Munte, Tumpaan, Minahasa Selatan

desa di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara


Desa Munte adalah pintu gerbang dari Kabupaten Minahasa Selatan bagian utara. Desa Munte berletak tepat di jalur jalan Trans Sulawesi tepatnya di kilometer 33 dari arah Kota Manado, yang bisa ditempuh menggunakan kendaraan bermotor, dengan waktu tempuh berkisaran 45 - 60 menit.Dan berkisaran 25 kilometer dari Ibu kota Kabupaten Minahasa Selatan-Amurang, atau dengan waktu tempuh sekitar 20 - 30 menit.

Munte
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Utara
KabupatenMinahasa Selatan
KecamatanTumpaan
Kode pos
95352
Kode Kemendagri71.05.12.2007 Edit nilai pada Wikidata
Luas2850 Ha
Jumlah penduduk2014
Peta
PetaKoordinat: 1°19′7.97″N 124°39′9.90″E / 1.3188806°N 124.6527500°E / 1.3188806; 124.6527500

Desa Munte tepat berada di pesisiran Hutan Suaka Manembo-Nembo yang letaknya tidak terlampau jauh dari Kota Manado.

Sejarah

sunting

Sejarah Desa

sunting

Desa Munte adalah suatu perkampungan tua yang terletak di wilayah Kepolisian Sektor Tumpaan; Kecamatan Tumpaan; Kabupaten Minahasa Selatan; Provinsi Sulawesi Utara, tepatnya berada di jalur jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan antara Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah sampai Sulawesi Selatan.

Awalnya letak lokasi pemukiman/perkampungan berada kira-kira 1,5 km ke arah bagian barat dari letak pemukiman saat ini. Lokasi perkampungan yang lama kini digunakan warga sebagai daerah sentralisasi perkebunan, yang dinamakan Mawale. Mawale yang artinya, bekas rumah atau bekas kampung.

Sampai saat ini, dilokasi tersebut masih begitu banyak sisa-sisa artefak kuno. Salah satu peninggalan yang dapat dilihat berupa kuburan-kuburan tua berbentuk waruga dari para penghuni awal di sana. Namun sangat disayangkan, semenjak masyarakat Desa Munte meninggalkan tempat tersebut, peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut kini tak lagi terurus, karena hanya dibiarkan begitu saja.

Adapun sejarah perkembangan Desa Munte dari lokasi yang lama Mawale sampai pada lokasi pemukiman saat ini, sebagian besar masih berdasarkan cerita dari masa ke masa yang diturunkan oleh para tua-tua kampung. Sepenggal demi sepenggal sehingga pembuktiannya sampai saat ini masih sangat sulit untuk dipelajari.

Berdasarkan kisah, pada masa sekitaran tahun 1830-an ada beberapa orang yang datang dan di wilayah hutan yang terletak di sekitar bagian timur pegunungan Hutan Suaka Manembo-Nembo untuk berburu. Namun secara lambat laun, karena letak daerah perburuan yang dianggap begitu jauh, akhirnya mereka pun memutuskan untuk tinggal dan sekaligus mendirikan kampung untuk didiami.

Di antaramereka, yang pertama dan paling menonjol antara lain bernama: Musa Piri, Karu, dan Warongan. Selanjutnya seiring berjalannya waktu, semakin banyak pula para pendatang lain yang akhirnya bergabung dengan mereka. Termasuk di antaranya adalah orang-orang buangan dari Kolonial Belanda, yang dihukum dengan vonis pengasingan. Hingga akhirnya semakin bertambah banyaklah penghuni kampung itu.

Tepatnya pada sekitaran tahun 1832, karena melihat keberadaan penduduk kampung yang kian bertambah banyak serta tidak adanya sosok pemimpin dalam kelompok masyarakat tersebut, maka mereka akhirnya berkumpul untuk membicarakan tentang pemilihan dan pengangkatan sosok pemimpin dalam kelompok mereka. Pemimpin tersebut, awalnya mereka beri nama dengan sebutan Walian atau Pemimpin Kampung.

