Museum Multatuli
Museum Multatuli adalah museum umum yang menempati bekas Wedana Rangkasbitung yang telah digunakan sejak tahun 1923. Kepemilikan Museum Multatuli dipegang oleh Pemerintah Kabupaten Lebak dan pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak. Museum Multatuli memiliki tujuh ruangan yang memamerkan koleksi sejarah yang berhubungan dengan antikolonialisme, Multatuli dan novel buatannya, sejarah Lebak, Banten, dan Rangkasbitung. Nama Multatuli berasal dari nama pena Eduard Douwes Dekker yang merupakan asisten Residen Lebak. Peresmian Museum Multatuli diadakan pada 11 Februari 2018 oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Hilmar Farid dan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya.[1]
Museum Multatuli museum | ||||
---|---|---|---|---|
Tempat | ||||
Negara berdaulat | Indonesia | |||
Provinsi di Indonesia | Banten | |||
Negara | Indonesia | |||
Sejarah | ||||
Pembuatan | 2015 | |||
Informasi tambahan | ||||
Kode pos | 42312 | |||
Zona waktu | ||||
Lain-lain | ||||
Situs web | Laman resmi | |||
Sejarah
suntingDiskusi mengenai pendirian Museum Multatuli di Rangkasbitung dimulai pada awal 2010-an, dengan dukungan sejumlah tokoh, termasuk sejarawan Bonnie Triyana yang memiliki akar kultural di wilayah tersebut, Ubaidilah Muchtar, arsitek Bambang Eryudhawan, dan jurnalis Tempo Kurie Suditomo.[2][3][4] Museum ini didedikasikan untuk Edward Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan nama pena "Multatuli". Dekker adalah seorang pejabat kolonial Belanda yang menjabat sebagai Asisten Residen di Lebak pada tahun 1856. Pengalamannya menyaksikan berbagai ketidakadilan dalam masyarakat kolonial menjadi inspirasi novel terkenalnya, Max Havelaar.[5][6]
Museum ini resmi dibuka pada 11 Februari 2018 dan dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Lebak.[5] Lokasinya berada di eks kantor Kewedanaan Rangkasbitung, bangunan bersejarah yang didirikan pada tahun 1923 di dekat Alun-Alun Rangkasbitung.[6] Dulunya, bangunan ini merupakan kantor pejabat administratif pada era kolonial.[6] Meskipun Museum Multatuli di Rangkasbitung tidak memiliki afiliasi resmi dengan Museum Multatuli di Amsterdam, sejumlah koleksi dari museum di Belanda tersebut turut disumbangkan untuk persiapan pembukaan.[6]
Museum ini dirancang untuk memberikan pengalaman multisensorial yang membawa pengunjung pada konteks ekonomi perkebunan abad ke-19, seperti kopi sebagai salah satu komoditas ekspor utama.[7] Selain itu, museum juga mengeksplorasi sejarah kolonial dan proses penerbitan Max Havelaar. Beberapa koleksi penting termasuk patung Multatuli serta karakter dari novelnya, yang dibuat oleh seniman Dolorosa Sinaga. Pada tahun perdananya, museum ini menjadi tuan rumah Festival Seni Multatuli, sebuah perayaan budaya yang bertujuan memperluas apresiasi terhadap karya dan tema yang diangkat Multatuli.[8]
Penamaan
suntingNama Museum Multatuli diperoleh dari nama pena seorang penulis yang bernama Eduard Douwes Dekker. Ia adalah seorang asisten residen Lebak yang bermukim di Rangkasbitung pada bulan Januari hingga Maret 1856. Pada tahun 1860, Dekker menulis sekaligus menerbitkan sebuah novel yang diberinya judul Max Havelaar. Novel ini menjadi salah satu karya penting yang membahas sejarah Banten dan Lebak, sehingga pemerintah Kabupaten Lebak memutuskan untuk mendirikan sebuah museum yang diberi nama Museum Multatuli.[9]
Lokasi
suntingMuseum Multatuli berada di Jalan Alun-alun Timur No. 8, Rangkasbitung, Lebak, Banten.[10] Terletak di bagian timur alun-alun Rangkasbitung dan berdampingan dengan Perpustakaan Saidjah Adinda.[11]
