Aksara Lontara

jenis aksara untuk menuliskan sebuah bahasa
(Dialihkan dari Lontara)

Aksara Lontara, juga dikenal sebagai aksara Bugis, aksara Bugis-Makassar, atau aksara Lontara Baru adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Bugis, Mandar, dan Makassar, tetapi dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores dengan tambahan atau modifikasi.[1] Aksara ini merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi.[2] Aksara Lontara aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak abad 16 M hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari muatan lokal, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.

Lontara
ᨒᨚᨈᨑ
Jenis aksara
Abugida
BahasaBugis, Makassar, Mandar, Bima (dengan modifikasi), Ende (dengan modifikasi)
Periode
Abad 15 hingga sekarang
Arah penulisanKiri ke kanan
Aksara terkait
Silsilah
Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
Aksara kerabat
Bali
Batak
Baybayin
Incung
Jawa
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924Bugi, 367 Sunting ini di Wikidata, ​Buginese
Pengkodean Unicode
Nama Unicode
Buginese
U+1A00–U+1A1F

Aksara Lontara adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 23 aksara dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan tanda baca yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Lontara, sehingga teks Lontara secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.

Sejarah

Para ahli umumnya meyakini bahwa aksara Lontara telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh Islam yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahwa aksara Lontara menggunakan dasar sistem abugida Indik ketimbang huruf Arab yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.[3] Aksara ini berakar pada aksara Brahmi dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.[2][4][5] Kesamaan grafis aksara-aksara Sumatera Selatan seperti aksara Rejang dengan aksara Lontara membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua aksara tersebut.[6] Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahwa aksara Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang secara paralel dari pengaruh purwarupa aksara Gujarat, India.[7]

Lontara di Sulawesi Selatan pertama kali berkembang di wilayah Bugis yaitu kawasan Cenrana-Walannae sekitar tahun 1400 M. Aksara ini mungkin telah menyebar ke bagian lain Sulawesi Selatan, beberapa ahli juga mempertimbangkan kemungkinan aksara ini berkembang secara mandiri. Yang jelas adalah bahwa catatan tertulis lontara yang paling awal yang ada buktinya adalah silsilah keluarga.[8]

Pada saat kertas tersedia di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, aksara lontara yang sebelumnya harus ditulis lurus, bersudut dan kaku pada daun lontar, kini dapat ditulis lebih cepat dan lebih bervariasi dengan menggunakan tinta pada kertas. R.A. Kern (1939:580-3) menuliskan bahwa aksara lontara termodifikasi yang memiliki bentuk lengkung yang ditemukan tertulis pada kertas tampaknya tidak ditemukan dalam naskah Bugis yang tertulis pada daun lontar yang ia teliti.[9]

Melalui upaya ahli linguistik Belanda, B.F. Matthes, mesin cetak Lontara Bugis, yang dirancang dan dibuat di Rotterdam pada pertengahan abad ke-19, digunakan sejak saat itu untuk pencetakan di Makassar, Sulawesi Selatan dan Amsterdam. Mereka juga dijadikan model pengajaran aksara Lontara Bugis di sekolah-sekolah, awalnya di Makasar dan sekitarnya, kemudian secara bertahap di daerah lain di Sulawesi Selatan. Proses standardisasi ini jelas mempengaruhi tulisan tangan di kemudian hari. Ketika model standar Lontara Bugis ini telah muncul, variasi yang ada sebelumnya perlahan-lahan menghilang.[10] Dan pada akhir abad ke-19, penggunaan aksara Makassar (atau aksara Jangang-Jangang) telah sepenuhnya digantikan oleh aksara Lontara Bugis, yang kadang-kadang disebut oleh para juru tulis bahasa Makassar sebagai "Lontara Baru".[11]

Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Lontara, Makassar (atau aksara Jangang-Jangang), Arab, dan Latin. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Lontara yang sering ditemukan bercampur dengan Arab Melayu.[12]

Media

Aksara Lontara kebanyakan ditemukan dalam bentuk buku dengan kertas yang diimpor dari Eropa. Teks umum ditulis dengan tinta lokal menggunakan rusuk daun palem atau kallang (kalam) yang terbuat dari batangan buluh.[13] Terdapat pula beberapa naskah beraksara Lontara yang ditemukan dalam bentuk unik menyerupai pita rekaman: selembar daun lontar yang panjang dan tipis digulungkan pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman pada kaset. Teks kemudian dibaca dengan menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan. Namun demikian, media ini hanya ditemukan pada beberapa contoh saja; sastra beraksara Lontara lebih lazim ditemukan pada media kertas.[14] Selain kertas, aksara Lontara juga dapat ditemukan pada benda-benda tertentu sebagai bagian dari seni terapan, misal pada cap[15] dan kerajinan perak.[16]

