al-Jami' al-Aqsha

masjid di Palestina
(Dialihkan dari Masjid Qibli)

al-Jami' al-Aqsha (bahasa Arab: المسجد الاقصى, al-Masjid al-Aqsha, arti harfiah: "masjid terjauh"), disebut juga sebagai Baitul Maqdis atau Bait Suci (bahasa Arab: بيت المقدس, bahasa Ibrani: בֵּית־הַמִּקְדָּשׁ‎, Beit HaMikdash), al-Ḥaram asy-Syarīf (bahasa Arab: الحرم الشريف, "Tanah Suci yang Mulia", atau الحرم القدسي الشريف, al-Ḥaram al-Qudsī asy-Syarīf, "Tanah Suci Yerusalem yang Mulia"), Bukit Kuil (bahasa Ibrani: הַר הַבַּיִת‎, Har HaBáyit), adalah salah satu bangunan utama yang terdapat dalam kompleks Masjidilaqsa bagian selatan dengan ciri khas kubah timahnya yang berwarna abu-abu. Al-Jami' al-Aqsha sering dianggap sebagai Masjidil Aqsa itu sendiri, walaupun sesungguhnya nama Masjidil Aqsa merujuk kepada keseluruhan kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan penting; seperti al-Jami' al-Aqsha itu sendiri, Kubah ash-Shakhrah, Mushalla al-Marwani, Kubah al-Mi’raj, Kubah as-Silsilah, Kubah an-Nabi, dan bangunan-bangunan lainnya.

al-Jami' al-Aqsha
الجامع الاقصى
PetaKoordinat: 31°46′34″N 35°14′9″E / 31.77611°N 35.23583°E / 31.77611; 35.23583
Agama
AfiliasiIslam
DistrikKota Lama Yerusalem
Status organisasionalMasjid
KepemimpinanYayasan Wakaf
Lokasi
LokasiMasjidilaqsa, Yerusalem
Koordinat31°46′35″N 35°14′8″E / 31.77639°N 35.23556°E / 31.77639; 35.23556
Arsitektur
TipeMasjid
Gaya arsitekturArsitektur Islam awal, Mamluk
Peletakan batu pertama685 (konstruksi pertama)
1033 (konstruksi kedua)
Rampung705 (konstruksi pertama)
1035 (konstruksi kedua)
Spesifikasi
Arah fasadUtara
Kapasitas5.000[1]
Panjang83 meter (272 kaki)
Lebar56 meter (184 kaki)
Kubah1
Menara4
Tinggi menara37 meter (121 kaki)
Bahan bangunanBatu kapur (tembok luar, menara, fasad), stalaktit (menara), timah (kubah), marmer putih (kolom interior)

Al-Jami' al-Aqsha pertama kali dibangun pada masa Umar bin Khaththab, meskipun beberapa pendapat menyatakan bahwa masjid ini dibangun pada masa Kekhalifahan Umayyah. Setelah gempa bumi tahun 746, masjid ini hancur seluruhnya dan dibangun kembali oleh khalifah Abbasiyah, al-Mansur pada tahun 754, dan dikembangkan lagi oleh penggantinya al-Mahdi pada tahun 780. Gempa berikutnya menghancurkan sebagian besar al-Jami' al-Aqsha pada tahun 1033, tetapi dua tahun kemudian khalifah Fatimiyyah Ali azh-Zhahir membangun kembali masjid ini yang masih tetap berdiri hingga kini.

Dalam berbagai renovasi berkala yang dilakukan, berbagai dinasti kekhalifahan Islam telah melakukan penambahan terhadap al-Jami' al-Aqsha dan kawasan sekitarnya, antara lain pada bagian kubah, fasad, mimbar, menara, dan interior bangunan. Ketika Tentara Salib menaklukkan Yerusalem pada tahun 1099, mereka menggunakan masjid ini sebagai istana dan Kubah ash-Shakhrah sebagai gereja, tetapi fungsi masjid dikembalikan seperti semula setelah Salahuddin mengambil alih kepemimpinan kota itu. Renovasi, perbaikan, dan penambahan lebih lanjut dilakukan pada abad-abad kemudian oleh para penguasa Ayyubiyah, Mamluk, Utsmaniyah, Majelis Tinggi Islam, dan Yordania.

Pembakaran Al-Jami' al-Aqsha pada tanggal 21 Agustus 1969 telah mendorong berdirinya Organisasi Konferensi Islam yang saat ini beranggotakan 57 negara. Pembakaran tersebut juga menyebabkan mimbar kuno Salahuddin Al-Ayyubi terbakar habis. Dinasti Bani Hasyim penguasa Kerajaan Yordania telah menggantinya dengan mimbar baru yang dikerjakan di Yordania,[2] meskipun ada pula yang menyatakan bahwa mimbar buatan Jepara digunakan di masjid ini.[3][4]

Penamaan

Al-Jami' al-Aqsha adalah bangunan berkubah abu-abu yang berada di kompleks Masjid Al-Aqsha, yaitu di bagian selatan. Kata Al-Jami’ (اَلْجَامِعُ) makna 'masjid', yang berasal dari kata Al-Jumu'ah yang berarti 'mengumpulkan' (untuk salat jemaah).[5]

