Negara Lebanon Raya (bahasa Arab: دولة لبنان الكبير Dawlat Lubnān al-Kabīr; bahasa Prancis: État du Grand Liban) adalah sebuah negara yang dideklarasikan pada September 1920 dan merupakan pendahulu dari Lebanon sekarang.

Negara Lebanon Raya

État du Grand Liban
دولة لبنان الكبير
1920–1943
Bendera Lebanon
Lokasi Lebanon Raya (hijau) di dalam Mandat atas Suriah dan Lebanon.
Lokasi Lebanon Raya (hijau) di dalam Mandat atas Suriah dan Lebanon.
StatusMandat Republik Ketiga Prancis
Ibu kotaBeirut
Bahasa yang umum digunakanPrancis · Arab
Agama
Kristen
Islam
Era SejarahPeriode antarperang
• Diterbitkan mandat
1920
• Merdeka
1943
Kode ISO 3166LB
Didahului oleh
Digantikan oleh
Pemerintahan Wilayah Musuh yang Diduduki
Lebanon
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Negara ini dinyatakan sebagai suatu Mandat Liga bangsa-Bangsa dengan nama Mandat Prancis atas Suriah dan Lebanon yang diratifikasi pada tahun 1923. Ketika Kesultanan Utsmaniyah resmi terpecah berdasarkan Perjanjian Sèvres tahun 1920, diputuskan bahwa empat wilayah teritorialnya di Timur Tengah harus menjadi mandat Liga bangsa-Bangsa yang untuk sementara diatur oleh Inggris dan Prancis atas nama Liga. Inggris diberikan Palestina dan Irak, sementara Prancis diberi mandat atas Suriah dan Lebanon.

Jenderal Gouraud memproklamasikan berdirinya negara ini dengan batas-batas sesuai dengan sekarang setelah memisahkan beberapa desa Suriah di selatan dan barat perbatasan dengan Lebanon, dan menambahkan mereka ke dalam wilayah Lebanon dan Beirut sebagai ibu kotanya.[1] Teritori baru ini diberikan bendera, yang merupakan bendera Prancis ditambah dengan cedar Lebanon.

Latar belakang

sunting

Nama dan Konsepsi

sunting
 
Peta perbatasan Lebanon Besar dibandingkan dengan perbatasan wilayah teritorial Mutasarrifiyah Gunung Lebanon (garis putus-putus hitam), berpadu dengan peta persebaran kelompok agama saat ini.

Istilah Lebanon Besar digunakan karena wilayahnya hampir dua kali lipat dari ukuran Mutasarrifiyah Gunung Lebanon, kawasan otonom sebelumnya, hasil dari penggabungan antara bekas distrik Tripoli bagian dari Utsmaniyah dengan Sidon dan Lembah Bekaa. Mutasarrifiyah didirikan oleh kekuasaan-kekuasaan Eropa pada tahun 1861 untuk melindungi penduduk Kristen lokal dengan nama Règlement Organique ("Aturan Organik"). Istilah Lebanon Besar, yang dalam bahasa Prancis "Le Grand Liban", digunakan pertama kali oleh dua orang intelektual Lebanon, Bulus Nujaym dan Albert Naccache, dalam persiapan menuju Konferensi Perdamaian Paris 1919.[2]

Nujaym menyusun tulisannya tahun 1908 berjudul La question du Liban, sebuah analisis 550 halaman yang menjadi dasar untuk argumen mendukung pembentukan Lebanon Besar.[3] Tulisan itu berpendapat bahwa perluasan yang signifikan dari batas-batas Lebanon diperlukan untuk keberhasilan ekonomi.[3] Batas-batas yang disarankan oleh Nujaym mewakili "Liban de la grande epoque" diambil dari peta ekspedisi Prancis 1860-1864, yang disebut sebagai contoh peta modern yang "telah memprediksi bangsa, bukan hanya mencatatnya".[4]

Konferensi Perdamaian Paris

sunting

Pada tanggal 27 Oktober 1919, delegasi Lebanon yang dipimpin oleh Patriark Maronit Elias Peter Hoayek menyajikan aspirasi Lebanon dalam sebuah memorandum pada Konferensi Perdamaian Paris. Aspirasi itu termasuk perluasan perbatasan Mutasarrifiyah Lebanon yang signifikan[5] dengan alasan bahwa wilayah tambahan itu merupakan bagian alami dari Lebanon, meskipun fakta bahwa komunitas Kristen tidak akan menjadi mayoritas dalam sebuah negara sebesar itu.[5] Permintaan untuk mengambil lahan pertanian-lahan pertanian di Bekaa dan Akkar dipicu oleh ketakutan yang ada menyusul terjadinya kematian hampir setengah dari penduduk Mutasarrifiyah Gunung Lebanon akibat Kelaparan Besar. Pihak gereja Maronit dan para pemimpin sekuler mengharapkan adanya negara yang lebih baik dalam mengusahakan ketersediaan pangan bagi rakyatnya.[6] Daerah-daerah yang ditambahkan ke Mutasarrifiyah meliputi kota-kota pesisir Beirut, Tripoli, Sidon, dan Tirus dan daerah pedalamannya masing-masing, yang seluruhnya masuk ke dalam Vilayet Beirut, bersama-sama dengan empat Kaza dari Vilayet Suriah (Baalbek, Lebanon, Rashaya, dan Hasbaya).[5]