Memasuki pertengahan abad 19 M, berkembang teknologi cetak aksara Lontara yang diprakarsai oleh B. F. Matthes. Matthes dikomisikan oleh Lembaga Penginjilan Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan Injil yang layak bagi bahasa-bahasa tersebut. Matthes tiba di Makassar pada tahun 1848 M dan tinggal di sana selama sepuluh tahun. Bekerja sama dengan percetakan Tetterode di Rotterdam, sebuah font cetak untuk aksara Lontara yang Matthes anggap cukup memuaskan selesai diproduksi pada tahun 1856, dengan beberapa suntingan selama beberapa tahun ke depannya. Sejak itu, bacaan sastra Makassar dan Bugis, dengan font Lontara yang digubah Matthes, dapat dicetak massal dan menjadi lumrah beredar di khalayak umum. Langgam cetak ini kemudian menjadi model pengajaran standar di sekolah-sekolah dasar masa itu, bermula dari sekolah-sekolah di daerah Makassar yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Akibat tersebarnya langgam standar tersebut, gaya tulis aksara Lontara yang awalnya memiliki beberapa macam variasi lama kelamaan menjadi lebih seragam.[17]

Penggunaan

Secara tradisional, aksara Lontara digunakan untuk menulis beberapa bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan. Materi beraksara Lontara paling banyak ditemukan dalam bahasa Bugis, diikuti oleh bahasa Makassar, kemudian bahasa Mandar yang materinya paling sedikit. Masyarakat Toraja yang juga berdiam di Sulawesi Selatan tidak menggunakan aksara Lontara karena tradisi sastra Toraja mengandalkan penyampaian lisan tanpa tradisi naskah asli.[18] Aksara Lontara yang sedikit dimodifikasi juga digunakan untuk beberapa bahasa di luar Sulawesi Selatan yang wilayahnya pernah mendapat pengaruh Bugis-Makassar, seperti bahasa Bima di Sumbawa timur dan bahasa Ende di Flores.[19]

Penggunaan Aksara Lontara

Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pra-kemerdekaan, aksara Lontara kerap digunakan dalam sejumlah tradisi teks yang berhubungan, sebagian besarnya dalam bentuk manuskrip atau naskah kertas. Istilah lontara (kadang dieja lontaraq atau lontara' untuk menandakan bunyi hentian glotal di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Genre ini bisa dibagi ke dalam beberapa sub-jenis: silsilah (lontara' pangngoriseng), catatan harian (lontara' bilang), dan catatan sejarah atau kronik (attoriolong dalam bahasa Bugis, patturioloang dalam bahasa Makassar). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.[20] Dibandingkan dengan catatan-catatan "sejarah" dari bagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastra Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara elemen legendaris relatif sedikit muncul dan selalu disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan realistis.[21][22] Meskipun begitu, catatan sejarah seperti attoriolong Bugis dan patturioloang Makassar tidak terlepas dari fungsi politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu.[23]

Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastra Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Indonesia lainnya.[24] Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (Bugis: arung, Makassar: karaeng), atau perdana menteri (Bugis: tomarilaleng, Makassar: tumailalang). Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, tetapi apabila satu hari memiliki banyak catatan maka seringkali baris aksara berbelok dan berputar-putar untuk menempati segala ruang kosong yang masih tersisa dalam halaman karena satu tanggal hanya diperbolehkan untuk memuat satu baris tak terputus.[24] Salah satu peninggalan catatan harian beraksara Lontara dalam koleksi publik adalah satu volume catatan harian Sultan Ahmad al-Salih Syamsuddin (sultan ke-22 Kerajaan Boné, berkuasa 1775–1812 M) yang ia isi sendiri antara 1 Januari 1775 M hingga 1795 M.[25]

Salah satu sastra puitis yang umum ditemukan dalam naskah lontara adalah epos Bugis I La Galigo (ᨕᨗᨒᨁᨒᨗᨁᨚ, dikenal pula dengan nama Sure' La Galigo ᨔᨘᨑᨛᨁᨒᨗᨁᨚ). Epos mengenai asal-usul masyarakat Bugis ini merupakan puisi berbait yang terdiri dari cuplikan berbagai protagonis di latar kerajaan mitologis pra-Islam bernama Luwu'. Meski terbagi ke dalam berbagai episode cerita yang merentang hingga beberapa generasi karakter, semua cuplikan saling menyambung dan cenderung konsisten dari segi isi dan bahasa sehingga semuanya membentuk satu kesatuan yang koheren. Apabila disatukan, keseluruhan I La Galigo dapat mencapai hingga 6000 halaman folio, menjadikannya salah satu karya sastra terpanjang di dunia.[26] Konvensi puitis dan alusi Galigo kemudian melahirkan pula genre puisi tolo, yang menggabungkan kesejarahan genre lontara dengan bentuk puitis Galigo.[27]