Selama berabad-abad, Masjid Al-Aqsha dengan keseluruhan kompleksnya telah dianggap sebagai sebuah wilayah yang suci. Perubahan penyebutan kemudian terjadi pada masa pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah, di mana wilayah kompleks secara keseluruhan disebut sebagai Al-Haram asy-Syarif; sedangkan bangunan yang terletak di bagian selatan disebut sebagai Al-Jami' al-Aqsha, yaitu tempat Umar bin Khaththab pertama kali mendirikan masjid di antara reruntuhan.[6] Hadits Imam Ahmad menyebutkan percakapan Umar bin Khattab dan Ka'ab al-Ahbar, di mana Ka'ab menyarankan untuk membangun masjid di belakang batu Ash-Shakhrah, sedangkan Umar menolak dan memilih tempat di sebelah selatan untuk membangun masjid dengan kiblat yang mengarah ke Ka'bah saja, sehingga posisi batu tersebut berada di belakangnya.[6][7][8]

Al-Jami' al-Aqsha yang didirikan Umar bin Khattab tersebut, juga berbeda dengan Masjid Umar, yaitu sebuah masjid yang dibangun pada masa kekuasaan Dinasti Ayyubiyah pada abad ke-12, untuk mengenang pengambil-alihan Yerusalem oleh Umar bin Khattab yang mewakili umat Islam.[9] Tradisi setempat menceritakan bahwa pada saat pengambil-alihan tersebut, Umar diundang oleh Patriark Sophonius untuk beribadah di dalam Gereja Makam Kudus, tetapi Umar memilih mengerjakan salat di luar, di dekat pintu masuk gereja.[9] Masjid Umar terletak berseberangan dengan Gereja Makam Kudus, di luar kompleks Masjid Al-Aqsha.[9]

Sejarah

Pra konstruksi

Area masjid ini dahulu adalah bagian perluasan pembangunan bukit oleh Raja Herodes Agung, yang dimulai pada tahun 20 SM. Herodes memerintahkan tukang batu untuk memotong permukaan batu di sisi timur dan selatan bukit, dan melapisinya. Sisa-sisa pembangunan tersebut saat ini masih dapat ditemukan di beberapa lokasi.[10]

Ketika Bait Kedua masih berdiri, situs tempat masjid saat ini berdiri disebut dengan nama Serambi Salomo, dan pada tiap sisinya terdapat gudang kuil yang dinamakan chanuyot, yang memanjang sampai ke sisi selatan bukit. Konstruksi tiang-tiang kolom besar persegi di bagian utara masjid serta tembok-temboknya, baru-baru ini ditetapkan memiliki usia jauh lebih tua daripada yang diperkirakan sebelumnya oleh peneliti-peneliti terdahulu (berdasarkan tulisan para saksi mata dari masa itu), yaitu bahwa konstruksi tersebut berasal dari masa kekuasaan Romawi. Tembok-tembok tersebut dibangun kembali atau diperkuat tidak lama setelah penghancuran Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Struktur bawah tanah bangunan ini berasal dari masa kembalinya orang Yahudi dari pembuangan Babilonia mereka, yaitu 2.300 tahun yang lalu. Situasi politik telah menyebabkan penggalian lebih lanjut di area tersebut tidak memungkinkan. Pada saat gempa bumi tahun 1930-an merusak masjid ini, penanggalan atas beberapa bagian yang terbuat dari kayu sempat dilakukan, yang menunjukkan kurun 900 SM. Kayu-kayu tersebut adalah cypress (sejenis cemara) dan akasia. Jenis yang disebut terakhir menurut Alkitab digunakan oleh Raja Salomo dalam konstruksi bangunan-bangunannya di bukit tersebut pada sekitar 900 SM.[11]

Bersama dengan Bait Suci, chanuyot yang ada ikut hancur oleh serangan Kaisar Romawi Titus (saat itu masih jenderal) pada tahun 70. Kaisar Yustinianus membangun sebuah gereja Kristen di situs ini pada tahun 530-an, yang dipersembahkan bagi Perawan Maria dan dinamakan "Gereja Bunda Kami". Gereja ini belakangan dihancurkan oleh Kaisar Sassania Khosrau II pada awal abad ke-7, hingga tersisa sebagai reruntuhan.[12]

Konstruksi Umayyah

 
Al-Jami' al-Aqsha di sepanjang dinding selatan Masjid Al-Aqsha

Ada beberapa pendapat terkait waktu Al-Jami' al-Aqsha pertama kali dibangun. Pendapat yang paling masyhur adalah Al-Jami' al-Aqsha merupakan tempat Umar bin Khaththab melaksanakan salat jemaah saat berkunjung ke Yerusalem dan Umar pula yang memerintahkan pendirian bangunan tersebut.[6][7][8] Beberapa pendapat lain menyatakan bahwa bangunan ini dibangun pada masa pemerintahan Kekhalifahan Umayyah, sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa bangunan awalnya dibangun Umar dan kemudian dibangun ulang pada masa Kekhalifahan Umayyah.

