Indeks kinerja ilmiah

(Dialihkan dari Model SFPM)

Indeks kinerja ilmiah adalah ukuran kuantitatif sebagai referensi dasar kebijakan di bidang iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), diperlukan sebuah instrumen. Kajian pengukuran semacam ini disebut sebagai scientometrics.[1] Instrumen dalam bentuk indeks kinerja ilmiah ini sangat penting untuk melakukan pengukuran atas usulan, target dan pencapaian aneka aktivitas iptek. Dengan instrumen semacam ini diharapkan seluruh proses bisa dilakukan dengan transparan dan obyektif.

Pendahuluan

sunting

Secara global, sudah banyak instrumen yang diajukan. Namun hampir semuanya difokuskan pada usaha untuk mengukur kontribusi iptek dalam kehidupan masyarakat, seperti industri dan lain-lain.[2] Sebaliknya sangat sedikit kajian yang mengarah pada indeksisasi aktivitas iptek itu sendiri. Ini dikarenakan proses pengukuran kinerja ilmiah di negara-negara maju sudah dilakukan dengan relati sangat obyektif akibat komunitas ilmiah di setiap bidang yang sudah mapan dan matang.

Sebaliknya di negara berkembang seperti Indonesia, pengukuran kinerja iptek sangat sulit dilakukan akibat keterbatasan komunitas di setiap bidang, ditambah kematangan komunitas secara ilmiah yang umumnya belum tercapai akibat budaya ilmiah yang relatif pendek.

Maksudnya ? Di hampir semua negara, proses pengajuan anggaran iptek secara garis besar bisa dibagi menjadi 2 tahapan utama:

  1. Tahap politis: Proses pengajuan anggaran di level tertinggi penyelenggara negara, yaitu pengajuan oleh pengelola anggaran iptek utama ke parlemen. Pengelola anggaran utama bisa lembaga penelitian utama seperti LPND di Indonesia (LIPI, dll), Kementerian Riset (KRT), lembaga mandiri (NSF di Amerika, DFG di Jerman, JICA di Jepang, dll). Pada tahapan ini substansi proposal kegiatan iptek umumnya bersifat multi disiplin dan bidang.
  2. Tahap ilmiah: Proses pengajuan anggaran oleh pelaksana riil aktivitas iptek ke pengelola anggaran iptek utama di atas. Pada tahapan ini substansi kegiatan iptek sudah fokus pada topik-topik tertentu yang spesifik.

Pada tahap pertama di atas, argumentasi dalam rangka justifikasi dilakukan dalam bahasa politis. Bahasa politis ditandai dengan argumentasi berbasis capaian jangka pendek dan riil dalam konteks "kontribusi langsung" ke publik. Sebaliknya, pada tahap kedua justifikasi harus berdasar argumentasi ilmiah. Oleh karena itu di level ini diperlukan anggota komunitas ilmiah yang mapan untuk melakukan penilaian secara obyektif dan dengan landasan ilmiah sesuai bidang kajian.

Di negara-negara dengan komunitas dan budaya ilmiah yang lemah sering kali tahapan kedua terdistorsi dengan "bahasa politis" sehingga mudah timbul kerancuan argumentasi untuk suatu justifikasi ilmiah. Sangat jamak ditemukan judul dan argumentasi dari suatu proposal yang berbahasa politis dan tidak fokus pada substansi dan keunggulan ilmiahnya. Hal dan kebiasaan semacam ini berdampak lanjutan pada ketidakjelasan target serta ukuran pencapaiannya pada akhir kegiatan. Semestinya proposal kegiatan iptek di level ini berbahasa murni ilmiah, sedangkan bahasa politis hanya dipakai di tahap pertama oleh pemangku kebijakan iptek terkait ke parlemen.

Indeks kuantitatif

sunting

Seperti sering diungkapkan, peneliti iptek sebaiknya tidak membawa aspek kontribusi riil sebagai bahan justifikasi utama dari proposal yang diajukan, tetapi harus senantiasa mengingat bahwa hal tersebut merupakan aspek penting bagi pemangku kebijakan iptek untuk berargumentasi dengan publik (parlemen).[3]

Yang menjadi masalah kemudian: bagaimana menghubungkan tuntutan politis dan ilmiah di atas ? Lebih lanjut, bagaimana mengukur kedua aspek dari satu kegiatan iptek secara konsisten dan relatif obyektif ? Disinilah peranan model untuk mengukur kinerja ilmiah dan politis secara simultan. Kinerja ilmiah lebih mudah didefinisikan, sedangkan kinerja politis secara umum bisa direduksi menjadi kinerja finansial. Karena pada tahap politis di atas, aspek utama yang menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan adalah aspek finansial.[4]

Sebagai salah satu model, misalnya telah dikembangkan model sederhana yang merupakan pionir untuk melakukan pengukuran kinerja seperti tuntutan di atas, yaitu Model SFPM. Model SFPM atau Scientific and Financial Performance Measure dikembangkan sepanjang tahun 2005 di LIPI.[5][6] Dengan model ini kinerja ilmiah dan finansial bisa diukur secara simultan untuk semua bidang kajian berbasis luaran ilmiah yang baku. Model ini memiliki beberapa kelebihan:

  • Pengukuran kinerja ilmiah dan finansial dengan satu instrumen.
  • Mencakup seluruh bidang kajian ilmiah.
  • Sehingga memungkinkan perbandingan antar bidang dan cabang kegiatan ilmiah.
  • Sederhana sehingga mengurangi kemungkinan perdebatan aspek teknis yang tidak berujung.
  • Berbasis matematis murni sehingga bisa diotomatisasi seperti prototipe yang tersedia di KOKI.[7]

Referensi

sunting
  1. ^ Scientometrics di Wikipedia.
  2. ^ Lihat karya-karya tulis ilmiah di jurnal Scientometrics Diarsipkan 2008-05-17 di Wayback Machine..
  3. ^ David Harris, The role of spin-offs, Symmetry 4 (2007) 6.
  4. ^ Perlukah Kinerja Ilmiah Diukur?, NetSains.Com (28 Desember 2007)
  5. ^ L.T. Handoko, Scientific and Financial Performance Measure: A Simultaneous Model to Evaluate Scientific Activities, Journal of Theoretical and Computational Studies 4 (2005) 0110 Diarsipkan 2008-08-18 di Wayback Machine. (arXiv:physics/0508052)
  6. ^ L.T. Handoko, A Simultaneous Model to measure Academic and Financial Performances of Scientific Activities, Proceeding of the 7th ASEAN Science and Technology Week - Sub-Committee of Science and Technology Infrastructure and Resources Development (arXiv:physics/0508059)
  7. ^ KOKI - Kalkulator Online Kinerja Ilmiah