Krisis Luksemburg
Krisis Luksemburg (bahasa Jerman: Luxemburgkrise, bahasa Prancis: Crise luxembourgeoise, bahasa Belanda: Luxemburgse kwestie, bahasa Luksemburg: Lëtzebuerg-Kris) adalah sebuah sengketa dan konfrontasi diplomatik yang berlangsung antara Kekaisaran Prancis dengan Kerajaan Prusia pada tahun 1867 terkait dengan status politik Luksemburg. Konfrontasi ini hampir memicu perang antara kedua belah pihak, tetapi berhasil diselesaikan oleh Traktat London.
Latar belakang
suntingKota Luksemburg memiliki salah satu perbentengan paling kuat di dunia yang dirancang oleh Marsekal Vauban dan diperbaiki oleh insinyur-insinyur berikutnya, sehingga kota ini dijuluki "Gibraltar Utara". Semenjak Kongres Wina pada tahun 1815, Keharyapatihan Luksemburg tergabung dalam uni personal dengan Kerajaan Belanda. Sebagai ganti untuk Prusia, Luksemburg menjadi anggota Konfederasi Jerman dan beberapa ribu pasukan Prusia ditempatkan di sana.[1] Revolusi Belgia pada tahun 1830 telah membagi Luksemburg menjadi dua dan mengancam kendali Belanda di sisa wilayahnya. Akibatnya, Willem I dari Belanda memutuskan untuk menggabungkan Luksemburg ke dalam uni pabean Jerman, Zollverein, untuk melemahkan pengaruh ekonomi dan budaya Prancis dan Belgia di Luksemburg.[2]
Perang Tujuh Minggu
suntingPerang Schleswig Kedua pada tahun 1864 semakin memperkuat ketegangan nasionalis di Jerman dan selama tahun 1865 tampak jelas bahwa Prusia ingin melawan posisi Kekaisaran Austria di Konfederasi Jerman. Meskipun dapat menjadi penyeimbang kekuasaan di antara keduanya, Kaisar Napoleon III memutuskan untuk tetap netral. Walaupun ia merasa yakin bahwa Austria akan menang, ia tidak dapat melakukan intervensi untuk membantu Austria karena akan membahayakan hubungan Prancis dengan Italia setelah Risorgimento.
Maka dari itu, pada tanggal 4 Oktober 1865 di Biarritz, Napoleon III berjanji kepada Perdana Menteri Prusia Otto von Bismarck bahwa Prancis akan tetap netral, tetapi ia berharap bahwa pernyataan itu akan memperkuat posisi Prancis terkait dengan wilayah tepi barat Sungai Rhein. Bismarck menolak memberikan wilayah manapun di Rheinland (yang merupakan wilayah yang diinginkan Napoleon), tetapi ia memberi kesan bahwa ia menerima hegemoni Prancis di Belgia dan Luksemburg, walaupun ia tidak menjanjikan apapun dalam bentuk tulisan.[3]
Saat perang Austria-Prusia pecah pada tahun 1866 (disebut Perang Tujuh Minggu), hasilnya mengguncang Eropa karena Prusia dapat mengalahkan Austria dan memaksa Austria bernegosiasi. Napoleon III menawarkan diri sebagai mediator dan hasilnya Traktat Praha membubarkan Konfederasi Jerman dan membuka jalan untuk organisasi yang didominasi oleh Prusia, Konfederasi Jerman Utara.
Tawaran Prancis
suntingDengan asumsi bahwa Bismarck akan mematuhi persetujuan yang telah dibuat, pemerintah Prancis menawarkan kepada Willem III dari Belanda 5.000.000 guilder untuk memperoleh wilayah Luksemburg. Willem saat itu sedang menghadapi masalah keuangan, sehingga ia menerima tawaran ini pada 23 Maret 1867. Namun, Prancis terkejut ketika mendengar kabar bahwa Bismarck menentang hal tersebut. Publik di Jerman menolak perjanjian ini dan Bismarck terdorong oleh koran-koran nasionalistik di Jerman utara.[4] Ia mencabut pernyataannya sebelumnya kepada Napoleon di Biarritz dan mengancam perang. Bismarck tidak hanya telah menyatukan wilayah Jerman utara di bawah naungan Prusia, tetapi juga secara rahasia telah membuat perjanjian dengan negara-negara di selatan pada 10 Oktober.
Negara-negara lain menawarkan kompromi untuk menghindari perang yang dapat menyeret mereka. Menteri Luar Negeri Austria Graf Beust mengusulkan agar Luksemburg diserahkan kepada Belgia yang netral, dan sebagai gantinya Prancis akan memperoleh sebagian wilayah Belgia. Namun, Raja Belgia Leopold II menolak melepaskan wilayahnya.[4]
Napoleon III mencoba mengalah karena ia tidak ingin dianggap ekspansionis oleh negara-negara besar lainnya. Maka dari itu, ia meminta agar Prusia menarik pasukannya dari Kota Luksemburg dan mengancam perang bila Prusia gagal melakukan hal tersebut. Untuk menghindari perang, Tsar Alexander II dari Rusia menyerukan diadakannya konferensi internasional di London.[4] Britania Raya dengan senang hati menjadi tuan rumah negosiasi karena mereka takut bahwa pengambilalihan wilayah Luksemburg oleh Prancis atau Prusia akan melemahkan Belgia.[5]
Konferensi London
suntingSemua negara besar yang diundang ke London membuat persetujuan yang akan menghindari perang. Negara-negara lain menolak pengambilalihan wilayah Luksemburg oleh Prancis atau Konfederasi Jerman Utara, sehingga mereka berupaya menyepakati perjanjian yang akan menjamin kenetralan Luksemburg. Perjanjian ini merupakan kemenangan untuk Bismarck; walaupun Prusia harus menarik pasukannya dari Kota Luksemburg, Luksemburg tetap menjadi bagian dari Zollverein.
Catatan kaki
sunting- ^ Trausch 1983, hlm. 53.
- ^ Calmes 1989, hlm. 325-7.
- ^ Fyffe 1895, ch. XXIII.
- ^ a b c Fyffe 1895, ch. XXIV.
- ^ Moose 1958, hlm. 264-5.
Daftar pustaka
sunting- Moose, Werner Eugen (1958). The European Powers and the German Question, 1848-71. Cambridge: Cambridge University Press.
- Calmes, Christian (1989). The Making of a Nation From 1815 to the Present Day. Luxembourg City: Saint-Paul.
- Fyffe, Charles Alan (1895). A History of Modern Europe, 1792-1878. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-09. Diakses tanggal 2006-06-27.
- Trausch, Gilbert (1983). "Blick in die Geschichte". Das ist Luxemburg (dalam bahasa German). Stuttgart: Seewald-Verlag.