Secara keseluruhan, Museum Multatuli memiliki luas tanah 1.934 m². Menempati sebuah bangunan peninggalan Hindia Belanda yang saat ini berstatus sebagai cagar budaya dan sempat beberapa kali beralih fungsi. Bangunan cagar budaya ini selesai dikerjakan pada 1930, yang kemudian digunakan sebagai kantor kawedanan. Pada tahun 1950 menjadi kantor Markas Wilayah (Mawil) Hansip. Terakhir berfungsi sebagai kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Lebak. Baru pada tahun 2016, berlangsung pemugaran bangunan ini untuk menjadi Museum Multatuli.[12]
Desain
suntingGedung Museum Multatuli dibuat dalam bentuk huruf “T” dan memiliki pendopo yang dipakai sebagai tempat perkumpulan. Desain dalam ruangan gedung bergaya modern fraktal yang tidak simetris dengan bantuan pencahayaan ruangan.[13] Museum Multatuli terbagi menjadi tujuh ruangan dan empat tema. Tema pertama khusus mengisahkan sejarah awal penjajahan di Indonesia, sedangkan tema kedua membahas tentang pribadi tokoh Multatuli dan novelnya yang berjudul Max Havelaar. Adapun tema ketiga mengisahkan tentang sejarah Banten dan Lebak. Sedangkan tema keempat mengisahkan sejarah Rangkasbitung.[9]
Koleksi
suntingKoleksi Museum Multatuli yang utama adalah novel berjudul Max Havelaar yang berbahasa Prancis yang dicetak dengan tahun cetakan 1868, ubin bekas tempat tinggal Multatuli, litografi Multatuli, dan peta Rangkasbitung pada abad ke-20.[11] Museum Multatuli juga mengoleksi patung-patung hasil karya Dolorosa Sinaga, kumpulan foto sejarah Kabupaten Lebak, surat Eduard Douwes Dekker untuk Raja Willem III dan surat Soekarno kepada Samuel Koperberg.[13]
Museum Multatuli memberikan koleksi informasi sejarah dengan menggunakan multimedia berupa audio dan video yang ditampilkan melalui layar monitor. Di ruangan keempat terdapat video singkat mengenai Multatuli dari hasil wawancara dengan narasumber yaitu Pramoedya Ananta Toer. Ruangan keenam mengisahkan tentang sejarah Lebak serta video singkat tentang tokoh-tokoh sejarah Rangkasbitung. Rekaman suara penyair asal Indonesia yaitu W.S. Rendra yang membacakan sajak “Demi Orang-orang Rangkasbitung” dapat ditemukan di ruangan ketujuh.[13]
Referensi
sunting- ^ Rusmiyati; et al. (2018). Katalog Museum Indonesia. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. hlm. 170. ISBN 978-979-8250-66-8.
- ^ Oktaviani, Andra Nur (14 February 2018). "Museum Multatuli, Museum Antikolonialisme Pertama di Indonesia". JawaPos.com.
- ^ Affan, Heyder (2 March 2017). "197 tahun Multatuli, museum antikolonial pertama di Rangkasbitung". BBC News Indonesia.
- ^ Tampubolon, Hans David. "Bonnie Triyana: Learning about today's society from history". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24 May 2022.
- ^ a b "Kabupaten Lebak Gunakan Narasi Multatuli untuk Tarik Wisatawan". Tempo. 7 September 2018. Diakses tanggal 25 May 2022.
- ^ a b c d "Museum Multatuli di Lebak Banten Segera Diresmikan". Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. 7 February 2018. Diakses tanggal 25 May 2022.
- ^ Diah, Femi (11 January 2022). "Lebak Level 2, Museum Multatuli Buka Lagi". Detik News.
- ^ Rifa'i, Bahtiar (5 September 2018). "Yuk ke Lebak! Ada Festival Seni Multatuli untuk Mengenal Sejarah Antikolonial". Detik.
- ^ a b "Detail Tentang / Profil". museummultatuli.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Juni 2020. Diakses tanggal 21 Juni 2020.
- ^ Chaniago, Suci Wulandari Putri (26 Mei 2023). Widyanti, Ni Nyoman Wira, ed. "Museum Multatuli di Rangkasbitung: Jam Buka dan Harga Tiket Masuk Halaman all". Kompas.com. Diakses tanggal 17 Mei 2024.
- ^ a b Noviyanti, Sri (21 Oktober 2019). Noviyanti, Sri, ed. "Berkunjung ke Museum Multatuli Lalu Menyusuri Banyak Kisah Sejarah - pesonaindonesia.kompas.com". Kompas.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 21 Juni 2020.
- ^ "Tentang Museum Multatuli". Museum Multatuli. 11 September 2021. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 April 2024. Diakses tanggal 17 Mei 2024.
- ^ a b c "10 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Museum Multatuli". Historia. 14 Februari 2018. Diakses tanggal 21 Juni 2020.