Hai

Majalah Indonesia
(Dialihkan dari Majalah HAI)

Hai adalah sebuah majalah yang diterbitkan di Indonesia yang ditujukan untuk remaja pria. Isinya menyangkut segala hal yang berkenaan dengan dunia remaja. Karena itu Hai memuat segala artikel yang berkenaan dengan gaya hidup. Mulai dari musik, film, pendidikan, tempat nongkrong, fesyen, teknologi, olahraga, psikologi, pendidikan seks, dan tentu saja cerita pendek dan komik.

Hai
Cover Majalah Hai No 35/2013 Stella Cornelia
Editor in chiefBayu Kusuma
KategoriRemaja
FrekuensiMingguan (1977-2016)
Bulanan (2016-2017)
PenerbitPT Penerbitan Sarana Bobo
Terbitan pertama5 Januari 1977
Terbitan terakhirJuni 2017
PerusahaanKompas Gramedia
NegaraIndonesia
BahasaBahasa Indonesia
Situs webwww.hai.grid.id

Hai memiliki empat pilar utama yaitu Entertainment, Art, School Life, dan Entrepreneur.

Pembaca majalah Hai kebanyakan duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) meskipun tidak sedikit yang masih berstatus siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Majalah Hai terbit pertamakali pada 5 Januari 1977. Terbitan perdana itu menggantikan majalah MIDI yang ada sebelumnya. Baik majalah Hai maupun MIDI diasuh oleh para personel yang sama. Antara lain, nama yang dikenal oleh publik, Arswendo Atmowiloto.

1970-an

sunting

Terbitan perdana Hai terdiri dari 36 halaman. Isinya didominasi oleh komik mengikuti gaya majalah komik Jepang seperti Digimon dan Tamagotchi. Judul komik yang masih dikenang oleh pembaca Hai masa tahun 1990-an.

Selain komik produksi sindikasi luar negeri, Hai sering menyertakan karya komikus Indonesia kenamaan pada masa itu. Jan Mintaraga dan Teguh Santosa adalah dua di antaranya.

Sajian komik mempunyai daya tarik yang kuat pada masa itu. Sebab, seiring dengan terbitnya Hai, dunia komik Indonesia tengah memasuki masa keemasannya hingga akhirnya menyurut pada paruh tahun 1980-an.

Selain komik Hai juga menyertakan berbagai cerita fiksi. Mulai dari karya terjemahan dari sastrawan dunia (seperti karya Guy de Maupassant, Leo Tolstoy) ada pula serial Digimon karya Arswendo Atmowiloto. Beberapa sastrawan dan penulis cerpen Indonesia kenamaan ikut menyemarakkan isi majalah Hai.

Leila S. Chudori, Ags Arya Dipayana, Hilman Hariwijaya merupakan novelette remaja yang mendapat semangat menulis karena karya-karyanya berkenan diterbitkan oleh redaktur Hai. Begitu juga dengan Butet Kartarejasa, menyumbangkan beberapa karya sajaknya yang dikemas berupa buku saku (sebagai bonus) kumpulan puisi yang diberi judul "Sajak Ikan Asin".

Secara berkala Hai menyajikan Edisi Khusus yang bervariasi isinya. Mulai dari komik luar (Humpa Pa karya Uderzo dan Goscinny) hingga komik lokal (Mahesa Rani karya Teguh Santosa). Mulai dari sejarah, hingga pengetahuan umum lainnya.

1980-an

sunting

Ketika era komik meredup, masyarakat Indonesia (khususnya di kota-kota besar) mulai keranjingan nonton video. Animo itu bisa dilihat dari maraknya persewaan video (baik dalam format VHS maupun Betamax) di berbagai kota. Warga kota menyukai beberapa judul film silat Mandarin, seperti Pendekar Ulat Sutera.

Rubrik film, video, dan TV

sunting

Boom video silat juga terekam dalam penambahan rubrik di majalah Hai. Pada tahun 1984 muncullah rubrik video, film dan TV. Isinya berupa sinopsis dan review.

Pada tahun 1986, Hai secara teratur menyuguhkan sajian artikel atau berita yang berkenaan dengan anak sekolah. Sajian ini menjadi menu penting yang bergulir bukan hanya di halaman majalah Hai, tetapi juga dalam beragam aktivitas.