Merujuk pada kesaksian Arculf, seorang biarawan Galia yang berziarah ke Palestina pada 679-82, sejarawan arsitektur Sir Archibal Creswell berpendapat bahwa Umar bin Khaththab mungkin adalah orang yang pertama kali mendirikan bangunan persegi empat primitif dengan daya tampung 3.000 jamaah di suatu tempat di kompleks Masjid Al-Aqsha (disebut kompleks Bukit Bait Suci oleh umat Yahudi). Meski demikian, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Muawiyahlah yang mungkin sebenarnya memerintahkan pembangunan dan bukan Umar. Pendapat terakhir ini didukung oleh tulisan dari ulama Yerusalem awal Al-Mutahhar bin Tahir al-Maqdisi.[13] Analisis atas panel dan balok kayu yang diambil dari bangunan ini selama renovasi pada tahun 1930-an menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut adalah cedar Libanon dan cypress. Penanggalan radiokarbon menunjukkan berbagai macam usia, beberapa bahkan setua abad ke-9 SM, yang menunjukkan bahwa beberapa dari kayu tersebut sebelumnya telah digunakan pada bangunan-bangunan yang lebih tua.[14]

Menurut beberapa ulama Islam, antara lain Mujiruddin al-Ulaimi, Jalaluddin as-Suyuthi, dan Syamsuddin al-Maqdisi, masjid ini dibangun kembali dan diperluas oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada 690 bersama dengan Kubah Batu.[13][15] Guy le Strange mengklaim bahwa Abdul Malik menggunakan bahan-bahan dari Gereja Bunda Kami yang hancur untuk membangun masjid dan menunjukkan bukti bahwa kemungkinan substruktur di sudut tenggara masjid adalah sisa-sisa gereja tersebut.[15]

Dalam merencanakan proyek megahnya di Bukit Bait Suci, yang pada akhirnya akan mengubah keseluruhan kompleks itu menjadi Masjid Al-Aqsha, Abdul Malik ingin mengubah bangunan primitif sebagaimana digambarkan oleh Arculf menjadi struktur yang lebih terlindung yang melingkupi kiblat, suatu faktor penting dalam skema lengkap rancangannya. Namun, seluruh kompleks Al-Aqsha itu dimaksudkan untuk melambangkan masjid. Seberapa banyak perubahan yang ia lakukan pada aspek bangunan sebelumnya tidak diketahui, tetapi panjang bangunan baru ditunjukkan dengan adanya bekas jembatan yang mengarah ke istana Umayyah, yang terletak di sebelah selatan dari bagian barat kompleks. Jembatan kemungkinan dahulunya membentang dari jalan di luar tembok selatan Al-Aqsha, sebagai jalan langsung menuju masjid. Adanya jalan langsung dari istana ke masjid adalah sebuah ciri khas yang terkenal pada masa Umayyah, sebagaimana terdapat pada situs-situs awal lainnya. Abdul Malik menggeser poros tengah masjid sekitar 40 meter ke arah barat, sesuai dengan rencana lengkapnya atas Masjid Al-Aqsha. Poros bangunan sebelumnya yang berbentuk sebuah ceruk, saat ini masih dikenal dengan sebutan "Mihrab Umar". Karena memperhatikan benar posisi Kubah Batu, Abdul Malik meminta arsiteknya menyejajarkan Al-Jami' al-Aqsha yang baru dengan posisi batu Ash-Shakhrah, sehingga sumbu utama utara-selatan Al-Aqsha yang sebelumnya, yaitu garis yang melalui Kubah As-Silsilah dan Mihrab Umar, menjadi bergeser.[16]

Creswell, yang merujuk pada Papyri Aphrodito, sebaliknya mengklaim bahwa Al-Walid bin Abdul Malik adalah yang membangun kembali Al-Jami' al-Aqsha selama periode enam bulan sampai satu tahun, dengan para pekerja dari Damaskus. Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa rekonstruksi masjid dimulai oleh Abdul Malik, tetapi Al-Walid lah yang mengawasinya hingga selesai. Dalam tahun 713-714, serangkaian gempa bumi telah merusak Yerusalem dan menghancurkan bagian timur masjid, yang akhirnya dibangun kembali pada masa pemerintahan Al-Walid tersebut. Untuk membiayai rekonstruksi ini, Al-Walid memerintahkan emas dari Kubah Ash-Shakhrah dicetak sebagai sebagai uang logam untuk membeli bahan-bahan bangunan.[13] Al-Jami' al-Aqsha yang dibangun Umayyah kemungkinan besar berukuran 112 x 39 meter.[16]

Gempa bumi dan pembangunan kembali

 
Fasad dan serambi masjid ini dibangun dan diperluas oleh para penguasa Fatimiyah, Tentara Salib, Mamluk dan Ayyubiyah.

Pada tahun 746, Al-Jami' al-Aqsha rusak akibat gempa bumi, yaitu empat tahun sebelum Abul Abbas as-Saffah menggulingkan Ummayah dan mendirikan kekhalifahan Abbasiyah. Khalifah Abbasiyah yang kedua Abu Jafar al-Mansur pada tahun 753 menyatakan niatnya untuk memperbaiki masjid itu. Ia memerintahkan agar lempengan emas dan perak yang menutupi gerbang masjid dilepaskan dan dicetak menjadi uang dinar dan dirham untuk membiayai kegiatan rekonstruksi, yang diselesaikan pada tahun 771. Gempa kedua yang terjadi pada tahun 774 kemudian merusak sebagian besar perbaikan Al-Mansur itu, kecuali perbaikan pada bagian selatan masjid.[15][17] Pada tahun 780, khalifah selanjutnya Muhammad al-Mahdi membangunnya kembali, tapi ia mengurangi panjangnya serta memperbesar lebarnya.[15][18] Renovasi Al-Mahdi adalah renovasi pertama yang diketahui memiliki catatan tertulis yang menjelaskan hal itu.[19] Pada tahun 985, seorang ahli geografi Arab kelahiran Yerusalem bernama Al Maqdisi mencatat bahwa masjid hasil renovasi memiliki "lima belas lengkungan dan lima belas gerbang".[17]

