Ratu Shima

Ratu kerajaan Kalingga
(Dialihkan dari Maharani Sima)

Shima adalah Permaisuri Raja Kartikeyasingha yang menjadi raja Keling saat berpusat di Keling, Jateng (648 - 674) M.

Ratu Shima
Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara
Ratu Keling
Berkuasa674 - 695
PendahuluKartikeyasingha
PenerusRatu Parwati Narayana
KelahiranShima
611 M
Indonesia Keling Jepara
Kematian695 M
Indonesia Kalingga, Kerajaan Keling
PasanganKartikeyasingha
KeturunanRatu Parwati Narayana
WangsaSailendra
AyahDapunta Selendra

Namun Ketika Raja Kartikeyasingha wafat, Sang Permaisuri naik tahta Kerajaan Keling dengan gelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara. Kemudian, memindahkan kekuasaan ke Kalingga, Jawa Tengah.[1]

Biografi

sunting

Ratu Shima atau Shima putri Hyang Syailendra putra Santanu[2] adalah Permaisuri Raja Kartikeyasingha, Ayahanda Kartikeyasingha adalah Raja Kirathasingha (632 - 648) M. Sedangkan Ibunda Kartikeyasingha berasal dari Kerajaan Melayu Sribuja yang beribu kota di Palembang. Raja Melayu Sribuja yang dikalahkan Sriwijaya tahun 683 M adalah kakak dari ibunda Prabu Kartikeyasingha.

Ratu Sima adalah putri seorang pendeta di wilayah Jawa kuno . Ia dilahirkan tahun 611 M di sekitar wilayah yang disebut Keling Jepara. Ia menjadi istri pangeran Kartikeyasingha. Pernikahan Kartikeyasingha dengan Ratu Shima melahirkan dua orang anak, yaitu Dewi Parwati dan Narayana (Iswara). Ratu Shima adalah pemeluk Hindu Siwa yang taat.

Dewi Parwati, anak Ratu Shima, menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Sang Jalantara dan menjadi raja Kerajaan Galuh ke-2 dengan gelar Prabu Suraghana (702-709) M dan berputri Dewi Sannaha.

Dewi Sannaha dan Prabu Sanna menikah memiliki anak yang bernama Sanjaya, Rakai Mataram (723 - 732 M) yang kemudian 703/704 M, Sanjaya menikahi Dewi Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi) putri Rakyan Sundasembawa (mati muda) putra Sri Maharaja Tarusbawa, cucu Sri Maharaja Tarusbawa dari Kerajaan Sunda.

Sehingga Maharaja Harisdarma sempat menjadi raja Kerajaan Galuh (ia merebut kembali tahta Galuh tahun 723 M dari tangan Purbasora yang merebut tahta Galuh tahun 716 M dari Prabu Sanna, ayahnya) dan raja Kerajaan Sunda (menerima tahta dari kakek mertuanya, Sri Maharaja Tarusbawa) tahun 723 M sehingga ia menjadi Maharaja Sunda dan Galuh (723-732) M.[3]

Maharaja Linggawarman, penguasa terakhir Tarumanagara (666-669) M, mempunyai 2 orang putri, yaitu yang sulung bernama Dewi Manasih menjadi istri Sri Maharaja Tarusbawa, menerima tahta Kerajaan Tarumanagara dari mertuanya, lalu mendirikan Kerajaan Sunda pada tahun 669 M dan putri yang kedua bernama Dewi Sobakancana menjadi isteri Sri Jayanasa, yang mendirikan Kerajaan Sriwijaya 671 M.

Hubungan Luar Negeri

sunting

Tahun 500 M Pulau Sumatra dikuasai dua kerajaan kuat, yaitu Kerajaan Pali (Utara) dan Kerajaan Melayu Sribuja (di timur) yang beribu kota Palembang.

Sedangkan Kerajaan Sriwijaya baru merupakan kerajaan kecil di Jambi. Tahun 676 M Kerajaan Pali dan Mahasin (Singapura) ditaklukan Sriwijaya. Tahun 683 M, Kerajaan Sriwijaya berhasil menaklukan Kerajaan Melayu.