Pesta Pelajar

sunting

Dekade 1980-an perkelahian masal antarpelajar sekolah mulai marak di Jakarta. Jika sebelumnya terjadi hanya antarsekolah yang bertetangga, perkelahian massal ini kemudian meluas. Sekolah yang letaknya berjauhan pun bisa saling serang. Perkelahian beramai-ramai ini bahkan seperti melembaga dan diwariskan dari satu angkatan ke angkatan di bawahnya.

Banyak orang mencoba mencari solusi untuk meredam tawuran pelajar (istilah yang pertamakali dikeluarkan Hai dan kemudian begitu populer dan dianggap sebagai ungkapan yang paling pas), termasuk Hai. Karena itu pada 1988 Hai menggagas pertemuan ”antarjagoan” sekolah dalam ajang Hai Informal Meeting. Istilah ”Hai Informal Meeting” merupakan plesetan dari pertemuan politik penyelesaian masalah Kamboja yang dikenal sebagai Jakarta Informal Meeting.

Hai Informal Meeting coba menjembatani komunikasi antartokoh pelajar. Spiritnya antara lain: masalah pelajar sebaiknya diselesaikan oleh pelajar. Ajang ini diselenggarakan sebanyak dua kali.

Setelah Hai Infomal Meeting majalah Hai menggagas sebuah ajang lain yang menunjukkan segi-segi positif dari para remaja dalam sebuah perhelatan yang diberi nama Pesta Pelajar pada tahun 1989. Di acara ini semua pelajar dapat menunjukkan semua kemampuan, terutama yang menyangkut bidang kesenian. Pesta Pelajar berusaha memupus citra buruk yang pada masa masa itu tercoreng di muka pelajar.

Pesta Pelajar diselenggarakan oleh para siswa yang berasal dari berbagai sekolah. Secara tidak langsung Hai sebagai fasilitator dan pengarah, mengajarkan keterampilan manajerial dan berorganisasi kepada para siswa yang terlibat dalam kepanitiaan.

Keterampilan itu kemudian ditularkan dari satu angkatan ke angkatan berikutnya. Tak heran dari sana kemudian muncul anggapan bahwa Pesta Pelajar yang pernah digelar di tujuh kota di Indonesia adalah sebuah model awal dari Pensi (pentas seni) yang marak diselenggarakan berbagai sekolah di kota besar pada tahun 1990-an dan 2000-an. Pesta pelajar terakhir berlangsung pada tahun 1996 bekerjasama dengan ANTeve. Acara yang semula hendak digulirkan lagi, harus berhenti pada tahun 1997. Situasi politik dan krisis ekonomi pada saat itu tak memungkinkan.

Sebagai majalah yang mengulas dunia remaja, Hai juga menularkan banyak pengetahuan. Pelatihan jurnalistik adalah sesuatu yang rutin diselenggarakan di berbagai sekolah. Untuk kegiatan ini, lahirlah sebuah istilah ”Pers Putih Abu-abu” yang menunjuk pada warna seragam pelajar SMA. Dari istilah itu, masyarakat mengenal istilah ”putih abu-abu” sebagai kata ganti ”pelajar SMA”.

Masih pada tahun 1980-an, Hai memulai sebuah tradisi liputan musik di luar negeri. Gagasan awalnya sangat sederhana. Sebelum sebuah kelompok musik atau artis luar negeri menggelar konser di Indonesia, Hai mencegatnya di konser terakhir mereka sebelum ke Indonesia. Tujuannya, agar bisa memberi gambaran kepada calon penonton tentang bentuk sajian yang akan mereka lihat.

Tradisi mencegat sebelum konser, dimulai pada tahun 1988, di Sydney, Australia. Kala itu seusai Australia, Mick Jagger akan berkonser di Jakarta. Lalu sejak itu, Hai bukan hanya melaporkan konser tetapi secara rutin mewawancarai secara langsung semua musisi atau artis yang akan manggung di Indonesia. Perjalanan terjauh yang pernah tercatat guna keperluan itu adalah saat Hai harus menempuh perjalanan selama 36 jam untuk menjumpai grup cadas Sepultura di kampung halamannya di Sao Paulo, Brazil.