Pada tahun 1033 terjadi lagi sebuah gempa bumi, yang sangat merusak masjid. Antara tahun 1034 dan 1036, khalifah Fatimiyah Ali Azh Zhahir membangun kembali dan merenovasi masjid secara menyeluruh. Jumlah lengkungan secara drastis dikurangi dari lima belas menjadi tujuh. Azh Zhahir membangun empat buah arkade untuk aula tengah dan lorong, yang saat ini berfungsi sebagai fondasi masjid. Aula tengah diperbesar dua kali lipat dari lebar lorong lainnya, dan memiliki ujung atap besar yang di atasnya dibangun sebuah kubah dari kayu.[13]

Daerah Al-Haram (daerah yang suci) terdapat di sebelah timur dari kota ini; dan melalui bazar di (bagian kota) ini anda akan memasukkan Daerah tersebut melalui pintu gerbang (Dargah) yang besar dan indah... Setelah melewati gerbang ini, di sebelah kanan anda terdapat dua baris tiang-tiang besar (Riwaq), masing-masing memiliki sembilan dan dua puluh pilar-pilar marmer, yang bagian puncak dan dasarnya berupa pualam berwarna, dan persambungannya terbuat dari timah. Di atas pilar-pilar terdapat lengkungan-lengkungan, yang terbuat dari batu bata, tanpa pelapis plester atau semen, dan setiap lengkungan dibangun dengan tidak lebih dari lima atau enam blok batu. Pilar-pilar ini mengarah sampai ke dekat Maqsurah.
Nasir Khusraw', deskripsi masjid pada tahun 1047 Masehi (Safarnama, terjemahan Guy Le Strange)[20]

Yerusalem direbut oleh Tentara Salib pada tahun 1099, selama Perang Salib Pertama. Alih-alih menghancurkan Al-Jami' al-Aqsha, yang mereka sebut "Bait Salomo", Tentara Salib menggunakannya sebagai istana kerajaan dan kandang kuda. Pada tahun 1119, tempat ini berubah menjadi markas para Ksatria Templar. Selama periode ini, masjid mengalami beberapa perubahan struktural, termasuk perluasan serambi utara, penambahan apse, dan sebuah dinding pembatas. Sebuah kloster baru dan sebuah gereja juga dibangun di situs tersebut, bersama dengan beberapa struktur bangunan lainnya.[21] Para Ksatria Templar membangun paviliun berkubah di sisi barat dan timur bangunan. Paviliun barat saat ini berfungsi sebagai masjid untuk jemaah perempuan dan paviliun timur berfungsi sebagai Museum Islam.[17]

Setelah Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil memimpin Ayyubiyah merebut kembali Yerusalem melalui pengepungan pada tahun 1187, beberapa perbaikan dilakukan atas Al-Jami' al-Aqsha.[2] Nuruddin Zengi yang menjadi sultan sebelum Salahuddin, sebelumnya telah menugaskan pembangunan mimbar baru yang terbuat dari gading dan kayu pada tahun 1168-1169, tetapi mimbar itu baru selesai setelah ia wafat. Mimbar Nuruddin telah ditambahkan oleh Salahuddin ke masjid pada bulan November 1187.[22] Penguasa Ayyubiyah di Damaskus, Sultan Al-Muazzam, pada tahun 1218 membangun serambi utara masjid dengan tiga buah gerbang. Pada tahun 1345, penguasa Mamluk di bawah pemerintahan Al Kamil Shaban menambahkan dua lengkungan dan dua gerbang pada bagian timur masjid.[17]

Setelah Utsmaniyah merebut kekuasaan pada 1517, mereka tidak melakukan renovasi atau perbaikan besar atas Al-Jami' al-Aqsha secara khusus, tetapi mereka melakukan perbaikan pada Masjid Al-Aqsha secara keseluruhan. Hal ini termasuk antara lain pembangunan Air Mancur Qasim Pasya (1527), perbaikan kembali Kolam Raranj, serta pembangunan tiga kubah yang berdiri bebas. Kubah yang paling terkenal ialah Kubah An-Nabi, dibangun pada tahun 1538. Semua pembangunan adalah atas perintah para gubernur Utsmaniyah di Yerusalem dan bukan atas perintah para sultan.[23] Walaupun demikian, para sultan melakukan penambahan pada menara-menara yang telah ada.[23]

Masa modern

 
Kubah masjid pada tahun 2013, terbuat dari aluminium (dan tampak seperti perak). Kubah telah diganti lapisan timah sebagaimana aslinya pada tahun 1983.

