevedo, hlm. 110, 139
- ^ a b M. Brecher & J. Wilkenfeld, hlm. 91
- ^ M. Azevedo, hlm. 159
- ^ K. Pollack, hlm. 382–383
- ^ a b c K. Pollack, hlm. 383
- ^ J. Jessup, An Encyclopedic Dictionary of Conflict, hlm. 116
- ^ a b S. Nolutshungu, hlm. 189
- ^ M. Brecher & J. Wilkenfeld, hlm. 91–92
- ^ M. Azevedo, hlm. 139
- ^ a b M. Brecher & J. Wilkenfeld, hlm. 92
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 191
- ^ a b M. Azevedo, hlm. 110
- ^ M. Azevedo, hlm. 139–140
- ^ M. Azevedo, hlm. 140
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 202–203
- ^ Ibid., hlm. 191–192, 210
- ^ K. Pollack, hlm. 384–385
- ^ a b S. Nolutshungu, hlm. 212
- ^ a b K. Pollack, hlm. 389
- ^ M. Brecher & J. Wilkenfeld, hlm. 93
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 212–213
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 213–214
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 214–216
- ^ K. Pollack, hlm. 390
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 215–216, 245
- ^ M. Azevedo, hlm. 149–150
- ^ K. Pollack, hlm. 391, 398
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 218–219
- ^ K. Pollack, hlm. 391–394
- ^ K. Pollack, hlm. 395–396
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 222–223
- ^ K. Pollack, hlm. 397
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 223–224
- ^ G. Simons, hlm. 58, 60
- ^ S. Nolutshungu, hlm. 227
- ^ a b M. Brecher & J. Wilkenfeld, hlm. 95
- ^ "Chad The Devil Behind the Scenes", Time, 17 Desember 1990, diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-01, diakses tanggal 2007-09-08
- ^ M. Azevedo, hlm. 150
- ^ G. Simons, hlm. 78
Daftar pustaka
- Azevedo, Mario J. (1998). Roots of Violence: A History of War in Chad. Routledge. ISBN 90-5699-582-0.
- Brandily, Monique (December 1984). "Le Tchad face nord 1978–1979" (PDF). Politique Africaine (16): 45–65. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 2009-06-25.
- Brecher, Michael; Wilkenfeld, Jonathan (1997). A Study in Crisis. University of Michigan Press. ISBN 0-472-10806-9.
- Buijtenhuijs, Robert (December 1984). "Le FROLINAT à l'épreuve du pouvoir: L'échec d'une révolution Africaine" (PDF). Politique Africaine (16): 15–29. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 2009-06-25.
- Buijtenhuijs, Robert (March 1981). "Guerre de guérilla et révolution en Afrique noire : les leçons du Tchad" (PDF). Politique Africaine (1): 23–33. Diakses tanggal 2009-06-25.
- Brian Ferguson, R. (2002). State, Identity and Violence:Political Disintegration in the Post-Cold War World. Routledge. ISBN 0-415-27412-5.
- Clayton, Anthony (1998). Frontiersmen: Warfare in Africa Since 1950. Routledge. ISBN 1-85728-525-5.
- de Lespinois, Jérôme (June 2005). "L'emploi de la force aérienne au Tchad (1967–1987)" (PDF). Penser les Ailes françaises (6): 65–74. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 5 March 2009. Diakses tanggal 25 June 2009.
- Gérard, Alain (December 1984). "Nimeiry face aux crises tchadiennes" (PDF). Politique Africaine (16): 118–124. Diakses tanggal 2009-06-25.
- Jessup, John E. (1998). An Encyclopedic Dictionary of Conflict and Conflict Resolution, 1945–1996. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-3132-8112-9.
- Macedo, Stephen (2003). Universal Jurisdiction: National Courts and the Prosecution of Serious Crimes Under International Law. University of Pennsylvania Press. ISBN 0-8122-3736-6.
- Mays, Terry M. (2002). Africa's First Peacekeeping operation: The OAU in Chad. Greenwood. ISBN 978-0-275-97606-4.
- Metz, Helen Chapin (2004). Libya. US GPO. ISBN 1-4191-3012-9.
- Mouric, N. (December 1984). "La politique tchadienne de la France sous Valéry Giscard d'Estaing" (PDF). Politique Africaine (16): 86–101. Diakses tanggal 2009-06-25.
- Nolutshungu, Sam C. (1995). Limits of Anarchy: Intervention and State Formation in Chad. University of Virginia Press. ISBN 0-8139-1628-3.
- Pollack, Kenneth M. (2002). Arabs at War: Military Effectiveness, 1948–1991. University of Nebraska Press. ISBN 0-8032-3733-2.
- Simons, Geoffrey Leslie (1993). Libya: The Struggle for Survival. Palgrave Macmillan. ISBN 978-0-312-08997-9.
- Simons, Geoff (2004). Libya and the West: From Independence to Lockerbie. I.B. Tauris. ISBN 1-86064-988-2.
- Simpson, Howard R. (1999). The Paratroopers of the French Foreign Legion: From Vietnam to Bosnia. Brassey's. ISBN 1-57488-226-0.
- Wright, John L. (1989). Libya, Chad and the Central Sahara. C. Hurst. ISBN 1-85065-050-0.
- Libya-Sudan-Chad Triangle: Dilemma for United States Policy. US GPO. 1981.