Legenda Lau Kawar adalah legenda yang berasal dari tanah Karo yang terletak di Sumatera Utara.[1][2][3] Lau kawar adalah nama danau yang terletak di suatu desa bernama Desa Kuta Gugung, Naman Teran, Karo.[1] Dahulu kala, Danau Lau Kawar dipercaya sebagai sebuah desa yang bernama Kawar.[1][4][5] Desa Kawar tenggelam dan kemudian berubah menjadi danau Lau Kawar.[1]

Cerita

sunting

Dahulu kala, ada sebuah desa di tanah Karo yang bernama desa Kawar.[1] Desa ini sangat subur dan dikelilingi oleh pemandangan alam yang indah.[1] Di desa tersebut terdapat sebuah mata air yang dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber air minum. Penduduk setempat bermata pencaharian sebagai petani. Setelah musim panen usai, biasanya mereka mengadakan acara Gendang Guro-Guro Aron, yaitu musik tradisional khas masyarakat Karo. Dalam acara tersebut, penduduk akan bersuka cita, berdendang, dan menari. Para remaja laki-laki dan perempuan akan menari secara berpasangan. Begitulah cara penduduk Desa Kawar mengadakan syukuran untuk hasil panen yang mereka peroleh.

Pada suatu ketika, Desa Kawar mengalami panen raya, suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hasil panen meningkat dua kali lipat. Lumbung-lumbung penduduk penuh dengan padi, bahkan banyak warga harus membuat lumbung baru untuk menampung hasil panen yang melimpah. Sebagai ungkapan syukur atas panen raya ini, warga Desa Kawar sepakat untuk mengadakan pesta “Mejuah-juah” selama satu hari penuh, diisi dengan upacara adat dan makan besar bersama. Semua penduduk desa menghadiri acara itu, tetapi ada seorang nenek yang tidak ikut datang ke acara tersebut.[1] Nenek ini tidak sanggup untuk menghadiri acara karena kondisi tubuhnya yang sakit dan melemah.[1] Si nenek rupanya belum makan seharian sehingga ia tidak memiliki tenaga bahkan untuk berjalan.[1] Nenek melihat ke arah jendelanya dan ia terkejut ketika melihat anak lelakinya beserta keluarganya berjalan ke acara adat itu.[1] Si nenek berharap bahwa anaknya akan mampir ke rumahnya dan mengajaknya ke acara itu.[1] Namun, anak lelaki beserta keluarganya tidak mampir; mereka terus berjalan menuju ke acara adat itu.[1] Nenek merasa sedih dan ia pun berbaring sambil menangis karena tidak ada yang memerhatikan dirinya.[1] Ketika acara adat itu selesai, si anak baru ingat kepada ibunya.[1] Ia pun meminta istrinya untuk membungkus makanan agar diberikan kepada ibunya. Istrinya membungkus makanan lalu menyuruh anaknya mengantar makanan itu.[1] Sang nenek pun terkejut sekaligus senang ketika cucunya datang membawakan makanan.[1] Namun, rasa senang itu tidak bertahan lama ketika sang nenek mengetahui bahwa isi bungkusan itu hanyalah sisa-sisa makanan dari acara adat.[1] Nenek tersebut tidak tahu bahwa yang memakan makanan itu adalah cucu dari nenek tersebut. Nenek itu pun memanjatkan doa kepada Tuhan.[1] Ia berharap bahwa Tuhan memberikan pelajaran setimpal atas kedurhakaaan anaknya.[1] Beberapa saat kemudian terjadilah gempa bumi, petir menyambar ke tanah, dan hujan turun tak henti-henti.[1] Hujan turun begitu deras sehingga dalam waktu sekejap desa Kawar sudah terendam dan menjadi sebuah kawah.[1] Kawah itu yang kemudian dinamakan sebagai Danau Lau Kawar.[1]

Legenda Lau Kawar memberikan pesan penting bagi kehidupan manusia terutama bagi seorang anak.[1] Seorang anak harus berbakti kepada orang tua karena orang tualah yang mendidik dan membesarkannya.[1] Seorang anak tidak boleh mengabaikan orang tuanya agar ia tidak berakhir seperti anak si nenek dalam legenda Lau Kawar.[1]


Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Marina Asril Reza. 2010. 108 Cerita Rakyat terbaik Asli Nusantara.Jakarta:Visimedia. Hlm 12.
  2. ^ Monika Cri Maharani. 2011. Cerita Rakyat asli Indonesia: dari 33 Provinsi.Jakarta: Agromedia Pustaka.Hlm 10.
  3. ^ Lia Nuralia. 2009. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Terpopuler: Meliputi Legenda, Mitos, Fabel, dan Epos.Jakarta Selatan: Kawan Pustaka. Hlm 10.
  4. ^ "Legenda Lau Kawar di Karo". Diakses tanggal 4 Mei 2014. 
  5. ^ "Legenda Lau Kawar". Diakses tanggal 4 mei 2014. 

Lihat pula

sunting