Renovasi pertama pada abad ke-20 dilakukan pada tahun 1922, yaitu setelah Majelis Tinggi Islam Yerusalem di bawah pimpinan Amin al-Husseini mempekerjakan Ahmet Kemalettin Bey, seorang arsitek berkebangsaan Turki, untuk merestorasi Al-Jami' al-Aqsha dan monumen-monumen di sekitarnya. Dewan tersebut juga menugaskan arsitek-arsitek Inggris, ahli-ahli Mesir, dan para pejabat lokal untuk ikut berpartisipasi dan mengawasi perbaikan yang dilakukan pada tahun 1924–25 di bawah pengawasan Kemalettin. Renovasi meliputi penguatan fondasi kuno masjid Umayyah, perbaikan tiang-tiang kolom interior, penggantian balok-balok, pendirian perancah, perawatan lengkungan dan bagian dalam kubah, pendirian kembali dinding selatan, serta penggantian tiang kayu di ruangan tengah dengan tiang beton. Renovasi tersebut juga menampilkan kembali mozaik era Fatimiyah dan kaligrafi di lengkungan-lengkungan interior yang sebelumnya tertutupi oleh lapisan pelapis. Lengkungan-lengkungan dihiasi dengan gipsum berwarna hijau dan emas dan balok kayu landasannya digantikan dengan tembaga. Seperempat dari jendela kaca patri juga diperbarui dengan hati-hati agar dapat melestarikan desain asli Abbasiyah dan Fatimiyahnya.[24] Kerusakan hebat telah terjadi karena gempa bumi tahun 1927 dan 1937, tetapi masjid itu diperbaiki kembali pada tahun 1938 dan 1942.[17]

 
Al-Jami' al-Aqsha dilihat dari plaza Tembok Barat, 2005.

Pada tanggal 21 Agustus 1969, terjadi kebakaran di dalam Al-Jami' al-Aqsha yang memusnahkan bangunan bagian tenggara masjid. Mimbar Salahuddin adalah termasuk di antara barang-barang yang rusak terbakar.[22] Orang-orang Palestina awalnya menyalahkan otoritas Israel atas kebakaran tersebut, dan beberapa orang Israel menyalahkan Fatah dan menganggap bahwa mereka yang menyulut sendiri apinya, agar dapat menyalahkan Israel dan memancing permusuhan. Namun kemudian terbukti bahwa kebakaran itu bukan disebabkan oleh Fatah maupun Israel, melainkan oleh seorang turis Australia bernama Denis Michael Rohan. Rohan adalah anggota dari sekte evangelis Kristen Worldwide Church of God.[25] Ia berharap bahwa dengan membakar Al-Jami' al-Aqsha, ia dapat mempercepat Kedatangan Kedua Yesus, dengan cara mempermudah dibangunnya kembali Bait Suci Yahudi di kompleks Masjid Al-Aqsha. Rohan dirawat di lembaga perawatan mental, didiagnosa mengalami gangguan kejiwaan, dan akhirnya dideportasi.[26] Serangan terhadap Al-Aqsha disebut-sebut sebagai salah satu penyebab dibentuknya Organisasi Konferensi Islam pada tahun 1971, yang merupakan organisasi dari 57 negara yang banyak berpenduduk Islam.[27]

Pada tahun 1980-an, Ben Shoshan dan Yehuda Etzion, keduanya anggota kelompok bawah tanah Gush Emunim, merencanakan untuk meledakkan Al-Jami' al-Aqsha dan Kubah Batu. Etzion berpendapat bahwa meledakkan dua bangunan tersebut akan menyebabkan kebangkitan spiritual Israel, dan menyelesaikan semua permasalahan orang Yahudi. Mereka juga berharap bahwa Bait Suci Ketiga di Yerusalem dapat didirikan di atas lokasi tersebut. Rencana mereka mengalami kegagalan karena lebih dahulu diketahui pihak kepolisian.[28][29] Pada tanggal 15 Januari 1988, yaitu saat berlangsungnya Intifadah Pertama, pasukan Israel menembakkan peluru karet dan gas air mata kepada para demonstran di luar masjid, mengakibatkan 40 orang jemaah luka-luka.[30][31] Pada tanggal 8 Oktober 1990, dalam suatu kerusuhan 22 orang warga Palestina terbunuh dan lebih dari 100 lainnya luka-luka karena tindakan keras Polisi Perbatasan Israel. Kerusuhan dipicu oleh pengumuman dari Gerakan Setia Bait Suci, suatu kelompok Yahudi Ortodoks, yang menyatakan bahwa mereka akan meletakkan batu pertama untuk pembangunan Bait Suci Ketiga.[32][33]

Arsitektur

Bangunan Al-Jami' al-Aqsha berada di Masjid Al-Aqsha bagian selatan dengan kubah keperakan. Bentuk bangunannya persegi dengan luas 35.000 m2, sehingga dapat menampung 5.000 jemaah.[34] Panjang bangunan masjid adalah 272 kaki (83 m) dan lebarnya 184 kaki (56 m).[34][35]

Kubah

 
Kubah berwarna perak yang tersusun dari lapisan timah.