Ekspansi Sriwijaya terhadap Kerajaan Melayu yang masih memiliki kekerabatan dengan Keling tentu sangat mengganggu hubungan dengan Keling. Maka, Sriwijaya mencoba mencairkan hubungan dengan Kerajaan Sunda dan Keling.

Langkah diplomatik dilakukan antara Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Sunda yang sama-sama, sebagai menantu Maharaja Linggawarman dalam sebuah prasasti yang ditulis dalam dua bahasa, Jawa dan Melayu, Sunda, jalinan persaudaraan dan persahabatan kemudian dikenal dengan istilah Mitra Pasamayan (inti isi perjanjiannya, untuk tidak saling menyerang dan harus saling membantu).[4]

Kerajaan Keling pun ditawari persahabatan, namun menolak karena sakit hati atas penyerangan Sriwijaya terhadap Melayu, yang merupakan kerabat Keling mengingat Ratu Shima dan Ibunda Kartikeyasinga berasal dari wilayah Kerajaan Melayu Sribuja yang beribu kota di Palembang.

Ketegangan antara Sriwijaya dan Keling menajam sehingga keduanya sudah mempersiapkan pasukan dalam jumlah besar namun, masih dapat dilerai oleh Sri Maharaja Tarusbawa dari Kerajaan Sunda.

Sebagai sahabat dan kerabat sehingga Sri Jayanasa mengurungkan niatnya menyerang Keling, karena Keling adalah kerabat Kerajaan Sunda. Keadaan ini berlangsung hingga Sri Jayanasa wafat tahun 692 M dan digantikan oleh Dharmaputra (692 - 704).

Pemerintahan Ratu Shima

sunting

Dalam pemerintahan Ratu Shima, Kerajaan Keling aman karena keturunan Kalingga ada yang jadi raja di Kerajaan Sunda dan Galuh. Terutama karena sikap tegas dan dia sangat dicintai rakyatnya.

Sang Ratu menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta untuk mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur.

Tradisi mengisahkan seorang raja asing yang meletakkan kantung berisi emas di tengah-tengah persimpangan jalan dekat alun-alun ibu kota Kalingga. Raja asing ini melakukan hal itu karena ia mendengar kabar tentang kejujuran rakyat Kalingga dan berniat menguji kebenaran kabar itu.

Tidak seorangpun berani menyentuh kantung yang bukan miliknya itu, hingga suatu hari tiga tahun kemudian, seorang putra Shima, sang putra mahkota secara tidak sengaja menyentuh kantung itu dengan kakinya.

Mulanya Sang Ratu menjatuhkan hukuman mati untuk putranya, akan tetapi para pejabat dan menteri kerajaan memohon agar Sang Ratu mengurungkan niatnya itu dan mengampuni sang pangeran. Karena kaki sang pangeran yang menyentuh barang yang bukan miliknya itu, maka Ratu menjatuhkan hukuman memotong kaki sang pangeran.[5]

Masa kepemimpinan Ratu Shima menjadi masa keemasan bagi Keling sehingga membuat Raja-raja dari kerajaan lain segan, hormat, kagum sekaligus penasaran.

Masa-masa itu adalah masa keemasan bagi perkembangan kebudayaan apapun. Agama Budha juga berkembang secara harmonis, sehingga wilayah di sekitar kerajaan Ratu Shima juga sering disebut Di Hyang (tempat bersatunya dua kepercayaan Hindu Budha).

Dalam hal bercocok tanam Ratu Shima juga mengadopsi sistem pertanian dari kerajaan kakak mertuanya. Ia merancang sistem pengairan yang diberi nama Subak. Kebudayaan baru ini yang kemudian melahirkan istilah Tanibhala, atau masyarakat yang mengolah mata pencahariannya dengan cara bertani atau bercocok tanam.