Aksara Lontara juga kerap ditemukan dalam teks-teks Islami yang mencakup namun tidak terbatas pada hikayat, panduan doa, azimat, tafsir, serta kitab hukum-hukum Islam.[28] Naskah semacam ini hampir selalu ditulis dengan campuran abjad Jawi untuk istilah Arab atau Melayu. Jenis teks ini juga merupakan penggunaan aksara Lontara yang bertahan paling lama dan masih diproduksi (dalam jumlah yang terbatas) hingga awal abad 21 M. Salah satu lembaga yang kerap memproduksi materi beraksara Lontara di Indonesia pasca kemerdekaan adalah Pesantren As'adiyah di Sengkang yang mempublikasikan berbagai teks Islami dengan bahasa Bugis dan aksara Lontara cetak sejak pertengahan abad 20 M. Namun memasuki abad 21 M, kualitas cetakan dan jumlah publikasi beraksara Lontara di Sulawesi Selatan kian menurun; hampir tidak ada buku baru yang disusun dalam aksara Lontara dan bahkan buku lama yang beraksara Lontara seringkali dicetak ulang dengan alih aksara Latin yang menggantikan aksara Lontara sepenuhnya.[29]

Penggunaan kontemporer

 
Papan nama beraksara Lontara Museum Balla Lompoa, Gowa

Dalam ranah kontemporer, aksara Lontara telah menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di Sulawesi Selatan sejak 1980-an dan dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Namun bukti-bukti anekdotal mensugestikan bahwa metode pengajaran kontemporer yang kaku dan materi bacaan yang terbatas justru berefek kontra-produktif dalam literasi masyarakat akan aksara Lontara. Generasi muda masyarakat Sulawesi Selatan umumnya hanya sadar akan adanya aksara Lontara dan mengenal beberapa huruf, tetapi jarang sekali ada yang mampu membaca dan menulisnya secara substansial. Kemampuan yang memadai untuk membaca dan menulis teks beraksara Lontara umumnya terbatas pada generasi tua yang kadang masih menghasilkan teks Lontara untuk tujuan pribadi.[30][31] Salah satunya misal Daeng Rahman dari desa Boddia, Galesong (sekitar 15 km di selatan kota Makassar), yang sejak tahun 1990 menuliskan kejadian-kejadian yang terjadi di Galesong (sebagaimana genre kronik attoriolong/patturioloang) dalam catatan beraksara Lontara yang pada tahun 2010 mencapai 12 buku.[32] Teks Lontara yang isinya tidak dapat dibaca oleh pemiliknya kadang dikeramatkan, meski substansi isinya seringkali tidak sebanding dengan romantisasi pemilik teks tersebut. Saat sejarawan William Cummings sedang meneliti tradisi penulisan sejarah Makassar, misalnya, sebuah keluarga (yang semua anggotanya buta aksara Lontara) menuturkan padanya mengenai naskah warisan beraksara Lontara milik keluarga yang selama ini tidak berani mereka buka. Namun, ketika naskah tersebut akhirnya diperbolehkan untuk dilihat, ternyata isinya tidak lebih dari bon pembelian kuda.[33]

Kerancuan

Aksara Lontara secara tradisional tidak memiliki diakritik untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata tertutup meskipun bahasa Bugis dan Makassar yang kerap menggunakan aksara Lontara memiliki banyak kata dengan suku kata tertutup. Semisal, bunyi nasal akhir /-ŋ/ dan glotal /ʔ/ yang lumrah dalam bahasa Bugis sama sekali tidak ditulis dalam ejaan aksara Lontara, sehingga kata seperti sara (kesedihan), sara' (menguasai), dan sarang (sarang) semuanya akan ditulis sebagai sara ᨔᨑ dalam aksara Lontara. Dalam bahasa Makassar, tulisan ᨅᨅ dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: baba, baba', ba'ba, ba'ba', bamba, dan bambang.[34]

Mengingat bahwa penulisan aksara Lontara tradisional juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang konsisten, naskah beraksara Lontara kerap memiliki banyak kerancuan kata yang seringkali hanya dapat dibedakan melalui konteks. Pembaca teks Lontara memerlukan pemahaman awal yang memadai mengenai bahasa dan isi naskah yang bersangkutan untuk dapat membaca teksnya dengan lancar.[35][36] Kerancuan ini dapat dianalogikan dengan penggunaan huruf Arab gundul; pembaca yang bahasa ibunya memakai huruf Arab secara intuitif paham akan vokal mana yang pantas digunakan dalam konteks kalimat yang bersangkutan, sehingga penanda vokal tidak diperlukan dalam teks standar sehari-hari.