Berbeda dengan Kubah Batu yang mencerminkan arsitektur Romawi Timur klasik, kubah Al-Jami' al-Aqsha menunjukkan ciri arsitektur Islam awal.[36] Kubah yang asli dibangun oleh Abdul Malik bin Marwan, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi sisanya. Bentuk kubah seperti yang ada saat ini awalnya dibangun oleh Ali azh-Zhahir dan terbuat dari kayu yang disepuh dengan lapisan enamel timah.[13] Pada tahun 1969, kubah dibangun kembali dengan menggunakan beton dan dilapisi dengan aluminium yang dianodisasi sebagai ganti dari bentuk aslinya yaitu lapisan enamel timah yang berusuk. Pada tahun 1983, aluminium yang menutupi bagian luar diganti lagi dengan timah untuk menyesuaikan dengan desain asli Azh-Zhahir.[37]

Kubah Al-Jami' al-Aqsha adalah salah satu dari sedikit masjid dengan kubah yang dibangun di depan mihrab selama periode Umayyah dan Abbasiyah, contoh lainnya adalah Masjid Umayyah di Damaskus (715) dan Masjid Besar Sousse (850).[38] Interior kubah dicat menurut dekorasi era abad ke-14. Pada kebakaran tahun 1969, cat dekoratif itu rusak dan sempat dianggap sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Namun dengan menggunakan teknik trateggio, yaitu sebuah metode yang menggunakan garis-garis vertikal halus untuk membedakan daerah yang direkonstruksi dengan daerah yang asli, akhirnya dapat diperbaiki kembali dengan sempurna.[37]

Fasad dan serambi

 
Fasad dan serambi masjid.

Bagian depan (fasad) masjid ini dibangun pada 1065 Masehi atas perintah khalifah Fatimiyah Al-Mustanshir. Di bagian muka terdapat bangunan pagar langkan (balustrade) berupa lorong-lorong beratap (arkade) dengan tiang-tiang kolom kecil. Tentara Salib merusak fasad ini ketika mereka memerintah Palestina, tetapi Ayyubiyah memperbaiki dan membangunnya kembali. Fasad juga mengalami penambahan berupa penempelan ubin pada dindingnya.[17] Bahan bekas pakai yang digunakan untuk membangun lengkungan fasad antara lain termasuk bahan hias pahatan yang diambil dari bangunan-bangunan Tentara Salib di Yerusalem.[39] Terdapat empat belas lengkungan batu di sepanjang fasad,[1] sebagian besar bergaya Romantik. Mamluk menambahkan lengkungan-lengkungan terluar, yang dibangun dengan mengikuti desain yang sama. Pintu masuk ke masjid adalah dengan melalui lengkungan tengah pada fasad tersebut.[40]

Sebuah bangunan serambi (bilik) terletak di bagian atas fasad ini. Bagian tengah serambi dibangun oleh Ksatria Templar pada masa Perang Salib Pertama, tetapi Al-Muazzam kemenakan Shalahuddin adalah yang memerintahkan dibangunnya bangunan serambi itu sendiri pada tahun 1217.[17]

Interior

 
Interior masjid yang menunjukkan lorong utama dengan tiang-tiang melengkung.

Al-Jami' al-Aqsha memiliki tujuh buah lorong dengan ruang yang ditunjang oleh tiang-tiang melengkung (hypostyle nave), serta beberapa ruang kecil tambahan di sisi sebelah barat dan timur pada bangunan masjid bagian selatan.[18] Terdapat pula 121 jendela kaca patri dari era Abbasiyah dan Fatimiyah, di mana seperempatnya telah selesai direstorasi pada tahun 1924.[24]

 
Pintu-pintu pada mimbar Shalahuddin, awal tahun 1900-an.

Ruangan dalam masjid memiliki 45 tiang kolom, 33 di antaranya terbuat dari marmer putih dan 12 lainnya dari batu.[34] Barisan tiang kolom pada lorong-lorong tengah berbentuk kokoh dan kerdil, dengan ukuran lingkar 30,6 cm dan tinggi 54 cm, akan tetapi empat barisan tiang kolom lainnya memiliki ukuran yang lebih lebih proporsional. Terdapat empat jenis desain yang berbeda untuk bagian kepala tiang kolom. Kepala tiang di lorong tengah berbentuk kokoh dan berdesain primitif, sedangkan kepala tiang yang di bawah kubah berdesain gaya Korintus[34] dan terbuat dari marmer putih Italia. Kepala tiang di lorong timur memiliki desain berbentuk keranjang yang besar, sementara kepala tiang di sebelah timur dan barat kubah juga berbentuk keranjang tetapi berukuran lebih kecil dan lebih proporsional. Terdapat palang penghubung antara tiang kolom dan tembok penyangga yang satu dengan yang lainnya, yang terbuat dari balok kayu yang dipotong sederhana dan berlapis selubung kayu dengan ukiran seadanya.[34]

Banyak bagian masjid yang hanya dilabur kapur putih, tetapi bagian dalam kubah dan dinding-dinding yang tepat di bawahnya penuh dengan dekorasi mozaik dan marmer. Beberapa karya lukisan yang tidak begitu baik dari seorang seniman Italia pernah diletakkan di sana ketika perbaikan sedang dilakukan pada masjid, setelah gempa bumi tahun 1927.[34] Bagian langit-langit masjid juga dicat dengan pendanaan dari Raja Farouk dari Mesir.[40]

