Kontroversi dana kampanye Amerika Serikat 1996
Kontroversi dana kampanye Amerika Serikat 1996 adalah upaya yang diduga dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok untuk mempengaruhi politik dalam negeri Amerika Serikat sebelum dan selama pemerintahan Clinton dan juga melibatkan praktik penggalangan dana dari pemerintahan itu sendiri.
Sementara pertanyaan tentang kegiatan penggalangan dana Partai Demokrat AS pertama kali muncul pada sebuah artikel Los Angeles Times yang diterbitkan pada 21 September 1996,[1] dugaan peran Tiongkok dalam urusan pertama kali mendapat perhatian publik ketika Bob Woodward dan Brian Duffy dari The Washington Post menerbitkan cerita yang menyatakan bahwa penyelidikan Departemen Kehakiman Amerika Serikat dalam kegiatan penggalangan dana telah menemukan bukti bahwa agen-agen Tiongkok berusaha untuk mengarahkan kontribusi dari sumber-sumber asing untuk Komite Nasional Demokrat (DNC) sebelum kampanye presiden 1996. Para wartawan menulis bahwa informasi intelijen menunjukkan Kedutaan Besar Tiongkok di Washington, D.C. digunakan untuk mengkoordinasikan kontribusi kepada DNC[2] hal ini melanggar hukum Amerika Serikat yang melarang warga non-Amerika atau penduduk non-permanen untuk memberikan sumbangan moneter ke politisi dan partai politik Amerika Serikat. Seorang penyidik dari partai Republik menyatakan target rencana Tiongkok adalah pemilihan presiden dan kongres Amerika Serikat, sementara senator Demokrat mengatakan bukti menunjukkan Tiongkok hanya menargetkan pemilihan kongres. Pemerintah Tiongkok membantah semua tuduhan tersebut.
Skandal ini disebut sebagai "Chinagate", mengingat campur tangan pengusaha-pengusaha Tiongkok, maupun pengusaha-pengusaha keturunan Tionghoa lainnya di luar Tiongkok, untuk membantu pemenangan Partai Demokrat AS melalui Bill Clinton. Ada pula yang menyebutnya sebagai skandal '"Lippogate", yang mana terdapat peran besar pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa, James Riady, putra dari Mochtar Riady, di dalamnya. Karena, keluarga Riady pernah mempekerjakan John Huang, salah satu karyawan lama Lippo Group, untuk meenghimpun dana di Komite Nasional Demokrat (DNC), yang kemudian menjadi deputi menteri perdagangan Amerika Serikat. James Riady bersama dengan Ted Sioeng, dengan dukungan dari Intelijen Militer Tiongkok (CMI), membentuk jaringan yang beranggotakan Yah Lin Trie, Johnny Chung, dan Maria Hsia. Kelompok ini telah gencar mendanai Partai Demokrat sejak 1988.
John Huang dan James Riady
suntingHarus diakui, terpilihnya Bill Clinton untuk kedua kalinya sebagai presiden Amerika Serikat, untuk masa bakti 1997-2001, memang tidak terlepas dari peran besar para pengusaha keturunan Tionghoa, seperti James Riady, putra dari Mochtar Riady. Dengan dibantu oleh Ted Sioeng, dan dengan dukungan penuh oleh Intelijen Militer Tiongkok (CMI), James membentuk sebuah jaringan bernama "China Connection", jaringan yang menghubungkan para pengusaha keturunan Tionghoa. Di dalam jaringan tersebut juga terdapat pengusaha-pengusaha lainnya seperti Yah Lin Trie, Johnny Chung, dan Maria Hsia. Menurut hasil penyelidikan pada tanggal 11 Januari 2001, jaringan ini sudah gencar mendanai Partai Demokrat Amerika Serikat sejak 1988 hingga 1994, terutama dalam rangka menghadapi pemilu 1989 dengan mengusung Clinton sebagai calon presiden. Walaupun akhirnya, Partai Demokrat kalah, dan pemilu tersebut dimenangkan kembali oleh Partai Republik melalui George H. W. Bush, ayah dari George W. Bush, yang berpasangan dengan Dan Quayle, untuk masa bakti 1989-1993.
John Huang adalah salah seorang karyawan lama di Lippo Group, kelompok usaha milik keluarga Riady, dengan membuka cabang Bank Lippo di California. Huang pernah bertemu dengan Clinton pada seminar keuangan di Little Rock, Arkansas, pada tahun 1980. Huang kemudian menjadi penghimpun dana di Komite Nasional Demokrat (DNC) pada tahun 1995. Menurut United States Secret Service, Huang mengunjungi Gedung Putih sebanyak 78 kali sebagai penghimpun dana di DNC, untuk mengikuti rapat rahasia dengan Pentagon, CIA, dan NSA, walaupun Huang sempat dipecat ketika terjadi penyelidikan terhadap modus operandi James Riady sejak 1997.[3] Penyelidikan tersebut diprakarsai melalui Campaign Financing Task Force oleh jaksa agung Janet Reno sejak 1996.