Kerajaan Kalingga beratus tahun yang lalu bersinar terang emas penuh kejayaan. Memiliki Maharani Sang Ratu Shima nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya semerbak wangi di banyak negeri. Pamor Ratu Shima dalam memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan.

Bahkan konon tak ada satu warga anggota kerajaan pun yang berani berhadap muka dengannya, apalagi menantang. Situasi ini justru membuat Ratu Shima amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri, hulubalang, jagabaya, jagatirta, ulu-ulu, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya.[6]

Pembagian Kerajaan

sunting

Sebelum wafat, Kerajaan Keling dibagi dua. Di bagian utara disebut Bumi Mataram/ Keling Utara (dirajai oleh Parwati, 695 M-716 M) bersama suaminya Rahyang Mandiminyak atau Prabu Suraghana selanjutnya Sang Sena atau Prabu Sanna.

Di bagian selatan disebut Bumi Sambara/ Keling Selatan dirajai oleh Narayana, adik Parwati, yang bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala' (695 M-742) M.

Sanjaya (cucu Parwati) putra Prabu Sanna dengan Dewi Sannaha, cicit Maharani Shima dan Dewi Sudiwara putri Dewasingha (cucu Narayana) menjadi suami isteri. Pernikahan mereka dikaruniai putra bernama Rakai Panangkaran yang lahir tahun 717 M. Dialah yang di kemudian hari menurunkan raja-raja di Jawa Tengah.

Prasasti Sojomerto

sunting

Prasasti Sojomerto merupakan peninggalan Wangsa Sailendra yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna. Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun, berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 masehi.

Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais.[7] Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

Bahan prasasti ini adalah batu andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm.[8] Tulisannya terdiri dari 11 baris yang sebagian barisnya rusak terkikis usia.

Teks prasasti

sunting

Alih aksara prasasti:[7]

  1. ... – ryayon çrî sata ...
  2. ... _ â kotî
  3. ... namah ççîvaya
  4. bhatâra parameçva
  5. ra sarvva daiva ku samvah hiya
  6. – mih inan –is-ânda dapû
  7. nta selendra namah santanû
  8. namânda bâpanda bhadravati
  9. namanda ayanda sampûla
  10. namanda vininda selendra namah
  11. mamâgappâsar lempewângih

Penafsiran prasasti

sunting

Terjemahan inskripsi yang terbaca:

Sembah kepada Siwa Bhatara Paramecwara dan semua dewa-dewa
... dari yang mulia Dapunta Selendra
Santanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama bininya dari yang mulia Selendra. [9][10]

Ratu Sima putri Hyang Syailendra putra Santanu mangkat tahun 695 M, 3 tahun sesudah Sri Jayanasa, Raja Sriwijaya meninggal 692 M.

Referensi

sunting
  1. ^ http://gusdayat.com/2015/07/04/ratu-sima-ratu-kerajaan-kalingga/
  2. ^ http://en.rodovid.org/wk/Person:321868
  3. ^ ^^Menurut Carita Parahyangan Cicit Ratu Shima adalah Sanjaya yang menjadi Raja Galuh, dan menurut Prasasti Canggal adalah pendiri Kerajaan Medang di Mataram. Berdasarkan Naskah Wangsakerta disebutkan bahwa Ratu Shima berbesan dengan penguasa terakhir Tarumanegara, yang diwarisi oleh Kerajaan Galuh dan Sunda.
  4. ^ http://akibalangantrang.blogspot.co.id/2010/04/mitra-pasamayam.html
  5. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 edisi cetak ulang ke-5 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 37. 
  6. ^ http://www.kompasiana.com/gusblero/maharani-shima_54f5ed6da333115b7c8b45de
  7. ^ a b Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old Malay inscription at Sojomerto". MISI. III: 241–251. 
  8. ^ "Situs Kabupaten Batang, diakses 7 Juni 2007". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-03-27. Diakses tanggal 2016-04-07. 
  9. ^ https://yoedana.wordpress.com/2011/09/15/prasasti-sojomerto/
  10. ^ https://wiki-indonesia.club/wiki/Prasasti_Sojomerto