Mimbar masjid dibuat oleh seorang pengrajin bernama Akhtarini yang berasal dari Aleppo atas perintah Sultan Nuruddin Zengi. Mimbar tersebut dimaksudkan sebagai hadiah untuk masjid ketika Nuruddin membebaskan Yerusalem, dan pengerjaannya memakan waktu selama enam tahun (1168-1174). Ternyata Nuruddin meninggal ketika Tentara Salib masih memegang kendali atas Yerusalem, tetapi ketika Shalahuddin berhasil merebut kota itu pada tahun 1187, mimbar tersebut lalu dipasang. Struktur mimbar terbuat dari gading dan kayu yang dipahat secara hati-hati. Kaligrafi Arab dan desain-desain berbentuk geometris dan bunga terukir pada bagian-bagian kayu mimbar tersebut.[41] Setelah hancur karena perbuatan Rohan pada tahun 1969, mimbar itu digantikan oleh mimbar lain yang dekorasinya jauh lebih sederhana. Adnan Al Hussaini, kepala lembaga wakaf Islam yang bertanggung jawab atas Al-Aqsha, pada bulan Januari 2007 menyatakan bahwa akan dibuat sebuah mimbar baru,[2] dan pada bulan Februari 2007 mimbar baru tersebut telah selesai dipasang.[42] Desain mimbar baru ini dibuat oleh Jamil Badran berdasarkan replika yang saksama dari mimbar Salahuddin, dan pengerjaannya diselesaikan oleh Badran dalam waktu lima tahun.[41] Mimbar itu dikerjakan di Yordania selama empat tahun, dan para pengrajin menggunakan "metode kuno dalam pengukiran kayu, menggabungkan potongan-potongan dengan pasak dan bukan paku, tetapi menggunakan pencitraan komputer untuk desain mimbarnya."[2]

Air mancur tempat wudu

 
Air mancur al-Kas tempat wudu.

Air mancur tempat wudu utama, yang bernama Al-Kas ("mangkuk"), terletak di bagian utara yaitu antara Al-Jami' al-Aqsha dan Kubah Batu.[43] Para jemaah menggunakannya untuk wudu, yaitu ritual pencucian wajah, lengan, rambut, telinga, dan kaki yang dilakukan umat Islam sebelum beribadah, termasuk di masjid. Bangunan ini pertama kali dibangun pada tahun 709 pada masa pemerintahan Umayyah, tetapi antara tahun 1327-1328 Gubernur Tankiz memperbesarnya untuk dapat melayani lebih banyak jemaah. Meskipun pada awalnya air berasal dari Kolam Salomo yang ada di dekat Betlehem, saat ini air berasal dari pipa yang terhubung ke sumber air kota Yerusalem.[44] Renovasi al-Kas pada abad ke-20 telah menambahkannya dengan keran air dan tempat duduk batu.[45]

Air Mancur Qasim Pasya dibangun pada masa pemerintahan Utsmaniyah tahun 1526 dan terletak di sebelah utara masjid, yaitu pada serambi Kubah Batu. Air mancur ini sebelumnya juga pernah digunakan oleh para jemaah untuk wudu dan minum sampai dengan tahun 1940-an, tetapi saat ini hanya berfungsi sebagai monumen saja.[43]