Setelah konferensi perdamaian, Prancis diberikan Mandat atas Suriah dan Lebanon, yang dengan mandat itu Lebanon masih harus ditetapkan oleh Prancis. Sebagian besar wilayah itu dikendalikan Administrasi Wilayah Musuh yang Diduduki dan sisanya dikendalikan selama jangka waktu singkat oleh Kerajaan Arab Suriah hingga kerajaan itu jatuh pada Juli 1920. Maronit Lebanon secara terbuka merayakan kekalahan kerajaan Arab tersebut dalam Pertempuran Maysalun.[7] Pada 24 Agustus 1920, Perdana Menteri Prancis Alexandre Millerand menulis surat kepada Uskup Agung Khoury: "Klaim negara Anda atas Bekaa, yang telah anda ingatkan pada saya, telah diberikan. Atas instruksi dari pemerintah Prancis, Jenderal Gouraud telah memproklamasikan di Grand Kadri Hotel, Zahle, penggabungan wilayah itu ke Lebanon meluas sampai ke puncak pegunungan Anti-Lebanon dan Hermon. Ini adalah Lebanon Besar yang ingin Prancis bentuk untuk mengamankan negara anda dengan batas-batas alaminya."

Lebanon memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1943 dan Prancis meninggalkan negara itu pada tahun 1946.

Pemerintahan

sunting

Konstitusi Lebanon pertama diresmikan pada tanggal 23 Mei 1926 dan kemudian diamendemen beberapa kali. Dengan mengambil model dari Republik Ketiga Prancis, konstitusi itu menciptakan bentuk pemerintahan berupa suatu parlemen bikameral dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat (meskipun senat ini akhirnya ditiadakan), seorang Presiden, dan Dewan Menteri atau kabinet. Presiden dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk sekali periode dengan masa jabatan enam tahun dan tidak dapat dipilih kembali hingga satu periode dilewati. Wakil-wakil rakyat dipilih melalui jalur pengakuan.

Dalam periode ini menjadi kebiasaan kuat bagi rakyat memilih pejabat-pejabat besar politik dan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan, sesuai dengan proporsi dari sekte-sekte utama dalam masyarakat. Dengan demikian, misalnya, presiden haruslah seorang Kristen Maronit, perdana menteri dari kaum Muslim Sunni, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat seorang Muslim Syiah. Secara teoretis, Dewan Perwakilan Rakyat melakukan fungsi legislasi, tetapi pada kenyataannya rancangan undang-undang disiapkan oleh eksekutif dan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat, yang meloloskan mereka hampir tanpa terkecuali. Berdasarkan konstitusi, komisaris tinggi Prancis masih memegang kekuasaan tertinggi, suatu aturan yang awalnya diterima dengan berat oleh kaum nasionalis Lebanon. Meskipun demikian, Charles Debbas, seorang Ortodoks Yunani, terpilih sebagai presiden pertama Lebanon tiga hari setelah konstitusi itu berlaku.

Pada akhir masa jabatan pertama Debbas pada tahun 1932, Bishara al-Khuri dan Émile Eddé bersaing merebut kursi presiden, sehingga Dewan Perwakilan Rakyat terpecah. Untuk memecah kebuntuan, beberapa wakil rakyat mengusulkan Syekh Muhammad al Jisr, yang merupakan Ketua Dewan Menteri dan pemimpin Muslim dari Tripoli, sebagai calon kompromi. Tetapi, komisaris tinggi Prancis Henri Ponsot menangguhkan konstitusi pada tanggal 9 Mei 1932, dan memperpanjang masa jabatan Debbas selama satu tahun. Dengan cara ini ia mencegah seorang Muslim terpilih sebagai presiden. Tidak puas dengan tindakan Ponsot, otoritas Prancis menggantikannya dengan Comte Damien de Martel, yang, pada 30 Januari 1934, menunjuk Habib Pacha Es-Saad sebagai presiden untuk masa jabatan satu tahun (kemudian diperpanjang satu tahun).