Dalam pertemuan tersebut, akhirnya disepakatilah seorang yang masih muda, bernama Musa Piri sebagai seorang Walian untuk mereka. Baru setahun Musa Piri memimpin, tiba-tiba dia dibujuk dan dipanggil oleh penguasa Kolonial Belanda untuk bersama-sama dengan para pemberani dari tanah Malesung-Minahasa, untuk bersekutu membantu Kolonial Belanda berperang di tanah Jawa, dalam hal ini berperang melawan para para pejuang tanah Java-Jawa, yang di antaranya dengan pasukan Pangeran Diponegoro. Maklumlah, saat itu NKRI belum terbentuk dalam wadah nusantara. Selain itu pada masa-masa tersebut, mereka masih mudah terbuai dengan bujuk rayu serta hasutan dari Kolonial Belanda pada saat itu.

Karena dengan adanya kekosongan pemimpin atau Walian, maka mereka pun memutuskan untuk mengangkat seorang Walian yang baru untuk memimpin mereka sepeninggalnya Musa Piri yang pergi berperang ke tanah Jawa. Dan yang terpilih adalah Karu.

Karu memimpin sampai sekitaran tahun 1840.

Setelah kembalinya Musa Piri dari tanah Jawa, kepemimpinan Walian kembali diserahkan ke tangan Musa Piri. Musa Piri pun memimpin kampung sampai pada era tahun 1860. Selanjutnya seiring berjalannya waktu, dan karena melihat sosok Musa Piri yang semakin tua, maka pada tahun 1860 dipilih lagi seorang pemimpin Walian yang baru.

Kali ini yang terpilih adalah salah satu anak dari Musa Piri sendiri yang bernama Welmus Piri. Dia memimpin kampung sampai tahun 1895. Kemudian pada tahun 1895 itupun dipilih lagi Walian untuk menggantikan Welmus Piri. Tidak ada penjelasan terkait pergantian dia pada saat itu.

Akhirnya terpilihlah sosok yang bernama Jonas Piri.

Pada masa kepemimpinan Jonas Piri inilah terjadi sebuah perubahan besar dengan lokasi pemukiman/perkampungan hingga sampai pada lokasi Desa Munte saat ini.

Adapun alasan perpindahan lokasi pemukiman karena lokasi lama Mawale dianggap tidak lagi strategis karena letaknya berada cukup jauh dari sumber air (sungai) dan dari lokasi jalan raya yang sedang dibangun penguasa Kolonial Belanda saat itu. Selain itu, alasan lain karena telah mewabahnya suatu penyakit menular yang menyebabkan banyak kematian warga di kampung saat itu.

Perpindahan lokasi pemukiman dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 1902 sampai tahun 1905.

Bermula dengan alasan letih dan bosan karena terus berpindah-pindah, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dibawah sebuah pohon jeruk besar bernama Munte. Dari sinilah cikal bakal penamaan Desa Munte. (Tidak ada penjelasan lebih lanjut)

Jonas Piri memimpin sampai tahun 1935. Sejak kepemimpinan dia, sebutan Walian pun akhirnya berubah dengan sebutan Hukum Tua atau yang artinya yang dituakan, dengan masa jabatan yang akhirnya dibatasi pula.

Selanjutnya dipilih lagi Walian atau Hukum Tua baru, yakni bernama Frans Piri. Kepemimpinan dia tidak berlangsung begitu lama.

Pada tahun 1938, dia akhirnya meninggal dunia. Dan sisa jabatannya dilanjutkan kembali oleh Jonas Piri sampai tahun 1940.

Sayangnya, sampai saat ini Desa Munte belum menetapkan tanggal penting untuk dijadikan sebagai hari peringatan atau hari ulang tahun desa. Hal ini disebabkan oleh terlalu banyaknya versi cerita mengenai sejarah asal muasal Desa Munte.