Namun begitu, kadang konteks sekalipun tidak memadai untuk mengungkap cara baca kalimat yang rujukannya tidak diketahui oleh pembaca. Sebagai ilustrasi, Cummings dan Jukes memberikan contoh berbahasa Makassar berikut untuk mengilustrasikan bagaimana penulisan Lontara dapat menghasilkan arti yang berbeda tergantung dari cara pembaca memenggal dan mengisi bagian yang rancu:

Aksara Lontara (Bahasa Makassar) Kemungkinan Cara Baca
Latin Arti
ᨕᨅᨙᨈᨕᨗ[37] a'bétai ia menang (intransitif)
ambétai ia mengalahkan ... (transitif)
ᨊᨀᨑᨙᨕᨗᨄᨙᨄᨙᨅᨒᨉᨈᨚᨀ[33] nakanréi pépé' balla' datoka api melahap sebuah klenteng
nakanréi pépé' balanda tokka' api melahap sang Belanda botak

Tanpa mengetahui maksud atau kejadian nyata yang mungkin dirujuk oleh penulis, maka pembacaan yang "benar" dari kalimat di atas tidak mungkin ditentukan sendiri oleh pembaca umum. Pembaca paling mahir sekalipun kerap perlu berhenti sejenak untuk mengintepretasikan apa yang ia baca.[34] Karena seringkali tidak memiliki informasi krusial dalam menuliskan bahasa yang bersangkutan, beberapa penulis seperti Noorduyn menjuluki aksara Lontara sebagai "aksara defektif."[38]

Bentuk

Aksara dasar

Aksara dasar (ina’ sure’ ᨕᨗᨊᨔᨘᨑᨛ dalam bahasa Bugis, anrong lontara’ ᨕᨑᨚᨒᨚᨈᨑ dalam bahasa Makassar) dalam aksara Lontara merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 23 aksara dasar dalam aksara Lontara, sebagaimana berikut:[39]

Ina’ Sure’ atau Anrong Lontara’
ka ga nga ngka
       
pa ba ma mpa
       
ta da na nra
       
ca ja nya nca
       
ya ra la wa
       
sa a ha
     

Terdapat empat aksara yang merepresentasikan suku kata pra-nasal, yakni ngka , mpa , nra , dan nca . Keempat aksara ini tidak pernah digunakan dalam materi berbahasa Makassar dan merupakan salah satu ciri khas tulisan Bugis. Namun, dalam praktik penulisan tradisional Bugis-pun, keempat aksara ini seringkali tidak dipakai dengan konsisten, bahkan oleh juru tulis profesional.[40]

Diakritik

Diakritik (ana’ sure’ ᨕᨊᨔᨘᨑᨛ dalam bahasa Bugis, ana’ lontara’ ᨕᨊᨒᨚᨈᨑ dalam bahasa Makassar) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan. Terdapat 5 diakritik dalam aksara Lontara, sebagaimana berikut:[39]

Ana’ Sure’ atau Ana’ Lontara’
-i -u [1] -o -e[2] (-ng[41])
         
Nama Bugis tetti’ riase’ tetti’ riawa kecce’ riolo kecce’ rimunri kecce’ riase’
Nama Makassar ana’ i rate ana’ i rawa ana’ ri olo ana’ ri boko (anca’)
na ni nu no ne (nang)
           
ᨊᨗ ᨊᨘ ᨊᨙ ᨊᨚ ᨊᨛ
Catatan

^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"

Bahasa Makassar tidak memiliki bunyi pepet (e sebagaimana dalam kata "empat", /ə/ dalam representasi IPA), sehingga diakritik kecce’ riase’ Bugis tidak diperlukan dalam penulisan bahasa Makassar. Namun begitu, juru tulis Makassar kadang memanfaatkan ulang diakritik ini untuk menandakan bunyi nasal akhir /-ŋ/ dalam teks berbahasa Makassar dan dikenal dengan nama anca’.[41]

Tanda baca

Teks tradisional Lontara ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan tidak banyak menggunakan tanda baca. Aksara Lontara diketahui hanya memiliki dua tanda baca asli: pallawa (atau passimbang dalam bahasa Makassar) dan tanda pengakhir bagian. Pallawa berfungsi seperti titik atau koma dalam huruf Latin dengan membagi teks ke dalam penggalan yang mirip (namun tidak sama) dengan bait atau kalimat. Tanda baca ini dapat ditemukan dalam semua naskah beraksara Lontara. Tanda pengakhir bagian digunakan untuk membelah teks ke dalam satuan yang menyerupai bab, tetapi penggunaannnya hanya teratestasi dalam lembar contoh aksara Bugis yang diproduksi Percetakan Nasional Prancis (Imprimerie Nationale) pada akhir 1800-an.[39][42]

Tanda Baca
pallawa/

passimbang

akhir bagian
   

Sumber kontemporer kadang juga mengikutsertakan ekivalen aksara Lontara untuk tanda baca Latin seperti koma, titik dua, titik koma, tanda seru, dan tanda tanya. Namun tanda-tanda bacaan tersebut merupakan rekaan kontemporer yang tidak pernah ditemukan dalam naskah tradisional.[39]

Diakritik pemati tambahan

Aksara Lontara Bugis-Makassar secara tradisional tidak memiliki diakritik pemati (virama) atau penanda sejenis yang mematikan vokal aksara dasar, sehingga lumrah ditemukan kata-kata yang tidak sepenuhnya dieja mengikuti pelafalan kata yang bersangkutan. Tidak adanya diakritik pemati asli merupakan salah satu alasan utama banyaknya kerancuan dalam teks Lontara standar. Namun begitu, varian aksara Lontara yang digunakan untuk menulis bahasa Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores diketahui memiliki diakritik pemati asli yang telah digunakan dalam tradisi tulis Bima-Ende sejak masa pra-kemerdekaan.[43][44] Diakritik pemati Bima-Ende ini tidak diserap balik ke dalam penulisan Bugis-Makassar sehingga Lontara standar Bugis-Makassar tetap tidak memiliki diakritik pemati hingga masa modern.[44]

