Lixisol adalah satu dari 30 jenis tanah dalam klasifikasi Food and Agriculture Organization (FAO)[1] dan merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan dan pelarutan zat secara terus-menerus, sehingga liat tercuci secara horizon eluviasi dan menumpuk di horizon bawah (horizon B) sebagai horizon argik pada kedalaman 100 cm hingga 200 cm dari permukaan tanah[2]. Lixisol berkembang di daerah tata ruang tua beriklim tropis dengan musim yang kering. Mineral yang terkandung dalam lixisol kebanyakan berupa jenis mineral liat beraktivitas rendah (low activity clays), seperti gibsit, hematit, maupun kaolinit. Usia dan mineraloginya menyebabkan rendahnya tingkat nutrisi pada tanaman dan erodibilitas yang tinggi, sehingga apabila digunakan untuk pertanian hanya bisa dilakukan dengan penggunaan pupuk yang konsisten dan pengendalian erosi yang baik. Di Indonesia, tanah ini disebut dengan tanah podzolik merah kuning.

Lixisol

Persebaran

sunting

Tanah lixisol memiliki luas hampir 450 juta hektare yang tersebar di daerah tropis yang iklim tahunannya bersifat kering, subtropis, serta daerah beriklim sedang yang relatif hangat dan lembap, yang tersebar di negara-negara sub-sahara, seperti Afrika, Amerika Selatan, Amerika Tengah, India, Asia Tenggara, dan Australia.

Pembentukan

sunting

Proses pembentukan lixisol dimulai dari keadaan yang lebih lembap dan basah. Pada proses ini, terjadi pelapukan secara terus-menerus kemudian terjadi pengayakan (enrichment) secara kimiawi yang disebabkan oleh kondisi iklim yang berubah menjadi lebih panas, sehingga curah hujan berkurang dan evaporasi meningkat.

Referensi

sunting
  1. ^ "Lixisol | FAO soil group | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-01-27. 
  2. ^ Fiantis, Dian. MORFOLOGI DAN KLASIFIKASI TANAH (PDF). Padang: Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK) Universitas Andalas. hlm. 245.