Geografi

sunting

Letak Dan Kondisi

sunting

Desa Munte terletak di ujung bagian utara Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Di era tahun 2000-an, batas letak Desa Munte sebenarnya tidak berada tepat di posisi Desa Munte saat ini, yang ditandai dengan Tugu Selamat Datang Kabupaten Minahasa Selatan. Lebih tepatnya lagi sebenarnya berada di kompleks pemakaman Permesta ujung selatan Desa Senduk. Persisnya lagi, berada disekitaran 300 meter ujung wilayah utara letak perbatasan saat ini. Tak ada penjelasan terkait mengenai berpindahnya wilayah perbatasan tersebut.

Desa Munte tepat berada kira-kira 300 meter di atas permukaan laut. Karena berada diatas pegunungan, maka letak wilayah Desa Munte hanya memiliki luas wilayah berkisaran 3500 hektare, yang terdiri dari' Tanah Perkebunan, Tanah Pekarangan, dan Persawahan; dan memiliki letak tanah datar 900 m2, bergelombang 31250 m2, curam 1150 m2, dan sangat curam 290 m2.

Desa Munte beriklim tropis, yang berarti memiliki 2 (dua) musim; panas dan penghujan. Dengan rata-rata berada dikisaran suhu 28 sampai 32 derajat celcius, dengan curah hujan rata-rata mencapai 1000 – 22000 mm pertahunnya.

Daerah jalanan yang berada di wilayah Desa Munte memiliki cukup banyak tikungan yang berkelok-kelok, sehingga hampir disetiap tahunnya sering terjadi kecelakaan lalu lintas. Untuk itu, diharapkan bagi mereka yang akan berkendara melintasi jalanan Desa Munte dituntut untuk selalu berhati-hati. Apalagi dimusim penghujan. Jalanan akan menjadi licin, dan sering terjadinya longsor.

Batas Wilayah

sunting

Batas wilayah Desa Munte adalah sebagai berikut:

WILAYAH NAMA / JENIS TEMPAT DAERAH / KECAMATAN LOKASI / KABUPATEN
Utara Desa Senduk Tombariri Minahasa Induk
Selatan Desa Lelema Tumpaan Minahasa Selatan
BARAT Pegunungan Manembo Kawasan Hutan Hutan Suaka Manembo-nembo
Timur Desa Tangkuney Tumpaan Minahasa Selatan

Pemerintahan

sunting

Pemerintahan Desa Munte saat ini dipimpin oleh seorang Kepala Desa, atau juga disebut sebagai Hukum Tua (sesuai aturan adat yang berlaku bagi masyarakat Minahasa).

Hukum Tua biasanya dibantu oleh beberapa Kepala Urusan Pemerintahan Desa atau yang sering disingkat Ka-Ur, serta dibantu oleh beberapa Kepala-Kepala Jaga (setingkat RT), dan Meweteng sebagai pembantu Kepala Jaga.

Penduduk

sunting

Sampai pada pertengahan tahun 2013, jumlah penduduk Desa Munte berkisaran 2300 jiwa. Namun, data tersebut belum dapat menjadi patokan, itu dikarenakan sebagian dari penduduk Desa Munte banyak yang memilih tinggal dan bahkan menetap di luar desa untuk bekerja.

Suku Bangsa

sunting

Saat ini mayoritas penduduk kota Desa Munte berasal dari Suku Minahasa. Penduduk asli Desa Munte adalah sub Suku Tountemboan. Namun seiring berjalannya waktu, oleh karena adanya faktor silang perkawinan, suku-suku lain pun mulai bermunculan. Antara lain; Sangir, Mongondow, dan lain sebagainya.

Mayoritas agama yang dianut adalah Kristen Protestan. Dibuktikan dengan hanya ada 4 (empat) peribadatan yang semuanya berupa Gereja.

Gereja-Gereja tersebut antara lain;

NO. JENIS SINGKATAN NAMA
1 Gereja Masehi Injili di Minahasa G M I M Jemaat Kalvari Munte
2 Gereja Pantekosta di Indonesia G P d I Jemaat Karmel Munte
3 Gereja Pantekosta di Indonesia G P d I Jemaat Eben Heazer Munte
4 Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh G M A H K Jemaat Advent Munte

Ada keunikan tersendiri khususnya untuk Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Jemaat "Kalvari" Munte. Meskipun tempatnya berada ditengah perkampungan, yang dalam lingkup wilayah Kecamatan Tumpaan; Kabupaten Minahasa Selatan, tetapi untuk pertanggungjawaban gereja berada dibawah pengawasan Badan Pekerja Majelis Wilayah (BPMW) Tanawangko II; Kabupaten Minahasa Induk. Sedangkan untuk Rayon Pelayanan Gereja dibawah pengawasan Rayon VII Tomohon; Kota Tomohon.