Lontara Bugis-Makassar baru bereksperimen dengan rekaan diakritik pemati pada abad 21 M, umumnya sebagai upaya untuk memudahkan pengajaran aksara Lontara dalam kurikulum muatan lokal dan untuk memudahkan penulisan tepat bahasa Indonesia serta istilah asing. Pada tahun 2003, penulis sekaligus pakar bahasa Makassar Djirong Basang tercatat menyarankan tiga diakritik baru untuk aksara Lontara: diakritik pemati (virama), hentian glottal, dan nasal.[39] Sejak itu, Anshuman Pandey mencatat adanya tiga macam alternatif virama yang pernah diusulkan dalam sejumlah publikasi mengenai Lontara Bugis-Makassar hingga tahun 2016.[43] Namun begitu, tidak semua pihak menyetujui usulan penambahan diakritik pemati dalam aksara Lontara. Pakar sastra Bugis seperti Nurhayati Rahman menilai bahwa perombakan ortografi seperti menambah diakritik pemati untuk bahasa Bugis-Makassar merupakan usaha yang lebih menunjukkan adanya rasa inferioritas dengan 'memaksakan' aksara Lontara untuk mengikuti norma penulisan huruf Latin. Hal ini juga dikhawatirkan malah menjauhkan generasi baru dari praktek penulisan dalam naskah dan warisan sastra riil.[45]

Hingga 2018, usulan diakritik tambahan tidak memiliki status resmi maupun konsensus umum sehingga bentuk diakritik antar pihak bisa jadi kontradiktif.[43][46][47] Satu hal yang pasti ialah diakritik pemati tidak pernah muncul dalam konteks penggunaan tradisional dan naskah historis nyata Bugis-Makassar.[35]

Diakritik pemati
Virama
Bima/Ende[43]
Rekaan Modern Bugis/Makassar
Virama
Alt.1[43]
Virama
Alt.3[43]
Virama
Alt.2[39]
Hentian
Glottal
[39]
Nasal[39]
             
n na' nang
             

Sandi

 
Tabel sandi lontara bilang-bilang beserta ekivalen lontara standarnya sebagaimana dicatat oleh Matthes[48]

Aksara Lontara memiliki versi sandi bernama Lontara Bilang-bilang yang kadang digunakan dalam sastra Bugis untuk fungsi spesifik penulisan basa to bakke, semacam teka-teki permainan kata, serta élong maliung bettuanna, puisi dengan makna tersembunyi yang memanfaatkan basa to bakke. Dalam sandi ini, tiap aksara dasar dalam Lontara standar digantikan dengan bentuk-bentuk yang diturunkan dari abjad dan angka Arab. Diakritik tidak diubah dan digunakan sebagaimana dalam Lontara standar, tetapi menempel pada aksara dasar yang bentuknya telah disandikan. Sandi ini merupakan adaptasi dari sandi abjad Arab yang tercatat pernah digunakan di wilayah Pakistan-Afghanistan. Prinsip dasar dari sandi ini adalah pengalihan atau subtitusi huruf Arab menjadi stilisasi angka dari nilai masing-masing huruf berdasarkan sistem bilangan abjad Arab. Dalam versi Lontara Bilang-bilang, beberapa huruf untuk bunyi Arab yang tidak digunakan dalam bahasa Bugis dihilangkan, sementara huruf-huruf untuk bunyi yang muncul dalam bahasa Melayu dan Bugis ditambahkan melaui prinsip subtitusi yang sama.[44][49]

Contoh teks

Berikut adalah cuplikan permulaan attoriolong Kerajaan Boné (naskah NBG 101 koleksi Universitas Leiden) yang ditulis dalam bahasa Bugis. Bagian ini mengisahkan legenda tomanurung ("ia yang turun") yang mengawali munculnya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.[50] Alih aksara dan terjemahan bebas diadaptasi dari Macknight, Paeni & Hadrawi (2020).[51]

