Malu menurut Islam

Malu menurut Islam berlaku pada perbuatan yang sifatnya dibenci oleh Allah dan dinilai buruk oleh manusia. Dalil mengenai rasa malu banyak disebutkan dalam hadis yang berkaitan dengan keimanan. Jenis malu menurut Islam terbagi menjadi malu kepada Allah, malu kepada sesama manusia dan malu kepada diri sendiri. Rasa malu menurut Islam merupakan suatu bagian dari akhlak mulia yang mencegah terjadinya kemaksiatan. Keberadaan rasa malu menurut Islam dapat dipertahankan melalui muraqabah dan tarhib.

Dalam Shahihain disebutkan sebuah hadis tentang rasa malu yang dinyatakan oleh Muhammad sebagai nabi dalam Islam. Pernyataannya bahwa seluruh kebaikan berada dalam rasa malu.[1] Muhammad juga menyatakan bahwa rasa malu dan keimanan dalam Islam merupakan suatu kesatuan.[2] Hukum Islam menyatakan bahwa sifat malu merupakan bagian dari orang-orang yang beriman.[3] Dalam sebuah hadis periwayatan Imam Bukhari mencatat bahwa Muhammad menyatakan rasa malu sebagai salah satu dari 60 cabang keimanan dalam Islam. Seorang muslim dinyatakan memiliki keimanan yang tingkatannya rendah ketika tidak memiliki rasa malu sama sekali. Karena ketiadaan rasa malu membuat seseorang melakukan kemaksiatan maupun pelanggaran terhadap hukum Allah secara berani.[4]

Dalam hadis, rasa malu diartikan sebagai malu dalam melakukan suatu hal yang buruk. Rasa malu dalam Islam diartikan sebagai malu ketika melakukan perbuatan yang diarang oleh Allah dan dinilai jelek oleh manusia. Sementara rasa malu untuk menghentikan orang lain yang berbuat keburukan dianggap sebagai perilaku tercela.[5]

Malu kepada Allah

sunting

Malu kepada Allah berkaitan dengan kesadaran seseorang atas pengetahuan Allah atas segala perbuatan jasmani dan rohani pada manusia. Munculnya rasa malu kepada Allah berkaitan dengan pembatasan diri atas kehendak bebas yang diberikan oleh Allah dengan disertai keimanan bahwa Allah adalah Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Malu kepada Allah berkaitan dengan rasa malu seseorang ketika sadar bahwa Allah mengetahui dirinya telah mengabaikan perintah-perintah maupun melanggar larangan-larangan dari Allah.[3]

Malu kepada sesama manusia

sunting

Malu kepada sesama manusia berkaitan dengan ketidakpantasan suatu perbuatan untuk dilakukan di dalam masyarakat. Penentuang rasa malu kepada sesama manusia utamanya ditentukan oleh pandangan sosial dan sedikit didasari oleh kesadaran akan keberadaan Tuhan. Kualitas iman pada rasa malu kepada sesama manusia dapat meningkat ketika disertai dengan rasa malu kepada Allah.[3]

Malu kepada diri sendiri

sunting

Malu kepada diri sendiri merupakan rasa malu yang secara mandiri muncul pada diri seseorang. Kemunculannya berkaitan dengan anugrah dari Allah berupa akal untuk berpikir. Pilihan untuk mengerjakan hal yang pantas untuk dikerjakan dan hal yang tidak pantas untuk dikerjakan dipengaruhi oleh rasa malu pada diri sendiri.[6]

Kedudukan

sunting

Malu merupakan sifat yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Sifat ini telah diwariskan kepada para nabi sebagai pembawa kebaikan dalam kehidupan manusia. Selain itu, rasa malu juga menjadi salah satu sarana untuk mencapai surga. Keberadaan rasa malu dalam diri manusia membuatnya memiliki rasa bersalah ketika telah melakukan penyelewengan atau penyimpangan perilaku tertentu.[6]

Rasa malu berada dalam lingkup hal-hal yang dibenci oleh Allah. Sementara itu, dalam hal-hal yang bersifat benar maka rasa malu digantikan oleh rasa keberanian. Misalnya tiada rasa malu pada sikap jujur dan adil.[7]

Fungsi

sunting

Pembelajaran dalam pendidikan Islam dapat meningkatkan keimanan dan menghasilkan akhlak mulia ketika disertai dengan rasa malu.[8] Adanya rasa malu merupakan bagian dari penyempurnaan keimanan dalam Islam. Rasa malu selalu berkaitan dengan akhlak dan pendidikan. Peran rasa malu berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai kepribadian, moral, akhlak dan sikap anak sesuai dengan pendidikan Islam.[9]

Pengendalian

sunting

Rasa malu disertai dengan rasa takut untuk berbuat dosa akan dapat muncul pada seseorang muslim dengan menerapkan sikap muraqabah. Kedua rasa ini dapat muncul meskipun tidak ada orang lain yang melihatnya. Caranya dengan menghadirkan perasaan tentang selalu adanya pengawasan dari Allah atas dirinya. Sikap ini menghasilkan rasa malu dan takut yang lebih besar kepada Allah dibandingkan kepada manusia.[10]

Rasa malu untuk berbuat maksiat juga dapat timbul dengan pengagungan kepada Allah.[11] Rasa malu kepada Allah juga dapat dimunculkan melalui metode tarhib. Metode ini mengajarkan bahwa perbuatan dosa dan pelanggaran atas ketentuan Allah akan memperoleh ancaman berupa siksaan.[12] Tertimpa azab dan tidak memperoleh ridha Allah akan membuat seseorang yang beriman menjadi malu untuk berbuat maksiat dan malu bila tidak melaksanakan perbuatan baik.[13]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim (2015). Terapi Syar'i Mengobati Penyakit Hati. Diterjemahkan oleh Karimi, Izzudin. Jakarta: Darul Haq. hlm. 53. ISBN 978-602-6845-05-4. 
  2. ^ Purba, dkk. 2017, hlm. 105.
  3. ^ a b c Purba, dkk. 2017, hlm. 106.
  4. ^ Hambali, Muhammad (2017). Rusdianto, ed. Panduan Muslim Kaffah: Dari Kandungan hingga Kematian. Yogyakarta: Laksana. hlm. 15. ISBN 978-602-407-185-1. 
  5. ^ Khoirussalim dan Sidiq 2021, hlm. 9.
  6. ^ a b Purba, dkk. 2017, hlm. 107.
  7. ^ Purba, dkk. 2017, hlm. 108.
  8. ^ Abubakar dan Anwar 2021, hlm. 2.
  9. ^ Abubakar dan Anwar 2021, hlm. 3.
  10. ^ Bakhtiar, Nurhasanah (2018). Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PDF). Sleman: Aswaja Pressindo. hlm. 81. ISBN 978-602-18663-1-3. 
  11. ^ Syafaq, H., dkk. (2021). Siregar, W. Z. B., dkk., ed. Pengantar Studi Islam (PDF). Surabaya: Nuwailah Ahsana. hlm. 55. ISBN 978-623-98150-0-4. 
  12. ^ Abubakar dan Anwar 2021, hlm. 44.
  13. ^ Khoirussalim dan Sidiq 2021, hlm. 7.

Daftar pustaka

sunting