Na (aksara Bali)
Na adalah salah satu aksara wianjana (huruf konsonan) dalam sistem penulisan aksara Bali, yang melambangkan bunyi /na/. Jika dialihaksarakan menjadi huruf Latin, maka huruf ini ditulis "Na".[1][2] Huruf ini termasuk dalam warga dantya (konsonan gigi/labial),[2] yaitu huruf yang melambangkan bunyi yang dihasilkan dengan melekatkan lidah ke lengkung kaki gigi bagian atas.
Na | |
Aksara Bali | |
Huruf Latin | Na |
---|---|
IAST | Na |
Fonem | [n] |
Unicode | U+1B26 , U+ |
Warga aksara | dantya |
Gantungan |
Fonem
suntingNa diucapkan seperti huruf "n" pada kata: "namun" (bahasa Indonesia), nāraka (bahasa Sanskerta), napi (bahasa Bali), nib (bahasa Inggris).
Penggunaan
suntingDantya (gigi) |
---|
Murdhanya (tarik-belakang) |
Talawya (langit-langit) |
Penggunaan aksara Na sama dengan penggunaan Na (Dewanagari: न) dalam abjad bahasa Sanskerta.[1] Dalam sistem penulisan dengan aksara Bali, Na digunakan pada kata-kata yang mengandung bunyi /n/, baik dari bahasa Bali, maupun bahasa non-Bali. Selama Na kojong tidak dibubuhi oleh pangangge suara, maka ia dibaca "na" (lafal: /nə/ atau /na/, tergantung kata).
Gantungan aksara Na disebut Na kojong (dalam bahasa Bali, kojong berarti kerucut).
Perubahan menjadi Na rambat
suntingApabila dalam suatu kata terkandung bunyi /n/ yang menyusul bunyi /r/ (contohnya: "warna", "purna", "sirna", dsb), maka apabila disalin menjadi aksara Bali, huruf N pada kata tersebut patut ditulis dengan Na rambat, bukan Na.[3][4] Hal ini dianjurkan karena penulisan kata-kata dengan menggunakan aksara Bali harus memperhatikan warga aksara (daerah artikulasi tradisional). Menurut aturan tradisional tentang aksara Bali, posisi lidah saat mengucapkan bunyi /r/ adalah murdhanya (langit-langit keras). Sehingga apabila bunyi /r/ disusul bunyi /n/ (contohnya huruf N pada kata "warna") maka, bunyi /n/ (dantya) berubah menjadi bunyi /ɳ/ (murdhanya).[3] Meskipun demikian, dalam fonologi, bunyi /r/ adalah konsonan getar rongga gigi, sedangkan bunyi /n/ adalah konsonan sengau rongga gigi. Maka dari itu, daerah artikulasinya sama namun agak berbeda dengan aturan penulisan aksara Bali.
Perubahan menjadi Nya
suntingApabila dalam suatu kata terkandung bunyi /n/ (konsonan gigi/warga dantya) yang disusul oleh bunyi /c/ atau /ɟ/ (konsonan langit-langit (palatal)/warga talawya), maka bunyi /n/ tersebut berubah menjadi bunyi /ɲ/ (konsonan sengau langit-langit).[3] Contohnya: "ranjang", "pancing", "panjang", "manja", dsb. Dalam aksara Bali, konsonan nasal langit-langit dilambangkan dengan huruf Nya (huruf Latin: Ñ). Maka dari itu, apabila dalam suatu kata ada huruf N yang diikuti oleh huruf C maupun J, bila disalin menjadi aksara Bali, huruf N tersebut patut ditulis dengan Nya, bukan Na.[5] Meskipun demikian, orang Indonesia cenderung menggunakan konsonan gesek /t͡ʃ/ dan /d͡ʒ/ daripada konsonan letup /c/ dan /ɟ/. Bunyi /t͡ʃ/ mirip /c/ dan /d͡ʒ/ mirip /ɟ/. Keduanya dilambangkan dengan huruf C (Ca) dan J (Ja). Konsonan gesek tersebut termasuk ke dalam kelompok konsonan pascarongga-gigi, bukan konsonan langit-langit.
Mengikuti konsonan tarik-belakang
suntingApabila dalam suatu kata ada bunyi /n/ yang diikuti oleh /ʈ/ maupun /ɖ/ (konsonan tarik-belakang/warga murdhanya), maka bunyi /n/ (konsonan gigi) tersebut akan berubah menjadi /ɳ/ (konsonan tarik-belakang). Maka dari itu, apabila dalam suatu kata ada huruf Na yang dilekati oleh gantungan Ta latik maupun Da madu, huruf Na tersebut patut diganti dengan Na rambat.[6]
Lihat pula
suntingCatatan kaki
suntingReferensi
sunting- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramitha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.