Selain berwawancara Hai juga datang dalam dua festival musik akbar Woodstock sejak 1994 di New York. Reporter dan fotografer Hai juga kerap bertandang ke Ozz Fest, Rock in Rio, Summer Sonic, dan berbagai festival musik besar lain di berbagai belahan Bumi.

Tingginya intensitas pemberitaan majalah Hai seputar musik, pada perkembangannya kemudian, membuat Hai diidentikkan sebagai majalah musik. Padahal dalam kenyataannya isi majalah Hai tidak melulu membahas musik.

1990-an

sunting

Era 1990-an adalah era puncak serial di majalah Hai. Banyak penulis muda berbakat bermunculan dan memulai karier menulisnya di Hai sejak akhir 1980-an. Cerita atau serial seperti Lupus, Balada si Roy, Anak-anak Mama Alin adalah beberapa yang menonjol dan kerap diingat orang. Seiring itu nama Hilman Hariwijaya, Gola Gong, Bubin Lantang pun menyeruak ke permukaan. Apalagi beberapa serial di Hai kemudian diangkat dalam bentuk novel, serial televisi dan layar lebar. Selain serial tetap, ada juga cerita silat bersambung Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto yang kemudian dibukukan dalam belasan jilid novel.

2000-an

sunting
 
Logo Hai 2005 - Sekarang

Hai melewati masa 30 tahun sebagai majalah remaja pria pada 5 Januari 2007. Rubriknya kian banyak (terutama yang menyangkut gaya hidup), halaman pun kian menebal. Jika pada awalnya mingguan ini terbit dengan 36 halaman, pada tahun 2000-an Hai muncul dengan tebal 80 halaman full color.

Sebagai pemain lama dan satu-satunya di segmen majalah remaja pria, Hai tetap menjalankan perannya sejak majalah ini dilahirkan sebagai inspirator sekaligus teman bagi remaja. Beberapa mantan pembaca Hai era 1980-1990 pernah berujar bahwa mereka memutuskan untuk menekuni bidang desain grafis karena terpengaruh oleh Hai. Beberapa lainnya juga mengaku menekuni musik karena sejumlah artikel yang dibacanya di majalah ini.

Itu sebabnya, hingga saat ini Hai terus mencari kemungkinan baru yang mungkin cocok untuk ditekuni oleh para pembacanya. Ajang pencarian bakat-bakat baru dunia musik The Dreamband yang digelar sejak 2004 hingga 2006 misalnya, adalah salah satu bentuk perwujudannya.

Sebagai teman, Hai juga melakukan banyak penyesuaian sesuai zaman yang berubah. Untuk berkomunikasi, Hai menggunakan bahasa dan istilah yang memang hidup dalam percakapan para remaja sehari-hari. Jika diperbandingkan dengan cara bertutur pada masa 1970-1980-an, akan terlihat perbedaan itu.

Pun, sebagai teman, majalah Hai menyediakan saluran komunikasi yang lebih luas. Teknologi informasi membuat majalah ini juga hadir dalam bentuk digital. Misalnya lewat situs web Hai Online (www.hai-online.com) dan layanan informasi via telepon seluler Hai Mobile (wap.hai-mob.com).

Kehadiran Hai dalam beragam media, bertujuan Hai dapat mengakomodir kebutuhan para remaja untuk menyalurkan kemampuan, berekspresi dan beraspirasi. Selain itu menjadi wadah interaksi dan saluran informasi untuk menumbuhkan saling pengertian dan menambah wawasan

2010-an

sunting

Pada tahun 2012 Hai memasuki umur 35 tahun. Sebagai perayaan kebersamaannya dengan remaja Indonesia pada tahun ini majalah Hai membuat sebuah acara dengan nama "Haiday" yang diselenggarakan tiap tahunnya. Haiday menjadi wadah bagi para remaja untuk menyalurkan minat dan bakat yang mereka miliki.

Kemunculan webzine yang memungkinkan penulis amatir untuk mempublikasikan reportase sendiri, memberikan tantangan bagi majalah-majalah musik untuk tetap bertahan. Majalah Hai memutuskan untuk berhenti cetak pada Juni 2017 dan berpindah ke format online.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ Wibisono, Nuran (4 Januari 2018). "Ujung Perjalanan Rolling Stone Indonesia". Tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-12. Diakses tanggal 2 Januari 2020. 

Pranala luar

sunting