Émile Eddé terpilih sebagai presiden pada 30 Januari 1936. Setahun kemudian, ia menetapkan kembali sebagian Konstitusi 1926 dan mulai mengadakan pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi, konstitusi itu lagi-lagi ditangguhkan oleh komisaris tinggi Prancis pada September 1939, saat pecahnya Perang Dunia II.

 
Bendera Lebanon pertama digambar dengan tangan dan ditandatangani oleh wakil-wakil rakyat di parlemen Lebanon, 11 November 1943.
 
Sebuah koin lima piastre Lebanon Besar, tahun 1924.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Lebanon - The French Mandate" (dalam bahasa bahasa Inggris). U.S. Library of Congress. Diakses tanggal 15-11-2016. 
  2. ^ Marwan R. Buheiry (1 June 1981). "Bulus Nujaym and the Grand Liban Ideal, 1908–1919". Intellectual Life in the Arab East, 1890 to 1930. Syracuse University Press. hlm. 63. ISBN 978-0-8156-6086-6. This article, bearing the dateline of Jounieh, July 10, 1919, constitutes, together with Albert Naccache’s "Notre avenir économique published also in La Revue Phénicienne (July 1919), perhaps some of the earliest written and public references to a Grand Liban. For instance, the term does not appear to have been used seven months earlier by the first Lebanese delegation to Paris - at least not in its official releases. Or to cite a later example, the term was not used in the important correspondence from Clemenceau to Maronite Patriarch Huwayik dated 10 November 1919 
  3. ^ a b Meir Zamir (1988). The formation of modern Lebanon. Cornell University Press. hlm. 15–16. ISBN 978-0-8014-9523-6. Nujaym’s formulation was to become the basis for Lebanese Christian arguments in favor of a Greater Lebanon. It stressed the national rather than economic aspects of that goal. Only extended boundaries would enable Lebanon to exist as an independent state. Nujaym told the European public that the Lebanese question required a definite solution: the establishment of an independent Christian state. 
  4. ^ Tetz Rooke (2013). "Writing the Boundary: "Khitat al-Shăm" by Muhammad Kurd ʹAli". Dalam Hiroyuki. Concept Of Territory In Islamic Thought. Routledge. hlm. 178. ISBN 978-1-136-18453-6. His (Thongchai Winichakul’s) study shows that the modern map in some cases predicted the nation instead of just recording it; rather than describing existing borders it created the reality it was assumed to depict. The power of the map over the mind was great:"[H]ow could a nation resist being found if a nineteenth century map had predicted it?" In the Middle East, Lebanon seems to offer a corresponding example. When the idea of a Greater Lebanon in 1908 was put forward in a book by Bulus Nujaym, a Lebanese Maronite writing under the pseudonym of M. Jouplain, he suggested that the natural boundaries of Lebanon were exactly the same as drawn in the 1861 and 1863 staff maps of the French military expedition to Syria, maps that added territories on the northern, eastern and southern borders, plus the city of Beirut, to the Mutasarrifiyya of Mount Lebanon. In this case, too, the prior existence of a European military map seems to have created a fact on the ground. 
  5. ^ a b c Salibi 1990, hlm. 26. "Since the turn of the century, however, the Maronites had pressed for the extension of this small Lebanese territory to what they argued were its natural and historical boundaries: it would then include the coastal towns of Tripoli, Beirut, Sidon and Tyre and their respective hinterlands, which belonged to the Vilayet of Beirut; and the fertile valley of the Bekaa (the four Kazas, or administrtative districts, of Baalbek, the Bekaa, Rashayya and Hasbayya), which belonged to the Vilayet of Damascus. According to the Maronite argument, this 'Greater Lebanon' had always had a special social and historical character, different from that of its surroundings, which made it necessary and indeed imperative for France to help establish it as an independent state. While France had strong sympathies for the Maronites, the French government did not support their demands without reserve. In Mount Lebanon, the Maronites had formed a clear majority of the population. In a 'Greater Lebanon', they were bound to be outnumbered by the Muslims of the coastal towns and their hinterlands, and by those of the Bekaa valley; and all the Christian communities together, in a 'Greater Lebanon', could at best amount to a bare majority. The Maronites, however, were insistent in their demands. Their secular and clerical leaders had pressed for them during the war years among the Allied powers, not excluding the United States."
  6. ^ Harris 2012, hlm. 173–174.
  7. ^ Salibi 1990, hlm. 33. "At the battle of the Maysalun Pass, in the Anti-Lebanon, the French did crush the forces of King Faysal in July 1920, which finally opened the way for their occupation of Damascus. Maronite volunteers reportedly fought with the French in the battle, and there were open Maronite celebrations of the French victory, or rather of the Arab defeat. This was not to be forgotten in Damascus."

Bibliografi

sunting

Pranala luar

sunting