Aksara Lontara[52] Alih aksara Latin[53] Terjemahan bebas[54]
ᨕᨗᨕᨁᨑᨙᨄᨘᨈᨊᨕᨑᨘᨆᨙᨋᨙᨕᨙ᨞ᨑᨗᨁᨒᨗᨁᨚ᨞
ᨉᨙᨊᨑᨗᨕᨔᨛᨕᨑᨘ᨞ᨕᨁᨈᨛᨊᨔᨗᨔᨛᨈᨕᨘᨓᨙ᨞ᨔᨗᨕᨙᨓᨕᨉ᨞
ᨔᨗᨕᨋᨙᨅᨒᨙᨆᨊᨗᨈᨕᨘᨓᨙ᨞ᨔᨗᨕᨅᨛᨒᨗᨅᨛᨒᨗᨕ᨞ᨉᨙᨊᨕᨉᨛ᨞
ᨕᨄᨁᨗᨔᨗᨕᨑᨗᨕᨔᨛᨂᨙᨅᨗᨌᨑ᨞ᨑᨗᨕᨔᨛᨂᨗᨄᨗᨈᨘᨈᨘᨑᨛᨊᨗ᨞
ᨕᨗᨈᨊ᨞ᨉᨙᨕᨑᨘ᨞ᨔᨗᨀᨘᨓᨈᨚᨊᨗᨑᨚ᨞ᨕᨗᨈᨊ᨞
ᨈᨕᨘᨓᨙᨈᨛᨔᨗᨔᨛᨔᨗᨕᨙᨓᨕᨉ᨞ᨈᨛᨀᨙᨕᨉᨛ᨞ᨈᨛᨀᨛᨅᨗᨌᨑ᨞
Ia garé’ puttana arung ménré’é| riGaligo| dé’na riaseng arung| Aga tennassiseng tauwé| siéwa ada| Sianré-balémani tauwé| Siabelli-belliang| Dé’na ade’|apa’gisia riasengngé bicara| Riasengngi pitu-tturenni| ittana| dé’ arung| Sikuwa toniro| ittana| tauwé tessise-ssiéwa ada| tekké ade’| tekké bicara| Konon katanya terdapat raja-raja (arung), dahulu pada [zaman kisah La] Galigo, tetapi kemudian tiada lagi yang digelari raja. Sebab tak tahu lagi orang-orang bagaimana caranya bertukar kata satu sama lain. Orang-orang saling memakan satu sama lain seperti ikan. Saling menjual satu sama lain [sebagai budak]. Tiada lagi aturan adat, apalagi hukum. Tersebutlah tujuh turunan lamanya tiada raja. Selama ini pula orang-orang tiada lagi dapat bertukar kata, tiada adat, tiada hukum.
ᨊᨕᨗᨕᨆᨊᨗᨕᨆᨘᨒᨊ᨞ᨊᨃᨕᨑᨘ᨞ᨕᨛᨃᨔᨙᨕᨘᨓᨕᨛᨔᨚ᨞
ᨊᨔᨗᨕᨋᨙᨅᨗᨒᨕᨙ᨞ᨒᨛᨈᨙ᨞ᨄᨙᨓᨈᨚᨊᨗᨈᨊᨕᨙ᨞ᨑᨗᨕᨔᨛᨂᨗ᨞
ᨕᨛᨃᨕᨗᨔᨗᨄᨔᨆᨀᨘᨕ᨞ᨊᨕᨗᨕᨄᨍᨊᨅᨗᨒᨕᨙ᨞ᨒᨛᨈᨙ᨞
ᨄᨙᨓᨈᨊᨕᨙ᨞ᨈᨀᨚᨕᨛᨃᨈᨕᨘᨑᨗᨈ᨞ᨓᨚᨑᨚᨕᨊᨙ᨞
ᨑᨗᨈᨛᨂᨊᨄᨉᨂᨙ᨞ᨆᨔᨂᨗᨄᨘᨈᨙ᨞ᨍᨍᨗᨊᨗᨔᨗᨄᨘᨒᨘᨈᨕᨘᨓᨙ᨞
ᨈᨔᨙᨓᨊᨘᨕ᨞ᨈᨔᨙᨓᨊᨘᨕ᨞ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨕᨔᨗᨈᨘᨑᨘᨔᨗ᨞
ᨑᨗᨈᨕᨘᨆᨕᨙᨁᨕᨙ᨞ᨆᨔᨛᨂᨙᨂᨗ᨞ᨈᨚᨆᨊᨘᨑᨘ᨞
Naiamani ammulanna| nangka arung| Engka séuwa esso| nasianré billa’é| letté| péwattoni tanaé| Riasengngi| engkai sipasa makkua| Naia pajana billa’é| letté| péwang tanaé| takko’ engka tau rita| woroané| ritengngana padangngé| masangiputé| Jajini sipulung tauwé| tasséwanua| tasséwanua| Iana riassiturusi| ritau maégaé| masengngéngngi| tomanurung| Beginilah permulaan adanya raja-raja. Konon pada suatu hari, kilat dan guntur saling makan [=bersahutan-sahutan], tanah berguncang, konon sepekan lamanya seperti ini. Begitu usai seluruh kilat, guntur dan gempa, tiba-tiba seseorang terlihat di tengah padang, berpakaian putih-putih. Berkumpullah orang-orang berdasarkan wilayah (wanua) masing-masing. Lalu disepakati oleh orang-orang seluruhnya untuk menggelari [orang yang tiba-tiba muncul tersebut] tomanurung.
ᨍᨍᨗᨊᨗᨄᨔᨙᨕᨘᨓᨈᨂ᨞ᨈᨕᨘᨆᨕᨙᨁᨕᨙ᨞ᨊᨕᨗᨕᨊᨔᨗᨈᨘᨑᨘᨔᨗ᨞
ᨄᨚᨀᨛᨕᨙᨂᨗᨕᨒᨙᨊ᨞ᨒᨕᨚᨑᨗᨈᨕᨘᨓᨙᨑᨚ᨞
ᨊᨔᨛᨂᨙᨈᨚᨆᨊᨘᨑᨘ᨞ᨒᨈᨘᨕᨗᨀᨚᨑᨗᨕ᨞ᨆᨀᨛᨉᨊᨗᨈᨕᨘᨈᨛᨅᨛᨕᨙ᨞
ᨒᨊᨆᨕᨗᨀᨗᨒᨕᨚᨓᨑᨗᨀᨚ᨞ᨒᨆᨑᨘᨄᨛ᨞ᨕᨆᨔᨙᨕᨊᨀᨛ᨞
ᨕᨍᨊᨆᨘᨕᨒᨍ᨞ᨆᨘᨈᨘᨉᨊᨑᨗᨈᨊᨆᨘ᨞ᨊᨕᨗᨀᨚᨊᨄᨚᨕᨈᨀᨛ᨞
ᨕᨙᨒᨚᨆᨘᨕᨙᨒᨚᨑᨗᨀᨛ᨞ᨊᨄᨔᨘᨑᨚᨆᨘᨊᨀᨗᨄᨚᨁᨕᨘ᨞
ᨊᨆᨕᨘᨕᨊᨆᨛ᨞ᨊᨄᨈᨑᨚᨆᨛ᨞ᨆᨘᨈᨙᨕᨕᨗᨓᨗ᨞
ᨀᨗᨈᨙᨕᨕᨗᨈᨚᨕᨗᨔᨗ᨞ᨑᨙᨀᨘᨕᨆᨚᨋᨚᨆᨘᨊᨚᨆᨕᨗ᨞
ᨊᨕᨗᨀᨚᨀᨗᨄᨚᨄᨘᨕ᨞
Jajini passéuwa tangnga’| tau maégaé| Naia nassiturusi| pokke’éngngi aléna| llao ritauwéro| nasengngé tomanurung| Lattu’i koria| Makkedani tau tebbe’é| "Iana mai kilaowang riko| Lamarupe’| amaséannakkeng| aja’na muallajang| Mutudanna ritanamu| Naikona poatakkeng| Élo’mu élo’ rikkeng| Napassuromuna kipogau’| Namau anammeng| na patarommeng| mutéaiwi| kitéaitoisi| Rékkua monromuno mai| naiko kipopuang|" Jadilah orang-orang seluruhnya menyatukan paham. Mereka bersepakat mengikatkan diri mereka dengan orang yang disebut tomanurung ini. Pergilah mereka ke arahnya. Berkata orang-orang kebanyakan, "Kami datang kepada engkau, yang diberkati. Kasihanilah kami sebagaimana anak-anak. Janganlah menghilang. Engkau telah duduk di tanahmu. Engkau jadikanlah kami budak. Kehendakmu adalah kehendak kami. Apapun yang engkau perintahkan akan kami laksanakan. Bahkan jika anak dan istri kami kau tolak, maka kami akan menolak mereka juga. Jika engkau berkenan menetap di sini maka engkau kami pertuan."