Selama ini, hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok sering memanas karena dipimpin oleh presiden dari Partai Republik. Sejak demonstrasi aktivis mahasiswa di Lapangan Tiannamen, Tiongkok, pada tahun 1989, yang menewaskan 7.000 aktivis mahasiswa, Amerika Serikat menjatuhkan hukuman kepada Tiongkok berupa sanksi dagang dan politik. Namun, sejak Clinton menjabat sebagai presiden pada 1993, AS memperbaiki hubungan internasionalnya dengan Tiongkok melalui pencabutan sanksi tersebut. Tidak mengherankan, apabila setelah lebih dari 215 tahun, baru kali ini AS mampu membuka hubungan dengan Tiongkok. Bahkan, kemenangan Partai Demokrat di pemilu 1993 dengan mengusung Clinton dan Al Gore, tidak terlepas dari intervensi Tiongkok melalui para pengusaha "kelas paus dan hiu", baik pengusaha asli Tiongkok itu sendiri maupun pengusaha keturunan Tionghoa di luar Tiongkok, termasuk James Riady.
Belakangan diketahui (berdasarkan hasil penyelidikan pada tahun 2001 tersebut), James Riady meminta para karyawannya di AS, termasuk John Huang, untuk menyumbang dana kampanye semaksimal mungkin untuk Clinton sejak 1988 hingga 1994, dan uang karyawan yang telah disumbang tersebut akan diganti dengan "transfer bonus" berkali-kali lipat, bahkan jabatan strategis di dalam pemerintahan AS. Hingga akhirnya, Huang dipercaya menjadi penghimpun dana di DNC, dua tahun setelah Clinton dilantik sebagai presiden baru AS. Bahkan, Huang diangkat sebagai deputi menteri perdagangan AS.
Clinton pernah melakukan kunjungan kenegaraannya ke Indonesia pada tahun 1994, untuk meminta presiden Soeharto agar mengembalikan jabatan Moerdani di ABRI. Clinton bahkan mengancam akan melakukan blokade ekonomi jika jabatan Moerdani tidak dikembalikan seperti semula kepada ABRI,[4] sebagaimana Madeleine Albright dan Al Gore juga pernah melakukan kunjungan kenegaraan ke Malaysia dan meminta Mahathir Mohamad untuk membebaskan Anwar Ibrahim dari kasus korupsi dan sodomi. Dan ternyata terbukti, rekayasa kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga mencapai Rp 10.000 memang dirancang untuk menggulingkan Soeharto.
Keberhasilan James Riady dalam merekayasa kemelut perekonomian dan perpolitikan nasional Indonesia ternyata tidak sebanding dengan kemampuannya dalam mendongkrak citra Clinton sebagai presiden AS dua kali berturut-turut. Setelah pergantian rezim baru di AS dengan hadirnya George W. Bush dari Partai Republik, dibongkarlah modus operandi yang menyangkut bantuan pengusaha Tionghoa kepada Clinton, yang di dalamnya terdapat nama James Riady. Dalam hasil penyelidikan berjudul "James Riady Pleads Guilty Will Pay Largest Fine In Campaign Finance History For Violating Federal Election Law", James Riady berkomplot dengan karyawan lamanya, John Huang, untuk mendanai kampanye Partai Demokrat AS yang dianggap "ilegal" sejak 1988 hingga 1994. Atas kasus ini, James Riady didenda sebesar 8,6 juta dolar AS atau sekitar Rp 60.200.000.000 (kurs rupiah terhadap dolar AS pada saat itu adalah Rp 7.000).[5][6][7][8][9] James juga dicegah masuk ke AS selama 2 tahun.[10]
Referensi
sunting- ^ Miller, Alan C., "Democrats Return Illegal Contribution" Diarsipkan 2012-09-12 di Wayback Machine., Los Angeles Times, 21 September 1996
- ^ Woodward, Bob and Duffy, Brian, "Chinese Embassy Role In Contributions Probed", Washington Post, 13 Februari 1997
- ^ "The Democratic Fund-Raising Flap" - cnn.com, 1 Juli 1997
- ^ Sri Bintang Pamungkas - "Indonesia Dicaplok China?"
- ^ "Clinton Contributor To Pay $8.6M" - The Washington Post, 11 Januari 2001
- ^ "Riady to plead guilty to fraud" - The Washington Times, 12 Januari 2001
- ^ "Indonesian Set To Make Plea In Donations" - The New York Times, 12 Januari 2001
- ^ "Indonesian admits illegal Clinton gift" - BBC.co.uk, 12 Januari 2001
- ^ "Indonesian Businessman Riady Pleads Guilty to Campaign Finance Violations" - The Wall Street Journal, 20 Maret 2001
- ^ "How the disgraced James Riady, barred from travel to the U.S., made it back" - The Washington Post, 5 Januari 2010