Lepa (kapal)

Perahu rumah tradisional orang Sama-Bajau

Lepa, juga dikenal sebagai lipa, merupakan kapal adat Suku Sama-Bajau di Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Secara tradisional digunakan sebagai rumah apung bagi suku pelaut Sama Dilaut. Karena sebagian besar Sama telah meninggalkan kehidupan laut secara esklusif, lepa modern kemudian digunakan sebagai kapal nelayan dan kapal kargo.

Rumah kapal lepa suku Sama dari Filipina dengan bagian buritan yang berukir (c. 1905)

Lepa adalah perahu berukuran sedang, biasanya rata-rata berukuran panjang 30 hingga 50 ft (9,1 hingga 15,2 m), dan lebar sekitar 5 hingga 7 ft (1,5 hingga 2,1 m); dengan ketinggian lambung kapal berkisar 5 ft (1,5 m). Lepa yang berukuran besar dikenal sebagai kumpit. Jenis ini bisa mencapai panjang 50 hingga 120 ft (15 hingga 37 m) dan paling sering digunakan sebagai kapal-kapal dagang.[1] Lepa dilengkapi dengan kemudi bukan dengan dayung kemudi tradisional yang disebut dengan sapit (atau sappit). Varian lepa yang seukuran kano tunggal atau kano 2 orang digunakan secara khusus di perairan dangkal dan dikenal sebagai buggoh (atau boggo', buggoh jungalan atau buggoh-buggoh). Sebuah buggoh sering ditarik oleh sebuah lepa keluarga. Lepa juga dapat digunakan sebagai istilah umum untuk "perahu" di berbagai kelompok Sama-Bajau; vinta, misalnya, juga dikenal sebagai lepa-lepa. Lepa saat ini semakin digantikan oleh perahu cadik bertenaga mesin, pambot ("perahu pompa").[2][3][4]

Bagian depan lepa dari Museum Nasional Etnologi, Osaka, Jepang

Deskripsi sunting

 
Sketsa lipa-lipa (lepa-lepa) orang Bajau.

Rangka lepa terbuat dari dugout yang dangkal dikenal sebagai tadas atau lunas. Bagian ini dibangun di sepanjang sisi dengan jalur yang lebih sempit dari rangkanya. Tambahan tiga papan tergabung dari tepi ke tepi hingga kebagian atas jalurnya (bibir perahu), yang membentang dari buritan. Bagian ini dikenal sebagai (dari bawah ke atas) bengkol, kapi kapi, dan koyang koyang. Bagian ini tidak memanjang sepenuhnya hingga mencapai haluan, membentuk celah khas di bagian depan lambung kapal. Lambung mengecil tajam di bagian haluan dan buritan. Seperti kapal tradisional Filipina lainnya, lambung lepa secara tradisional dipasang bersama-sama dengan pasak kayu tumpul (tambuko) dan serat cambuk bukan paku. Struktur bongkar-pasang yang mirip rumah (kubu atau balutu) sering dibangun di tengah lambung, dengan geladak yang dapat dipindah dikenal sebagai lantai. Atap (sapaw) dibuat dengan anyaman daun nipa dipasang pada tiang berbentuk Y yang dapat dilepas. Tungku masak portabel (lappohan) diletakan di dek buritan, bersama dengan penyimpanan makanan (lutu) dan tempat air (kibut).

Lepa memiliki layar tunggal (lamak), dipasang pada tiang yang disimpan pada rangka kapal melalui dek bagian depan. Seperti tiang atap, tiang ini juga dapat dilepas sesuai kebutuhan. Lepa juga dapat didorong dengan dayung atau galah. Lepa modern hampir semuanya dilengkapi dengan mesin.[5]

Lepa dapat dibedakan dari kapal tradisional lainnya di wilayah itu yang mana kapal jenis ini tidak memiliki cadik. Haluan dan buritan juga dibuat dari balok kayu datar berukir, dan tanpa tiang tataupun lengkungan papan seperti pada balangay. Haluan (mundaˊ) dan buritan (buliˊ) yang rendah memudahkan untuk melempar dan menarik jaring, serta memfasilitasi pemasangan tiang dan mendayung.

 
Sebuah lepa di festival Regatta Lepa 2015 di Semporna, Malaysia

Lepa secara tradisional dihiasi dengan desain bunga yang rumit yang dikenal sebagai okil (juga dieja ukkil). Haluan, khususnya, sering dilengkapi dengan cucur besar yang diukir dengan indah disebut jungal.[6][7]

Tradisi sunting

Di Filipina dan Malaysia, biasanya tidak ada ritual yang terlibat dalam pembuatan maupun pelepasan lepa, kemungkinan dikarenakan tingginya tingkat Islamisasi atas keyakinan adat suku Sama. Namun di Indonesia bagian timur, doa dan ritual dikaitkan dengan penggabungan rangka dengan bagian haluan dan buritan, dan pelubangan posisi tiang kapal ("pusat" kapal). Setelah yang terakhir, kapal ini diluncurkan untuk pertama kalinya, dan secara simbolis menjadi anak dari pemilik perahu.

Di masa nomaden Sama Dilaut terdahulu, sebelum seorang pria muda akan menikah, keluarganya akan membangun atau membeli sebuah lepa, agar ia dan istrinya bisa hidup sebagai anggota nelayan independen. Setelah kematiannya, lepa akan dibongkar dan digunakan sebagai peti matinya untuk pemakaman.

Sebelum melakukan perjalanan yang panjang atau berbahaya, lepa sering diberkati dengan mantra sihir (haligmun) oleh dukun desa. Ini termasuk mantra yang seharusnya membuat mereka tidak terlihat oleh bajak laut atau dapat kebal peluru. Sama-Bajau juga terkadang membuat ikrar (magjanji') kepada Tuhan atau arwah nenek moyang (umboh) dalam krisis di laut, atau ketika perahu gagal kembali ke rumah. Ketika perahu kembali dengan selamat, ikrar tersebut dibayar dengan jamuan terimakasih yang disebut magmaulud atau magbajanji.

Regatta Lepa sunting

Regatta Lepa adalah festival perahu tahunan di Semporna, Malaysia, merayakan tradisi pembuatan perahu masyarakat Sama-Bajau di Sabah.

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ Maria Bernadette L. Abrera (2007). "The Soul Boat and the Boat-Soul: An Inquiry into the Indigenous "Soul"" (PDF). Philippine Social Sciences Review. [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ "The Traditional Lepa Boat". Etawau. Diakses tanggal 7 May 2018. 
  3. ^ "Regatta Lepa-Lepa". Etawau. Diakses tanggal 7 May 2018. 
  4. ^ Clifford Sather (2001). "Bajau laut boat-building in Semporna". Traversées (35-36): 177–198. 
  5. ^ Jesusa L. Paquibot (2016). "Lepa: The Sea as Home". Dalam Kwon Huh. Tradtional Shipbuilding Techniques (PDF). 29. Intangible Cultural Heritage Courier of Asia and the Pacific, UNESCO. hlm. 16–17. ISSN 2092-7959. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-05-07. Diakses tanggal 2018-06-11. 
  6. ^ Jun Mercado (10 November 2008). "Carvers, kumpit builders". GMA News Online. Diakses tanggal 7 May 2018. 
  7. ^ "Lepa Boat". National Museum of the Philippines. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-28. Diakses tanggal 7 May 2018.