Perbandingan dengan aksara Makassar

Bahasa Makassar pada awalnya ditulis menggunakan sebuah aksara asli Makassar sebelum berangsur-angsur tergantikan sepenuhnya dengan aksara Lontara karena pengaruh Bugis. Kedua aksara yang berkerabat dekat ini memiliki aturan tulis yang hampir identik, meski secara rupa terlihat cukup berbeda. Perbandingan kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:[55]

Aksara Dasar
ka ga nga ngka pa ba ma mpa ta da na nra ca ja nya nca ya ra la wa sa a ha
Bugis                                              
Makassar                                    
𑻠 𑻡 𑻢 𑻣 𑻤 𑻥 𑻦 𑻧 𑻨 𑻩 𑻪 𑻫 𑻬 𑻭 𑻮 𑻯 𑻰 𑻱
Diakritik
-a -i -u [1] -o -e[2]
         
na ni nu no ne
Bugis            
ᨊᨗ ᨊᨘ ᨊᨙ ᨊᨚ ᨊᨛ
Makassar          
𑻨 𑻨𑻳 𑻨𑻴 𑻨𑻵 𑻨𑻶
Catatan

^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"

Tanda baca
Bugis pallawa akhir bagian
   
Makassar passimbang akhir bagian
   
𑻷 𑻸

Blok unicode

Buginese[1][2]
Official Unicode Consortium code chart (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+1A0x
U+1A1x ◌ᨗ ◌ᨘ  ᨙ◌ ◌ᨚ ◌ᨛ
Catatan
1. ^Per Unicode versi 13.0
2. ^Abu-abu berarti titik kode kosong

