Megachile pluto

spesies lebah terbesar di dunia
(Dialihkan dari O ofungu ma koana)

Megachile pluto atau Chalicodoma pluto, kadang juga disebut Lebah raksasa Wallace atau nama setempat o ofungu ma koana ("raja lebah")[1] adalah sebuah spesies lebah berukuran besar dari Indonesia yang termasuk dalam famili Megachilidae (lebah resin). Saat ini lebah ini merupakan spesies lebah terbesar yang diketahui manusia. Spesies ini sempat dianggap punah, tetapi beberapa spesimen ditemukan pada 1981. Setelah itu, spesies ini tidak lagi pernah diamati hingga pada 2018 dua spesimen dijual di situs lelang online eBay. Pada 2019, seekor lebah betina ditemukan dalam keadaan hidup di Maluku Utara, dan difilmkan untuk pertama kalinya.

Megachile pluto Edit nilai pada Wikidata

Edit nilai pada Wikidata
Status konservasi
Rentan
IUCN4410 Edit nilai pada Wikidata
Taksonomi
Galat Lua: callParserFunction: function "Template" was not found.
SpesiesMegachile pluto Edit nilai pada Wikidata
Tata nama
Sinonim takson
  • Chalicodoma pluto (Smith, 1860)

Deskripsi

sunting

Megachile pluto adalah lebah resin (Megachilidae) hitam dengan rahang yang besar. Lebah ini memiliki dimorfisme seksual (perbedaan tampak luar antara jantan dan betina): lebah betina dapat tumbuh hingga panjang 38 mm dan rentang sayap 63,5 mm, tetapi jantannya hanya tumbuh hingga 23 mm. Hanya betinanya memiliki rahang besar.[2] M. pluto adalah spesies lebah terbesar yang pernah dideskripsikan dan masih hidup.[3] Selain ukuran tubuh dan rahangnya yang besar, spesies ini juga dapat dibedakan dari lebah-lebah lainnya melalui adanya pita putih di abdomen.[4]

Habitat

sunting

Lebah ini baru pernah dilaporkan ditemukan di tiga pulau Maluku Utara, Indonesia, yaitu Pulau Bacan, Halmahera, dan Tidore. Tidak banyak yang diketahui tentang distribusi geografinya maupun syarat-syarat habitatnya, tetapi lebah ini dipercaya hanya hidup di hutan primer dataran rendah. Sejak dibangunnya industri ekstraktif sampai saat ini diyakini telah mengancam habitatnya karena terus berkurangnya tutupan hutan serta kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Karena ini Uni Internasional untuk Konservasi Alam mengklasifiksikan spesies ini sebagai spesies rentan.[5]

Sejarah

sunting

Spesies ini pertama kali tercatat oleh Alfred Russel Wallace, yang mengumpulkannya pada tahun 1858, dan ketika itu diberi nama "Lebah raksasa Wallace". Setelah itu spesies ini tidak lagi ditemukan dan dianggap punah hingga pada 1981 Adam C. Messer, seorang entomologis Amerika Serikat, menemukan enam sarang Megachile pluto di Pulai Bacan dan sekitarnya.[4] Spesies ini termasuk dalam 25 spesies "hilang dan paling dicari" dalam program "Search for Lost Species" ("Pencarian Spesies Hilang") oleh Global Wildlife Conservation.[6] Setelah 1981, spesies ini tidak pernah diamati dalam kondisi alamiahnya selama 37 tahun. Dua spesimen diperoleh di Indonesia pada 2018, satu di Pulau Bacan pada Februari dan kedua di Halmahera pada September. Kedua spesimen ini dijual di situs lelang eBay dan menimbulkan kekhawatiran akan kurangnya perlindungan terhadap spesies langka ini.[7] Spesimen pertama terjual seharga $9.100 dolar AS (sekitar 125 juta rupiah) dan yang kedua juga terjual beberapa ribu dolar.[8] Seekor M. pluto betina ditemukan hidup dalam sebuah sarang rayap pada 2019 oleh sebuah tim yang salah satu anggotanya adalah fotografer Clay Bolt. Saat itu, spesies ini difoto dan difilmkan dalam keadaan hidup untuk pertama kalinya, sebelum dilepaskan kembali.[8][9]

Ekologi

sunting

M. pluto memiliki sarang yang ditinggali berkelompok didalam sarang-sarang rayap Microcerotermes amboinensis yang hidup di pepohonan. Karena sarangnya yang tersembunyi ini, keberadaan lebah ini sering tidak disadari bahkan oleh penduduk setempat. Lebah ini menggunakan resin (getah) pohon untuk membangun "ruangan-ruangan" di dalam sarang rayap. Lebah-lebah betinanya banyak meninggalkan sarangnya untuk mencari getah, yang sering didapat dari tanaman Anisoptera thurifera. Rahangnya yang besar membantu hewan ini mengumpulkan getah, yang oleh M. pluto betina dibentuk sebagai bola-bola besar yang dijepit oleh rahang. Ketergantungan lebah ini terhadap rayap bisa jadi merupakan hubungan simbiosis obligat.[4][5]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ ,Putri, Gloria Setyvani. Putri, Gloria Setyvani, ed. "Sembunyi Hampir 40 Tahun, Lebah Terbesar di Dunia Ditemukan di Maluku". Kompas.com. Kompas. 
  2. ^ Simon, Matt (2019-02-21). "The Triumphant Rediscovery of the Biggest Bee on Earth". Wired. ISSN 1059-1028. Diakses tanggal 2019-02-21. 
  3. ^ Quenqua, Douglas (2019-02-21). "The World's Largest Bee Is Not Extinct". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2019-02-21. 
  4. ^ a b c Messer, A. C. (1984). "Chalicodoma pluto: The World's Largest Bee Rediscovered Living Communally in Termite Nests (Hymenoptera: Megachilidae)". Journal of the Kansas Entomological Society. 57 (1): 165–168. JSTOR 25084498. 
  5. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama iucn
  6. ^ "The Search for Lost Species". Global Wildlife Conservation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-06-02. 
  7. ^ Vereecken, Nicolas (2018). "Wallace's Giant Bee for sale: implications for trade regulation and conservation". Journal of Insect Conservation. 22 (5-6): 807–811. doi:10.1007/s10841-018-0108-2. 
  8. ^ a b Main, Douglas (21 February 2019). "World's largest bee, once presumed extinct, filmed alive in the wild". National Geographic. 
  9. ^ Bolt, Clay. "Wallace's Giant $9,000 Bee". National Geographic. National Geographic.