Bahasa

sunting

Bahasa digunakan sebagai bahasa sehari-hari adalah bahasa Tountemboan dan bahasa Melayu Manado.

bahasa Melayu Manado menyerupai bahasa Indonesia tetapi dengan penekanan logatnya yang khas. Beberapa kata dalam dialek Manado berasal dari bahasa Belanda, bahasa Portugis dan bahasa asing lainnya.

Budaya dan Gaya Hidup

sunting

Budaya

sunting

Musik tradisional dari Desa Munte adalah musik bambu. Namun seiring berkembangnya zaman dan kurangnya perhatian pemerintah dan warga untuk menjaga dan mengangkat potensi budaya yang ada, hingga akhirnya musik bambu itupun secara perlahan menghilang dari peredaran.

Meskipun dalam berbagai macam acara seperti pernikahan atau sosial kemasyarakatan lainnya (kedukaan) masih menyewa grup musik bambu dari tempat lain, tetapi sebagian dari pemain intinya adalah berasal dari penduduk Desa Munte itu sendiri.

Hanya sebagian kecil dari kelompok masyarakat yang masih mempertahankan budaya musik bambu tersebut. Dan demi menjaga potensi budaya yang ada, mereka pun rela bergabung dengan kelompok musik bambu didaerah lain.

Mereka biasanya bergabung dalam kelompok musik yang bernama; klarinet, satria laut, dan lainnya. Mereka pula yang sering terjun langsung membantu grup musik bambu sewaan (seperti yang sudah disebutkan diatas).

Kehidupan Sosial

sunting

Warga masyarakat Desa Munte sangat menghargai sikap hidup toleran, rukun, terbuka dan dinamis. Karenanya kehidupan masyarakat Desa Munte memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai salah satu desa yang relatif aman di Sulawesi Utara.

Hal itu tercermin dari semboyan masyarakat Desa Munte yaitu Mensasamaan Wo Mengupusan yang artinya "bersama-sama saling menyayangi".

Kawanua

sunting

Masyarakat Desa Munte juga disebut dengan istilah warga Kawanua. Karena hingga kini masyarakat Desa Munte adalah bagian dari masyarakat Manado.

Secara khusus, Kawanua sebenarnya diartikan kepada Suku Minahasa termasuk masyarakat Desa Munte sendiri.

Dalam bahasa daerah Minahasa, Kawanua sering diartikan sebagai penduduk negeri atau "wanua-wanua" yang bersatu atau Mina-Esa (Orang Minahasa). Kata Kawanua diyakini berasal dari kata Wanua, yang dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata Wanua diartikan sebagai negeri atau desa.

Pariwisata

sunting

Jika dikembangkan, Desa Munte sebenarnya memiliki bermacam objek wisata yang menarik. Antara lain; pemakaman kuno Waruga di wilayah perkebunan Mawale, Watu Wangker di wilayah perkebunan watu wangker, Sungai Nimanga sebagai area lintas arung jeram dari Desa Timbukar, Air Terjun Ni Peta'upan, dan lain sebagainya. Namun objek-objek wisata tersebut kurang dikembangkan karena dengan alasan mistis dan lain sebagainya.

Perekonomian

sunting

Oleh karena tidak dikembangkannya objek tersebut diatas, maka roda perekonomian masyarakat Desa Munte sebagian besar hanya bersandar pada sektor pertanian dan perkebunan. Walaupun sebagian masyarakat ada juga yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Guru Honorer, Pegawai Swasta, Wiraswasta, Pedagang, Peternak, Buruh, Supir, dan sebagainya. Namun dengan alasan kebutuhan ekonomi yang belum mencukupi, sebagiannya lagi memilih untuk merantau ke luar daerah di antaranya, Kalimantan, Papua, Kepulauan Riau, dan lain sebagainya.