Referensi

  1. ^ a b "Al-Aqsa Mosque, Jerusalem". Atlas Travel and Tourist Agency. Diakses tanggal 2008-06-29. 
  2. ^ a b c d Jordan sending replacement for Al Aqsa pulpit destroyed in 1969 attack Associated Press. International Herald Tribune. 23 January 2007.
  3. ^ Malau, Lamtiur Kristin Natalia. "Indonesia Harus Bawa Isu Al Aqsa di Forum OKI". Okezone.com (dalam bahasa Bahasa Indonesia). Okezone. 
  4. ^ "Mihrab Dari Jepara" (dalam bahasa Bahasa Indonesia). Tribun Kaltim. 
  5. ^ Al Qurānul Karīm wa tafsīr. 2010. 
  6. ^ a b c Jarrar, Sabri (1998). Gülru Necipoğlu, ed. Muqarnas: An Annual on the Visual Culture of the Islamic World (edisi ke-Ilustrasi, anotasi). BRILL. hlm. 85. ISBN 9004110844, 9789004110847 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  7. ^ a b Mosaad, Mohamed. Bayt al-Maqdis: An Islamic Perspective pp.3–8
  8. ^ a b F. E. Peters (1985). Jerusalem. Princeton University Press. hlm. 186–192. 
  9. ^ a b c Jerome Murphy-O’Connor (2008). The Holy Land: An Oxford Archaeological Guide from Earliest Times to 1700. Oxford Archaeological Guides. Oxford: Oxford University Press. hlm. 62. ISBN 978-0-19-923666-4. Diakses tanggal 20 June 2016. 
  10. ^ Temple of Herod, Jewish Encyclopedia
  11. ^ John M. Lundquist (2007). The Temple of Jerusalem: Past, Present, and Future. Greenwood Publishing Group. hlm. 45. ISBN 0275983390, 9780275983390 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  12. ^ "Jerusalem (A.D. 71-1099)". Catholic Encyclopedia. Diakses tanggal 1 Juli 2008. 
  13. ^ a b c d e Elad, Amikam. (1995). Medieval Jerusalem and Islamic Worship Holy Places, Ceremonies, Pilgrimage BRILL, pp.29–43. ISBN 90-04-10010-5.
  14. ^ N. Liphschitz, G. Biger, G. Bonani and W. Wolfli, Comparative Dating Methods: Botanical Identification and 14C Dating of Carved Panels and Beams from the Al-Aqsa Mosque in Jerusalem, Journal of Archaeological Science, (1997) 24, 1045–1050.
  15. ^ a b c d le Strange, Guy. (1890). Palestine under the Moslems, pp.80–98.
  16. ^ a b Grafman and Ayalon, 1998, pp.1–15 Diarsipkan 2007-12-25 di Archive-It.
  17. ^ a b c d e f g Ma'oz, Moshe and Nusseibeh, Sari. (2000). Jerusalem: Points of Friction, and Beyond BRILL. pp.136–138. ISBN 90-411-8843-6.
  18. ^ a b Al-Aqsa Mosque Diarsipkan 2009-01-03 di Wayback Machine. Archnet Digital Library.
  19. ^ Jeffers, H. (2004). Contested holiness: Jewish, Muslim, and Christian Perspective on the Temple. KTAV Publishing House. hlm. 95–96. ISBN 9780881257991. 
  20. ^ "The travels of Nasir-i-Khusrau to Jerusalem, 1047 C.E". Homepages.luc.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-19. Diakses tanggal 2010-07-13. 
  21. ^ Boas, Adrian (2001). Jerusalem in the Time of the Crusades: Society, Landscape and Art in the holy city under Frankish rule. Routledge. hlm. 91. ISBN 0415230004. 
  22. ^ a b Thomas F. Madden (2002). The Crusades: The Essential Readings. Blackwell Publishing. hlm. 230. ISBN 0631230238, 9780631230236 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  23. ^ a b Al-Aqsa Guide Diarsipkan 2008-10-06 di Wayback Machine. Friends of Al-Aqsa 2007.
  24. ^ a b Necipogulu, Gulru. (1996). Muqarnas, Volume 13: An Annual on the Visual Culture of the Islamic World. BRILL, pp.149–153. ISBN 90-04-10633-2.
  25. ^ "The Burning of Al-Aqsa". Time Magazine. 29 August 1969. hlm. 1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-19. Diakses tanggal 1 July 2008.  Diarsipkan 2011-06-28 di Wayback Machine.
  26. ^ "Madman at the Mosque". Time Magazine. 12 January 1970. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-22. Diakses tanggal 3 July 2008.  Diarsipkan 2010-10-30 di Wayback Machine.
  27. ^ About the OIC[pranala nonaktif] Organization of the Islamic Conference.
  28. ^ Dumper, Michael (2002). The Politics of Sacred Space: The Old City of Jerusalem in the Middle East. Lynne Rienner Publishers. hlm. 44. ISBN 158826226X. 
  29. ^ Rapoport, David (2001). Inside Terrorist Organizations. Routledge. hlm. 98–99. ISBN 0714681792. 
  30. ^ OpenDocument Letter Diarsipkan 2011-06-28 di Wayback Machine. (Tertanggal 18 Januari 1988, dari Observer Tetap Organisasi Pembebasan Palestina untuk Markas PBB di Jenewa, ditujukan kepada Wakil-Sekretaris-Jenderal bidang Hak Asasi Manusia) Ramlawi, Nabil. Observer Tetap Organisasi Pembebasan Palestina untuk Markas PBB di Jenewa.
  31. ^ Palestine Facts Timeline, 1963-1988 Diarsipkan 2008-09-29 di Wayback Machine. Palestinian Academic Society for the Study of International Affairs.
  32. ^ Dan Izenberg, Jerusalem Post, July 19, 1991
  33. ^ Amayreh, Khaled. Catalogue of provocations: Israel's encroachments upon the Al-Aqsa Mosque have not been sporadic, but, rather, a systematic endeavor Diarsipkan 2008-11-15 di Wayback Machine. Al-Ahram Weekly. February 2007.
  34. ^ a b c d e f Al-Aqsa Mosque Life in the Holy Land.
  35. ^ Al-Aqsa Mosque, Jerusalem Universal Tours.
  36. ^ Gonen, Rivka. (2003) Contested Holiness KTAV Publishing House, p.95. ISBN 0-88125-799-0.
  37. ^ a b Al-Aqsa Mosque Restoration Diarsipkan 2009-01-03 di Wayback Machine. Archnet Digital Library.
  38. ^ Necipogulu, Gulru. (1999). Muqarnas, Volume 16: An Annual on the Visual Culture of the Islamic World BRILL, p.14. ISBN 90-04-11482-3.
  39. ^ Hillenbrand, Carolle. (2000). The Crusades: The Islamic Perspective Routeledge, p.382 ISBN 0-415-92914-8.
  40. ^ a b Al-Aqsa Mosque, Jerusalem Sacred Destinations.
  41. ^ a b Oweis, Fayeq S. (2002) The Elements of Unity in Islamic Art as Examined Through the Work of Jamal Badran Universal-Publishers, pp.115–117. ISBN 1-58112-162-8.
  42. ^ Mikdadi, Salwa D. Badrans: A Century of Tradition and Innovation, Palestinian Art Court Diarsipkan 2009-01-04 di Wayback Machine. Riweq Bienalle in Palestine.
  43. ^ a b Al-Aqsa Guide Friends of al-Aqsa.
  44. ^ Dolphin, Lambert. The Temple Esplanade.
  45. ^ Gonen, Rivka. (2003) Contested Holiness KTAV Publishing House, p.28. ISBN 0-88125-799-0.

Lihat pula

Pranala luar