Galeri

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Tol 1996, hlm. 213, 216.
  2. ^ a b Macknight 2016, hlm. 57.
  3. ^ Macknight 2016, hlm. 55.
  4. ^ Tol 1996, hlm. 214.
  5. ^ Jukes 2014, hlm. 2.
  6. ^ Noorduyn 1993, hlm. 567–568.
  7. ^ Miller, Christopher (2010). "A Gujarati origin for scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines". Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society. 36 (1). 
  8. ^ Druce, Stephen C. (2009). "The lands west of the lakes, A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE". KITLV Press Leiden: 63. 
  9. ^ Druce, Stephen C. (2009). "The lands west of the lakes, A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE". KITLV Press Leiden: 57–58. 
  10. ^ J. Noorduyn (1993). Variation in the Bugis/Makasarese script In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Manuscripts of Indonesia 149,no:3. KITLV. hlm. 535. 
  11. ^ Jukes 2019, hlm. 49.
  12. ^ Tol 1996, hlm. 213–214.
  13. ^ Macknight 2016, hlm. 61.
  14. ^ Tol 1996, hlm. 217–219.
  15. ^ Gallop, Annabel Teh (2019). Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia (dalam bahasa Inggris). Singapore: NUS Press. ISBN 9813250860. 
  16. ^ Macknight 2016, hlm. 63–65.
  17. ^ Noorduyn 1993, hlm. 537, 543–544.
  18. ^ Tol 1996, hlm. 213.
  19. ^ Tol 1996, hlm. 216.
  20. ^ Tol 1996, hlm. 223–226.
  21. ^ Cummings 2007, hlm. 8.
  22. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. xi-xii.
  23. ^ Cummings 2007, hlm. 11.
  24. ^ a b Tol 1996, hlm. 226–228.
  25. ^ Gallop, Annabel Teh (01 January 2015). "The Bugis diary of the Sultan of Boné". British Library. Diakses tanggal 11 April 2020. 
  26. ^ Tol 1996, hlm. 222–223.
  27. ^ Tol 1996, hlm. 228–230.
  28. ^ Tol 1996, hlm. 223.
  29. ^ Tol, Roger (2015). "Bugis Kitab Literature. The Phase-Out of a Manuscript Tradition". Journal of Islamic Manuscripts. 6: 66–90. doi:10.1163/1878464X-00601005. 
  30. ^ Jukes 2014, hlm. 16–17.
  31. ^ Macknight 2016, hlm. 66–68.
  32. ^ Jukes 2014, hlm. 12.
  33. ^ a b Cummings, William (2002). Making Blood White: historical transformations in early modern Makassar. Honolulu: University of Hawai'i Press. ISBN 9780824825133. 
  34. ^ a b Jukes 2014, hlm. 6.
  35. ^ a b Tol 1996, hlm. 216–217.
  36. ^ Jukes 2014, hlm. 8.
  37. ^ Jukes 2014, hlm. 9.
  38. ^ Noorduyn 1993, hlm. 533.
  39. ^ a b c d e f g h Everson, Michael (05-10-2003). "Revised final proposal for encoding the Lontara (Buginese) script in the UCS" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (N2633R). 
  40. ^ Noorduyn 1993, hlm. 544–549.
  41. ^ a b Noorduyn 1993, hlm. 549.
  42. ^ Kai, Daniel (2003-08-13). "Introduction to the Bugis Script" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (L2/03-254). 
  43. ^ a b c d e f Pandey, Anshuman (2016-04-28). "Proposal to encode VIRAMA signs for Buginese" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (L2/16-075). 
  44. ^ a b c Miller, Christopher (2011-03-11). "Indonesian and Philippine Scripts and extensions not yet encoded or proposed for encoding in Unicode". UC Berkeley Script Encoding Initiative. 
  45. ^ Rahman, Nurhayati (2012). Suara-suara dalam Lokalitas. La Galigo Press. hlm. 124. ISBN 9799911559. 
  46. ^ Ahmad, Abd. Aziz (2018). Prosiding Seminar Nasional Lembaga Penelitian Universitas Negeri Makassar: Pengembangan tanda baca aksara Lontara. hlm. 40-53. ISBN 978-602-5554-71-1. 
  47. ^ Jukes 2014, hlm. 7–8.
  48. ^ Matthes, B F (1883). Eenige proeven van Boegineesche en Makassaarsche Poëzie. Martinus Nijhoff. 
  49. ^ Tol, Roger (1992). "Fish food on a tree branch; Hidden meanings in Bugis poetry". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Leiden. 148 (1): 82-102. doi:10.1163/22134379-90003169. 
  50. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. 33–34.
  51. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. 54, 77–78, 109–110.
  52. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. 54.
  53. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. 109–110.
  54. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. 77–78.
  55. ^ Jukes 2014, hlm. 2, Tabel 1.

Daftar pustaka

Pranala luar

Koleksi digital

Naskah digital

Lainnya