Makanan Dan Minuman Tradisional

sunting

Makanan

sunting

Makanan Khas yang ada di kalangan masyarakat Desa Munte antara lain; Tinutuan yang terdiri dari berbagai macam sayuran. Tinutuan sebenarnya bukanlah bubur, sebagaimana selama ini orang mengatakannya sebagai Bubur Manado. Karena Tinutuan merupakan makanan khas tersendiri.

Selain Tinutuan, terdapat RW (er-we) yaitu masakan yang diolah dari daging anjing dan dibuat dengan campuran cabai yang cukup banyak; Winongos yang diolah dari daun pepaya dan dicampur dengan bagian isi perut babi yang sudah dibusukkan.

Sedangkan Dodol dan Nasi Jaha adalah panganan khusus yang bisa juga dijadikan sebagai camilan berat sehingga siapa pun yang menikmatinya akan menjadi kenyang.

Untuk Nasi Jaha biasanya terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan santan, jahe, bawang merah dan bumbu-bumbu lainnya, kemudian dimasukan ke dalam bambu lalu dibakar. Sedangkan Dodol terbuat dari cairan santan yang diaduk secara terus menerus selama hampir 5 (lima) jam atau sesuai dengan kondisi saat itu. Untuk membuat nasi jaha dan dodol, diperlukan proses suhu pengapian yang relatif stabil.

Nasi Jaha dan Dodol biasanya lebih sering ditemui pada acara-acara peringatan seperti saat menjelang atau bahkan sesudah panen cengkih, yang lebih dikenal dengan acara Pengucapan.

Pengucapan sendiri seperti layaknya sebuah hari peringatan Thanks Giving bagi masyarakat kalangan Amerika dan Eropa. Namun Pengucapan tidak pernah memiliki tanggal yang pasti layaknya Natal ataupun Tahun Baru.

Acara ini sudah menjadi bagian dari tradisi dari warga Suku Minahasa pada umumnya. Untuk acara Pengucapan di Desa Munte biasanya dilaksanakan pada pertengahan tahun, atau biasanya di antara bulan juni sampai agustus. Untuk masyarakat Desa Munte, kegiatan ini hanya dilaksanakan 1 (satu) tahun sekali. Dan biasanya masyarakat Desa Munte merayakannya serempak mengikuti hari yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan.

Minuman

sunting

Selain makanan khas, Desa Munte juga memiliki minuman khas, yaitu saguer. Yakni sejenis arak atau tuak yang berasal dari pohon enau dan memiliki kadar kandungan alkohol. Meskipun demikian, saguer masih bisa dikonsumsi karena kadar alkoholnya masih sangat rendah. Sehingga tak jarang masyarakat memanfaatkannya untuk melancarkan metabolisme darah dalam tubuh. Saguer sebaiknya dikonsumsi beberapa saat setelah diambil dari pohonnya. Karena jika ditunggu cukup lama, saguer akan menjadi sangat kecut atau asam. Saguer yang sudah asam biasanya digunakan warga sebagai pengganti cuka. Saguer juga sering dibuat warga sebagai gula aren, atau biasa disebut warga dengan gula batu.

Terdapat pula Cap Tikus. Cap Tikus sendiri merupakan minuman keras tradisional, dan mengandung kadar alkohol tinggi yang dibuat dengan proses penyulingan atau fermentasi dari saguer itu sendiri.

Sedangkan untuk makanan ringan, Desa Munte juga mempunyai panganan khas sejenis asinan, yaitu gohu, popaya tono, rujak dan es kacang. Gohu dibuat dari irisan buah pepaya yang direndam dalam larutan asam cuka, gula, garam, jahe dan cabe.

Kue Tradisional

sunting

Untuk kue tradisional, seperti; apang, cucur, panada (sejenis roti goreng berisi ikan cakalang dan dibentuk dengan pilinan pada bagian tepinya).

Daerah Kembar

sunting

Lihat pula

sunting

Rujukan

sunting

Pranala luar

sunting